Sabtu, 28 Maret 2009

Sejauh Mana Anda Peduli dengan Bumi?

Tulisan ini dikhususkan untuk memperingati Jam Bumi Sedunia dan Jam Bumi Seindonesia.


Gagasan jam bumi ini keluar bukan dari pemerintah tetapi dari WWF (World Wife Fund) yang sudah direncanakan sejak tahun lalu untuk mencoba mengembalikan bumi yang sudah mengalami "demam" yang tinggi. Jam bumi ini diberlakukan pada hari Sabtu tanggal 28 Maret 2009 pukul 20.30 sampai 21.30 pada setiap negara yang ingin menyembuhkan bumi untuk masa depan nantinya.

Gagasan yang baik ini mendapat dukungan dan respon yang baik dari pemerintah. Gedung-gedung pemerintahan, Monumen Nasional (Monas), Jembatan Semanggi, Bundaran Hotel Indonesia, dan jalan-jalan yang dianggap menghabiskan banyak sumber daya listrik yang banyak akan dipadamkan selama satu jam.

Apakah program ini hanya di Indonesia? Tidak! Program ini dilakukan oleh seluruh dunia pada hari dan jam yang sama menurut belahan dunia masing-masing. Partisipasi masyarakat dunia diharapkan karena kontribusi pemakaian listrik terbesar digunakan oleh masyarakat.

Program ini juga tidak memaksa alias sukarela. Terserah apakah Anda ingin ikut ambil bagian atau malah sebaliknya, memboros-boroskan listrik di kediaman Anda? Maka hari ini PLN tidak mengadakan pemadaman agar ada kesadaran sendiri dari kita untuk mengembalikan bumi ke wujud aslinya.

Saya sendiri ikut berpartisipasi dengan mematikan komputer selama jam tersebut. Lalu apa yang saya lakukan? Saya menghabiskan waktu satu jam tanpa listrik dengan berjalan-jalan di sekitar rumah. Hasilnya memuaskan. Banyak yang ikut ambil bagian dalam wujud kepedulian dengan bumi selama satu jam. Kita kembali ke zaman bahula sebelum Luigi Galvani atau Michael Faraday atau Alessandro Volta atau Thomas Alva Edison berhasil membentuk listrik.

Sebenarnya banyak hal yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan bumi ke wujud semula tetapi semua itu tergantung dari niat dan kemauan kita. Sejauh mana kita perduli dan ingin mengembalikan bumi menjadi citra asri lagi.

Kita bisa memilih menggunakan lampu neon dibanding bohlam.
Kita bisa mengelola sampah.
Kita bisa mematikan listrik (termasuk listrik vampir -Listrik yang masih dalam keadaan stand by)
Kita bisa menggunakan kendaraan umum atau berjalan kaki dibanding menggunakan kendaraan pribadi.
Kita bisa menanam pohon untuk lingkungan kita.
Atau yang lainnya...

Nah sekarang, bagaimana dengan Anda? Apa bentuk partisipasi Anda dengan bumi?




A.A.- dalam sebuah inisial
Kekasih Bumi


Sekedar catatan dari cuplikan:

Diambil dari sini
Memadamkan lampu di DKI Jakarta 1 jam, sama dengan:
300MW (cukup untuk mengistirahatkan 1 pembangkit listrik dan menyalakan 900 desa)
Mengurangi beban biaya listrik Jakarta sekitar Rp 200 juta
Mengurangi emisi sekitar 284 ton CO2 (Karbondioksida)
Menyelamatkan lebih dari 284 pohon
Menghasilkan O2 untuk lebih dari 568 orang


Jika sang bumi bisa bicara
Ku tau Dia akan bertanya
Sampai kapankah kau hanya terima
Tanpa pernah beri kembali
Kini saatnya untuk berbuat
Sayangi alam sepenuh jiwa
Tanah, air, udara kan bersuka
Berterimakasih kepada kita


Jika Bumi Bisa Bicara - Nugie dan Katon Bagaskara


Kamis, 26 Maret 2009

Ketika Surat Itu Sampai...

March 24, 2009
Untukmu, adikku



Setelah tiga tahun berpisah dari Indonesiamu, seperti cerita - ceritaku pada suratku yang terdahulu, aku mulai disibukkan dengan hal yang aku sukai di kampung halamanku terdahulu. Kembali aku menjadi musisi dan menjadi seorang pecinta film. Sayangnya hobi kita hampir sama, aku kurang menyukai membaca walau kamu selalu menyarankanku dan memberikanku kutipan - kutipan indah dari buku setiap kali membaca emailmu.

Pada awalnya, aku tahu kekecewaanmu ketika aku harus kembali ke tempatku terdahulu. Betapa besar kekecewaan yang terbesit di hatimu, aku tak pernah tahu. Namun, aku yakin begitu terluka hatimu ketika kamu harus menerima sebuah kenyataan aku harus kembali. Aku memang bukan seorang yang dewasa untuk menerima kenyataan. Kenyataan yang kuceritakan padamu sebelum surat ini sampai.

Namun, ketika aku kembali dan kita beremu lagi lewat dunia maya yang jauh ini, aku semakin merasa dekat padamu. Ingin sekali aku menjumpaimu dan kembali ke Indonesia. Namun aku tak akan kembali seperti kataku. Aku ini seorang laki-laki yang harus bisa mempertanggung jawabkan apa yang aku katakan. Kalau ada kesempatan, aku mau singgah sejenak ke Indonesia, sekedar untuk bertemu denganmu dan temanmu yang juga sering mengirimi aku surat.

Sejak membaca suratmu, aku menjadi begitu hangat bersamamu. Kuanggap kamu sebagai adikku, bukan muridku, juga bukan temanku. Kamu begitu dewasa, bahkan kukatakan kamu lebih dewasa daripada aku.

Betapa girangnya aku ketika suratmu sampai di kotak suratku. Kamu pernah melihat anak kecil yang mendapatkan permen, bukan? Seperti itulah aku ketika suratmu sampai. Aku selalu menduga pasti banyak hal yang akan kamu ceritakan kepadaku. Entah itu studimu, entah itu tentang buku, film, musik, atau yang lainnya.

Oh ya, tahukah kamu? Setiap sajak yang kamu sisipkan di setiap akhir suratmu aku jadikan lagu. Awalnya sekedar keisenganku belaka. Lama-lama aku menjadi tertarik untuk menjadikan setiap sajakmu menjadi lagu. Kadang aku membuka blogmu untuk sekedar mencari apa yang bisa kujadikan lagu. (Aku yakin kamu akan tertawa mendengar suaraku bernyanyi)

Aku begitu berterima kasih atas pemberian lagumu. Itu sangat menyentuhku. Lagumu amatlah membuatku sedikit bangkit dari keterpurukkanku. Seperti katamu, kalau kamu yakin, maka kamu bisa. Aku camkan kata-katamu itu dan kucoba lakukan semampuku. Hasilnya seperti apa yang kuyakini kelak. Aku mulai melupakan masa laluku dan kembali bertanding dengan kenyataan, walau agak berbeda.

Di sini begitu dingin. Kadang cuaca tak menentu. Tidak seperti di Indonesia yang begitu panas. Setelah tiga tahun meninggalkan Indonesia, aku mulai terbiasa dengan tradisi di sini. Aku seperti lahir kembali di sini. Tapi aku tak merasa asing berada di sini. Tak banyak yang berubah sampai sekarang.

Sekarang, aku ingin mendengar ceritamu. Bagaimana hari-harimu? Indahkah? Kuharap demikian. Teruskan keberhasilanmu seperti kamu meyakini aku bahwa aku bisa melawan semua yang telah aku alami selama tahun - tahun lalu.

Adikku, Aveline, berceritalah banyak hal kepadaku. Aku yakin kamu banyak cerita setelah sekian lama kita tidak bercerita tentang keadaan kita masing - masing dalam lintas negara.

Aku merindukanmu...





Your Im

Sabtu, 21 Maret 2009

1 Batang 9 Nyawa

Aku hanya benda kecil. Benda yang terisi berbagai macam racun yang perlahan membawa orang menuju kematian. Menuju siksaan. Menuju neraka atau surga. Aku bisa membawa orang kepada hal-hal yang seperti itu. Aku adalah iblis. Iblis yang pandai untuk membuat orang menjadi nikmat karena menghisap tubuhku.

Semua orang ingin tahu jutaan kenikmatanku. Seperti orang yang candu akan narkobanya. Seperti pasangan kekasih yang baru pertama merasakan cinta. Atau seperti orang gila yang ingin mencari apa yang diinginkannya.

Padahal mereka tahu, aku adalah iblis.

Sebatang diriku, membawa sembilan nyawa mati sekaligus. Mereka belum tentu menjadi penghisapku. Mereka hanya orang yang lewat. Sekedar lewat dan menyapa di depanku yang hidup dengan merahnya.

Mereka tahu aku adalah iblis. Dan sekali mendekat padaku, mereka candu.

Candu seperti orang gila ketika tak melihatku dan mengisapku. Candu seperti orang sakau. Candu seperti orang yang enggan untuk menjadi dirinya sendiri. Sakau untuk mencariku dan akulah menjadi dewa mereka.

Batang demi batang dihabiskannya. Akupun tertawa tubuh mereka semua rusak. Mereka kuhancurkan dengan mudah. Dengan mengisap diriku sejenak untuk merasakan nikmat yang tiada bandingnya. Nikmat tanpa jangkauan. Dan surga sendiri adalah mereka bertemu denganku.

Hanya sedikit mereka yang benci dan berjuang dari lepasanku. Sisanya tidak! Mereka masih mengisap dan mengisap. Batang demi batang habis dibakar mereka.

Dan akulah pembunuh sembilan nyawa. Termasuk mereka yang menghisapku.



Jakarta, 21 Maret 2009 | 14.27
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 17 Maret 2009

Rp. 450.000,-

Rp. 450.000,-

Aveline Agrippina Tando

Cerita sekilas saja



Sembilan lembar. Ya, sembilan lembar uang lima puluh ribu rupiah telah ada di dalam amplop yang kuambil. Amplop ini seharusnya sudah tiba di tangan Pak Is. Namun amplop ini terpaksa kutahan karena setan dan malaikat sedang berperang.

"Itu bukan uangmu! Berikan!" Malaikat memerintah kepadaku.
"Hei... anakmu sakit. Dia butuh dana besar." Godaan setan merasuki.

Ya, anakku sedang berada di dalam rumah sakit. Aku butuh biaya untuknya. Di sisi lain, aku harus memberikan uang ini kepada Pak Is dari hasil penjualan mesin.

"Ayo! Bergegaslah ke rumah sakit!"
"Jangan! Berikan kepada Pak Is!"
"Anakmu sakit, ayolah! Anakmu yang utama!"
"Itu bukan uangmu, kamu harus tahu!"

Tanpa sadar, aku menerobos masuk ke Ruang Pak Is. Aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Tak sopan. Ya, tak sopan.

"Pak Is, ini hasil penjualan!" Kusodorkan amplop itu.
"Wah... bagus! Oh ya, kudengar anakmu sakit. Butuh uang?"

Aku mengangguk.

Dia membuka amplop yang kuberikan, menghitungnya. Lalu ia membuka laci mejanya dan menambahkan jumlahnya.

"Ini untuk biaya anakmu! Tak dipotong honor."

Raut wajahku berubah tanpa izin. Ah, malaikat berhasil memenangkan pertarungan dengan setan.

"Terima kasih, Pak."

Sabtu, 14 Maret 2009

Menangis

Lelaki itu menangis. Di sudut tembok yang menyiku, dia terduduk sambil menutup wajahnya. Enggan menatap sekitar. Bukan karena diputusi oleh sang kekasih. Bukan karena pernyataan istrinya yang ingin menceraikannya.

Dia masih terdiam sendiri. Masih berdiskusi dengan air mata dan hati yang tersayat-sayat. Dia masih menikmati air mata yang membuatnya jatuh. Ya, jatuh! Jatuh seketika setelah mengetahui anak istrinya mati terbakar.



>>> Setelah membaca koran lama
A.A - dalam sebuah inisial
14 Maret 2009 | 2.41

Ber Hen Ti

Aku mengeja kata itu
Persuku kata

Ber-hen-ti

Aku mendesah nafas
Aku terdiam

Ber-hen-ti

Kata itu terus membayang
Merasuki dan merasuki

Ber-hen-ti



Jakarta yang tak pernah berhenti,
14 Maret 2009


AA - Dalam sebuah inisial

Selasa, 10 Maret 2009

Kidung Hujan



Hujan, menarilah dalam titik - titik air, mengangkasalah ketika belum turun sampai ke bumi. Jadilah air yang menyejukkan untuk bumi. Jangan lekas berakhir, bawalah tetes - tetes dingin yang melembutkan hati, mendinginkan tubuh setelah penat bertanding melawan waktu.

Hujan, turunlah dan merontoklah dari kaki - kaki langit, biarlah jadi basah seluruh bumi. Lepaskan dahaga dunia setelah mentari memenangkan pertandingan melawanmu. Biarlah ketika malam menjadi selimut langit, engkau senantiasa menjaga dunia dengan rintikanmu.



Hari yang hujan, 10 Maret 2009 | 7.54 PM
A. A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 06 Maret 2009

30 Mei 2009

Mungkin adalah sebuah tujuanmu untuk bergegas ke dunia sana. Dan saya pun tahu mengenai itu semua. Kamu boleh menyapa dirimu sepanjang harimu yang tersisa di dunia sini. Namun ketika kamu tak lagi di sini, aku selalu yakin kamu akan menemukan tempatmu yang lebih membahagiakan. Tapi tak sebahagia di sini.

Ya, saya akan mengantar teman saya ke belahan dunia lain. 30 Mei 2009. Dia akan menemukan tempat lainnya. Berjumpa dengan kedua orang tuanya yang menantinya di sana. Mungkin dia yang akan berbahagia di sana. Namun saya selalu mengatakan dengan ejekan untuknya. "Suatu hari nanti, dirimu bakal mencariku lagi yang ada di sini."

Dan akhirnya kau hanya akan mengenang semua itu lewat hasil cetak sebuah lensa negatif

Saya tak mengerti mengapa di dunia ini harus ada yang namanya perpisahan. Dan perpisahanlah yang selalu menjadi cikal bakal seseorang untuk berduka. Untuk apa ada pertemuan ketika semua harus dipisahkan dengan perpisahan? Bukankah semua itu menjadi sebuah kesia-siaan dengan apa yang kita isap sari-sarinya?

"Hei... lo bakal ke Amrik (Amerika Serikat), kan?" tanyaku suatu hari ketika sedang sibuk mengerjakan majalah dinding.
"Sialan! Tahu dari mana lo?"
"Evander bilang sewaktu SMS lo sampai ke Vini."
"Sialan! Ember banget si Evander."

Saya langsung tertawa. Namun saya langsung bertanya - tanya untuk apa kamu menyimpan semua rahasiamu mengenai kepergianmu? Untuk apa? Toh, pada akhirnya semua orang juga akan tahu kamu akan berlari dari dunia ini dan ke dunia sana.

Sanjaya Pratama
. Saya menuliskan ini untukmu dengan penuh rasa persahabatan sebelum kamu berangkat ke Amerika. Berjumpa dengan keluargamu di bumi yang baru. Menjumpai nuansa baru. Menjumpai segalanya yang baru. Termasuk teman - teman yang baru. Termasuk guru - guru yang baru. Termasuk apapun yang baru. Adanya yang tak ada di dunia ini akan kau temui di duniamu yang baru.

Mungkin ketika kamu membaca tulisanku ini, kamu akan tertawa. Untuk apa aku menuliskan kepergianmu? Sebelum tawa itu menjadi tangis perpisahan, ada kala baiknya kita menerima kehilangan dulu sebelum kehilangan yang nyata datang kepada kita sehingga semua yang kita jalani sebelumnya akan menjadi keringanan di masa mendatang.

Untuk suaramu yang belum mengadahkan kehilangan, memang terlalu dini untuk menuliskan semua ini. Masih dua bulan lagi kamu berangkat. Ya, aku tahu semua itu. Tapi tidakkah kamu tahu bahwa menyembuhkan luka kepergianmu lebih dini semakin baik dibanding ketika kamu mengucapkan "selamat tinggal" semenit sebelum keberangkatanmu? Itu menyakitkan!

Saat ini kamu boleh tertawa. Tertawa bahwa dunia yang sampai saat ini kita pijaki (dan yang akan kamu tinggalkan) adalah sebuah dunia yang penuh humor. Humor yang sama sekali tak bisa dilogikakan. Banyak yang miskin. Banyak yang kaya. Banyak yang tampan. Banyak yang jelek. Apapun ada di dunia yang ini.

Dan dua bulan kemudian, ketika kamu menginjakkan kaki di duniamu yang baru, menghirup oksigen di dunia yang baru, tak akan ada yang benar - benar sama seperti di dunia ini.

Setidaknya kita pernah bertemu. Berjabat tangan. Bertegur sapa. Bertatap muka. Berdiskusi. Bercanda. Lalu melambaikan tangan melambangkan perpisahan.

Sebelum kamu bertanya untuk apa saya menuliskan semua ini, ada baiknya saya menjawab dulu sebelum pertanyaan diluncurkan. Saya menulis ini sebagai rasa pertemanan saya. Rasa persahabatan saya denganmu, dengan teman - teman di kelas saya yang baru. Saya menemukan sesuatu yang baru di tahun yang baru. Saya menemukan sukacita yang baru di tahun yang baru. Saya menemukan dukacita yang baru di tahun yang baru.

Setidaknya tulisan ini menjadi pengingat saya bahwa saya pernah menemui orang yang mau berteman dengan saya. Menjadikan sebuah benih pertemanan menjadi pohon persahabatan. Dan pada akhirnya kita jua yang akan memetik buah hasil panen pohon itu. Kita juga yang akan mencicipi rasa buahnya. Entah manis atau asam.

Tulisan ini dibentuk dengan jutaan rasa yang tak bisa saya katakan. Semua yang telah kita lakoni dan apresiasikan pada bumi ini akan berbaur menjadi satu, kenangan. Simpan semua tawa, canda, ejek, iseng, marah, egois, dan semuanya yang pernah bumi ini tahu dan disaksikannya.

Sekarang silahkan kamu tertawa sepuasmu, namun ketika kamu berada di belahan dunia yang baru, kamu akan memetik hasilnya.

Nah, Sanjaya, aku sebagai temanmu mengucapkan selamat jalan. Mengucapkan terima kasih untuk semua kebaikan yang pernah kamu berikan. Juga aku mengucapkan kata maaf ketika aku khilaf untuk berbuat sesuatu yang tak seharusnya menurutmu.

Selamat datang di duniamu yang baru! Selamat mengenang bumimu yang ini dari kejauhan sana!

Kita akan berjumpa lagi di mana dan kapan, aku tak pernah tahu.



A.A. - dalam sebuah inisial
Jumat, 6 Maret 2009

Senin, 02 Maret 2009

Apa yang Kalian Tujukan pada Hidup Ini?


"Kehidupan menjadi sangat sulit dan rumit kalau kita membiarkan diri kita berlari terus ke tempat tujuan. Lupa bahwa hari ini, di tempat ini, dengan badan yang ini, plus jumlah rejeki hari ini, juga menghadirkan 'tujuan-tujuan' besar yang tidak kalah menariknya." - Gede Prama

Orang bilang kalau hidup itu harus punya arah, punya tujuan yang baik. Lantas, apa semuanya harus diraih dengan mudah? Saya selalu bertanya pada hidup tentang apa yang hendak saya gapai pada waktu berikutnya. Entah satu menit lagi, satu hari lagi, atau satu tahun lagi.

Saya tak pernah lupa dengan apa yang dikatakan oleh teman saya,"cita-citamu adalah tujuan hidupmu, maka gapailah!" Sejak kecil, saya sudah memiliki beberapa cita-cita, namun beranjak tua, saya semakin sadar bahwa saya adalah orang yang egois. Egois untuk memperebutkan cita-cita itu semua. Saya berjuang mati-matian.

Benar! Saya berjuang mati-matian. Sewaktu SMP, di sekolah saya ada kelas unggulan. Nah, orang lain mungkin tak pernah tertuju untuk masuk ke dalamnya. Tetapi dari ratusan siswa di sana, ada seseorang yang berjuang untuk masuk ke sana. Berjuang agar tak tersingkir dari mereka yang tak sepenuhnya berjuang.

Akhir cerita, sayalah orang itu. Dan saya yang menembus sebuah tiket untuk saya sendiri. Tiket kursi di kelas itu. Kelas eksklusif. Masuk di sana juga saya berjuang mati-matian. Saya mempertahankan semua yang telah saya miliki.

Namun kelamaan, saya disadari oleh lingkungan hidup saya. Saya memang orang egois! Saya ingin merebut semua yang di mata saya dianggap baik. Saya orang yang tak pernah puas. Saya orang otoriter. Saya orang... Saya orang... Saya orang... Masih banyak lain yang membuat saya diam bahwa semua yang ada di mata saya yang baik itu tak perlu direngkuh semua.

Sebagai manusia yang normal dan ingin baik di masa depan, saya pun punya cita-cita. Puluhan cita-cita di otak. Sampai ketika seseorang bertanya pada saya, "Apa cita-citamu kelak di masa depan?" Saya sampai berpikir yang mana yang akan saya utamakan. Semua cita-cita itu adalah tujuan hidup saya. Dan semua saya utamakan.

Semakin bertambah hari, cita-cita itupun semakin berkurang. Saya ingin menjadi seorang ini. Saya ingin menjadi seorang itu. Lalu diikuti kelak saya akan membuat ini. Saya akan membuat itu. Semua adalah tujuan hidup saya nantinya.

Apakah ketika tujuan itu yang saya ambil tergapai, akankah saya menjadi seorang yang bahagia dan puas dengan semua yang telah saya peroleh? Kembali lagi ke cerita saya. Ternyata sampai di kereta, saya malah berjuang mati-matian mempertahankan kursi saya.

"Av, bagaimana tahunmu saat ini?" tanya seorang sahabat.
"Masih merealisasikan proyek-proyek."
"Hah? Masih?"
"Iya. Proyek saya terlalu banyak. Terpaksa saya kayuh satu-satu."

"Apa tujuan hidupmu, Av?"
"Hmmm... apa ya?"
"Lho kok malah balik nanya?"
"Tujuan hidup saya masih terlalu banyak."
"Banyak pijimana toh?"
"Saya ingin ini... Saya ingin itu..."

Sejak saat itu, saya mulai menekan tombol delete untuk tujuan hidup saya yang sama sekali saya tak dapat tempuh atau saya merasa menjadi beban untuk hidup saya. Perlahan, saya mulai menyadari bahwa tujuan hidup saya hanya tersisa lima. Bukan lagi puluhan. Apalagi sampai ratusan. Dan semua yang di mata saya bukan seluruhnya untuk saya ambil menjadi tujuan dan cita-cita di masa depan, melainkan hanya sepercik godaan yang baik bak seekor kutu menari di atas badan kerbau.

"Apa tujuan hidupmu, Av?"
"Sekedar menjadi seorang yang baik. Tetap menjadi seorang yang anti rokok, narkoba, dan global warming. Masih menjadikan kata-kata sebuah perlawanan untuk mereka. Membahagiakan keluarga. Dan karir yang baik."
"Bukan lagi seratus?"
"Hahaha... seratus, Mas? Itu dulu!"
"Yang sembilan puluh lima ke mana?"
"Dihapus dari daftar hidup."

Dengan demikian, tujuan hidup saya bukan menjadikan beban untuk saya melainkan sebuah motivasi pribadi bahwa itulah yang hendak saya gapai ke depannya bukan dengan mati-matian namun dengan benar. Setidaknya di perjalanan ini, ada kebahagiaan yang bisa diambil sebelum semua tujuan tercapai.

Nah, apa yang kalian tujukan pada hidup ini?



Jakarta dalam paginya, 2 Maret 2009

A A - dalam sebuah inisial