Selasa, 22 Desember 2009

Kasih Ibu Itu Tidak Sepanjang Jalan

Saya tak tahu peribahasa mana yang mengatakan "kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah" apakahbenar atau tidak. Di dalam dinamika sosial, apakah kasih dapat diukur dengan mistar, jangka sorong, neraca, atau sebagainya? Kasih -sepanjang yang saya tahu- adalah soal rasa, soal perasaan, dan kepekaan seseorang untuk menilai sisi penyayangan umat manusia.

Bagaimana kasih ibu sepanjang jalan? Apa ukurannya? Saya pernah bertanya kepada nenek saya mengenai hal ini. Mengapa kasih ibu sepanjang jalan? Apakah tidak ada yang lain sebagai dasar ukuran? Hanya sepanjang jalan sajakah? Nenek saya menjawab sangat mudah: karena kasih seorang ibu itu tidak ada batasannya.

Sejenak saya berpikir benarkah tiada batasannya jika diukur dengan acuan jalan? Dengan mengandung, tergopoh-gopoh berjalan dengan perut yang semakin besar, semakin menua, bisa diukur dengan jalan. Melahirkan, menyusui, dan menjaga sampai anak itu bisa melepaskan diri dari ibunya. Menjaga ketika sakit, mengajarkan, dan memberi makan. Menjadi teman curhat, teman perjalanan, teman suka dan duka. Banyak hal yang ibu berikan kepada seorang anak tetapi hanya diukur dengan sepanjang jalan. Lantas, jalan yang manakah yang menjadi pondasi ukuran tersebut?

Sewaktu SD, guru saya pernah menyinggung hal ini. Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Guru saya mendeskripsikan kasih ibu itu seperti jalan tol, terus mengalir tiada henti. Saya sempat protes kepada beliau: "Pak, jalan tol juga macet, Pak!" Balasannya adalah: "macet itu ketika ibumu sakit atau sedang bersedih." Baiklah, persepsi itu saya terima. Kemudian beliau membentangkan mistar 30 sentimeter dan berkata: "nak, kasih anak itu sepanjang galah. Galah itu sepanjang ini!" Saya hanya diam dan berpikir saja mengenai jalan dan galah itu.

Semenjak saat itu, saya tak pernah menerima bahwa kasih ibu itu sepanjang jalan. Saya tidak pernah setuju dengan pepatah itu. Mana bisa kita menyatakan kasih ibu itu sepanjang jalan? Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah: apa balasan anak kepada ibunya sehingga bisa diukur sepanjang galah?

Kembali lagi kepada nenek saya. Saya bertanya mengapa hanya sepanjang galah. Apakah tidak ada yang lebih panjang atau lebih pendek lagi? Jawabannya: karena galah itu benda yang pendek, kadang kedua ujungnya bisa dipegang oleh satu orang. Lho, bukannya masih banyak benda yang bisa semacam itu? Lalu, memang tidak sepanjang jalankah? Bukannya mereka juga tidak pernah dituntut untuk dilahirkan?

Abraham Lincoln sebagai anak pernah menulis:

I remember my mother's prayers and they have always followed me. They have clung to me all my life. (Saya mengingat doa-doa ibu saya dan doa itu selalu mengikuti saya. Doa-doa itu melekat kepada saya sepanjang hidup saya)

Apakah ibu bahagia ketika kasihnya diukur hanya dengan jalan? Apakah ibu puas kasihnya hanya sepanjang jalan? Apakah ibu senang kasihnya sebatas jalan semata? Apakah anak bangga kasihnya sepanjang galah? Apakah anak merasa lega kasihnya yang diberikan hanya sebatas galah?

Uang bisa dinilai, harta bisa diukur. Sekaya apapun ibu kita, semiskin apapun ibu kita. Material bisa dijumlahkan, dikurangi, dikali, dan dibagi. Bagaimana dengan kasih? Apa ukuran dasar untuk sebuah kasih sehingga Abraham Lincoln bisa menulis demikian?

Banyak pertanyaan di dalam benak saya. Saya tidak pernah mengamini bahwa kasih ibu sepanjang jalan. Saya tidak pernah setuju dan saya acap kali memberontak dengan keadaan itu. Kasih itu soal rasa, soal hati. Kalau diukur seperti jalan, seperti galah, saya tak akan pernah mampu mengukurnya. Kasih ibu itu tidak sepanjang jalan dan kasih anak itu tidak sepanjang galah.

Saya mengukurnya dengan rasa, bukan dengan satuan semacam itu. Kasih ibu yang saya rasakan selama saya hidup itu tidak ada batasannya. Tidak terdefinisi. Tidak terhingga. Dan kasih yang saya balaskan kepada ibu saya adalah kasih yang tidak ada bedanya dengan isapan jempol semata. Itulah yang membuat saya tetap bertahan mengapa kasih anak itu bukan sepanjang galah, ketika saya merasa kasih saya sudah di seberang galah, saya merasa: cukup. Dan itu tidaklah cukup untuk membahagiakan seorang ibu. Ibu yang pernah ada di dunia ini. Ibu yang tak pernah menuntut banyak dari anaknya. Ibu yang menilai semua hal secara: gratis. Ibu yang paling saya muliakan di dunia.


Selamat pagi! Selamat hari ibu!


Jakarta, 22 Desember 2009 | 7.39




The mother is everything - she is our consolation in sorrow, our hope in misery, and our strength in weakness. She is the source of love, mercy, sympathy, and forgiveness. He who loses his mother loses a pure soul who blesses and guards him constantly. - Kahlil Gibran

Kamis, 17 Desember 2009

Rintih

Mungkin aku akan pulang nanti
Ketika senja tak lagi menampak wajah
Atau kereta sempat kukejar menuju kota
Debu sudah berkarib dengan kulit ari
Hendak apa yang kubagi ketika malam

Jalan kereta begitu lamban
Sesampai aku di kotamu menanti hari
Detik tak dapat digapai untuk dilewatkan
Kadang sisa nafas harus dipaksa
Tak dapat lagi berlari, kita serasa tanpa makna

Aku hendak pulang kepada rumah
Di papan dipan yang reot di muka
Aku berlari ke kebun yang memakan bapak
Hendaklah musnah dilalap ilalang liar
Dan dusun tak lagi bisa kukatakan nyata




Jakarta, 17 Desember 2009 | 20.43

Jumat, 04 Desember 2009

Pesta Kebun Akhir

Pesta Kebun Akhir
Napak Tilas 2009 Januari - 2009 Desember



"Yesterday is history. Tomorrow is a mystery. Today is a gift. That's why it is called the present." - Joan Rivers.

Ini adalah sebuah pesta. Pesta sederhana. Tidak lebih dari sebuah temu sesapa hangat. Tidak kurang dari sebuah reuni singkat untuk cengkrama. Apa yang dapat dibagikan dalam pesta? Sekadar makanan? Sekadar salam dan senyum? Nah, tuan rumah dapatlah berbagi cerita. Untuk kali ini, suguhan nikmati saja seadanya...

Terlalu dini. Ya, mungkin terlalu dini bagi Anda untuk mengucapkan selamat tahun baru. Tetapi tidak untuk saya. Ini pesta kebun untuk blog saya. Pesta kecil-kecilan dan menjadi sebuah napak tilas dari perjalanan yang terlewati selama 365 hari. Belum genap memang 365 hari, masih ada 20 hari lagi yang tersisa untuk tahun 2009, tetapi lebih baik saya genapkan saja karena ini adalah catatan terakhir blog ini untuk tahun 2009. Blog ini akan kembali update untuk berkisah pada tahun 2010. Kalau ada update terbaru, itu mungkin hanya cerita lama yang baru sempat diprasastikan di dalam blog ini atau memang sudah berbentuk draft lama sekali di blog ini. Yang paling terbaru kupastikan 2010.

Seperti yang kukatakan pada akhir tahun 2008, aku memang tidak membuat resolusi untuk hal apapun. Kuaminkan bahwa semua akan tergapai dengan sendirinya, usaha dan doa adalah alat untuk proses meraih cita-cita. Dan terbukti memang, tanpa resolusi, tanpa target, saya bisa berproses lebih menyeluruh.

Nestapa dan gembira. Air mata dan tawa. Duka dan suka. Semua ada dalam 2009. Semua nyaris sempurna memadu menjadi satu. Pertemuan dan perpisahan sudah terjadi. Kematian dan kehidupan dalam sebuah jalan adalah kemudahan untuk berpulang, mencari jalan untuk mencapai suatu tujuan. Kita tidak pernah sendiri untuk mencarinya, tetapi menemukannya adalah sendiri. Tak dapat ditentukan kapan kita dapat menerima dan dapat merelakan.

Kehilangan dengan orang yang pernah saya kasihi dan pernah kita jalankan untuk berbagi cerita. Awalnya memedihkan, di mana itu terjadi di awal tahun. Tetapi berjalannya waktu, setiap kalender harian terus disobek dan bertambahlah usianya setiap manusia. Saya bisa menerima kehilangan dan saya belajar memaknai hidup bahwa kita sebagai manusia adalah fana. Tak lebih dari itu adalah ketidakabadian yang akan datang dan yang abadi adalah sejarah yang pernah terukir.

Juga ada lagi kisah yang kubagikan mengenai rasa rindu yang menggebu-gebu untuk sahabat nun jauh di seberang sana. Perpisahan acap kali membuat orang lupa mereka masih ada yang harus diingatnya dan mereka yang benar-benar sejati sebagai seorang sahabat adalah mereka yang tak lupa menghitung jumlah sahabatnya dan selalu rela berbagi kepada sahabatnya itu. Kubagi kisah denganmu, kisah sebuah persahabatan sejati. Persahabatan yang tak digoyahkan jarak dan waktu.

Pertambahan usia untuk orang tua, saudara, dan sahabat juga sudah pernah kubagikan di dalam blog ini. Dalam sajak, cerita, atau esai sebagai hadiah ulang tahun mereka. Yang jelas, mereka tak tahu bahwa aku sudah menuliskannya atas dasar kasih dan cinta tak terbalaskan dari kalian. Kutulis semuanya itu berdasarkan cinta yang kalian berikan dan kudedikasikan kepada mereka semua dengan tulus pada dasar yang paling tulus. Tiada balasan yang kuharapkan selain itu semua.

Patah semangat dan putus asa telah kuanyam jadi sajak dan cerpen. Terkadang esai. Atau penuh kemarahan juga sudah kukupaskan dalam berbagai cerita. Ada yang bermakna dan juga tidak. Kubagi cerita-cerita yang sudah kujalankan dalam kehidupan ini. Ketika aku sedang berbincang dengan sahabatku, ketika kudapatkan sesuatu yang baru, pengalaman rasa berbagi dan cinta adalah sebagai penyedapnya saja. Sebagai wujud itu semua, kubuktikan aku tidak main-main dalam berkata dan membuat apa tujuan dari hidup ini sebenarnya. Sekadar penantian? Sekadar pencarian? Atau sekadar lainnya?

Kisah lainnya juga sudah kubagi seperti cerita perpisahan di bandara. Di mana bandara adalah tempat yang bisa penuh dengan air mata. Penuh rasa sedih dan gembira. Mengharu biru atau duka nestapa. Melebur semua menjadi satu dalam sebuah perpisahan. Beberapa tulisan memang sebagai pengingat saya, saya pernah bertemu mereka yang hebat, mereka yang rendah hati dan tetap beradaptasi pada dunia mereka yang lainnya. Di mana mereka menghirup udara yang sangatlah berbeda dengan keadaan lainnya.

Ada juga kisah kehidupan yang kuulas dalam tulisan, dalam foto, dan dalam nuansa-nuansa lainnya. Tentang kejujuran, nurani yang bicara, dan keberanian menjadi patriot sejati. Cara menjadi manusia yang sebenarnya tak pernah kubagi, tetapi komentar-komentar kawan-kawan adalah cara dan saluran bagaimana berproses lebih bijak. Pertanyaan-pertanyaan temanku yang pernah kuposting juga itu sebagai sekadar berbagi, bukan prosesku untuk memotivasi atau sok sebagai pakarnya dalam bidang polah pikir manusia.

Blog inipun juga pernah mati suri. Ketika aku sibuk bermain di petak lainnya, dia terlantar. Namun aku kembali menenun kata demi kata dan setiap jurnal yang tertulis seperti kisah sendiri dalam hidup. Kemenangan dan kekalahan, kebangkitan dan keletihan, semua silih berganti. Cerita-cerita perjalananku di mana setiap kakiku menyambangi jalan, kubagi cerita kepada aksara-aksara yang tak henti minta ditulis.

Nah, akhir tahun sudah datang lagi. Pesta akhir tahun, pesta kebun kuakhiri saja. Semoga persahabatan maya yang akan menjadi nyata, persahabatan nyata untuk keabadian, dan pesta ini adalah singgasana untuk berbagi, menapaki dan mengulas semua yang pernah kubagikan dan pernah kujalani. Para tetamu sudah menikmati sesajian dan berpamit pulang, mungkin akan kosong. Tetapi masih ada anjangsana-anjangsana lainnya yang membuat kita akan bertemu pada suatu ruang dan lorong waktu yang tak seorangpun tahu.

Sekarang, selamat tahun baru! Dirgahayu untuk semuanya! Pesta kebun berakhir sampai di sini. Kita bertemu di pesta lainnya...

Hendaknya hidup bukan sekadar menunggu, tetapi melakukan. Kemarin adalah sejarah, esok menjadi misteri, hari ini adalah hadiah. Tiada yang lebih indah dari semua itu. Itulah satu-satunya alasan menjadi kado yang paling baik dan nyata.





Jakarta, 4 Desember 2009 | 22.54
A.A. - dalam sebuah inisial


Rabu, 02 Desember 2009

Desember Awal

Aku belum juga mati. Kini satu tahun sudah datang lagi, Desember awal sudah membuka lembaran barunya. Ya, aku belum juga mati. Prediksi mereka sepertinya meleset sebegitu jauh. Nyatanya, aku bisa bertahan sampai saat ini, hanya saja tekanan sosial lebih menekanku daripada rasa sakit semacam flu saja yang dapat membunuhku sekejap mata.

Kalender menunjukkan 1 Desember.

Praktisnya, ini tahun keempatku berada di tempat ini. Begitu memilukan hidupnya, kata kawan-kawanku yang masih peduli denganku kalau mereka mengingat tanggal ulang tahunku pada hari pertama bulan kedua-belas. Tetapi aku lebih kerasan untuk tetap hidup di sini dengan wilayah sosialisasi yang begitu sederhana. Begitu kecil lingkup pertemanan yang kumiliki namun rasa keterikatan batin lebih kuat di antara sesama kami.

Kalender menunjukkan 1 Desember.

Penyakit ini memang akan membunuhku, aku tahu itu. Aku juga tidak pernah memintanya. Apalagi sampai memohon-mohon untuk mati dengan penyakit yang dikatakan penyakit kutukan ini. Ini bukan hanya sakit secara fisik, tetapi juga rohani benar-benar diremukkan oleh penyakit ini.

Seseorang berkunjung ke rumahku sebelum aku berkemah di dalam rumah yang kutempati ini. Keluargaku sudah tahu dan aku memang membukanya tanpa merahasiakan apapun dengan mereka. Jujur saja lebih baik dan kurasa aku mendapatkan penyakit ini karena uji sampel darah di mana pekerjaanku sebagai tim medis begitu dominan untuk mendapatkan penyakit ini.

Kujabat tangan seorang yang datang itu. Dia menyambutnya dengan ramah dan hangat.

"Hei... Lekas ke toilet, cuci tanganmu bersih-bersih. Dia HIV positif." Seseorang temannya lagi membisikkan pelan. Aku membaca dari gerak bibirnya. Aku begitu miris dengan hidupku sendiri. Aku merasa kasihan dengan diriku.

"Maaf, toilet di mana ya?"

Dengan pedih dan tercabik-cabik rasanya, aku menunjukkan jalan menuju toilet. Benar saja, dia langsung mencuci tangannya berulang kali di hadapanku.

"Ah, pasti kalian belum makan siang..." tebak ibu.

"Hahaha... Ibu tahu darimana?"

"Saya tahu raut wajah kalian."

Ibu langsung menyajikan kue-kue kecil ke hadapan mereka. Mereka berbinar-binar menatap kue itu, hendak mencaploknya segera. Ah, nikmatnya - pikir mereka. Aku tersenyum saja, itu hasil karyaku.

"Ini buatan anak saya."

"Hmmmh... Maaf Bu, kami sudah kenyang."

"Lho?! Katanya kalian belum makan siang?"

"Iya... Maksudnya tadi, kami masih kenyang, Bu..."

***

Hari ini kalender pada 1 Desember.

Ulang tahunku ke-28. Tak ada perayaan seperti dulu. Tak ada pesta meriah. Tak ada acara yang menarik. Semua kulewati dengan mereka yang sependeritaan.

Seorang dokter gigi menolakku mentah-mentah ketika karies pada gigiku membuat nyeri.

"Saya HIV positif, Dok..."

Dokter itu langsung meletakkan penanya dan mengatakan kepadaku: "Kami tidak menerima pasien yang terinfeksi HIV positif. Silahkan Anda meninggalkan ruangan ini dan mencari dokter lain."

Koyakan itu seperti ribuan godam, mengalahkan nyeri yang ada di gerahamku. Lantas, kalau aku seorang HIV harus dikucilkan seperti ini?

Hari ini 1 Desember, tahun keempat keberadaanku di sini, 28 tahun bertahan hidup, dan hari AIDS sedunia.

Mereka mengatakan jangan kucilkan kami, tetapi sampai sekarang kami tetap sebagai orang yang terkucilkan. Bahkan kami sakit bukan karena fisik kami yang lemah, tetapi goyah jiwa kami akibat mereka yang enggan berbagi cerita dengan kami. Kami dibunuh bukan karena virus yang ada dalam tubuh kami, tetapi mereka enggan menerima kami sebagai sesamanya. Antiretroviral memang menolong kami, tapi tidak menyelamatkan kami. Kami tetap dilakukan seperti itu di tengah kehidupan sosial kami.

Aku lebih memilih mati daripada sistem kasta yang tak tercantum dalam masyarakat bahwa kami harus disingkirkan...



2 Desember 2009 | Untuk Hari AIDS Sedunia
Stop AIDS: Akses untuk Semua !
Lawan virusnya, bukan orangnya...

Kamis, 19 November 2009

Arti Seorang Saudara

Tak pernah terpikirkan untuk beride semacam ini, menuliskannya kata-kata ini pada malam ini. Genap sudah akan apa yang harus kutulis. Mungkin ini hanyalah sebuah awal dari kata-kata, tetapi semua meluncur dengan sendirinya tanpa kendali.

Beberapa tulisan masih dalam bentuk draft juga menggantung sebagai permintaan maaf karena waktuku lebih menyita kepada menumpuknya tugas-tugas yang harus terselesaikan sebelum 2009 ini berakhir. -Seharusnya kamu tahu, aku kurang begitu suka dengan kehadiran deadline yang acap kali membunuhku untuk berkarya secara sempurna.-

Ada yang harus kutahan dahulu sampai akhir bulan ini. Semoga banyak pekerjaanku yang tertuntaskan pada akhir bulan ini dan kepingan itu untukmu. Kupastikan hal ini, tumpukan buku itu tak perlu lagi kamu baca secara cuma-cuma di toko buku sambil berdiri karena takut dimarahi oleh keamanan toko tersebut. Malah aku bahagia sekali jika dapat menjadikan cerita-cerita imajinatif itu menjadi milikmu.

Apa arti kehadiranmu selama 13 tahun -benarkan 13 tahun?- menjadi teman seperjalananku? Lebih dari sekadar teman, sahabat, bahkan saudara. Seolah semuanya melebur begitu saja karena kedewasaanmu melebihi yang kutahu dan kita memang lebih baik berada seperti ini. Berbicara dengan watak kita masing-masing dan cenderung memihak untuk mencapai pada mufakat. Berdiskusi sampai larut malam, membaca dari pagi sampai pagi, bermain dan tertawa sampai kita tersadar bahwa semua itu lebih dari yang kita percayakan saat ini bahwa kita ada karena keberadaan kita sendiri yang memang saling membutuhkan.

Kita berbagi cerita bahagia dan tragedi kepedihan. Bukan seperti sinetron. Melainkan realita hidup yang perlu untuk kita maknai lebih mendalam dan bukan sekadar main-main dengan waktu. Cerita-cerita yang kita selingi dengan tawa atau air mata adalah makna itu sendiri. Makna berbagi dan saling merasakan bahwa kita memang satu jiwa dan satu tubuh dalam ikatan satu darah. Bahwa kita sama-sama dilahirkan dari rahim yang sama dan dari orang tua yang mengenal kita yang sama.

Arti seorang saudara untukku adalah arti kehadiranmu sendiri. Seperti yang pernah kutuliskan di sini kepadamu satu tahun silam: "Karena kamu adalah bagian dari jiwaku" Aku berani mengatakan itu karena perasaan yang memang hadir dan bermakna lebih dari semua yang pernah kita lalui.

Pengalaman dan cerita yang pernah kita lewati bersama adalah porsi lebih dari sekadar seorang sahabat dan seorang saudara. Kau bukanlah saudaraku, tetapi belahan jiwaku. Kebahagiaan dan kedukaan yang terjalani adalah warna warni dari kehidupan kita. Hanya itu yang dapat kukatakan sebagai seorang saudara. Dirimu mendapatkan tahta terhormat dari hierarki yang ada di dalam diriku ini. Aku tak akan sungkan-sungkan bertaruh kehormatanku demimu.

Semoga kebahagiaan malam ini, menjadi milikmu selalu. Bahkan lebih...



Aku akan setia menjagamu sampai engkau berani mengepakkan sayapmu
Terbang jauh, dan aku yakin itu adalah awal kedewasaanmu
Namun aku selalu siap sedia ketika engkau terjatuh
Aku akan menghiburmu dan mengobatimu
(Dan tak sedetikpun kurelakan membuatmu menjerit sakit)

Brotherhood forever, I'm said...
I believe everything is forever









Teruntuk Adryan Adisaputra Tando
Jakarta, 19 November 2009 | 20.03

Rabu, 18 November 2009

Maaf

Mungkin memang harus kuucapkan maaf sebelum pukul dua belas malam ini tepat datang menyinsing. Sebelumnya, kamu harus tahu satu hal: aku senantiasa akan menepati janjiku. Kamu tak perlu tahu apa yang akan kuberikan kepadamu setelah hari-hari yang begitu jauh sudah kupikirkan. Untuk saat ini, memang kamu boleh kuperkenankan untuk mengecapku sebagai seorang yang tak pernah tepat pada ikrarnya. Tetapi akan kugenapi semuanya ini ketika hujan tak akan pernah turun lagi di bumi dan matahari saja yang akan memanggang kulit kita.

Sejatinya kamu tahu, aku tidak pernah takut akan kematian...

Lantas apa yang harus kita bagi dengan hidup? Aku saja masih bertanya kepada waktu yang begitu lelah berputar. Detak jantungnya untuk memutar detik begitu lambat sampai-sampai hendak aku tertidur di hadapannya. Terkadang kita perlu bersabar menghadapi semua ini. Aku tidak tahu apa engkau masih mengingatku sebagai seorang saudagar yang kaya akan janji yang tak urung lepas tetapi aku tahu akan satu hal untuk esok hari.

Malam sudah datang, tidurlah sebelum kau terlelap tanpa izin...

Mungkin aku tidaklah sepandai dahulu meramu seluruh kata-kata kepadamu untuk mengucapkan maaf, memang lebih baik seperti ini. Penuh kebenaran dan ketulusan, aku belum sanggup menggenapi janji kepadamu. Kepadamu seluruhnya. Namun aku tidak akan lekas hanyut sampai aku belum sanggup menggenapi janji kepadamu. Percaya untuk satu hal ini dan catatlah...


Kalau memang tak sampai waktuku
Cukuplah catatan ini saja menjadi balasannya
Bukan prasasti, bukan sebuah yupa
Tetapi pengingatku akan ikrarku sampai mati
Kepada sebuah kata, memang harus kuucapkan
Begitu berat di lidah, hatipun enggan berkata


::: untuk sebuah kata -maaf- :::


Maaf untuk semua yang tertunda
Maaf untuk semua kelalaian
Maaf untuk semua kesalahan
Maaf untuk semua yang patut dikatakan maaf...





Malam penuh penyesalan,
Jakarta diwangikan dengan hujan
18 November 2009 | 20.32

Minggu, 15 November 2009

Setetes Air

Bapak enggak memakannya. Sakit memaksanya hanya dapat menerima asupan konsumsi lewat selang yang begitu lambat mengalir untuk masuk ke dalam tubuhnya. Aku tetap setia menunggunya. Walaupun dokter sudah mengetok palu, memberikan vonis kepadanya, tak akan lama lagi waktunya, aku tetap menantinya.

"Aku haus..."

Aku tidak diperbolehkan memberikannya minum. Paru-parunya sudah begitu basah. Dokter mengatakan cukuplah suplai dari infus saja yang hanya boleh masuk ke dalam tubuhnya. Zat kimia sudah begitu banyak menumpuk di dalam tubuhnya. Setiap jam, setiap menit, perawat dan tim medis lainnya hilir mudik. Entah mereka mengukur tensi dan suhu tubuh bapak, memeriksa infus, mengganti botol infus, memberikan suntikan, dan lainnya.

Bau obat ini cukup mengenyangkanku. Aku tak bisa makan. Perutku serasa penuh.

Bapak mencengkram tanganku, namun tidaklah keras. Aku tahu apa yang dikehendakinya. Air. Aku tetap berpura-pura mengacuhkannya. Ini demi kesembuhanmu, Pak...

Namun, bukannya bapak menyerah dan membiarkanku tetap pada pendirianku, bapak malah melambai-lambaikan tangannya ke dekat meja di mana gelas berisi air penuh diletakkan. Ia hampir menggapainya, namun gelas itu pecah.

"Praaaang...."

Aku hanya tercengang menatapnya. Bapak menjatuhkan tangannya lunglai. Perlahan ia menangis. Benar-benar air matanya jatuh. Aku berusaha mengembalikan posisi tidurnya sambil merayunya.

"Pak, paru-paru bapak sudah terlalu basah..."
"Aku hanya ingin minum. Aku haus."
"Tapi ini demi kesembuhan bapak."
"Aku akan mati, aku tahu. Aku tak akan sembuh."

Ketika ia mengatakan itu, pecahlah air mataku. Membelah pipiku sendiri.

"Bapak, jangan bicara seperti itu!"
"Berikan aku minum, setetes saja. Aku tak akan meminta lagi."

Aku meminta gelas baru dan menuangkan air untuknya. Sesuai dengan kesepakatan: setetes air. Kujatuhkan setetes ke dalam mulutnya. Bibirnya begitu kering.

"Tiba saatnya..."

Bapak tertidur, lelap... Lelap sekali. Dan tak pernah bangun lagi untuk meminta setetes air.




Jakarta, 15 November 2009 | 11.42
Terngiang menjagamu di kamar beku itu

Sabtu, 14 November 2009

Mungkin Dia Tersipu Malu

ke mana wahai sangkakala yang memerdukan fajar
ketika anak-anak kecil berlari hanya dapat mendengar
dan mereka tidak tahu di mana mata suara nyanyian itu

"hei... dapatkah kalian tahu di mana itu?"
anak-anak lain menggelengkan kepalanya dan berlalu
mereka berlari-lari mengejar matahari

"ah, dia seorang gadis, pandai memainkannya..."
orang itu berlalu dan meninggalkanku sendiri
aku masih mencari mata suara itu, hendak kutemui dia

suara itu semakin cepat, deras, dan dekat
tapi tak ada jalannya menuju kepada dia
ah, mungkin dia malu kepadaku


Jakarta, 14 November 2009 | 7.38

Sabtu, 24 Oktober 2009

Kabut Hitam

Kabut Hitam
Catatan Kaki-kaki [3]



"Aku begitu heran mengapa pagi ini hanya ada awan hitam tanpa matahari. Mungkin akan ada pertanda buruk, mungkinkah firasat semalam akan lekas menjadi kenyataan."
"Hei, kenapa begitu pesimis? Firasat itu hanyalah permainan hati. Kita bisa menerima dan jalankan saja semua alurnya. Kita mainkan saja melodi-melodinya."
"Tapi aku takut, awan sudah diselimuti kabut. Kata orang, ini adalah pertanda yang kurang baik. Walau aku tahu ini adalah musim hujan, tetapi mengapa harus sekarang askan turun hujan. Apakah tak ada hari lain?"
"Mungkin saja ada, tapi waktu sudah menentukan kehendaknya juga."




Catatan Kaki-kaki adalah serial 99 catatan dengan gaya bahasa komunikasi antar dua orang. Tulisan ini pernah dilabuhkan di blog lama saya dan pada akhirnya berlabuh juga pada blog ini. Tulisan yang ada di dalam serial ini tidak akan pernah dapat disamakan dengan cerpen karena karakter tulisannya yang terlalu sedikit. Di sini -dalam serial ini-, tidak akan pernah ditemukan narasi yang tidak dalam bentuk dialog.

Jumat, 09 Oktober 2009

Kembali

Ketika kita beranjak pergi, mengangkat ransel, mengenakan sepatu gunung, dan tertatih-tatih melangkah meninggalkan rumah, akankah kau ingat masakan di rumahmu yang harumnya sampai ke hidungmu tak terbatas jarak? Ketika pintu rumah menanti untuk kau datangi setelah engkau beranjak pergi begitu jauh, lepaskan sepatumu dan masuklah sejenak, ingat-ingatlah masa kecilmu yang bahagia.

Merpati pun akan pulang ke sarangnya setelah beranjak begitu lama. Ikan-ikan akan kembali ke dalam karangnya setelah bermain-main di dasar laut. Pengembara akanlah singgah dan beristirah di rumahnya sejenak untuk melepas rindu kepada kampung halaman. Semua akan kembali pada mulanya seperti yang ada tertulis bahwa debu kepada debu dan tanah kepada tanah.

Begitu pula dengan menanti, kita berjalan seperti Tuhan menulis skrip permainan ini. Aku berlari, berjalan, terjatuh, terantuk, bangkit, dan akhirnya akupun juga akan pulang. Karena penantian panjang semua manusia adalah kembali kepada Sang Pencipta sebagaimana telah ada tertulis dan itu sudah menjadi paten setiap waktu dan sepanjang masa.

Sudah tahulah semua manusia bahwa manusia boleh berencana tetapi Tuhan sudah berencana jauh dari dahulu pembentukannya dunia ini. Kita hanya menerima dan menjalankan semuanya. Kita adalah petualang dan peziarah dunia yang akan mencari suatu jalan kembali kepada Tuhannya manusia masing-masing pribadi. Puncak kemenangan dan kejayaan seorang petualang adalah ketika dia kembali dengan selamat setelah mengarungi dasar lautan, mendaki puncak gunung, melintasi jalan berliku, mengepakkan sayapnya di awan-awan. Begitu pula dengan hidup ini, kita menanti, mencari, dan menerjemahkan semua aral dan tujuan hanya untuk menemukan sesuatu jalan: kembali.

Sabtu, 03 Oktober 2009

3 Oktober

Sudah Oktober lagi rupanya,

kamu masih memandang langit itu?
masihkah menghitam pekat seperti tahun lalu?
di sini hujan, begitu derasnya
kadang kilatpun masuk tanpa mengetuk pintu

tak mengenal permisi, katamu
dan kini seperti kilatan kamera ketika kupotret

ah, ya... masih ada beberapa bulan
sebelum tahun ini habis, bukan?
butuh konsistensi lebih kepada waktu
jangan pernah bercanda kepadanya
kita akan terus dibawanya menjadi tua

mari kita bentuk epilog menarik
di ujung kisah perjalanan ini

hujan masih turun dengan derasnya
mungkin dia merindukan bayangmu
untuk tidak lagi membuatnya meruntuh

yah... ya... baiklah
kita mengetas rindu atas jauhnya jarak
kita mencari hati di bentangan laut luas
bagaimana rasanya berbagi di antara daratan
dan laut menjadi pemisah yang begitu nyata
bukankah pada tanggal ini juga
aku berada di kota itu dalam kesunyian
di dalam kereta malam, kutatap jendela
terbelah-belah oleh percikan hujan

aku masih mengenalmu
dalam satu nama
dalam satu jiwa
dalam satu pribadi utuh

dan ketika perpisahan
ada baiknya aku bermain dalam monolog
toh, kita juga menjalani semua dengan improvisasi

lantas, hari ini
apa yang harus kubagi?



3 Oktober 2009 | 20.29
Jakarta yang dibelah hujan
AA - dalam sebuah inisial

Kamis, 01 Oktober 2009

Doa Seorang Kawan

Kawan,
Mungkin aku sendiri tidak merasakan apa yang terasa kini
Aku tak dapat membaca isi hatimu yang penuh gundah gulana
Penuh air mata yang mengoyak batinmu dan tak bisa kau sunggingkan senyuman
Tapi Tuhan tahu, karena Ia tidak pernah membutakan mataNya untuk memperhatikan engkau
Dia menghitung setiap tetesan air mata yang kau jatuhkan
Dia menghitung luka-luka yang tergores di ragamu

Kawan,
Mungkin aku tak dapat menghiburmu, membuatmu tertawa
Aku tak tahu sedalam mana engkau terluka kehilangan semuanya ini
Sekejap saja, getaran itu merampas semua yang engkau miliki
Dan semua itu haruslah ditebus dengan air mata, jerit tangis, histeris, bahkan kematian
Tapi Tuhan tahu, karena Is tidak pernah mematikan nuraniNya untuk mengulurkan kebutuhanmu
Dia sudah mencatat semua yang akan engkau butuhkan
Dia akan mengirimkan semua perlengkapanmu untuk melanjutkan hidup

Kawan,
Kita tak pernah memilih, meminta, mendoakan, dan merancang semuanya
Kita tak pernah menginginkan, mencari, dan mengharapkan semuanya
Engkau berkata: takdir... takdir... aku harus menerimanya ini
Aku belajar dari semua cerita pedih ini, tragedi yang penuh dengan gambaran hitam
Semuanya hanyalah sementara, dan Tuhan tidak pernah main-main dengan ciptaanNya

Kawan,
Jangan pernah salahkan dirimu, jangan kau cerca Tuhanmu
Tak sepenuhnya dosamu juga tak sepenuhnya Tuhan marah padamu
Kita harus ditampar karena kita sudah tak dapat lagi disentil
Kita sudah kebal dengan sentilan, kita harus mendapat yang lebih sakit lagi
Mungkin aku dapat berkata seperti ini, tapi engkau...
Entahlah, bagaimana keadaanmu di sana di mana engkau masih mencari hidup
Mencari ayah, ibu, anak, saudara, kakek, nenek, dan sanak keluargamu
Menangisi mereka yang sudah berpulang dalam reruntuhan

Kawan,
Ingatlah, aku masih perduli kepadamu, jangan salahkan dirimu
Kuyakini semua doamu Tuhan dengar, Tuhan akan mengabulkan
Dia akan mengembalikan dan mengandakan semua yang telah kau miliki sebelumnya
Kita tak pernah meminta, memilih, dan mencari semua ini
Tuhan akan mengamini seluruh doamu, Tuhan tidak menulikan telingaNya
Tuhan sayang kepadamu dan Dia menginginkan sesuatu darimu

Amin







Dedikasi untuk sahabat-sahabat di tanah bencana
Teriring doa untuk kalian semua, tetap tegar



Jakarta di Hari Kesaktian Pancasila 2009 | 21.32

Senin, 28 September 2009

Sang Petualang

Sang Petualang
Catatan Kaki-kaki [2]


"Kamu masih ingin berangkat? Dengan keadaanmu seperti sekarang ini? Ah, jangan gila kamu! Kalau terjadi apa-apa, aku tak tahu lagi bagaimana keadaanmu."
"Percaya saja, modalnya hanya itu. Semua akan baik-baik saja. Aku sudah mulai merasa lebih baik dan siap untuk mengangkat ransel kembali."
"Tolong hubungi aku kalau terjadi apapun denganmu, aku pasti akan cemas menunggu kabar darimu. Aku tahu jiwamu itu memang membara, tetapi peduli jugalah denganku, dengan mereka yang menantimu."
"Lepaskan aku, tolong... Bebaskan diriku untuk meraih gunung bahkan aku ingin mati di puncaknya!"



Catatan Kaki-kaki adalah serial 99 catatan dengan gaya bahasa komunikasi antar dua orang. Tulisan ini pernah dilabuhkan di blog lama saya dan pada akhirnya berlabuh juga pada blog ini. Tulisan yang ada di dalam serial ini tidak akan pernah dapat disamakan dengan cerpen karena karakter tulisannya yang terlalu sedikit. Di sini -dalam serial ini-, tidak akan pernah ditemukan narasi yang tidak dalam bentuk dialog.

Selasa, 22 September 2009

Hai, Pagi

Hai pagi,
mari kita minum sajian kopi pahit ini

Hai pagi,
mari kita santap
roti sarapan ini

Hai pagi,
mari kita bekerja untuk hari ini

Senin, 21 September 2009

Kepada Pagi Ini

Kepada Pagi Ini
Catatan Kaki-kaki [1]




"Ah, katamu kita berbicara di depan kafe itu sambil mencari sinyal wi-fi pagi ini."
"Adakah baiknya kita terdiam sejenak?"
"Oh, pada mulanya seperti itu saja."
"Jangan pernah buang waktumu itu, lantas gunakanlah saja."
"Kuharap demikian, mari nyalakan notebookmu dan bekerjalah karena hari-hari adalah jahat."







Catatan Kaki-kaki adalah serial 99 catatan dengan gaya bahasa komunikasi antar dua orang. Tulisan ini pernah dilabuhkan di blog lama saya dan pada akhirnya berlabuh juga pada blog ini. Tulisan yang ada di dalam serial ini tidak akan pernah dapat disamakan dengan cerpen karena karakter tulisannya yang terlalu sedikit. Di sini -dalam serial ini-, tidak akan pernah ditemukan narasi yang tidak dalam bentuk dialog.

Senin, 07 September 2009

Buah Maja untuk Sang Patih

Aku benar-benar kasihan dengan Gajah Mada. Sekian lama dia berjuang, memberontak terhadap berbagai macam kerajaan dengan upayanya menyatukan nusantara malah kandas di ujung jalan dengan kegagalannya untuk merebut Sunda. Bahkan sampai kini, Sunda dan Jawa masih sulit untuk disatukan. Walaupun sudah diberikan nama Indonesia, dalam keberagamannya, kita masih sulit menyatu.

"Aku ingin memberikan buah Maja untuk Gajah Mada."
"Apa? Sudah gila kau?!"
"Tidak! Aku ingin menghadiahkannya. Begitu malang nasibnya sampai akhir hayatnya."
"Aih, benar-benar gila kau ini!"

Aku memetik beberapa Maja yang begitu pahit dan sepat. Memasukkannya ke dalam saku celanaku. Aku mengingat Dyah Pitaloka yang akan dipinang oleh Prabu Hayamwuruk dan Gajah Mada berkumandang bahwa Dyah Pitaloka adalah penyerahan utuh dari Kerajaan Sunda. Seandainya Hayamwuruk tahu, utusannya pernah jatuh cinta kepada Dyah Pitaloka.

Kalau saja Gajah Mada tak punya pemikiran menyatukan nusantara, mungkin Dyah Pitaloka tak akan mati bunuh diri dan Hayamwuruk akan hidup bahagia dengannya. Namun kalau Gajah Mada tak punya pemikiran dan bersumpah tak akan memakan Maja, aku tak akan pernah singgah ke makamnya untuk memberikan buah Maja kepadanya.

"Patih, ini untukmu... Hadiah untuk Patih yang tak pernah menyerah."

Beberapa butir buah Maja kuletakkan di atas makamnya. Entahlah benar atau tidak itu makamnya, namun aku sudah membulatkan janji menghadiahkannya buah Maja sebagai apresiasi atas lambang kebijaksanaan dan kesetiaannya sampai akhir hayat. Termasuk mengecap pahitnya buah Maja.

"Selamat menikmati, Patih!"





Jakarta, 7 September 2009 | 20.13

Sabtu, 29 Agustus 2009

Minor

Bagaimana kita mendeskripsikan sebuah nada merendah, sebuah nada penuh kepedihan dan air mata? Ketika semua nada didendangkan dalam bentukan nada minor, akankah kita bertanya seperti itukah hidup kita sesungguhnya? Dalam pembentukkan kosa kata yang menjadi bait-bait dan seluruh notasi penuh dengan alunan nada yang meringkih pada kelirihan mendalam. Aku sendiri masih bertanya-tanya bagaimana menjelaskan semua ini ketika aku masih bimbang dalam keadaan di mana hidupku adalah antara sopran dan tenor.

Kamis, 20 Agustus 2009

Percakapan di Bawah Tiang Bendera

Dua insan terduduk di bawah kibaran kain yang menari-nari di awan-awan. Mereka menegakkan kepala menuju ke arah kibaran kain terbelah dua dengan arah hendak menantang terik matahari. Begitu menyengat, panas, sambil menyekah peluh yang mengalir sendirinya di pori-pori kulit mereka. Dua insan berbeda kulit.

Kulit putih:
Kau bangga jadi orang di tanah ini?

Kulit hitam:
Bangga! Aku sangat bangga sekali dengan diriku yang bisa lahir di tanah ini.

Kulit putih:
Aku malah merasa malu. Sumpah, betapa malunya aku menjadi orang di tanah ini!

Kulit hitam:
Lho?! Kenapa?

Kulit putih:
Aku malu dengan keadaannya. Pemerintah berteriak jangan korupsi, tetapi mereka yang menjadi pelakunya. Kesuburan tanah mulai tak ada. Ini bukan tanah agraris karena berasnya pun bukan asli dari negeri ini. Negeri maritim? Juga bukan lagi. Ikan-ikan dan isi lautnya ditelan oleh bangsa lain.

Kulit hitam:
Lalu? Kenapa harus malu? Aku yang sebagai orang yang lahir dan keturunan bangsa ini sejak nenek moyang juga tak mengenal malu. Aku tetaplah berjalan dan bangga karena bukan aku yang bertindak.

Kulit putih:
Mungkin itu kamu, aku sebagai bagian dari negara ini, walau bukanlah penuh berdarah dari tanah ini, aku merasa malu. Kita yang dulu dikenal sebagai negara kaya raya akan semuanya sekarang menjadi jatuh melarat karena ketamakan dan keegoisan semata.

Kulit hitam:
Ah, kamu...

Kedua insan kembali menatap kibaran bendera. Merah menginjak kepala putih membentuk dan terbentang di atas tiang. Angin menampar pipi mereka, melayangkan bendera. Kedua insan itu masih memukaukan diri di bawah kibaran.


Jakarta, 20 - 21 Agustus 2009 | 7.47
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 15 Agustus 2009

Gone Too Soon

Trofi itu tidak seharusnya dipegang oleh adiknya. Dia yang harusnya memegang dan menerimanya dengan rasa penuh bangga. Bukan oleh adiknya. Seandainya dia tahu kalau dia akhirnya benar-benar berhasil menjadi pemenangnya. Pemenang lomba penulisan itu. Sebuah trofi yang dia cita-citakan akan dia pegang kelak. Namum semuanya sudah berakhir ketika sebuah peristiwa membuatnya menjadi mati daya. Dan aku? Aku pasti benar-benar bangga dengannya, keberhasilannya adalah sebuah pencapaian tertinggi dari perjuangannya empat tahun menjadi seorang penulis.

Aku tahu benar bagaimana perjuangannya. Aku yang menemaninya dan menguatkannya ketika dia bercerita bahwa dia sedang rapuh. Rapuh jiwanya. Ketika dia berusaha mencari Tuhan sampai ke ujung dunia, padahal Tuhan ada di hatinya itu. Hatinya yang gelisah karena terlalu banyak tuntutan yang harus dia pegang.

Hanya dengan menulislah, dia dapat mencurahkan semua isi hatinya yang gundah itu. Dia jarang mau bercerita banyak. Sekadar poin-poin penting dari permasalahannya saja. Lebih senang mendengarkan tembang-tembang yang perlahan menikam hati, menyayat-nyayat jiwanya. Kadang aku tahu, dia sering menangis ketika sedang menulis sambil mendengarkan lagu-lagu semacam itu. Aku sering protes kepadanya: untuk apa kau dengar lagi kalau hanya menyayat jiwamu? Dengan santainya dia bergumam kepadaku," lebih baik daripada aku mendengarkan lagu bernada keras yang membuat aku semakin rapuh."

Air mataku semakin meleleh ketika tahu bahwa perjuangannya selama ini memanglah tak pernah sia-sia. Seperti apa yang pernah dikatakannya kepadaku: perjuangan tak pernah ada yang sia-sia. Hanya kesempatannya untuk menikmati hasilnya sudah begitu terlambat. Dia terpaksa diwakilkan oleh adiknya sendiri, dia begitu menyayangi lelaki hitam gempal itu. Wajahnya tak jauh seperti dirinya. Melihat wajah adiknya sama saja aku melihat wajah dirinya.

"Mengapa kau begitu putus asa?"
"Aku butuh tempat pelarian yang lebih."
"Begitu miriskah?"
"Jiwaku tertikam karena perbuatan mereka. Perbuatan mereka yang benar-benar menyakitkan aku. Sungguh!"
"Tapi aku tak pernah melihatmu menangis?"
"Karena air mata selamanya tak akan menyelesaikan masalah. Hanyalah sebagai tempat pencurahan dan pembebasan hati yang meresah saja."

Dengan bangganya, dia menunjukkan hasil karyanya, hasil tulisannya kepadaku. Akupun terkagum-kagum di usianya yang sangat belia, dia pandai memindai kata-kata. Seperti apa yang dikatakannya kepadaku: "akan kususun semua huruf, kubentuk semua kata, kucarikkan semua kalimat, maka aku akan menjadi diriku sendiri."

Benar saja, ketika dia menuliskan cerpen pertamanya berbau cerita anak, dikirimkannya berkali-kali kepada surat kabar nasional di kota ini. Kuhitung, dia mengirimkan naskahnya yang sama sekitar tujuh kali. Sampai dia katakan bahwa pos di kota ini adalah penipu. Dia merasa bahwa pegawai kantor pos membuka isi suratnya, maka tak dikirimkannya kepada redaksi surat kabar itu. Dikirimkannya pula dengan ekspedisi, tetap saja mengundang rasa kecewanya. Dia tak percaya dengan ekspedisi. Kurasa kalau dia tahu alamat kantor redaksi surat kabar itu begitu dekat, dia akan langsung menuju ke sana. Memberikannya langsung kepada sang editor. Aku tahu dia adalah seorang yang nekad setengah mati.

Seorang guru Bahasa Indonesia memberikannya nilai nol karena ulah seorang teman sekelompoknya yang salah bicara. Dia dengan lantangnya dan beraninya berdebat dengan guru itu. Dia berjuang setengah mati untuk mendapatkan nilai itu. Katanya, "itu hak kita untuk mendapatkannya, bukan haknya untuk memberikannya nilai nol kepada kita." Aku sudah pasrah kalau sampai-sampai memang benar kita diberikan nilai nol atas ulah seorang kawannya itu.

"Bukan salah kami! Itu kan karena dia yang tak kerja, maka dia tak tahu apapun yang kami kerjakan! Mengapa kami yang harus diberikan nilai nol?"
"Saya tak mau tahu! Itu urusan kalian!"
"Saya yang harusnya mengatakan itu, ibu yang sebagai guru kami harus tahu mengenai dia. Dia tak mengerjakan sama sekali! Mengapa karena dia jugalah kami harus mendapatkan nilai nol?"

Kesannya memang kurang ajar, manalagi dia adalah murid baru. Tapi aku tahu, memang wataknya yang keras itu membuatnya menjadi pribadi yang berani memberontak terhadap apapun. Dia pernah mengatakan kepadaku suatu hal: "seperti itulah kita melawan dan berani terhadap apapun yang salah, maka kita dapat mengenal siapa kita sesungguhnya."

Dengan terbata-bata adiknya mengucapkan kata-kata terima kasih dan memohon maaf kakaknya tak dapat hadir. Mau tak mau, adiknyalah yang menerima trofi kemenangan itu. Kemenangan atas sebuah perjuangan keras dirinya menjadi seorang penulis. Namun itu semua begitu terlambat. Seandainya para juri menyadarinya, dia memang seorang penulis berbakat.

Tak ada darah sastra dalam keluarganya. Dia membentuknya sendiri jiwa itu. Dia ingin menjadi pribadi yang lain di antara yang lainnya. Karakter yang aneh, kukatakan ada pada dirinya. Namun dengan cara itulah dia bisa menjadi dirinya sendiri, seperti apa yang dikatakannya.

Aku mencintainya sebagai kawan perjalanan, aku mencintainya sebagai sahabat yang setia, aku mencintainya sebagai orangtuaku sendiri. Dia begitu dewasa terhadap semua masalah. Dia begitu tegar menjadi dirinya sendiri. Walaupun dia tahu, itu sangat menyakitkan dirinya. Dia tak pernah membohongi keadaan yang ada pada dirinya. Bukannya aku tak peduli dengan keadaannya, tetapi aku lebih mencintainya seperti itu. Karena seperti itulah aku lebih mengenal siapa dirinya dan seperti apa sesungguhnya.

Ketika aku memasuki kamarnya, bau sastra begitu tercium sekali. Mejanya berisi buku. Semuanya nyaris buku sastra. Dari Pramoedya Ananta Toer sampai ke Dewi Lestari. Bahkan dia menghadiahkan buku yang kini sudah sulit dicari, Filosofi Kopi. Puisi-puisinya tertata dengan rapi. Cerpen-cerpennya dimasukkannya ke dalam folder. Ketika aku sedang berselanjarkan tubuh di ranjangnya, dia malah membuka bukunya. Menuliskannya. Jadilah dalam sekejap. Sebuah puisi.

"Bulan depan aku pindah ke Pekanbaru."
"Oh, ya sudah!"
"Kok kamu ga ada simpati-empati?"
"Untuk apa? Toh hidup ini sudah susah mengapa harus dibuat lebih susah lagi?"

Pertemuan terakhirku adalah ketika menemani jiwa petualangannya. Dia memang jiwa petualang. Dia ingin mendaki gunung, sampai puncaknya. Sebelum mati, dia ingin ke Cartenz Pyramid. Gunung tertinggi di Indonesia. Atau kalau bisa, dia ingin ke Everst. Menghabiskan sisa hidupnya di puncak sana. Gila! Kupikir memang dia gila. Tetapi segila apapun dia, dia tetaplah kawanku, kawan yang kukasihi.

Sehari sebelumnya aku berangkat, dia meracik sebuah tulisan untukku. Atas pertanyaan mengapa ada kata perpisahan. Dan itu cukup menegarkan aku untuk menceraikan diri daripadanya. Dia bisa membuatku sebegitu tegar. Dengan gayanya yang sesuka hatinya, tak perdulinya, jiwa petualang, dan darah sastranya memang tetaplah dia. Kawanku!

Ketika aku tiba di Pekanbaru, kutelepon dirinya. Tak diangkat, mungkin dia sedang online di messenger. Kubuka messenger, dia offline. Kupikir dia sedang pergi. Kutinggalkan saja SMS untuknya. Lima jam tak dibalasnya. Ke mana dia?

Kubuka Facebook-ku. Aku tersontak kaget bukan kepalang. Semua kawanku di Jakarta yang mengenal dia menuliskan status dukacita. Dia berpulang. Kecelakaan motor telah merengut nyawanya. Ketika kubuka buku darinya, tiba-tiba tangisku pecah seketika. Aku tak bisa menahannya lagi. Sungguh! Dia sudah berpulangkah?

Aku nekad ke Jakarta. Kembali pulang, sejenak saja. Untuk menemui dirinya. Aroma kematian menyerbak. Aku dijemput kawan lamaku dan mengantarkanku ke rumah duka. Dia sudah ada di pembaringan peti mati. Kaku. Wajahnya begitu damai. Damai sekali seperti cara bicaranya dan gayanya yang begitu menjadi dirinya.

"Dia tak dapat hadir hari ini karena dia sudah meninggal dunia. Dua bulan yang lalu. Seandainya dia tahu dia berhasil memenangkan trofi ini, jiwa menulisnya akan semakin menggila. Nyatanya, dia terlalu cepat untuk berpulang sebelum dia sendiri yang menikmatinya."

Aku tak dapat membendung air mataku lagi. Dia jatuh tanpa seizin aku. Ketika adiknya berbicara seperti itu, aku merasakan dia ada di sini. Dia ada. Dia ada untuk keberhasilannya itu. Semua puisinya, semua cerpennya yang dia tuliskan di dalam blog ataupun carikan kertas akanlah menjadi aset berharga untuk keluarganya. Cita-citanya menjadi seorang penulis kini telah menuaikan hasil, tetapi dia terlalu cepat untuk berpulang.

Ketika dia hidup, dia merasa sendiri. Merasa kosong. Ketika dia meninggal dan sudah tiada, mereka terus menantinya. Banyak orang yang perduli denganmu, kawan! Mengapa kau merasa sendiri dalam jiwamu yang kosong itu? Mengapa?! Apa yang kau pikirkan?

Mungkin dia menyusul idolanya, Michael Jackson. Dia memang sudah menanti saat-saat itu. Dia ingin ber-moon-walking dengannya. Aku tahu, Tuhan sayang padanya. Tuhan sayang kepadanya. Dia mencari Tuhan dalam gelisahnya, padahal Tuhan sayang padanya dan ada di hatinya. Dia sudah pergi, tetapi terlalu cepat. Gone too soon...


Like A Comet
Blazing 'Cross The Evening Sky
Gone Too Soon

Like A Rainbow
Fading In The Twinkling Of An Eye
Gone Too Soon

Shiny And Sparkly
And Splendidly Bright
Here One Day
Gone One Night

Like The Loss Of Sunlight
On A Cloudy Afternoon
Gone Too Soon

Like A Castle
Built Upon A Sandy Beach
Gone Too Soon

Like A Perfect Flower
That Is Just Beyond Your Reach
Gone Too Soon

Born To Amuse, To Inspire, To Delight
Here One Day
Gone One Night

Like A Sunset
Dying With The Rising Of The Moon
Gone Too Soon

Gone Too Soon

Michael Jackson - Gone Too Soon


Jakarta, 9 Juli 2009 | 20.12

Selasa, 28 Juli 2009

Ulang Tahun, Bertambah atau Berkurang Usia?

Apa arti ulang tahun bagi seseorang? Saat-saat membahagiakan pastinya, bukan? Ketika seseorang mengucapkan "selamat ulang tahun", berlonjaklah hati gembira. Datanglah kiriman kado, ucapan, dan jutaan kebahagiaan dari berbagai penjuru mata angin. Lalu apa yang akan dilakukan? Membuka kado, membalas ucapan-ucapan, atau makan-makan sekadar berbagi kebahagiaan di usia yang baru?

28 Juli 2009, seorang kawan berulang tahun. Kalau ditanya siapakah dia, sudah beberapa kali namanya kutampilkan di dalam tulisan-tulisanku yang tanpa sengaja terpatri di blogku ini. Ya, seorang kawan dan seorang saudara angkat jauh yang diangkat tanpa sengaja oleh sebuah pertemuan yang juga tanpa sengaja. Berlianevie Harjan.

Ada tiga atau sempat postingan yang kutulis dariku, olehku, dan untukku (dan untuknya). Dan kini, hari ini, halaman ini seratus persen kupersembahkan untuknya sebagai rasa persaudaraan dan rasa persahabatan kita yang tak akan pernah kubuat pudar sama sekali. Ketika rentang waktu yang kita miliki begitu jauh dan jarak yang memisahkan kita begitu terbentang luas, mungkin tulisan ini kukirimkan kepadamu sebagai ucapan terima kasih dan terpatri kata selamat untukmu.

Selamat? Selamat apa?

Selamat ulang tahun, untukmu... Untukmu kawan!

Sesungguhnya, aku tak tahu bagaimana ulang tahunmu hari ini. Apa kau masih mengingatnya atau lupa karena terlalu sibuk? Jangan seperti aku, diingatkan kawan sendiri ketika berulang tahun karena selalu lupa tanggal! Maka jangan heran kalau ada yang mengatakan: "Av, selamat ulang tahun!" Kadang aku hanya tercengang dan membalas ucapannya dengan dua kata: terima kasih. Ketika kulihat kalender di telepon genggamku, barulah kusadar bahwa hari ini memang hariku mengulang usia baru.

Kalau ditanya apakah bahagia dengan usia baru? Dengan jujur, kukatakan tidak. Aku merasa semakin tua dan tua. Rasanya kalau mau berjiwa seperti anak-anak, tak akan mungkin. Sadar diri. Padahal wahana yang paling nikmat untuk bermain dan menikmati hidup adalah ketika kita masih muda dan anak-anak. Maka berbahagialah mereka yang masih muda, nikmati masa anak-anak kalian.

Ketika seseorang telah memasuki babak pendewasaan, semakin lenyap masa-masa bermain. Mereka harus bisa mendewasakan dirinya bagaimanapun keadaannya. Sayangnya, tak sedikit orang yang tua namun tak dewasa. Mengutip perkataan kawanku Bung Galih: "tua itu pasti, dewasa itu pilihan." Dan aku mengamininya. Memang benar, tak banyak orang yang dapat berpikir dewasa.

Maka, kalau aku bertanya, patutkah berbahagia kala ulang tahun? Ketika usia bertambah menjadi tua, raut wajah akan semakin keriput, dan kita kehilangan jiwa kemenangan kita. Ketika pijakan usia di dunia semakin singkat, merunut dimakan waktu perlahan. Pada akhirnya kita akan tertuju pada satu jalan dan semua orang pasti sama-sama akan menjalaninya. Hanyalah berbeda waktu, tempat, dan caranya saja.

Ah, kawan, kalau kau baca postinganku ini, janganlah kau rasa hari ini kau tak patut bersuka cita karena umurmu bertambah atau terpelangah di depan cermin sambil memandangi wajahmu. Keriput atau tidak. Hahaha... Sebaliknya, rekoleksi diri dan persiapkan diri untuk tingkat kedewasaan lebih mendatang.

Nah, sahabat, apa alasanku membagikan tulisan ini? Itulah ungkapan perasaanku ketika aku yang mengalami ulang tahun. Aku selalu menolak untuk menjadi tua dan tua. Malah sebaliknya, aku masih ingin berpetualang dengan jiwa mudaku ini. Selalu dan selamanya. Mengutip kata Chairil Anwar dalam puisinya Aku: "Aku ingin hidup seribu tahun lagi..." Kau kan tahu sendiri jiwaku macam apa. Apa yang ingin kuraih dalam hidup dan di mana kelak aku menginginkan nyawaku melayang. Kurasa semuanya nyaris kau ketahui.

Harusnya aku menuliskannya ini kemarin, tepat di hari ulang tahunmu... Sayang, aku tak sempat untuk menuliskannya. Bukannya aku lupa, seminggu sebelumnya sudah kucatat di kalender mejaku bahwa hari ini memanglah hari yang dikhususkan untukmu.Kesibukan memenjarakanku untuk sesempat mungkin menuliskannya untukmu.

Ini kado untukmu, kawan... Sebelum kado sesungguhnya datang ke rumahmu.

Selamat ulang tahun! Dirgahayu untukmu, Nevie!











Sahabat dan saudaramu selalu,




A. A. - dalam sebuah inisial
Jakarta, 29 Juli 2009 | 20.16


PS: Itu foto kita pas kapan ya? Kalau tak salah pas kita masih di PKM sekitar tiga tahun lalu.

Sabtu, 25 Juli 2009

Tuhanpun Pandai Berhumor

Saya tak mengerti ternyata Tuhan yang memiliki jarak begitu jauh dengan saya ternyata memiliki rasa humor yang tinggi. Bahkan, saya saja bingung darimana Tuhan mendapatkan ilmu-ilmu humoris yang surga tak pernah merintisnya. Pada zaman Isa lahir, humor pun rasanya belum dikenal jauh.

Tuhan memang sungguh kreatif. Dari dua ilmu yang Tuhan miliki yaitu kelahiran dan kematian, Tuhan bisa menciptakan berbagai macam pola humoristik. Naumun Tuhan lebih cenderung kreatif pada pola kematian.

Kadang kematian bagai film misteri, tetapi juga bisa menjadi film komedi.

Bisa saja ketika seseorang baru pulang atau hendak melayat karibnya yang meninggal, dia juga meninggal.

Atau ketika seseorang sedang disidang dalam pengadilan, tiba-tiba jatuh dari kursi dan meninggal.

Ketika seseorang yang bernafsu untuk menulis, tiba-tiba meninggal karena terlalu lama memikirkan tulisannya.

Ketika seseorang sedang menggoes sepedanya, tiba-tiba jatuh dan meninggal.

Ketika seseorang setelah makan sepuasnya di sebuah restauran, tiba-tiba sesak nafas dan meninggal.

Saat seseorang sedang bercocok tanam, tiba-tiba ular menggigitnya dan meninggal.

Ketika seseorang sedang menikmati makan siangnya, tiba-tiba tersedak dan meninggal.

Ketika seseorang sedang pergi berlibur dengan selingkuhannya, tiba-tiba dia terkena serangan jantung dan meninggal.

Ketika seseorang sedang menikmati memegang stick golfnya, tiba-tiba dia meninggal karena jatuh tersandung oleh stick golfnya.

Ketika seorang anak pamit kepada ibunya hendak ke sekolah, malah dia harus tertanam di makam sebelah ayahnya.

Ketika seseorang sedang menikmati film komedi, tiba-tiba ditemukan tewas dengan mulut ternganga.

Ketika seseorang sedang bermain gitar dengan kekasihnya, tiba-tiba dia meninggal tanpa sebab.

Ketika seseorang sedang dikejar untuk ke kamar kecil, tiba-tiba ditemukan tewas di depan kamar kecil.

Ada seorang anak sedang bergembira bermain di mall, tiba-tiba ditemukan tewas terjatuh dari lantai tiga.

Memang ada hal - hal yang lucu semacam itu, tetapi saya tidak tahu apakah saya harus tertawa untuk mengapresiasikan humor dari Tuhan atau bagaimana caranya untuk menertawakan humor Tuhan tersebut. Tuhan punya cara sendiri membentuk humornya, tetapi saya -yang bukan Tuhan- tidak mengerti bahwa Tuhan sedang berhumor. Bahkan karib saya terpaksa menangis ketika humor itu Tuhan berikan kepadanya.

Sampai saya menuliskan ini, saya tahu Tuhan pandai berhumor, tetapi saya tidak tahu bagaimana cara menterjemahkannya





Jakarta, 8 Mei 2009 | 20.18

PS: Awalnya tulisan ini hanya tertulis di Facebook saya, entah mengapa saya lebih ingin tulisan ini berada dalam satu arsip di sini.

Senin, 06 Juli 2009

Jawaban Setelah Berjenuh

Ya, seperti judul di atas. Lembar ini adalah sebuah jawaban atas kejenuhan menulis blog yang kualami nyaris dua minggu ini. Dan kini, semangat yang redup itu kembali sudah menjadi terang. Jemari sudah tak tahan untuk mengurai kata dan otak yang adalah produsen sudah menyalakan mesinnya untuk bergegas tancap gas kembali berproduksi di blog.

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa pamor Facebook memang lebih tenar dibandingkan Multiply saat kini. Tetapi kuyakini semua akan kembali ke Multiply. Seperti aku. Aku menjadikan Facebook adalah tempat perselingkuhanku. Hahaha... Aku berselingkuh dengan kuis-kuis yang secara iseng mulai kuisi dan menjelajahi status kawan-kawan yang setiap harinya. Maka, jangan heran kalau nyaris setiap harinya aku pasti mengisi status kawan-kawanku. Hahaha...

Tapi, sudah sejak lama aku memang ingin mendeactivekan Facebook-ku itu. Petaka! Petaka memiliki Facebook bagiku. Katanya memang dia adalah candu. Dan aku memang menanti saat-saat aku ditegur oleh Facebook. Mungkin dipikir aku memang gila, tapi memang benar. Aku sedang menanti ditegur Facebook. Aku ingin IDku di sana dinonaktifkan karena dengan mendeactivekan secara tempo tidak menyelamatkan aku. Akhirnya, aku mendapatkannya! Mendapatkan teguran yang sangat kunantikan, tapi tidak didelete juga Facebook-ku itu. Aih!

Juga kini aku menikmati kesendirianku. Aku beralih dari Multiply dan menulis di petak lainnya. Aku punya lahan di tempat lainnya. Dan kalau aku hilang di permukaan dunia maya, artinya aku memang sedang mengurus lahanku itu. Kutanam kembali dia dengan bibit-bibit kata dan kupupuki dengan cerita-cerita yang bergemul di dalam benakku. Lahan itu memang kukhususkan untuk lahan meditasi pribadi. Hahaha... Tak terbuka untuk umum. Sangat privasi dan terpencil.

Kalau ada yang singgah, pastilah dia tersesat atau karena kuundang. Kadang aku mengundang beberapa kawan untuk mengajaknya membaca dan tentunya jangan berikan komentar. Biar lahan itu terus kutaburi dengan kata-kata sampai akhirnya musim panennya tiba. Entah kapan musim panennya tiba.

Tapi tak etis kalau Multiply di mana aku sudah bernaung dengan berbagai macam tulisan, berbagai macam orang yang berbagai macam karakter, berbagai macam kisah, berbagai macam suka dan duka. Maka Multiply adalah kekasihku. Dia adalah kekasihku seperti yang pernah kutorehkan dalam status Facebook-ku. Multiply adalah kekasihku dan Facebook adalah selingkuhanku.

Memang benar ternyata kalau selingkuh itu tak selamanya indah.

Juga tak lain adalah hadiah dari beberapa proyek dengan kawan-kawan yang kutunda sementara waktu karena tugas dan mengejar target yang lebih penting yang kini harus kubayar. Seminggu tanpa menulis di blog ini memang hambar rasanya tetapi aku berhasil menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda dan melunasi hutang-hutang janji pada teman-temanku. Membaca beberapa novel kiriman dan beberapa novel hasil penjejakkan dua kali di Jakarta Book Fair dan berjanji akan kutuliskan ulasannya di blog ini.

Sesungguhnya, aku tak berhenti nge-blog. Bahkan sewaktu internet Indonesia diblokir saja, aku mencari berbagai macam celah untuk tetap nge-blog. Kini, dengan semangat yang menggebu-gebu dan kobaran semangat Diponegoro, aku akan kembali nge-blog. Dan tulisan ini menjadi bukti bahwa aku kembali.

Mungkin nukilan-nukilan yang sempat hilang dari blog ini tak akan kuposting di sini. Biarkan dia berada di tempat yang sepi sendiri, di mana hanya aku, Tuhan, dan tulisan itu sendiri yang tahu keberadaannya di mana.

Nah, selamat pagi dan selamat kembali nge-blog!



6 Juli 2009 | 10.17

Selasa, 30 Juni 2009

Menulis di Blog = Kejenuhan

Sebenarnya benar-benar enggan untuk menulis di blog dalam beberapa waktu ini. Niat sepenuhnya ada dan hadir tetapi tangan dan otak tak ingin menuliskannya. Banyak cerita yang sebenarnya dapat dibagi yang akhirnya malah nyasar ke tempat lain atau akhirnya menjadi draft.

Mungkin menulis di blog untuk saya sama saja dengan sebuah kejenuhan.

Beberapa minggu ini yang biasanya blog ini dipudate setiap minggunya dengan tulisan malah harus tergusur dengan tautan-tautan atau video. Memang benar-benar saya sudah sebegitu jenuhnya dengan menulis di blog. Eh? Bisa ya?

Saya begitu menikmati waktu-waktu saat ini. Membaca hasil borongan dari toko buku dan Pesta Buku Jakarta yang rutin tiga tahun belakangan ini saya kunjungi. Singgah di blog kawan. Membalas surat-surat yang sempat tertunda paska saya melancong ke Sukabumi. Chatting dengan teman-teman yang lama tak bersua. Dan satu lagi... mengomentari status teman-teman di Facebook.

Saya rasa ini sementara saja. Ya, sementara. Mungkin saya seperti beruang, butuh waktu untuk hibernasi.

Nah, tulisan ini juga hadir dengan penuh kejenuhan. Jadi maafkan daku, kawan...



A.A. - dalam sebuah inisial
30 Juni 2009 | 7.34

Sabtu, 27 Juni 2009

Wisnu

Wisnu
Kampung pada Esensinya [2]
Catatan perjalanan dari Live In Cikembar - 2009


"If you can't feed a hundred people, then feed just one." - Mother Teresa


Kadang saya selalu tak dapat mensyukuri semua yang telah saya terima. Baik pangan, sandang, papan, dan banyak lainnya. Saya adalah orang yang tidak beruntung, begitulah kata saya kepada diri ini. Saya orang yang berkecukupan. Mau makan sehari tiga kali masih bisa. Mau mandi dengan menghabiskan air sebanyak apapun masih juga bisa. Tak pernah tercatat tunggakan listrik, air, atau telepon. Semua lunas. Lantas apa lagi yang saya minta? Apa? Semua rasanya sudah banyak yang saya peroleh.

Memasuki kawasan yang jauh dari perkotaan rasanya tak begitu asing. Beberapa kali saya memasuki. Melihat orang mandi di sungai sambil mencuci pakaiannya. Lalu di ujung yang lain, orang mengambil air untuk dididihkan menjadi pelepas dahaga. Dan di ujung yang lain, air itu terus mengalir sampai ke selatan Pulau Jawa.

"Ini rumahnya..." kata seorang pemuda yang menunjukkan kami di mana rumah yang akan kami tinggali.
"Bu, ini yang akan tinggal..." lanjut pemuda itu kepada seorang ibu yang sudah renta.

Kami dipeluk hangat oleh ibu renta tersebut. Saya terpaksa membungkuk sedikit karena ibu itu hanya sebatas bahu saya. Beliau memeluk kami.

"Selamat siang, Ibu Juminta..." kata teman seperjalanan saya.
"Siang. Haduh... pasti capek! Masuk atuh..."

Kami melepaskan sepatu di depan rumah. Masih berpunggungkan ransel di belakang bahu. Setelah beliau mempersilahkan kami untuk duduk, mulailah ransel saya yang besar itu terlepas dari punggung saya. Saya duduk sambil memperhatikan suasana dalam rumah yang akan saya tempati.

"Ini rumah ibu sendiri?" tanya saya perlahan.
"Iya."
"Sudah lama di sini?"
"Lama banget atuh. Sejak kecil."

Saya mengangguk-anggukkan kepala perlahan.

"Bapak Juminta ke mana, Bu?" tanya saya lagi.
"Bapak mah jam segini masih di kebun. Sore nanti juga pulang."

Astrid, teman seperjalanan saya, bergantian bertanya mengenai Ibu Juminta. Kami seperti orang yang hendak menginterogasi saja. Sebenarnya bukan itu. Kami ingin tahu saja. Apa kegiatan keluarga ini dan bagaimana kehidupannya di kampung ini.

Rumahnya sangatlah jauh dari jangkauan kemewahan. Sangat sederhana. Tiga kamar. Langit-langit beranyaman rotan dengan cat yang masih terlihat baru. Gorden dengan kain seadanya dan ditarik dengan tali rafia. Pintu yang sudah reot termakan rayap. Hanyalah dinding yang berbeton. Selebihnya, anyaman dari rotan dan penegak dari bambu. Jangan harap ada bath tub ataupun kamar mandi penuh kemewahan. Dapur dengan kompor empat api dan penanak nasi dengan listrik. Ataupun pompa air yang tak pernah berhenti menyala.

Kalau hendak mandi, di belakang rumah ada kamar mandi beranyaman rotan. Airnya mau tak mau harus ditimba dari sumur sedalam sepuluh meter dari permukaan air dan pangkal sumur. Mau tak mau harus mengeret ember dan menceburkannya ke dalam sumur. Dibantu katrol, air di dalam ember akan naik. Jika enggan menimba dan air di dalam kamar mandi habis, ada kalanya mandi di sungai. Berjalan turun dari rumah Ibu Juminta sekitar enam meter. Jika setelah hujan turun, jangan pernah berharap bisa mandi di sungai. Jalannya akan longsor dan licin.

Seorang cucu dari Ibu Juminta datang menghampiri kami. Usianya masih tiga tahun. Berseragam Pramuka. Berlari-lari kepada kami. Tubuh mungil itu lalu bergolek di lantai ketika kami akan memasuki kamar yang akan kami tempati selama tiga hari.

"Nu... Nakal banget sih, kakaknya mau ke kamar..."

Kami berdua hanya tersenyum. Toh, kami tak merasa terganggu dengannya. Raut wajah gembira dihanturkannya. Ketika kami akan berjalan-jalan di sekitar, dia mengikuti kami. Saya menggandengnya.

"Namanya siapa, dik?"
"Inu..." jawabnya perlahan sambil menampakkan wajah yang malu.
"Wisnu!" seru seorang ibu yang menemani kami berjalan.
"Kelas berapa?"
"Belum sekolah. Masih tiga tahun."
"TK?"
"Ga ada biaya. Mahal kalau masuk TK."

Di tengah kenakalannya, saya sempat tertegun dengannya. Dia mau membantu Ibu Juminta mencari kayu bakar. Mencoba menyapu walau tubuhnya tak setinggi sapu dan hampir tahu semua jalan di kampung yang besarnya sekitar delapan hektar. Kami turun ke sungai dengannya dan dialah yang menunjukkan kami jalan menuju pelosok desa lainnya melalui hamparan sawah luas dan rawa-rawa. Pematang sawah yang kami lewati sesekali meninggalkan jejak sepatu kami. Ketika ada ranting di sekitar pematang tersebut, diambilnya untuk dibawa ke rumah.

Dua hari kami habiskan waktu bersamanya. Berkelana di seluruh pelosok desa. Kami memang nakal sekali. Sudah diperingatkan oleh Ibu Juminta agar jangan berjalan jauh-jauh, malah kami berputar-putar nyaris satu kilometer. Bermain di kebun Pak Juminta yang adalah milik seorang juragan peternakan lele, Pak Yamin.

Dia mengambil bantal dari dalam kamarnya dan dibawanya ke luar, tepat di hadapan kami. Bantal bertuliskan Segitiga Biru. Kami tercengang. Mulut kami sempat ternganga ketika membacanya. Saya langsung masuk ke kamar dan mengeceknya, benar! Bantal kami juga bertuliskan sama dan hanya bedanya bantal kami berlapiskan kain seprai.

Ah, Wisnu...

Kamis, 25 Juni 2009

Kampung pada Esensinya [1]

Kampung pada Esensinya [1]
Catatan perjalanan dari Live in Cikembar - 2009



"Petualang merasa sunyi / Sendiri di hitam hari / Petualang jatuh terkapar / Namun semangatnya masih berkobar" - Sang Petualang - Iwan Fals

Inilah alasan mengapa blog ini sempat dinonaktifkan selama tiga hari. Ya, karena satpam blog ini sedang menunaikan petualangan lagi ke tempat-tempat yang memang sudah direncanakan akan disinggahi dalam tahun ini. Dari yang biasanya saya setiap hari akan menyambangi untuk meninggalkan jejak atau sekedar singgah di blog kawan untuk membaca ketikannya. Tetapi selama tiga hari penuh, saya mengemasi tas saya dan siap untuk berangkat ke Cikembar, sebuah kecamatan yang benar-benar teresensi dengan perbukitan dan laut di pesisir selatannya.

Di hari pertama saya menjejaki Cikembar, saya dan kawan-kawan seperjalanan menuju ke sebuah gereja di Cikembar, Gereja Kristen Pasundan. Gereja ini sudah berdiri 123 tahun sejak Agustus 1886. Bangunannya tetap seperti bangunan tua. Gereja ini dapat memuat sekitar 200 orang untuk sekali kebaktian. Arsitekturnya hanya direnovasi jika langit-langit gereja bocor atau cat tembok mulai terkelupas. Lonceng gereja di sebelah pintu masuk adalah saksinya jika gereja ini sudah berdiri seratus tahun. Lonceng itu merupakan lonceng pendirian Pemerintah Belanda untuk gereja ini.

Kami tak berlama-lama di gereja ini. Sekedar singgah untuk makan dan bisa jadi akan menjadi basecamp kami ketika kami akan berpencar dan bersosialisasi dengan kelompok sekitar. Bersatu sejenak dengan mereka adalah sebuah pelayanan, begitu kata seorang kawan yang beserta dalam perjalanan ini.

Jangan harap dapat menemukan hotel! Di sini sangatlah jauh dari jangkauan hotel sebelum berjalan dengan bus atau angkutan kota di Pelabuhan Ratu selama dua jam. Mereka tinggal seadanya saja dengan apa yang mereka miliki. Satu yang unik, nyaris setiap rumah memiliki saluran televisi parabola. Di tengah kekurangan mereka, mereka bisa menyaksikan siaran televisi luar negeri. Alasannya satu. Karena itulah siaran yang harus ditangkap hanya bisa dengan parabola bukan dengan antena.

Saya dan kawan seperjalanan saya, Astrid, diantar ke rumah seorang penduduk. Dari gereja tadi ke dalam kampung tersebut kita harus berjalan sekitar 1,5 kilometer. Kalau saya berjalan kaki akan memakan waktu sekitar 45 menit. Naik ojek atau dengan angkutan kota selama 10 menit. Tetapi masyarakat setempat lebih memilih berjalan kaki dengan menembus ladang persawahan dan pepohonan pisang. Jalan beraspal baru ada sekitar tiga tahun lalu dan listrikpun belum begitu lama masuk ke dalam kampung ini.

Benar-benar jauh dari kota. Sangatlah jauh dari asap bus yang merongrong seperti di Jakarta. Perjalanan ini masih akan terus berlanjut.



25 Juni 2009 | 8.37

Kamis, 18 Juni 2009

Petualang

terkadang gelisah
terkadang resah
menjadi kawan seperjalanan
yang meminta untuk berhenti

terkadang letih
terkadang penat
menjadi setan pengganggu
untuk sejenak

terkadang lelah
terkadang sakit
menjadi musuh biduan
yang datang tak permisi

ah, aku ingin meneruskan perjalanan ini sampai ke ujung dunia. walau kakiku harus patah terlalu lama berjalan. walau punggungku retak dibebani ransel. walau tubuhku remuk digoncang badai. aku ingin meneruskan perjalanan ini sampai mati.



Dalam perjalanan, 11 Juni 2009 | 22.25

Minggu, 14 Juni 2009

Pada Lilin Malam

Dan kau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau berpijar
Sanggupkah kau menyengat
Seisi dunia

Chrisye - Lilin - Lilin Kecil

Begitu tulusnya malam hari ini
Ketika angin menampar begitu lembut
Mencari sang pendoa yang bertapa di sana
Ketika mentari sudah penat jadi penerang
Dan bulan pun yang ditunggu tak tampak batang hidungnya
Dia lupa jadi peneman sang pendoa itu, kata angin

Di jalan yang begitu sunyi di gelap
Tanpa ada lentera sebagai kawan untuk pelita
Sepotong lilin tanpa cahaya yang tergeletak tanpa daya
Di tengah jalan dengan tubuhnya yang hancur
Terinjak - injak dan teraniaya oleh sendal dan sepatu
Dan tak lagi punya harapan untuk berlanjut hidup

Seorang pendoa tanpa pelita melewatinya
Dan tanpa sengaja ujung kakinya menyentuhnya
Mengambilnya dan menggabungkan serpihannya
Memanaskannya dan melarutkannya menjadi utuh
Menghidupinya jadi pelita perjalanan
Melanjutkannya menjadi pendoa
Pendoa dunia tanpa henti

Jumat, 12 Juni 2009

Semua Orang dan Tuhan

Semua orang berhak patah hati, jiwanya terkoyak, dan merasa pedih dengan kenyataan hidupnya. Tak ada yang berhak untuk mencabut kepatenan atas hak mereka tersebut. Bahkan Tuhan yang menciptakannya saja tak ingin mencabut hak mereka, bahkan Tuhan memperdulikan mereka yang hatinya tersakiti, jiwanya terkoyak, dan memoles kenyataan hidup seseorang yang memedihkan itu.

Semua orang berhak mendapatkan haknya, baik sebagai anak, orang tua, sahabat, teman, kekasih, masyarakat, atau apapun. Mereka berhak menuntut hak mereka dengan cara apapun ketika mereka merasa haknya telah direngut oleh orang lain. Bahkan Tuhan saja mempersembahkan hak seseorang tanpa melihat gender, suku, ras, agama, warna kulit, dan sebagainya. Tuhan menjaga mereka seperti gembala yang menjaga sekawaan domba dengan penuh cinta.

Semua orang berhak untuk mencintai dan dicintai karena cinta itu adalah sesuatu yang universal. Tak ada seorangpun yang boleh merengutnya dari diri seseorang. Tuhan saja mencintai anakNya dengan sepenuh cinta.

Sabtu, 06 Juni 2009

Selamat Tidur

Ditemani Enya yang terus bersuara
Tanpa secangkir kopi yang masih hangat
Menepislah dia dari sisi kita
Ah, segelas susu lebih baik sebagai sobatmu
Menjelang kau terlelap malam ini
Setelah kita lelah seharian terus berkelana
Berlari ke sana ke mari bagai hendak perang
Bergegas seperti paramedik yang dinantikan
Aku tahu kau terlalu lelah untuk hari ini
Maka selimut telah kubentangkan
Seprai telah kuganti dengan bersih
Malam juga sudah datang lagi
Lepaskan rokokmu dan matikanlah
Bentangkanlah ragamu atas ranjang
Bukankah hari esok juga masih ada
Untuk apa kau pikirkan pekerjaanmu
Lupakanlah malam minggu pada hari ini
Untuk apa kau temani aku kalau kau lelah
Teguklah segelas susu
Kutemani kau dalam temaram gelap ini
Berselimut dinginnya hari
Untuk pamit dari bumi ini
Sejenak saja!


6 Juni 2009 | 19.59

Jumat, 05 Juni 2009

Kejahatan? Jadilah Dirimu!

Halaman ini memang dikhususkan untuk Astrid Camilla sepenuhnya atas jawaban dari pertanyaan yang diajukannya di YM



Sepertinya jawabanku melalui YM tadi, tak dapat memuaskan aku sendiri. Aku masih kecewa dengan jawabaku sendiri. (Duh! Jawabannya mungkin tak nyaman ketika aku menulisnya langsung di YM) Maka lebih baik kujadikan saja sebuah halaman yang memang kudedikasikan kepadamu. Apa susahnya menjawab pertanyaanmu? Mungkin karena YM bukanlah wadah yang dapat menempatkan aku untuk menjawab pertanyaanmu.

Sejujurnya, aku sendiri sontak kaget membaca pertanyaan seorang kawan di YM tadi. Bisa-bisanya dia bertanya kepadaku tentang hal itu. Aku juga belum mengenalnya lama. Hei... Kita butuh sesuatu lebih lama untuk menjadi diri kita sendiri. Katakanlah apa adanya, jangan dipendam!

Kawan, sejatinya kukatakan kepadamu, menjadi orang baik itu memang mudah. Tetapi ada yang lebih mudah lagi daripada menjadi orang baik, menjadi orang jahat. Nah, adakah orang yang ingin menjadi orang jahat? Kukatakan tak ada selain karena terpaksa. Kita punya kebutuhan masing-masing dan kita pula saling membutuhkan masing-masing. Tetapi itu semua kembali lagi tergantung intensitas kebutuhan, sejauh mana kita membutuhkan kawan kita dan sebagai apa kita membutuhkannya.

Untuk pertanyaan dirimu, mengapa ketika kita ingin menjadi baik ternyata sekitar kita jahat?, inilah jawabannya.

Terkadang kita terlalu merespon lingkungan kita secara terlalu berlebihan. Dan hal yang berlebihan itu yang dapat mengoyakkan hati kita sendiri sebenarnya. Seperti air, kalau sedikit, bisa kita manfaatkan, kalau sudah melimpah ruah, banjir harus kita alami. Sebenarnya itu juga kembali kepada diri kita. Respon yang jahat biarlah kita balas dengan kebaikan. Apa salahnya toh? Katanya supaya ada bekal masuk surga. Hehehe...

Tak ada salahnya ketika dalam situasi seperti ini kita butuh intropeksi diri. Itu sebagai meditasi pribadi yang tak pernah diketahui oleh orang banyak. Belajar dari pengalaman juga diperlukan. Soal memanfaatkan teman semacam itu, kuncinya adalah perelaan. Tiada jawaban yang lebih baik -menurutku- daripada perelaan itu sendiri. Toh, kalau seorang ibu yang ingin melahirkan anaknya tidak rela ketika rahimnya dilewati oleh sang anak, ibunya juga akan meninggal, bukan? Nah, kawan, seperti itulah jawabanku kepadamu. Relakan saja apa yang sudah kita berikan lagipula masih banyak sesuatu yang lebih yang dapat kita lakukan.

Halaman ini kuakhiri saja. Daripada kau pusing sendiri dengan jawabanku yang lebih panjang daripada pertanyaanmu.


Jakarta, 5 Juni 2009 | 4.24
Sahabatmu selalu,

A.A.

Selasa, 02 Juni 2009

Catatan 24

Kita punya mimpi, dan mimpi itu akan menjadi cita

Kita punya cita, dan cita itu akan menjadi tugas

Kita punya tugas, dan tugas itu akan menjadi nyata

Minggu, 31 Mei 2009

Boarding [1]

Catatan Harian Seorang Kawan [1]
Secuil catatan dari Boarding*


Ini hanya catatan harian seorang kawan. Tetap sama. Hanya berupa tulisan-tulisan saja. Katanya, aku harus membacanya. Untuk apa? Agar kau tahu sesuatu mengenai hal itu, kawan -balasnya-. Aku tahu semua tentangmu, kawan. Aku tak perlu untuk membacanya, apalagi ini sebuah catatan harian. Patutnya dia ada di dalam rengkuhan pemiliknya saja, bukan jatuh kepada tangan lain.

"Kau harus membacanya! Ada sesuatu yang patutnya kau tahu dari aku."
"Untuk apa? Aku sudah tahu keseharianmu. Mataku menjadi agenda harianku sendiri terhadapmu."
"Ah, kau begitu rupanya, kawan! Sombong sekali! Kalau kau tahu hal itu, kau akan enggan melepas catatan harianku ini."
"Lha? Bukannya catatan harian itu harusnya hanya kau seorang yang tahu, kawan?"
"Tapi kau harus tahu, ada beberapa catatan yang tak tercatat dalam catatanmu itu."

Ah, kenapa pula dia memaksaku? Catatan apa pula yang ingin diceritakannya? Kenapa jua harus aku yang membacanya? Pertanyaan bertubi-tubi dilemparkan otakku terhadap catatan itu.

Kini catatan itu tertumpuk di mejaku. Bersatu dengan catatan-catatan lain.

"Aku tahu kawan! Kau bosan membaca cerita tentang cinta terus. Kusajikan ini juga dalam cinta, menuliskannya dengan cinta, dan sepatutnya kau juga membacanya dengan cinta."
"Bagaimana aku dapat membaca dengan cinta?"
"Gunakan hatimu itu..."

Sudah tiga hari dia bersemayam di atas mejaku. Tanpa kusentuh sama sekali. Membukanya pun aku jadi enggan. Ini catatan harian seorang kawan. Lancang sekali kalau aku membukanya. Tapi tak apalah. Toh, dia sendiri yang mempersilahkan aku membacanya. Seluruhnya bahkan!

Benar-benar, dia akan menceritakannya sendiri. Buku itu akhirnya kugenggam juga. Bergemetar tanganku. Duh! Ada apa di dalamnya? Untuk apa? Lagi-llagi pertanyaan ini muncul dalam benakku.

"Sudah baca sampai mana?"
"Baru kusentuh. Betapa lancangnya aku kalau sampai kubuka."
"Hey! Tak apalah! Jangan merasa bersalah seperti itu."
"Ini catatanmu, kawan. Besok akan kukembalikan."
"Kenapa kau tak mau membacanya? Semua orang malah ingin tahu catatan pribadi orang lain, kau malah tak mau."
"Ini sangat privasi sekali. Catatanmu itu sebenarnya tak boleh jatuh ke tangan orang lain, termasuk aku."
"Catatan itu tak akan berbentuk privasi lagi."
"Lho? Kok?"
"Karena kau harus tahu. Tak kau baca sampai habis juga tak apa."
"Tetap besok akan kukembalikan. Aku tak berhak membacanya."
"Duh, perlukah aku yang membuka catatan itu dan membacakannya kepadamu?"

Kawan, ada rahasia yang kau sembunyikan dari catatanmu itu. Nah, mungkin saatnya aku harus membacanya. Jangan pernah salahkan aku sekalipun kalau catatan ini kubuka dan kubaca! Jangan sesekali kau membenciku karena aku membaca catatan kawanku sendiri! Ini karena pemaksaanmu.

Ah, catatan... Menyiksa sekali!




31 Mei 2009 | 7.28



PS: Catatan terakhir untuk bulan ini. Kita bertemu di bulan yang lain.

Sabtu, 30 Mei 2009

Jalan

Pada suatu malam Tuhan mengatakan kepada saya:
"Manusia punya jalan sendiri-sendiri..."
Saya tidak mengerti maksud Tuhan
Kembali saya bertanya kepada Tuhan:
"Jalan? Jalan apa itu Tuhan?"
Tuhan kembali berkata kepada saya
"Ada jalan, manusia punya sketsa sendiri, maka tak ada yang sama"
Aku menganggukkan kepala, mengerti maksudnya

Pada suatu malam Tuhan mengatakan kepada saya:
"Manusia punya jalan sendiri-sendiri..."
Saya kembali bertanya-tanya, apa Tuhan lupa Dia pernah berkata itu
"Tuhan sudah pernah mengatakan itu kepada saya"
Tuhan merespon balasan saya
"Jalan itu memiliki jarak yang berbeda, maka tak ada yang sama"
Aku menganggukan kepala, mengerti maksudnya

Pada suatu malam Tuhan mengatakan lagi kepada saya:
"Manusia punya jalan sendiri-sendiri..."
Ah, Tuhan memang sudah lupa, sering sekali mengatakan itu
"Tuhan sering sekali mengatakan itu"
Tuhan hanya menatap mata saya dan seolah memahami ada yang tak saya mengerti
"Jalan itu harus manusia tempuh, untuk mencapai Aku pada nantinya."
Aku tercengang



A.A. - dalam sebuah inisial
30 Mei 2009 | 8.42

Rabu, 27 Mei 2009

Kita Berbagi dalam Kotak

Beberapa hari ini memang saya lebih sering pulang siang setelah mengikuti tes akhir semester. Biasanya saya diantar sampai ke rumah, tetapi kali ini saya dan teman - teman saya memilih untuk pulang dengan Transjakarta. (Ah, bohong kalau situ tak kenal sama benda ini...)

Beberapa pertimbangan saya putuskan. Selain lebih cepat, juga lebih hemat dan praktis. Soal keamanan, jelas sedikit lebih aman dibanding dengan angkutan kota atau semacamnya. Lagipula, di kota Jakarta yang memiliki kemacetan luar biasa seperti ini, Transjakarta memang sebuah alternatif yang cukup baik (karena keegoisannya punya jalan sendiri).

Setidaknya, saya belajar sesuatu tentang berbagi. Di ruang kotak itu.

Sederhana bukan?

Mungkin hal berbagi adalah hal yang sederhana. Amat sederhana sekali. Dengan sepotong roti, kita dapat berbagi dengan sekitar kita. Dengan selembar uang, kita dapat berbagi dengan mereka yang kekurangan.

Berbagi kesempatan? Ya, kita juga bisa berbagi melalui itu. Bukan hanya teori yang setiap hari guru-guru di sekolah dasar mengajarkan bahwa utamakanlah mereka yang sudah lanjut usia atau yang sedang hamil. Di setiap jendela Bus Transjakarta juga ditempelkan stiker demikian. Lantas, apakah semua itu benar-benar dijalani?

Praktisnya, selama berkali-kali saya menaiki bus Transjakarta, hanya dua kali melihat hal itu. Hal berbagi yang paling mudah. Seseorang yang duduk tak jauh dari saya bangkit berdiri dan mempersilahkan seorang nenek duduk dan dia rela untuk berdiri walau jarak yang dia tempuh sangat jauh.�

Seorang teman saya rela bergelantung di Transjakarta demi seorang ibu yang membawa seorang anak kecil. Dia berdiri berpegangan sambil membopong tasnya. Di kesempatan itu, saya yang duduk agak jauh darinya mengatakan agar dia saja yang duduk. Dia menggeleng. Saya tersenyum.�

Benar-benar hal yang berbau teoristik semacam itu memang sulit dilakukan. Bahkan saya pernah melihat sendiri seorang nenek yang terpeleset ketika berdiri di tengah keramaian dalam kotak berjalan tersebut. Sayangnya, saya pun tak mendapatkan kursi di dalamnya. Seandainya...�

Entah mengapa, banyak sekali mereka yang mengajarkan bahwa hal berbagi itu indah. Tetapi kenapa sulit sekali untuk melakukannya?




A.A. - dalam sebuah inisial

Jakarta, 27 Mei 2009 | 5.35