Jumat, 31 Desember 2010

Ksatria Tanpa Tahun Baru

: untuk mereka yang tak tahu ini malam tahun baru

ini malam tahun baru
di mana seharusnya kau:
duduk manis di beranda rumah
bercengkrama dengan keluargamu
atau pula tidur saja di ranjangmu

ini malam tahun baru
tak seharusnya kau:
masih sibuk menyapu jalanan
masih mengejar setoran
berjualan terompet
sibuk mengatur lalulintas
menunggu jenazah datang

ini malam tahun baru
inilah seharusnya kau:
menikmati jagung bakar
menyaksikan televisi yang menunggu jam 12
menonton aksi selebriti di Monas
pergi dengan kekasihmu

ini malam tahun baru
tak seharusnya kau:
mengejar laba terompetmu
mengobati mereka yang terluka karena petasan
mencari nafkah untuk anakmu

ini malam tahun baru
dan aku tahu kau tak merayakannya
tidak tahu harus seperti apa
dan bagaimana cara merayakannya

selamat tahun baru untukmu, meski tak ada perayaan bagimu...



Jakarta, 31 Desember 2010 | 23.24
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 30 Desember 2010

Fragmentaris



satu cerita,
ia memiliki kisahnya sendiri
meski di dalam sunyi, berderu sakit
meski di dalam hening, ia butuh sendiri
entah pagi, siang, atau malam
: butuh berlindung, sebelum lekas pergi

satu cerita
ia memiliki waktunya sendiri
kalau memang masih ada peluang kecil
yang masam atau manis
dan ada kalanya ia tak perlu dikecap
dan dibiarkan pergi

satu cerita
ia memiliki tafsir sendiri
kadang ia memang harus dikenang
kadang pula ia dibiarkan pergi
kadang juga dilepas
dan diamkan saja
sampai angin yang membawanya menghilang




Jakarta, 30 Desember 2010 | 20.23
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 29 Desember 2010

Gol

"goool"
teriak mereka
bola bersarang di gawang
aku memungutnya
kami memang tidak juara
tapi kami menang
kami menang di hati kami



Jakarta, 29 Desember 2010 | 23.24
A.A. - setelah menyaksikan siaran bola

Empat Ceritera Musim denganmu

Satu...

Mari buat kesepakatan tentang musim semi yang akan meninggalkan kita. Musim semi akan datang tahun esok, maka biarkanlah ia pergi dengan membawa seribu kenangan di antara keping-keping mozaik yang telah kita susun rapi. Menyimpannya dalam kotak kenangan dan membiarkannya menjadi misteri di hari esok. Karena kita masih memiliki jalan dan kisah yang harus dijalankan sebagaimana mestinya. Hari memang harus silih berganti, pagi memang harus selalu datang, dan kita siap dan tidak siap harus menghadapinya. Kembali menyusun ceritera dan soal itu, nanti sajalah...

Dua...

Mari lagi-lagi kita buat kesepakatan tentang rahasia di musim gugur yang tetap setia untuk datang. Walau sudah kita kisahkan beribu macam tentang cinta dan asa, tetapi masih jutaan episode yang harus disusun agar terancang dengan rapi. Kita mesti berkelana untuk meneruskan ceritera-ceritera yang belum tersusun dengan apik, masih terus berkisah agar berbuah dengan manis sebelum hari yang jahat menggulingkan kita dan meninggalkan airmata dan rasa kehilangan yang kejam. Hidup memang soal menemukan tujuan akhir yang indah walau pun kita sudah tahu ke mana hidup akan bermuara pada akhirnya.

Tiga...

Menjelang musim panas, apakah kita pernah berpikir bahwa kita telah memetik buah-buah yang begitu manis dan indah sepanjang dua musim kemarin? Ada waktunya kita merentaskan kehidupan yang manis dan pula harus kembali menjadi gersang, panas, dan melawannya dengan perlahan. Semua orang memiliki kesempatan, asa untuk melawan atau bertahan untuk memiliki kehidupan yang manis. Tapi tidak untuk selamanya menjadi manis. Ada kalanya mereka harus turun dari babak pertandingan dan merenungi diri.

Empat...

Kita telah menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Sebenar-benarnya. Dengan segala macam ceritera dan sisi humanisme yang menghiasi seluruh jalan yang harus memang dijalani. Dengan terjatuh dan bangkit lagi, kita menemukan satu mozaik. Dengan berdiri dan berjalan lagi, kita menuliskan sebuah ceritera. Dengan berjalan dan menikmati, kita sudah menemukan sisi bagaimana kita harus menjalani kehidupan ini sampai pada akhirnya kita akan berkata: inilah saat untuk pergi dan semua tugas sudah dilaksanakan dengan baik.

Jakarta, 29 Desember 2010 | 16.53
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 21 Desember 2010

Ode Untuk Bunda

Sepasang kupu-kupu terbang
Hinggap di ubun-ubun, katamu aku manis
Maka ia menaruh dirinya di atas kepalaku

Aku tersipu manis, memanja diri

Ah, bunda... Bunda...
Pandai saja kau memuji anandamu, bukan kemarin sore kita baru berbelanja?

Kau butuh ini untuk pesta temanmu, katamu memberiku pakaian baru
Tak butuh, masih bisa kukenakan baju pesta kemarin

Makanlah sebelum dingin
Dan aku mengabaikan kata dingin
Membiarkannya begitu saja

Dan senja telah datang
Di ujung sana
Aku tahu betapa bahagianya
Aku pernah memiliki kamu
Aku pernah dimiliki kamu
Aku pernah belajar dan diajar untuk jatuh cinta
Aku pernah berbagi dan menerima kasih sayang

Aku pernah menjadi milikmu
Dan akan menjadi kamu





Jakarta, 22 Desember 2010 | 00.16
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 20 Desember 2010

Pada Pelabuhan yang Senja



Kemarin...
Hanya ada sekelumit kisah
menanti kepulangan
melepas kepergian
melambaikan tangan
memanggil
merelakan
cuma bagaimana kita menerima
sekelumit kisah itu
menjadi suatu sejarah
yang hanya aku dan kamu tahu
bagaimana menyimpannya dalam kotak kenangan

Hari ini...
aku tahu harus menjadi apa
mungkin memang tak lagi sama
memang tak akan sama
karena hari pun selalu berganti
sebagaimana kita mengurai cerita
meski perih
meski bahagia
meski haru
meski pedih
ini hanyalah soal kita menyimpan kotak kenangan

Esok...
ya, kita tak lagi sama
kita pergi dengan jalannya sendiri
kita melepas langkah kita
kita melepas setapak demi setapak
memilih jalan pergi sendiri
mencari rute pulang masing-masing
karena di ujung penantian
masih akan ada penantian
dan penantian tak bisa berakhir
bila kita masih belum bisa
menerima kehilangan dan mendapatinya
lebih dekat, lebih nyata

Lusa...
kotak kenangan akan berdebu
tapi yang tersimpan akan tetap selalu manis
meski ia terasa pahit





Jakarta, 20 Desember 2010 | 16.27
A.A. - dalam sebuah inisial


PS: Mas Dhave, numpang culik fotomu, kalau kau membuka catatanku ini. Matur tengkyuh :-)

Jumat, 17 Desember 2010

Song of The Open Road

1
AFOOT and light-hearted I take to the open road,
Healthy, free, the world before me,
The long brown path before me leading wherever I choose.

Henceforth I ask not good-fortune, I myself am good-fortune,
Henceforth I whimper no more, postpone no more, need nothing,
Done with indoor complaints, libraries, querulous criticisms,
Strong and content I travel the open road.

The earth, that is sufficient,
I do not want the constellations any nearer,
I know they are very well where they are,
I know they suffice for those who belong to them.

(Still here I carry my old delicious burdens,
I carry them, men and women, I carry them with me wherever
I go,
I swear it is impossible for me to get rid of them,
I am fill'd with them, and I will fill them in return.)

2
You road I enter upon and look around, I believe you are not all
that is here,
I believe that much unseen is also here.

Here the profound lesson of reception, nor preference nor denial,
The black with his woolly head, the felon, the diseas'd, the
illiterate person, are not denied;
The birth, the hasting after the physician, the beggar's tramp, the
drunkard's stagger, the laughing party of mechanics,
The escaped youth, the rich person's carriage, the fop, the eloping
couple,
The early market-man, the hearse, the moving of furniture into the
town, the return back from the town,
They pass, I also pass, any thing passes, none can be interdicted,
None but are accepted, none but shall be dear to me.

3
You air that serves me with breath to speak!
You objects that call from diffusion my meanings and give them
shape!
You light that wraps me and all things in delicate equable showers!
You paths worn in the irregular hollows by the roadsides!
I believe you are latent with unseen existences, you are so dear to
me.

You flagg'd walks of the cities! you strong curbs at the edges!
You ferries! you planks and posts of wharves! you timber-lined
side! you distant ships!
You rows of houses! you window-pierc'd facades! you roofs!
You porches and entrances! you copings and iron guards!
You windows whose transparent shells might expose so much!
You doors and ascending steps! you arches!
You gray stones of interminable pavements! you trodden crossings!
From all that has touch'd you I believe you have imparted to
yourselves, and now would impart the same secretly to me,
From the living and the dead you have peopled your impassive
surfaces, and the spirits thereof would be evident and amicable
with me.

4
The earth expanding right hand and left hand,
The picture alive, every part in its best light,
The music falling in where it is wanted, and stopping where it is
not wanted,
The cheerful voice of the public road, the gay fresh sentiment of
the road.

O highway I travel, do you say to me Do not leave me?
Do you say Venture not-if you leave me you are lost?
Do you say I am already prepared, I am well-beaten and undenied,
adhere to me?

O public road, I say back I am not afraid to leave you, yet I love
you,
You express me better than I can express myself,
You shall be more to me than my poem.

I think heroic deeds were all conceiv'd in the open air, and all
free poems also,
I think I could stop here myself and do miracles,
I think whatever I shall meet on the road I shall like, and whoever
beholds me shall like me,
I think whoever I see must be happy.

5
From this hour I ordain myself loos'd of limits and imaginary lines,
Going where I list, my own master total and absolute,
Listening to others, considering well what they say,
Pausing, searching, receiving, contemplating,
Gently, but with undeniable will, divesting myself of the holds that
would hold me.

I inhale great draughts of space,
The east and the west are mine, and the north and the south are
mine.

I am larger, better than I thought,
I did not know I held so much goodness.

All seems beautiful to me,
can repeat over to men and women You have done such good to me
I would do the same to you,
I will recruit for myself and you as I go,
I will scatter myself among men and women as I go,
I will toss a new gladness and roughness among them,
Whoever denies me it shall not trouble me,
Whoever accepts me he or she shall be blessed and shall bless me.

6
Now if a thousand perfect men were to appear it would not amaze me,
Now if a thousand beautiful forms of women appear'd it would not
astonish me.

Now I see the secret of the making of the best persons,
It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.

Here a great personal deed has room,
(Such a deed seizes upon the hearts of the whole race of men,
Its effusion of strength and will overwhelms law and mocks all
authority and all argument against it.)

Here is the test of wisdom,
Wisdom is not finally tested in schools,
Wisdom cannot be pass'd from one having it to another not having it,
Wisdom is of the soul, is not susceptible of proof, is its own
proof,
Applies to all stages and objects and qualities and is content,
Is the certainty of the reality and immortality of things, and the
excellence of things;
Something there is in the float of the sight of things that provokes
it out of the soul.

Now I re-examine philosophies and religions,
They may prove well in lecture-rooms, yet not prove at all under the
spacious clouds and along the landscape and flowing currents.

Here is realization,
Here is a man tallied-he realizes here what he has in him,
The past, the future, majesty, love-if they are vacant of you, you
are vacant of them.

Only the kernel of every object nourishes;
Where is he who tears off the husks for you and me?
Where is he that undoes stratagems and envelopes for you and me?

Here is adhesiveness, it is not previously fashion'd, it is apropos;
Do you know what it is as you pass to be loved by strangers?
Do you know the talk of those turning eye-balls?

7
Here is the efflux of the soul,
The efflux of the soul comes from within through embower'd gates,
ever provoking questions,
These yearnings why are they? these thoughts in the darkness why are
they?
Why are there men and women that while they are nigh me the sunlight
expands my blood?
Why when they leave me do my pennants of joy sink flat and lank?
Why are there trees I never walk under but large and melodious
thoughts descend upon me?
(I think they hang there winter and summer on those trees and always
drop fruit as I pass;)
What is it I interchange so suddenly with strangers?
What with some driver as I ride on the seat by his side?
What with some fisherman drawing his seine by the shore as I walk by
and pause?
What gives me to be free to a woman's and man's good-will? what
gives them to be free to mine?

8
The efflux of the soul is happiness, here is happiness,
I think it pervades the open air, waiting at all times,
Now it flows unto us, we are rightly charged.

Here rises the fluid and attaching character,
The fluid and attaching character is the freshness and sweetness of
man and woman,
(The herbs of the morning sprout no fresher and sweeter every day
out of the roots of themselves, than it sprouts fresh and sweet
continually out of itself.)

Toward the fluid and attaching character exudes the sweat of the
love of young and old,
From it falls distill'd the charm that mocks beauty and attainments,
Toward it heaves the shuddering longing ache of contact.

9
Allons! whoever you are come travel with me!
Traveling with me you find what never tires.

The earth never tires,
The earth is rude, silent, incomprehensible at first, Nature is rude
and incomprehensible at first,
Be not discouraged, keep on, there are divine things well envelop'd,
I swear to you there are divine things more beautiful than words can
tell.

Allons! we must not stop here,
However sweet these laid-up stores, however convenient this dwelling
we cannot remain here,
However shelter'd this port and however calm these waters we must
not anchor here,
However welcome the hospitality that surrounds us we are permitted
to receive it but a little while.

10
Allons! the inducements shall be greater,
We will sail pathless and wild seas,
We will go where winds blow, waves dash, and the Yankee clipper
speeds by under full sail.

Allons! with power, liberty, the earth, the elements,
Health, defiance, gayety, self-esteem, curiosity;
Allons! from all formules!
From your formules, O bat-eyed and materialistic priests.

The stale cadaver blocks up the passage-the burial waits no longer.

Allons! yet take warning!
He traveling with me needs the best blood, thews, endurance,
None may come to the trial till he or she bring courage and health,
Come not here if you have already spent the best of yourself,
Only those may come who come in sweet and determin'd bodies,
No diseas'd person, no rum-drinker or venereal taint is permitted
here.

(I and mine do not convince by arguments, similes, rhymes,
We convince by our presence.)

11
Listen! I will be honest with you,
I do not offer the old smooth prizes, but offer rough new prizes,
These are the days that must happen to you:
You shall not heap up what is call'd riches,
You shall scatter with lavish hand all that you earn or achieve,
You but arrive at the city to which you were destin'd, you hardly
settle yourself to satisfaction before you are call'd by an
irresistible call to depart,
You shall be treated to the ironical smiles and mockings of those
who remain behind you,
What beckonings of love you receive you shall only answer with
passionate kisses of parting,
You shall not allow the hold of those who spread their reach'd hands
toward you.

12
Allons! after the great Companions, and to belong to them!
They too are on the road - they are the swift and majestic men - they
are the greatest women,
Enjoyers of calms of seas and storms of seas,
Sailors of many a ship, walkers of many a mile of land,
Habitues of many distant countries, habitues of far-distant
dwellings,
Trusters of men and women, observers of cities, solitary toilers,
Pausers and contemplators of tufts, blossoms, shells of the shore,
Dancers at wedding-dances, kissers of brides, tender helpers of
children, bearers of children,
Soldiers of revolts, standers by gaping graves, lowerers-down of
coffins,
Journeyers over consecutive seasons, over the years, the curious
years each emerging from that which preceded it,
Journeyers as with companions, namely their own diverse phases,
Forth-steppers from the latent unrealized baby-days,
Journeyers gayly with their own youth, journeyers with their bearded
and well-grain'd manhood,
Journeyers with their womanhood, ample, unsurpass'd, content,
Journeyers with their own sublime old age of manhood or womanhood,
Old age, calm, expanded, broad with the haughty breadth of the
universe,
Old age, flowing free with the delicious near-by freedom of death.

13
Allons! to that which is endless as it was beginningless,
To undergo much, tramps of days, rests of nights,
To merge all in the travel they tend to, and the days and nights
they tend to,
Again to merge them in the start of superior journeys,
To see nothing anywhere but what you may reach it and pass it,
To conceive no time, however distant, but what you may reach it and
pass it,
To look up or down no road but it stretches and waits for you,
however long but it stretches and waits for you,
To see no being, not God's or any, but you also go thither,
To see no possession but you may possess it, enjoying all without
labor or purchase, abstracting the feast yet not abstracting one
particle of it,
To take the best of the farmer's farm and the rich man's elegant
villa, and the chaste blessings of the well-married couple, and
the fruits of orchards and flowers of gardens,
To take to your use out of the compact cities as you pass through,
To carry buildings and streets with you afterward wherever you go,
To gather the minds of men out of their brains as you encounter
them, to gather the love out of their hearts,
To take your lovers on the road with you, for all that you leave
them behind you,
To know the universe itself as a road, as many roads, as roads for
traveling souls.

All parts away for the progress of souls,
All religion, all solid things, arts, governments-all that was or is
apparent upon this globe or any globe, falls into niches and
corners before the procession of souls along the grand roads
of the universe.

Of the progress of the souls of men and women along the grand roads
of the universe, all other progress is the needed emblem and
sustenance.

Forever alive, forever forward,
Stately, solemn, sad, withdrawn, baffled, mad, turbulent, feeble,
dissatisfied,
Desperate, proud, fond, sick, accepted by men, rejected by men,
They go! they go! I know that they go, but I know not where they go,
But I know that they go toward the best - toward something great.

Whoever you are, come forth! or man or woman come forth!
You must not stay sleeping and dallying there in the house, though
you built it, or though it has been built for you.

Out of the dark confinement! out from behind the screen!
It is useless to protest, I know all and expose it.

Behold through you as bad as the rest,
Through the laughter, dancing, dining, supping, of people,
Inside of dresses and ornaments, inside of those wash'd and trimm'd
faces,
Behold a secret silent loathing and despair.

No husband, no wife, no friend, trusted to hear the confession,
Another self, a duplicate of every one, skulking and hiding it goes,
Formless and wordless through the streets of the cities, polite and
bland in the parlors,
In the cars of railroads, in steamboats, in the public assembly,
Home to the houses of men and women, at the table, in the bedroom,
everywhere,
Smartly attired, countenance smiling, form upright, death under the
breast-bones, hell under the skull-bones,
Under the broadcloth and gloves, under the ribbons and artificial
flowers,
Keeping fair with the customs, speaking not a syllable of itself,
Speaking of any thing else but never of itself.

14
Allons! through struggles and wars!
The goal that was named cannot be countermanded.

Have the past struggles succeeded?
What has succeeded? yourself? your nation? Nature?
Now understand me well - it is provided in the essence of things that
from any fruition of success, no matter what, shall come forth
something to make a greater struggle necessary.

My call is the call of battle, I nourish active rebellion,
He going with me must go well arm'd,
He going with me goes often with spare diet, poverty, angry enemies,
desertions.

15
Allons! the road is before us!
It is safe - I have tried it - my own feet have tried it well - be not
detain'd!
Let the paper remain on the desk unwritten, and the book on the
shelf unopen'd!
Let the tools remain in the workshop! let the money remain unearn'd!
Let the school stand! mind not the cry of the teacher!
Let the preacher preach in his pulpit! let the lawyer plead in the
court, and the judge expound the law.

Camerado, I give you my hand!
I give you my love more precious than money,
I give you myself before preaching or law;
Will you give me yourselp. will you come travel with me?
Shall we stick by each other as long as we live?




Walt Whitman

Selasa, 07 Desember 2010

Konklusi

Mari berbisnis,
buka lapakmu dengan setia
dari kaki tanah sampai ke ubun-ubun langit
dan tolehkan kepalamu di muka toko
bernas padimu mulai berbumbung
tak perlu serau, kan? - untuk melihat jauhnya radius padimu

ah bagaimana aku bercanda
memang dulu kau berjualan emas
bahkan gaun istrimu dari emas
dan di dompetmu melautlah uang
bukankah horizon selalu menciptakan keajaiban tak terduga

hiperbola aku?
kau katakan ini eulogi?
dari emas menjadi pendulang padi?

ah, mari berbisnis!




Jakarta, 7 Desember 2010 | 9.06
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 27 November 2010

Satu Sudut, Tiga Pandang

pandang pertama...

semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. genggaman telepon, jemari yang menari di catatan digital, diskusi dengan kawannya, dan hanya duduk diam sembari mengetuk meja dengan jemari. ada kebutuhan dan kesibukan orang-orang dari sini. tak ada yang saling peduli, hendak apa di sebelahnya. juga aku, mungkin aku tak peduli dengan apa yang orang di sebelahku melakukan apa. meski aku tahu mereka sedang sibuk dengan makalahnya dan aku sibuk merawi catatan ini.

ya, aku tahu, aku sedang sibuk menunggu sebenarnya.

pandang kedua...

meski tak saling peduli, tapi semua orang di tempat ini saling memperhatikan apa yang terjadi. mereka melirik, mendelik, atau menontoni aktivitas sesama yang duduk di tempat ini. kemudian mereka kembali sibuk dengan aktivitasnya yang tadi sembari menunggu. ah, semua orang di sini pasti menunggu - pikirku. sebagaimana juga aku menunggu. mungkin yang ditunggu adalah hal yang berbeda.

ya aku tahu, aku sedang sibuk menunggu sebenarnya.

pandang ketiga...

orang yang kutunggu tak jua datang. hubungan komunikasi masih lewat jaringan seluler. ah, kamu takut sendirian? - sindir nurani. aku hanya tertawa kecil, meledeknya saja. toh aku juga tak peduli kapan yang kutunggu itu datang. semua orang di sini menunggu, bukan? hanya kami sibuk menunggu siapa dan siapa.

ya aku tahu, aku sedang sibuk menunggu sebenarnya.

menunggu waktu agar menjadi malam.

dan catatan ini menjadi tiga pandang dari satu sudut, di mana aku duduk di sini.

starbucks cp, 27 November 2010 | 12.40
A.A. - menanti gerombolan siberat :-)

Jumat, 26 November 2010

Aku Hanya Ingin Menjadi Peluru

aku hanya ingin menjadi pembunuh

itu saja

mungkin granat yang kulemparkan

hanya membuat dosa hitam di depan lapangan tembak

dan kau hangus di dalamnya

mungkin pula pisau yang kutusukkan

hanya membuat kau geli meski ususmu berjejal di jalan

dan kau dilihat jijik orang

mungkin pula gas air mata yang kusemprotkan

hanya membuat kau puas bersedu sedan

dan kau ditertawakan anak kecil

mungkin pula racun yang kutaburkan

hanya membuatmu menikmati makanan yang kusajikan

dan kau belum pulalah mati

aku hanya ingin menjadi pembunuh

itu saja

aku hanya ingin menjadi peluru

hanya ingin menjadi peluru

ingin menjadi peluru

menjadi peluru

peluru

peluru yang dapat membuatmu merasakan nyaman

peluru yang dapat mengurangi rasa sakit

peluru yang dapat merenggut nyawamu pelan

aku hanya ingin menjadi peluru

hari ini

yang bersarang mesra di dadamu

yang melubangi hatimu

aku hanya ingin menjadi peluru

hanya ingin menjadi peluru

ingin menjadi peluru

menjadi peluru

peluru

peluru

pelu... ru. Uh!

Jakarta, 14 November 2010 | 6.24
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 19 November 2010

Melawat Pagi

partitur di telapak jalan
musim membawa daun menjadi gugur
aku cuma ingin mendambamu lewat lawat pagi
meski lewat topi yang kau letakkan
di terban selasar ilusi yang tak lagi kejur

segala asa yang dibangun
hanya bisa kau diktekan kepada anakmu
bagaimana seorang bertongkat
berani untuk mencintaimu
mengabaikan satir yang mencambuknya
dan cinta itu terlalu obsolet...
obsolet sekali.






Jakarta, 19 November 2010 | 20.20
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 14 November 2010

Batas Angan dan Cita-cita

Mari kita berbicara!

Apa yang menjadi batas antara angan dan cita-cita hari ini, kemarin, esok, lusa, atau kapan pun itu semua?

Terlalu subyektif untuk mencari parameternya karena tentulah setiap orang memiliki persepsinya masing-masing.

Lalu apa yang menjadi satu landasan untuk mengatakan bahwa inilah cita-cita yang pernah kita cita-citakan?

Kemudian, bagaimana kita mewujudkannya? Apakah sekadar pemanis hidup atau memang sebagai angan yang terbang bebas dan berpindah-pindah seperti elektron?

Mari kita berbicara!



Jakarta, 14 November 2010 | 7.03
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 07 November 2010

Kepergian Seorang Penyair


tak lagi kudengarkan asamu, hai penyair
tak juga berhembus asap dari mulutmu
melepas hari demi hari dengan aksara
lanyau di mejamu hanyut diombang waktu

jingga langit mengantar memendam jasadmu
meski puisi masih bergayung di mesin percetakan
kobar namamu tak dipadamkan badai

apa? kamu masih ingin menulis
yang benar saja dirimu itu, hai penyair
apa Tuhan menyediakan kertas dan pena?
atau mesin tik yang terbaru?
atau pula komputer yang mengerti isi otakmu?

hatif dari rantai bergema mencambuk huruf yang nakal
enggan untuk diam, aku tahu itu ulahmu, hai penyair
mengapa kau masih enggan untuk menerima mati
jasadmu sudah disadap tanah, bung penyair

ha? kau mengatakan aku hanya suka bercerabih?
hai penyair, sampai kapan kau menolak mati?
sudahlah, kau sudah mati, penyair!


tapi, kamu masih berpuisi di surga 'kan?





Jakarta, 7 November 2010 | 12.43
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 04 November 2010

Cerita Tentang Kehilangan

Jakarta, 4 November 2010

Tak lagi dapat kupungkiri bahwa aku memang kehilanganmu. Kehilanganmu memang seperti kehilangan matahari di mana aku tak menemukan cahaya yang dapat melepaskan kegulitaan daripadaku. Meski semua hari berlari begitu cepat, melepaskanmu untuk pergi berlalu meninggalkanku seperti angin. Ia berhembus datang, bermain-main sedetik, kemudian pergi lagi. Walau sekuat apapun kita melawan, toh pada akhirnya kita juga harus menerima.

Bahwa kita tak akan pernah menemukan perjumpaan tanpa adanya perpisahan, seperti juga kelahiran tanpa adanya kematian. Jugalah seperti kata orang Jepang bahwa semua harus seimbang seperti Yin dan Yang. Mau sepeti apa kita melawan, toh kita juga akan kembali mengikuti arus. Percaya atau tidak, buktikan saja.

Malam ini aku kehilanganmu. Betapa jujurnya aku bukan? Ini bukan hal yang mudah untuk diterima tetapi mudah untuk kau mengerti bagaimana aku mendapatkan bahagia selama ini.

Mungkin hari ini aku bahagia, tapi semu. Tapi apakah aku menyadarinya? Aku tak tahu juga. Aku sendiri masih larut dalam kehilanganmu, di mana letak kebahagiaanku tertambat dalam jatimu.




20.44
A.A.- dalam sebuah inisial

Minggu, 31 Oktober 2010

Ada Luka dari Barat ke Timur



: kepada kamu

tak ada yang abadi daripada ketidakabadian itu
kamu pun juga tahu tentang semua itu
tak seorang pun ingin dileraikan dengan air mata
kamu pun juga tahu tentang semua itu

handuk yang basah, memerah tertumpah darahmu
aku pun juga tahu tentang kepala yang berdarah
tertunduk perih, pedih, meski tak tahu bagaimana harus mengerang
aku tak dapat menjamah hati yang terkoyak darimu

apa kamu tahu, kamu tak pernah merasa sendiri
bukankah dunia memang selalu berputar tanpa kita sadari
ketika itu juga nasib kita ikut berputar juga tanpa kita sadari
atau ini hanya sebuah pertanda hari prakiamat

aku tak tahu, mungkin juga Tuhan meragukan

ayam yang mengerami telurnya berlari cepat
telur itu tak menetas, ia terhanyutkan air bah
ayam itu pun juga tak tahu kabarnya kini seperti apa
apakah ia memperoleh keberuntungannya

ibu yang lalai meninggalkan anaknya begitu saja
rumah sudah terendam, bayi masih di dalam rumah
terlalu kecil untuk tahu bagaimana melompati tempat tidur
tak ada asa untuk kehidupan kedua, semua tahu itu

erupsi yang semakin membahana
abu berkeliaran sebebas-bebasnya
merapi bergetar, tak seorang pendaki berani berdiam di puncaknya
meski kamu berani membayarnya bergalon-galon emas

mungkin kamu
cuma kamu yang berani untuk tetap pergi
menarik ia yang bersujud terakhir kali
membawanya lekas turun untuk ke mana yang lain

mungkin kamu
cuma kamu yang berani untuk tetap bergerak sebagai pejuang
yang memiliki nurani dan cinta
untuk menyelamatkan, memberikan rasa aman

mungkin kamu
cuma kamu yang berani untuk tetap membayar murahnya nyawamu
untuk mereka, ia bukan saudaramu atau temanmu
ia bukan siapa-siapamu

pejuang, selamat jalan...
meski kamu telah pergi
kamu tetap sebagai kenangan banyak orang
pahlawan memang selalu kesiangan
jika ia tak terlambat, ia tak bisa menjadi pahlawan


selamat bertemu di dunia baru kelak!



Teruntuk seorang wartawan dan seorang relawan yang pergi, dan untuk seorang yang setia akan tugas sampai akhir hayat.


Jakarta, 31 Oktober 2010 | 20.18
A.A. - dalam sebuah eulogi

Selasa, 26 Oktober 2010

Everybody Hurts

When your day is long
And the night
The night is yours alone
When you're sure you've had enough of this life
Well hang on

Don't let yourself go
Cause everybody cries
And everybody hurts
Sometimes

Sometimes everything is wrong
Now it's time to sing along
(When your day is night alone)
Hold on, hold on
(If you feel like letting go)
Hold on
If you think you've had too much of this life
Well hang on

Cause everybody hurts
Take comfort in your friends
Everybody hurts

Don't throw your hand
Oh, no
Don't throw your hand
When you feel like you're alone
No, no, no, you're not alone

If you're on your own
In this life
The days and nights are long
When you think you've had too much
Of this life
To hang on

Well, everybody hurts
Sometimes, everybody cries
And everybody hurts
Sometimes

And everybody hurts
Sometimes

So, hold on, hold on
Hold on, hold on
Hold on, hold on
Hold on, hold on
(Everybody hurts
You are not alone)





Everybody Hurts - The Corrs

Di Kotamu, Aku Singgah Entah Ke Mana Hendak Pergi




cuma seperti itu, aku datang ke kotamu
sekadar ucapan salam
dan selamat tinggal
karena aku hendak pergi berkelana
dalam pedih dan luka yang menyayat.


Untuk Mentawai, Jakarta, Jogjakarta.... Masih ada air mata di sana?


Jakarta, 26 Oktober 2010 | 21.00
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 24 Oktober 2010

Yang Memang Tak Pernah Tertambatkan

sepi berlari
berputar di bawah kenangan yang suram
tak pernah ada lagi diorama yang bisa dikenang
meski hari telah berganti ribuan kali
harapan yang tumpah dalam kanvas terlihat pedih
walau memang sejarah tidak bisa mengungkap
bagaimana lara berbagi di dalam cerita indahnya

topan di kepalamu

katamu kepadaku sebelum kita bercerai
memecahkan ceria di antara kita
ah, betapa hipokritnya diriku ini
tak jua kusadari waktu mendiktekan banyaknya ia dibuang
hanya untuk mengharapkan sesuatu yang tak akan kembali
tak akan

meski caramu yang sadis itu mendentumkan aku

aku tetap berdiri
tapi aku goyah
tak lagi kau melihatku berjingkat-jingkat
yang ada lagu yang menggambarkan betapa sampah itu semua

kutulis apologi, apologi kepada diriku

dan pahitnya itu kupendam semu



Jakarta, 24 Oktober 2010 | 9.20
A.A.- dalam sebuah inisial

Minggu, 17 Oktober 2010

Kau, Aku

Kau
Kau
Kau
Kau
Ka
Kaa
Kaaau
Kaaaau
Kaaaaaau
Akkkkkku
Akkkku
Akkku
Akk
Ak
Aku
Aku
Aku
Aku

Aku?

Jakarta, 17 Oktober 2010 | 18.02
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 03 Oktober 2010

Membahagiakan dari Eulogi

Kemarin lusa, saya mendapatkan kabar bahwa ayah teman kecil saya sudah pergi. Saya cukup dekat dengan anak-anaknya. Tiap kali bermain dengan anaknya ketika kecil, saya sering menyapa beliau. Ada saja hal-hal kecil yang kami obrolkan secara singkat. Tentang diri saya dan tentang anak-anaknya.

Ketika saya berpindah rumah, frekuensi saya bermain dengan anak-anaknya juga berkurang. Saya yang dalam proses bertumbuh dewasa lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan saya yang baru, beradaptasi dengan keadaan sekitar. Tetapi saya tidak langsung meninggalkan teman-teman kecil saya. Saya masih sering mampir ke rumahnya.

Ibu teman sepermainan saya itu seorang penjual makanan. Saya sering membelinya. Kadang saya memesan nasi kuning buatannya. Sejak kanak-kanak saya sering menikmati nasi kuningnya pada saat istirahat di jam sekolah. Ya, saya membawanya pergi ke sekolah. Saya memang sering membuat iri teman-teman saya. Mereka yang sering membeli makanan di sekolah yang itu-itu saja, saya bisa membawa makanan yang saya suka. Pernah suatu ketika, saya memesan nasi goreng buatannya, habis diminta teman-teman saya.

Saya yang bertumbuh dewasa menemukan tubuh yang semakin menua itu beranjak sakit. Saya tahu paman itu sudah sakit sejak lama. Saya berdiri di muka halamannya untuk membayar pesanan makanan yang saya makan siang tadi.

"Om..." sapa saya.
"Eh, kamu! Masuk!" balasnya.

Saya masuk ke dalam rumahnya. Tersenyum kecil. Beliau membalasnya juga dengan senyum kecil. Saya tahu perjuangannya melawan rasa sakitnya itu. Tetapi saya tak pernah ingin mengatakan kabarnya, saya tak mau beliau merasakan sesuatu dari pertanyaan saya.

Lagi dan lagi, saya terlibat diskusi kecil dengannya. Seperti pada masa sebelum saya berpindah. Yang membuat saya tersenyuh adalah: "om cuma ingin melihat anak-anak menikah sebelum om meninggal." Saya mendesahkan nafas. Tak sanggup berkata apapun dari perkataan itu.

Lama tak bertemu dengannya, tak berbincang dengan anak-anaknya pula, kemarin saya mendapatkan kabar bahwa beliau sudah berpulang. Terlalu cepat, ya, terlalu cepat. Impiannya untuk melihat anak-anaknya bahagia tidaklah tercapai. Lagi, saya mendesahkan nafas.

Kabar itu membuat saya berpikir: pernahkah saya membahagiakan orangtua saya?

Orang tua saya tak pernah membicarakan apa yang membuat mereka bahagia, apa yang harus saya berikan kepada mereka agar mereka dapat berbahagia. Mungkin saya harus menebak-nebaknya sendiri. Saya berada di dalam sebuah permainan yang saya tak tahu pasti jawaban sebenarnya apa.

Ketika saya lulus sekolah, saya dinyatakan naik kelas, saya mendapatkan kemenangan, saya terpilih menjadi orang-orang pilihan, atau apapun, saya tidak tahu apakah mereka bahagia dengan pemberian saya itu. Saya tak yakin mereka cukup bahagia dengan hal itu.

Sebenarnya ada sesuatu yang ingin saya katakan kepada mereka bahwa saya ingin membahagiakan mereka, itulah cita-cita saya. Saya rela mengorbankan apapun demi sebuah kebahagiaan yang lahir untuk mereka. Saya menyayangi mereka, simpel dan mudah bukan?

Namun membuat kebahagiaan bukanlah turun dari langit, ia harus diperjuangkan. Begitu kata Pram. Saya selalu berusaha membuat kebahagiaan itu lahir, meski kecil. Saya memperjuangkan kebahagiaan.

"Apakah kalian bahagia?"

Itu pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada mereka.

"Apakah kalian bahagia memiliki saya?"

Itu pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada mereka.

"I love you more than you know, more than you feel..."

Itu pernyataan yang ingin saya katakan kepada mereka.

Tapi saya tak pernah sanggup, tak pernah ada nyali untuk mengatakan kepada mereka semua hal tentang cinta, semua hal tentang bahagia. Sebelum kematian yang menjadi lubang besar pemisah, ingin saya ungkapkan semua itu. Tapi...

"Apakah saya pernah membahagiakan mereka?"

Itu pertanyaannya kini.



Jakarta, 3 Oktober 2010 | 12.12
A.A. - Pejuang Kebahagiaan

Selasa, 28 September 2010

Katamu yang Meluluh

Katamu sewaktu di bukit:
cakrawala sederhana mengitari waktu
lalu ia menciptakan kehidupan yang fana
dan dari segala kefanaan itulah
esensi nyata sebagai manusia terlihat

Katamu sewaktu di pantai:
cantiknya dunia bukan karena terpoles
bukan karena kau bedakkan wajahnya
atau kau kenakan lipstik pada bibirnya yang kering basah
seperti air mukamu yang memelas pelita
meski lesu berlari bagai ombak di tubuhmu

Katamu sewaktu di jalan:
meski kutahu awal dunia adalah kegelapan
pelita tetap ada walau hanya terang petromak
poster yang ada di kerak bumi menjadi jelas
atau kursi lapuk yang hampir kududuki
atau kupilih jatuh di depan warung gentana itu
rikuhku dimakan angin, berlalu dia ke utara

Katamu sewaktu di kereta:
Tuhan narsis! Dia hadir dalam wujud kilat
aku tertawa saja kala itu, hujan memecah kaca
tidak meretakkan jendela, tidak menembuskan angin
bergeminglah suara mereka menuju pulang
aku di mana? tanyaku. jawabmu: suatu ziarah
Tuhan di mana? tanyaku -lagi. Jawabmu: terselip di jejak sepatumu

Katamu sewaktu di rumah:
siluet aku dan kamu berbekas di lantai
bercermin seperti malaikat yang melayang
kita mabuk, tanpa anggur ataupun segelas bir
tak juga kita teguk berbutir-butir ala pecandu
tetapi di dalam pelarian nyata
aku, kamu, kita
kamu, aku, kita
kita, aku, kamu
kita, kamu, aku
kita tetap insan yang sama

meski hari telah berbeda, musim sudah pergi berganti-ganti


Jakarta, 28 September 2010 | 19.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 19 September 2010

Temani Cahaya

Seperti lorong yang menyepi, menikmati rasa sepinya

Embusan karang yang terseret ombak di tepi dermaga

Aku tetap memaku diri untuk tetap diam berdiri

Mencari pelepas dahaga di tepi telaga

Aku pergi berlari mencari tempat menggantung

Agar cahaya dapat celos dari lorong sepi itu

Mahkamah Tuhan yang tahu rasanya kesepian

Dan pelita menjadi sobat dari jalan merantau

Semoga ia menjadi obat penawar rasa sakit

Daripada kau memutuskan untuk mengkafani aku

Atau biarkan sajak-sajakku tertabur dalam kertas

Dan menyatu menjadi tulang belulang di tanah

Saat aku kembali pulang




Jakarta, 19 September 2010 | 02.31
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 18 September 2010

Seperti yang Kita Kehendaki

kadang
matahari tak bersinar dari ufuk timur
pantai tak lagi berlarikan ombak
yang menanti nyiur untuk kembali bergoyang

kadang
kita berlari
kita berjalan
kita terjatuh
kita terbangun

kadang
perjalanan indah
perjalanan sedih
perjalanan gembira
perjalanan yang merupakan esensi sendiri

dan, apa yang kita kehendaki dari hidup ini?
itu pertanyaan yang tak tahu
kapan terjawab





Jakarta, 18 September 2010 | 13.31
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 12 September 2010

Erma Louise Bombeck - Seandainya Aku Masih Punya Kesempatan untuk Menjalani Kehidupan

Seandainya aku masih punya kesempatan untuk menjalani kehidupan...
Aku akan mengurangi berbicara dan mendengarkan lebih banyak.
Aku akan mengundang teman-teman untuk makan malam di rumah sekalipun karpetku akan ternoda dan sofaku jadi rusak.
Aku akan menikmati makan popcorn di ruang tamu dan mengurangi kekuatiran tentang debu-debu karena seseorang menyalakan perapian.
Aku akan mendengarkan ocehan-ocehan kakekku tentang masa mudanya.
Aku tidak akan ngotot menutup kaca jendela mobilku di musim panas karena rambutku yang sudah tertata rapi dan dispray.
Aku akan menyalakan lilin merah jambu itu sebelum ia rusak di gudang.
Aku akan duduk di halaman rumput dengan anak-anakku tanpa kuatir rumput yang kotor.
Aku akan menangis dan mengurangi tertawa ketika menonton TV dan lebih lagi ketika melihat kehidupan ini.
Aku akan mengambil sebagian beban yang dipikul suamiku.
Aku akan beristirahat di ranjang ketika sakit dan bukannya ngotot berpikiran bahwa dunia akan meninggalkanku jika aku tidak bekerja hari itu.
Aku tidak akan pernah membelu barang hanya karena barang itu dikatakan praktis atau karena digaransi seumur hidup.
Aku tidak ingin menolak untuk hamil selama 9 bulan, tetapi sebaliknya menghargai setiap detik dan menyadari bahwa keajaiban yang tumbuh di dalam rahimku adalah bagian dari keikutsertaanku di dalam menunjukkan keajaiban Tuhan.
Jika anakku menciumku dengan tiba-tiba, aku tidak akan pernah berkata, "Nanti saja ciumannya. Sekarang pergi mandi dan kita akan makan malam."
Aku akan lebih banyak mengucapkan "Aku mengasihimu" da lebih banyak mengucapkan "Maafkan aku".
Tetapi yang terpenting, aku akan meraih setiap menit... memandangnya... betul-betul melihatnya... menghidupinya... dan tidak akan menyia-nyiakannya.





Erma Louise Bombeck - Penulis, Kolumnis, dan Humoris Amerika

Kamis, 09 September 2010

Kadang

Kadang mulut hanya asal berbicara
Kadang tangan hanya asal bergoyang
Kadang kaki hanya asal melayang
Kadang mata hanya asal melihat
Kadang telinga hanya asal mendengar
Kadang hati hanya asal menerjemahkan
Kadang otak hanya asal berpikir

Kadang berbicara membentuk suatu kesalahan
Kadang bergoyang membentuk suatu luka
Kadang melayang membentuk suatu jeritan
Kadang melihat membentuk suatu dosa
Kadang mendengar membentuk suatu ketidakabsahan
Kadang menerjemahkan membentuk suatu pedih
Kadang berpikir membentuk suatu celah kotor

Kadang kesalahan tidak bisa dimaafkan
Kadang luka tidak dapat diobati
Kadang jeritan tidak dapat diredupkan
Kadang dosa tidak dapat disadari
Kadang ketidakabsahan tidak bisa menyatukan
Kadang pedih tidak dapat hilang
Kadang celah kotor lebih mendominasi kehidupan

Untuk kesalahan, luka, dan jeritan
Walau tak dapat dimaafkan, setidaknya memberi pelita mengampuni
Jika hanya sekecil biji sesawi ampunan itu

Untuk dosa, ketidakabsahan, dan pedih
Walau tak dapat diampuni, setidaknya memberi pelepas dahaga rindu
Jika semua itu bisa menjadi khilaf

Untuk celah kotor
Semoga tidak terjadi lagi dan kita bisa menjadi bersih seutuhnya
Sambil menutup wadah penghitungan dosa sepanjang bulan



9 September 2010 | 8.29
A.A. - dalam sebuah inisial



PS: Selamat Idul Fitri, maaf untuk semua yang patut dinyatakan maaf...

Rabu, 08 September 2010

Musim Dingin yang Kaku

Di suatu musim,
akan kukenang lagi wajahmu
eh... langit tak lagi merah
sedang beku, kata dirimu 'kan?

Ada mereka yang tertatih berjalan
melawan dinginnya si dingin
padahal hanya sejengkal saja
mungkin Tuhan salah mengutuk

Musim ini musim dingin
mungkin saljupun sudah menjadi es batu
dan aku kaku, kaku di haribaan jalan ini.



8 September 2010 | 22.56
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 14 Agustus 2010

Menyetubuhi Aksara

Hari ini, aku hanya ingin duduk di depanmu, layar
biarkan aku menyetubuhi setiap aksara yang ada di tubuhmu
bebaskan aku dari derita karena aku tak bercerita
dan bawalah aku kepada mati untuk mencintai setiap kata
lepaskan aku dari belenggu akan sunyi karena tak menulis

Hari ini, aku hanya ingin diam di hadapan wajahmu
biarkan aku menelanjangi setiap huruf dengan jemariku
bebaskan aku memperkosa tubuh kata dengan puisi
karena aku hanya bisa melampiaskan rasa sunyi dengan menulis
dan hanya kematian yang dapat memisahkan aku

hanya kematian, yang dapat memisahkan aku darimu, aksara







Jakarta, 14 Agustus 2010 | 11.08
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 12 Agustus 2010

Kreatif

Hampir dua minggu saya tidak menulis di blog maupun cerpen ataupun puisi. Semua seolah-olah tidak bernyali lagi untuk saya menulis. Kadang ide menari-nari di otak tetapi tidak diikuti dengan tangan dan tubuh yang protes: aku butuh istirahat.

Sesampai diskusi sederhana dengan seorang teman di sebuah kedai di dekat terminal, saya tertawa tetapi merenungi perkataannya: "gue sirik dengan mereka yang kreatif."

Dan perlahan... kata-kata itu menampar saya sendiri.

Hari ini, saya sedang dilanda cemburu. Cemburu karena mereka kreatif dan saya tidak.




Jakarta, 12 Agustus 2010 | 20.39
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 31 Juli 2010

Pada

Pada suatu ketika
di aksara ini tak ada lagi engkau
tak kudengar lagi bisingmu
biar aku memeluk semua puisi
sampai getar waktu hari
dan musim yang tak berganti

Pada suatu ketika
di tempat ini yang mempertemukan sunyi
aku tidak lagi mempercayai sesuatu
kalau sesampai hari tak memberi salam
tidak menyajikan kenikmatan hari
dan suatu cinta yang mengasah percaya
aku akan beranjak pergi
berlari kepada angin
biar aku terbang dibawanya
dan menuju bumi lain




Jakarta, 31 Juli 2010 | 8.05
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 25 Juli 2010

Jazz


Kalau kau pernah dengar aku
kau pasti tahu apa itu jazz
bagaimana kau merasakan nuansanya
bagaimana ia mencipta seni dari nada
seperti apa kita bergetar dibuatnya

Dia mengimprovisasi nada dan aksara
walau kau tuli sekali pun
jazz tetap dapat kau rasakan
dia akan tetap hidup di hati
walau kelak aku dan kau sudah mati


Jakarta, 25 Juli 2010 | 18.00
A.A. - dalam intonasi nada

Jumat, 23 Juli 2010

Merobek Jejak


Di persimpangan jalan
kita bertemu
hanya untuk mengucapkan: selamat tinggal

Kemudian,
kita merobek jejak kita
dan kita saling berbalik punggung
menyombongkan diri



Jakarta, 23 Juli 2010 | 20.10
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 15 Juli 2010

Dan Hari-hari Tidaklah Lagi Sama



Dan mereka pergi begitu saja, tanpa kita ketahui
walau telah kita sadari tak akan ada yang abadi
termasuk ketidakabadian itu sendiri, perubahan dan kepastian
mereka akan terus berkembang dan berubah
bagaimana juga waktu menjalari suatu ziarah yang panjang
meskipun kita berusaha sejauh apa yang kita bisa
tak mungkin juga kita daki gunung tertinggi
dengan langkah yang terseok-seok
aku tidak butuh teman untuk tertawa
aku hanya butuh mereka sebagai tempatku bercerita
sebagai wadahku untuk menempati wahana kesepian
di mana bianglala berputar seorang diri
dan kuda-kuda mainan hanya peduli dengan kekosongan
mungkin aku sedang berada di sana
tanpa kusadari sepanjang waktu ini
kita tidak lagi bersama
kita terpisah oleh bentangan jarak yang mematri pada egois
kita menghancurkan jembatan antara kita
dan waktu tidaklah lagi sama seperti dahulu
warna-warna lampu kota tidak semeriah dahulu
mereka meredup, hendak mati sendiri
tetapi matahari menangis
dan bintang tersedu-sedu kala malam

Kini hari-hariku tidaklah lagi sama
tidak seperti kemarin
tidak seperti bulan lalu
tidak pula seperti tahun lalu
musim lalu
atau sebelum terbetuknya dunia
hari-hari ini berbeda
tapi apa yang berbeda?


Jakarta, 15 Juli 2010 | 17.23
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 11 Juli 2010

Bukan Sekadar Puji, Bukan Sekadar Cerca

"Siapapun yang melempar wacana ke masyarakat mesti bersedia menanggung risiko atas segala tanggapan, dipuja maupun dihujat - dan itulah ukuran kedewasaannya." - Seno Gumira Ajidarma



Suatu karya pasti pernah mengalami bagaimana manisnya dipuji, tetapi juga pernah merasakan bagaimana pahitnya dicerca. Dalam kondisi apa pun, adalah hal yang lumrah bagi kita untuk merasakan keduanya. Bukankah hidup manusia memang sudah dipasang-pasangkan dan memang harus berdampingan? Maka, di mana ada pujian yang membuat kita melayang,pasti akan ada cerca yang akan membuat kita jatuh.

Saya pernah juga mendapatkan cercaan dari teman-teman baik saya ketika awal pertama menuliskan satu cerpen. Seperti tanpa dosa mereka mengatakan di depan saya, "Aveline, goblok! Cerita apaan ini?" Saya yang mendengarnya hanya menghela nafas panjang. Saya tidak mungkin melawan apa yang dikatakannya itu. Toh saya memang seharusnya sadar diri bahwa memang saya bukan seorang penulis hebat, bukan seorang penulis yang produktif yang karyanya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa, bukan juga seorang yang bukunya sudah dicetak ulang berkali-kali.

Saya tidak pernah merasakan bahagianya melihat nama saya dan cerpen, puisi, esai, prosa, atau apapun tercantum di dalam media massa. Saya tidak pernah merasakan bahagianya menjadi seseorang yang melihat bukunya sendiri berdiri manis di toko buku. Saya belum pernah menulis apapun yang bisa dikonsumsi khalayak banyak selain di blog ini.

Bukan karena saya hanya menulis di blog, saya tidak pernah mendapatkan puji dan cerca. Saya pernah mengalaminya.

Tahun 2005, dua tahun setelah saya mencoba keberuntungan sebagai seorang cerpenis di suatu media massa dan lebih beruntungnya lagi ditolak sana-sini, saya mencoba menulis di blog. Awal-awal postingan masih menyenangkan. Saya mendapatkan banyak pujian tanpa kritikan satu pun. Saya masih tekun menulis saat itu karena waktu saya belum tersita banyak untuk berorganisasi.

Tiba-tiba, ada satu komentar yang tidak enak datang. "Tulisan apaan nih? Gue gak ngerti. Sok bagus, heran gue sama yang komentar jangan-jangan dia sendiri yang komentar." Saya gagap menghadapi komentar semacam itu. Diam sejenak saya di depan komputer, entah bagaimana saya harus menjawab komentar semacam itu. Saya bukan orang yang pandai dalam menjawab cercaan seperti itu.

"Terima kasih untuk komentarnya, saya akan belajar lebih baik lagi."

Seiring waktu saya belajar, bagaimana mengelola tulisan saya. Saya terus menulis dan menghiraukan semua pujian dan cercaan. Saya fokuskan diri saya dalam menulis kemudian saya kembalikan lagi kepada pembaca pada saat tulisan saya dibuka untuk umum. Saya membuka hati untuk mempersiapkan ketika saya harus dipuji agar saya tidak melayang dan saya harus dicerca agar saya tidak terperosok terlalu dalam.

Seorang kawan saya, Yulius Denny, dengan setianya menuliskan komentar yang "kurang ajar" menurutnya. Saya selalu meminta pendapatnya. "Tolong ditulis dengan kurang ajar yang paling kurang ajar." Dan benar saja, dia menuliskannya dengan cara yang paling kurang ajar versinya. Hasilnya? Salah satu cerpen saya berhasil menembus cerpen terfavorit setelah sekian lama nyangkut di tempat sampah redaksi.

Saya belajar bahwa bukan hanya sekadar dipuji ketika kita mendapatkan pujian. Pujian adalah motivasi di mata saya agar saya tetap bisa berkarya. Lain lagi dengan cercaan. Dari cercaan yang bertubi-tubi, yang banyak, yang semakin membangun, saya bisa menghasilkan kualitas yang semakin baik dan baik.

Kadang kita butuh pujian, juga butuh cercaan. Dan mereka memang sudah terpasang, bukan begitu?





Jakarta, 11 Juli 2010 | 12.17
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 02 Juli 2010

Boarding

Suatu keberangkatan yang meninggalkan kisah
Tentang perpisahan di mana tidak ada lagi saling tatap wajah
Mereka berbalik arah, menyombongkan punggung
Dan mereka pergi melepaskan sayapnya masing-masing

Boarding, I called it.
When we can't see again
Just say goodbye, never too be sad, but I can't

Kadang tak selamanya perjalanan selalu indah
Petualang tak akan puas jika perjalanan hanya menceritakan keindahan saja
Sesekali harus didongengi jerit perih yang ditaburkan bunga
Itulah rasanya ketika kita pergi, dan tidak lagi kembali

Boarding, I called it.
When today is the last meeting of us
Sorry, thank you, and goodbye.


Jakarta, July 2nd 2010 | 22.42
A.A. - In an initial

Selasa, 29 Juni 2010

Menuju Neverland

"So come with me, where dreams are born, and time is never planned. Just think of happy things, and your heart will fly on wings, forever, in Never Never Land!" - Peter Pan Quotes


Peter Pan berawal dari sebuah drama di mana skripnya ditulis oleh James M. Barrie. Peter Pan termasuk film sepanjang masa yang masih dikenal sampai saat ini. Peter Pan adalah sosok anak yang nakal yang dapat terbang dan bertualang bersama Wendy Darling dan sang peri Tinker Bell di dalam sebuah pulau yang bernama Neverland.

Neverland sendiri merupakan pulau yang penuh akan imajinasi anak-anak. Di sana tidak akan dikenal adanya proses mandiri dan yang ada di sana hanyalah kebahagiaan. Tak akan ada perang, dendam, saling benci ataupun iri hati, dan kejahatan yang menimbulkan rasa benci.

Neverland merupakan wahana di mana semua orang harus bergembira dan pasti merasakan kebahagiaan tiada tara. Tak akan ada kegelapan di sana karena matahari dan bulan selalu ada. Kita bebas mengekspresikan diri kita seperti yang kita mau. Mereka tidak akan pernah mengenal kata dewasa karena di sana tidak pernah terlahir kedewasaan. Mereka menikmati masa-masa berbahagia sebagai anak-anak dan tak peduli akan tanggung jawab yang akan semakin membebani mereka.

Sejujurnya, saya tak pernah puas dengan dunia Neverland yang pernah saya nikmati sampai kini. Saya memang tidak pernah ingin menjadi dewasa dan menjadi tua. Saya ingin menikmati kehidupan saya seperti masa kanak-kanak di mana kita semua boleh menggantungkan mimpi kita setinggi mungkin. Lebih tinggi daripada langit. Kita memperoleh jutaan kebahagiaan di masa kanak-kanak yang tak akan luput dari ingatan kita.

Masa kanak-kanak adalah masa-masa bahagia. Kita tidak pernah memikirkan adanya permusuhan dan rasa benci. Tidaklah juga kita mengenal politik, ekonomi, kriminal, atau perang. Yang ada hanyalah bahagia untuk menikmati hidup.

Masa kecil saya adalah masa kebahagiaan di mana saya belum bertanggung jawab atas apapun. Saya pernah mengalami Neverland. Saya pernah masuk ke dalamnya. Saya tidak peduli apa yang saya mainkan. Yang saya tahu hanyalah kebahagiaan. Seperti Peter Pan dan Wendy yang terbang berkeliling Neverland sambil bermain-main. Mereka tidak tahu dan tidak peduli dengan apapun yang ada.

Sampai Kapten Hook menyerang. Ia ingin merebut kebahagiaan di mana kita bebas terbang dan ia merasakan iri hati. Serbuk bintang yang ada bersama Peter Pan. Di sanalah satu kebahagiaan akan hilang. Saya sedang berada di dalam pertempuran melawan Kapten Hook karena saya tidak pernah menginginkan menjadi dewasa.

Namun, ketika saya sadari. Inilah saya dan di sinilah saya. Ini bukanlah Neverland. Bukan dunia yang penuh akan keceriaan. Semua orang diwajibkan menjadi dewasa dan memiliki tanggung jawab di dalam hidupnya. Semua orang harus menjalankan hidupnya tanpa bisa lagi bermain-main dan di dunia ini, kita mengenal hanya ada satu bulan dan satu matahari yang selalu berputar bergantian. Tak ada lagi kebahagiaan di mana kita bisa terbang bebas sebebas-bebasnya. Di dunia ini, dunia yang serba terbatas, kita diwajibkan bertumbuh menjadi dewasa sedewasa-dewasanya.

Tugas yang harus diemban adalah mewujudkan mimpi, tetapi bukanlah di Neverland. Ini dunia yang bukan Neverland, melainkan everland. Di sini, kita mengenang masa-masa kita bermain di Neverland sambil memperjuangkan kehidupan di tanah yang sesungguhnya.

Mungkin sekarang, saya ingin kembali ke Neverland. Saya akan menuju Neverland.

Namun pertanyaannya adalah, adakah lagi Neverland itu? Kalau ada, di mana?





Perjalanan menuju Neverland, 29 Juni 2010 | 11.18
A.A. - Calon penghuni Neverland

Sabtu, 26 Juni 2010

Pergilah Ke Mana Hati Membawamu (Va' Dove It Porta Il Coure)


Dan kelak, di saat begitu banyak jalan
terbentang di hadapanmu
dan kau tak tahu jalan mana yang harus
kauambil, janganlah memilihnya dengan
asal saja, tetapi duduklah dan
tunggulah sesaat. Tariklah napas
dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan,
seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini.
Jangan biarkan apapun mengalihkan
perhatianmu, tunggulah dan tunggulah
lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening,
dan dengarkanlah hatimu.
Lalu ketika hati itu berbicara, beranjaklah,
dan pergilah ke mana hati membawamu...



Susanna Tamaro - Pergilah Ke Mana Hati Membawamu

Fiksi

Sekali fiksi, tetaplah dia akan menjadi fiksi. Walaupun kenyataan memang sudah seperti fiksi.

Tetapi hidup bukanlah sekadar fiksi,

dan juga tidaklah semudah fiksi

di mana semua dapat kau rekayasa seperti inginmu





Jakarta, 26 Juni 2010 | 8.09
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 24 Juni 2010

Hidup : Datang untuk Pergi

"Hidup ini, Anakku, hidup ini tak ada harganya sama sekali. Tunggulah saatnya, dan kelak engkau akan berpikir, bahwa sia-sia saja Tuhan menciptakan manusia di dunia ini." - Pramoedya Ananta Toer

Pernahakah kita berpikir bahwa hidup kita tak ada perbedaan dengan kereta dan pesawat? Mereka datang, singgah, kemudian pergi. Kita mengalaminya berulang-ulang. Dari stasiun ke stasiun. Dari bandara ke bandara. Dan kita sendiri menuju pada cerita-cerita baru yang kita datangi kemudian kita tinggali begitu saja.

Sebenarnya, hidup kita tidaklah seperti itu. Ada banyak babak yang membawa kita pada cerita-cerita yang akhirnya kita sadari pada saat menjelang kita pergi.Hidup bukanlah sekadar datang kemudian pergi. Sebenarnya Tuhan hendak bercerita kepada kita di balik itu semua. Sayangnya, Tuhan terlalu hebat untuk menyimpan rahasianya. Terlalu pandai untuk mengajak kita bermain tebak-tebakan.

Sesungguhnya, betapa indahnya ketika kita berjalan untuk merenungi pencarian jati diri kita yang paling hakiki. Di sanalah kita akan menemukan: mengapa kita ada di sini saat ini? Bukan sekadar melintasi kemudian menuju kepada tempat lainnya. Kemudian, masih adakah pemikiran semacam pemikiran seorang Pramoedya yang mengatakan betapa sia-sianya Tuhan menciptakan hidup ini? Entahlah. Itu hanya saya, Anda, Pram, dan Tuhan yang tahu jawabannya.


Jakarta, 24 Juni 2010 | 5.56
A. A. - dalam sebuah inisial

Senin, 21 Juni 2010

Meneguk Gelas Bahagia

Pertanyaan mendasar bagi semua orang yang pernah bertumbuh besar dan menjadi dewasa di dunia ini: apakah kalian pernah bahagia?

Saya pernah mendapati pertanyaan ini tengah malam. Saya selalu memeriksa ponsel saya tengah malam, setelah membaca buku atau menjelang tidur setelah benar-benar penat menulis. Salah seorang karib saya mengirimkan pertanyaan itu kepada saya. Saya hanya tertawa menjawab pertanyaan itu. Untuk saya, setiap hari adalah bahagia. Bahagia karena kita bisa kembali terbangun, kembali beraktivitas, kembali menunaikan segala kewajiban kita, dan kembali beristirahat karena kitapun masih manusia.

Hari ini, salah seorang sahabat yang peduli, penyayang, loyal, dan nyaris sempurna, haruslah meneguk bergelas-gelas kebahagiaan. Mengapa? Karena pertambahan usianya untuk mencapai kedewasaan telah tiba. Sengaja saya menghadiahkan postingan ini untuknya. Maka, Mbak Elok Akasia Randu Jati -yang kuyakini ini bukan nama sebenarnya di KTP-, ini persembahanku yang kukhususkan untukmu dengan penuh rasa cinta.

Saya tidak tahu berapa gelas kebahagiaan yang telah diteguknya pagi ini setelah mendapatkan beribu-ribu ucapan selamat ulang tahun. Yang pasti, saya tahu bahwa dia adalah salah seorang yang pernah berbahagia di dunia ini. Acap kali, saya merasa malu pada diri sendiri: dia mencari saya kala hilang, tetapi tidak dengan saya. Adilkah itu? Tentu tidak.

Kami belum pernah bertemu. Komunikasi kami hanya sebatas SMS, blog, dan wall to wall di Facebook. Namun saya bisa memahami seperti apa dirinya. Mungkin akan 180 derajat berbeda dengan saya ketika kelak kami bertemu. Kami bercanda, tertawa, merasakan sari pati kehidupan, dan bersahabat lewat dunia maya. Nah, bukankah itu semua indah?! Ketika kita menyadari betapa manisnya sari pati kehidupan, tentu amatlah mudah juga bagi kita untuk menelusuri kebahagiaan walau hanya lewat dunia maya.

Pertama kali saya berjumpa dengannya, dengan tawanya yang nyeleneh berkomentar di blog ini pada awal Juli tahun lalu. Saya kaget bukan kepalang, komentar di catatan saya dibalasnya semua padahal saya belum membalasnya. Ah, pertama kali berpikir, jangan-jangan ini SPAM. (Ini pengakuan dosaku, Mbak Elok, hahaha...) Saya mulai berpikir haruskah di-report abuse? Namun saya urungkan niatan itu semua karena server internet sedang menjadi seperti siput kelas kakap.

Kemudian, Mbak Elok mengajak saya menjadi temannya. Saya m,embuka tangan untuk itu semua. Saya melupakan SPAM itu dan membukanya menjadi seorang teman baik di blog. Persahabatan kami teruslah berlanjut sampai kini walaupun dia rajin SMS dan saya tidak pernah rajin membalasnya. (Untuk itu, inilah apologiku, Mbak Elok)

Tak ada persahabatan yang tidak pernah merasakan kegelisahan. Saya orang yang mudah meresah. Suatu malam, saya mendapatkan kabar dari seorang kawan bahwa Mbak Elok ini terbaring sakit, saya mencoba mencari tahu dahulu kebenarannya. Eh, ketika dia membalas SMSku, geregetan aku dibuatnya. Dia malah tertawa-tawa dengan isi SMSku itu. Apa ada yang salah dengan itu semua? Saya kembali membaca SMS yang saya kirimkan dan saya amini bahwa tak ada yang salah. Kemudian saya membalas SMSnya dengan penuh rasa serius, dibalasnya lagi dengan kata-kata yang tak beres, yang tidak mencerminkan bahwa dia sedang sakit.

Masih ada harapan bagi setiap kawan yang ingin memberikan kontribusi kehidupan bagi orang-orang yang dikasihinya. Dan saya, memberikan kontribusi rasa cinta saya kepada Mbak Elok sebagai seorang sahabat, teman seperjalanan, dan teman tertawa-tawa sampai suatu saat kita sadari: betapa manisnya gelas kebahagiaan yang telah kita kecap bersama.

Kawan, sahabat, dan suadaraku, selamat ulang tahun! Dirgahayu untukmu selalu...



Jakarta, 21 Juni 2010 | 9.06
A.A. - catatan harian seorang kawan


Mundurlah, wahai Waktu
Ada "Selamat ulang tahun"
Yang tertahan tuk kuucapkan
Yang harusnya tiba tepat waktunya
Dan rasa cinta yang s'lalu membara
Untuk dia yang terjaga
Menantiku

Dewi Lestari - Selamat Ulang Tahun

Rabu, 09 Juni 2010

Maaf

Maaf jika semua terlalu sederhana
jika semua tak seperti bayanganmu
jika semua berjalan apa adanya
jika semua tidak ada tantangan yang terbawa
semua seperti hambar, tawar

Maaf jika semua tidak berjalan
jika semua mementingkan egois
jika semua harus menggunakan kekerasan
jika semua dihibahkan begitu saja
jika semua direlakan tanpa pasti
semua begitu saja, sangat

Maaf jika saya tidak pernah menjadi teman yang peduli
jika saya tidak pernah menjadi saudara yang bisa melindungi
jika saya tidak pernah menjadi anak yang patuh
jika saya tidak pernah menjadi guru yang patut dicontoh
jika saya tidak pernah menjadi pendengar yang setia
jika saya tidak pernah menjadi manusia yang patut dikatakan manusia
itu semua mungkin atas kekhilafan,keegoisan, dan rasa iri hati

Maaf, untuk semua yang patut diucapkan dan diberi maaf
Mungkin hanya ini, saya mampu.



Jakarta, 9 Juni 2010 | 8.03
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 08 Juni 2010

Hujan Bulan Juni

















tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu



Sapardi Djoko Damono
- Hujan Bulan Juni, Kumpulan Puisi (Grasindo, 2003)

Sabtu, 24 April 2010

Buku Kemarin, Buku Hari Ini, Buku Esok, dan Buku Selamanya

"Buku adalah sebuah taman, sebuah kebun buah, sebuah gudang penuh barang, sebuah pesta, seorang teman seperjalanan, seorang penasihat, bahkan sejumlah besar penasihat." - Henry Ward Beecher

Sebenarnya, tanpa kita sadari setiap hari kita pasti melakukan kegiatan membaca. Tidak harus melulu membaca buku. Banyak hal yang dapat kita baca sepanjang hari. Ketika kita mulai membuka mata sampai pada menutup mata, berapa banyak huruf yang sudah Anda baca sepanjang hari? Bayangkan saja, sejak membuka mata kita sudah membaca jam berapa saat kita terbangun. Membuka layar telepon genggam sudah berapa banyak kata yang kita baca? Melintasi perjalanan sudah berapa banyak tulisan yang kita baca?

Hidup manusia memang pada hakikinya tidak dapat jauh dari kegiatan membaca. Mau tidak mau membaca menjadi sebuah kewajiban yang tidak lagi dapat ditolak. Pemerintah sudah menggalakkan kegiatan membaca demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan membaca, kita dapat melihat dunia lebih jauh. Mengeksplorasikan diri secara lebih meluas. Dengan membaca, kita bisa pergi dari satu benua ke benua lainnya tanpa transportasi dan akomodasi. Dengan membaca, kita dapat memutar waktu sebelum kita lahir.

Setiap pagi, ketika saya terbangun dari tidur. Saya selalu bahagia melihat susunan buku yang bertumpuk di atas meja saya. Meja saya memang tidak akan pernah bisa rapi dari yang namanya buku. Pasti berantakan dengan kertas, pena, penggaris, dan buku. Ya, sesekali juga dompet dan telepon genggam. Kemudian saya melirik ke arah langit-langit, rak buku saya mulai terpenuhi buku dan mulai berpikir harus memiliki gudang sendiri untuk buku-buku berikutnya.

Harus saya akui, saya adalah orang yang dulunya rajin berkunjung ke perpustakaan ketika SMP. Selama sebulan, saya bisa melahap sepuluh buku. Nama saya pasti tercantum di dalam "daftar kutubuku terbanyak" pada setiap bulannya. Bukan, bukan saya sombong. Tetapi memang agenda membaca adalah agenda yang tidak dapat dilupakan begitu saja. Sejak kecil, orang tua saya membiasakan anak-anaknya membaca koran setiap hari. Kalau tidak membaca, siap-siap saja kita akan diledek habis-habisan karena tidak mendapatkan berita terbaru apa yang ada kini.

Lama-lama, ledekan itu saya gubris. Saya terbiasa membaca sendiri. Buku-buku di perpustakaan sekolah, buku-buku hasil tukar menukar dengan teman, dan buku-buku hasil dari uang jajan sendiri. 25% dari uang jajan saya pasti akan terbeli buku. Setidaknya satu atau dua buku setiap bulannya. Kadang saya sampai memaksakan diri untuk datang ke pesta-pesta buku demi membeli banyak buku. Kebiasaan saya semakin menjadi ketika saya mengecapkan diri bahwa saya menjadikan membaca bukan sekadar hobi, melainkan bagian dari hidup.

Ketika ada razia, guru saya sudah tahu pasti ada novel atau buku yang tidak menyangkut pelajaran yang ada di tas saya. Pernah seorang guru bertanya kepada saya: "buku apa lagi yang ada di tasmu, Av?" Saya hanya tertawa geli sambil menjawab "buku pelajaran". Padahal ada buku lain tetapi tidak saya masukkan ke dalam tas karena saya sudah tahu akan ada razia pada hari tersebut.

Kini saya mengerti benar apa manfaat membaca. Coba, andaikan saja ketika buku tidak pernah ditulis, apakah kita akan mengenal dunia itu bulat? Ketika buku tidak pernah ditulis, apakah kita akan mengenal cerita Mahabharata dan tahu Kerajaan Sriwijaya pernah ada di tanah Indonesia? Jika buku tak pernah tertulis, darimana kita akan tahu Jupiter adalah planet terbesar di galaksi dan bintang tidak sama dengan planet? Pernahkah kita menyadari apakah kita akan tahu Issac Netwon menemukan ilmu gravitasi hanya dari buah apel yang terjatuh? Buku membawa kita kepada luasnya dunia ini. Merangkumnya menjadi begitu kecil dan kita akan tahu apa masa-masa lalu.

Dengan membaca, saya bisa menghasilkan uang. Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, saya bekerja di sebuah penerbitan hanya menjadi seorang pembaca saja. Pembaca kemudian mengomentari isinya. Semenjak saya mendapatkan pekerjaan itu, saya amat menghargai membaca dan menulis. Betapa mudahnya membaca dengan selera dan sulitnya dengan hati. Betapa kita harus siap dicerca ketika tulisan kita harus turun kepada masyarakat.

Karena membaca, saya tahu banyak hal. Karena membaca, saya mengerti banyak hal. Karena membaca, saya mengenal siapa diri saya. Karena membaca, saya mendapatkan banyak hal yang saya inginkan.

Sudah berapa buku yang Anda baca pada tahun ini?

Selamat hari buku sedunia! Kita bertemu di World Book Day Indonesia di Museum Bank Mandiri tanggal 15-16 Mei nanti ya! (Saya akan hadir di sana...)



San Fransisco, 23 April 2010 | 22.00
Jakarta, 24 April 2010 | 08.00
AA. - dalam sebuah inisial

Selasa, 13 April 2010

Semestinya Kau Bahagia

Seperti itulah memang seharusnya, kamu sepatutnya bahagia. Walau pada akhirnya kita memang tidak dapat dipersatukan. Sedikit banyak kita akan menerima rasa kehilangan sekaligus belajar melepas seseorang untuk memahami bagaimana sakitnya ketika kita dijauhi ataupun menjauhi orang tersebut.

Aku tak bisa egois terhadap diriku. Karena bagaimanapun juga, manusia sudah tercipta atas dasar jalannya sendiri-sendiri dan akan menembus ziarah kehidupannya juga. Terkadang kita tidak pernah berdiskusi dengan malam yang begitu panjang padahal rembulan memiliki jawaban yang sedikit lebih pasti daripada isi hati kita.

"Aku lebih memilih tidak bahagia daripada berpisah..."

Masih juga kita melirihkan lagu bersimfoni menyayat diri. Padahal kita tak perlu melakukan semua itu kalau kita siap menghadapi kehilangan. Inilah yang membuatku membenci pertemuan karena aku tahu bahwa kita akan berpisah suatu hari nanti. Aku selalu berusaha menjauhi untuk bertemu, berpapasan, apalagi berjabat tangan. Bukannya aku anti akan etika kesopanan, tetapi semata-mata aku harus menjauhi pertemuan itu.

Namun aku tidak pernah bisa menjauhinya. Dia semakin mendekat dan mendekat. Semakin aku menjauhinya, aku semakin banyak bertemu dengan orang yang tak pernah kuharapkan. Semakin banyak pula aku bertemu di dalam kesempatan tanpa sengaja. Termasuk dirimu.

"Kita tidak lagi dapat dipersatukan."

"Bukannya sejak dahulu kita memang tidak pernah bisa dipersatukan?"

Aku menganggukan kepala. Sepakat dengan kata-katanya itu. Kita akan membuat kebahagiaan itu sendiri-sendiri. Cepat atau lambat hubungan ini juga akan terbongkar, sadarkah kita? Setelah kita mencobai diri kita untuk menyimpan semua ini, masih layakkah kita?

"Kamu masih punya mimpi keluarga bahagia bukan? Itu bukan ada pada diriku."

Semestinya kau bahagia, tapi bukan denganku. Bukan kita berdua yang meluruskan semua mimpi-mimpimu. Kau terlalu layak untuk bahagia sedangkan tidak denganku. Untuk ribuan kenangan yang sudah pernah kita jalani, baiknya kau catatkan di dalam buku tua dan kubur buku itu di dalam tanah. Agar jangan lagi kau mengingat semua yang pernah kita lakukan. Semata-mata ini demi dirimu seorang.

"Jangan pernah pedulikan aku!"

"Kita harus berpisah?"

"Ya..."

Aku tahu bagaimana ke depannya kita akan terkoyak bersama. Berusaha menghapus kenangan yang begitu kelam dalam hidup sedangkan di sisi lain kita harus menempuh kehidupan lagi. Hidup kita terlalu penuh dengan kepura-puraan yang nikmatnya hanyalah sesaat. Harusnya kusadari itu. Kau terlalu layak untuk bahagia, tetapi bukan bersamaku.

"Kalau memang ini jalan yang paling benar, baiklah kita berpisah."

"Karena hidupmu terlalu indah, terlalu sayang untuk disia-siakan begitu saja."

"Dan engkau juga. Peluk aku! Untuk terakhir kali saja..."

Aku memelukmu. Dalam peluk ini, semua rasa kita tertumpah sudah. Antara haru, kesal, benci, suka, duka, amarah, dan banyak lainnya. Semua kenangan melebur begitu saja di dalam pelukan ini. Pantaskah aku mencumbui cintamu sementara kau tidak pernah mendapatkan apa yang engkau harapkan dari aku? Di sisi lain aku terus menggeruk semua isi hatimu.

"Semestinya kau bahagia..."

"Semestinya. Tapi aku tidak tahu aku akan bahagia atau tidak."

"Semestinya. Kau. Bahagia."

Terlalu sayang hidupmu yang indah itu berlalu begitu saja bersamaku yang hanya mampu menghembuskan nyawa beraroma mati jiwa untuk mendapatkanmu sesaat demi kerakusanku. Kalanya aku harus melepaskanmu dan kau melepaskanku. Kita saling melepaskan untuk mendapatkan kebahagiaanmu saja.



Jakarta, 13 April 2010 | 16.07
AA. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 10 April 2010

Andai Aku Tak Dapat Membaca

Andai aku tak dapat membaca
akankah aku melihat dunia dengan lebih nyata?
Sedangkan kita harus mengeja semua aksara
untuk mengartikan hidup ini hendak apa

Andaikan aku tak dapat membaca
akankah aku mengerti kata dari rasa yang ada?
Sedangkan kita harus menerima makna
dari huruf yang tersusun

Andaikan aku tak bisa membaca
akankah saat ini aku berbicara?
Sedangkan bertutur butuh waktu
demi tahu apa kebutuhan saat ini

Aku tak tahu akan menjadi apa kalau dulu, sekarang, dan masa depan aku tidak bisa membaca

GagasMedia, 10 April 2010
AA - dalam sebuah inisial tengah rapat