Senin, 27 Juni 2011

Sebelum Berangkat



Kapal itu akan segera berangkat, kau tatih perihmu di antara luasnya samudra raya. Kau terlalu tangguh sebagai manusia. Pula kau terlalu siap untuk dijadikan manusia dan bermain-main di wahana yang begitu keras untuk menghardik mereka yang lemah. Aku hanya ingin mengantarmu.

Aku hanya ingin mengantar pedihmu, biar karang tahu kau bukanlah manusia biasa.

"Jangan antar aku dengan air mata, kita belumlah mati."

Baiklah, kuturuti permintaanmu, kukabulkan seakan aku tuhan yang tahu kebutuhanmu, tahu segala keluh kesahmu, tahu dan juga merasakan godam yang menghunjam dinding hati yang bisa saja remuk setiap saat. Hati manusia akan remuk meski ia dibuat dari baja sehebat apapun, sekuat apapun, ketika hati itu tak lagi bisa membuka tabir rahasianya.

Tubuh kita bersatu, sesaat saja. Langit hanya menyaksikan tingkah kita yang begitu lancang di muka umum. Toh, bagi mereka, ini hal yang lumrah ketika kapal hendak berangkat untuk melepaskan kekasih. Karena mereka pun berbuat hal yang demikian sama dengan kita. Tak ada yang perlu dipertentangkan dengan perpisahan.

Kubisik doa di dalam jamah-jamah setiap langkahmu. Bendung air mata memang kuat ketika dipaksa untuk bertahan. Biar di antara kekuatan bendungan dan doa yang dianyam dalam jejakmu yang menyisakan bekas di setiap langkah, kau tetap ada.

Dan... semoga kaupun kekal di antara dunia yang fana. Di antara keberangkatan yang tak seorangpun tahu harus berada sampai kapan dalam ziarahnya ini.





Jakarta, 27 Juni 2011 | 21.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 25 Juni 2011

Gone Too Soon



Like a comet
Blazing 'cross the evening sky
Gone too soon

Like a rainbow
Fading in the twinkling of an eye
Gone too soon

Shiny and sparkly
And splendidly bright
Here one day
Gone one night

Like the loss of sunlight
On a cloudy afternoon
Gone too soon

Like a castle
Built upon a sandy beach
Gone too soon

Like a perfect flower
That is just beyond your reach
Gone too soon

Born to amuse, to inspire, to delight
Here one day
Gone one night

Like a sunset
Dying with the rising of the moon
Gone too soon
Gone too soon


Michael Jackson
June 25, 2009 - June 25, 2011


Jumat, 24 Juni 2011

Dua Pertanyaan Sederhana

ada dua pertanyaan sederhana yang kuyakin kau tak mampu untuk menjawabnya:

pertama: mengapa harus pergi?

dan yang kedua: apakah kita akan berjumpa lagi?






Jakarta, 24 Juni 2011 | 21.07
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 21 Juni 2011

Melepas Hari

ketika masa itu sudah harus dilewati
dan harapan seperti hampir putus
lepaskan saja
dan biar waktu meleburnya menjadi baru



Jakarta, 21 Juni 2011 | 6.28
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 19 Juni 2011

Tentang Ayah yang Mengagumkan



Siapa orang yang paling mengaggumkan dalam hidupmu?

Ayah.

Empat tahun menulis di blog ini, tentu sudah banyak ceritera yang saya bagikan lewat tulisan, foto, musik, video, atau sekadar komentar di blog kawan-kawan. Bagi yang sudah lama mengikuti blog saya, mungkin ceritera tentang ayah saya bukan lagi sesuatu yang baru. Tentang ayah saya sering kali saya bagikan lewat blog ini.

Saya selalu percaya sosok ayah adalah sosok yang istimewa di dalam setiap hidup orang. Seorang Abraham Lincoln saja menganggumi sosok ayahnya yang menjadi motivator dalam hidupnya. Pendukung masa depannya yang paling setia dan yang paling tahu apa yang ia butuhkan. Meskipun Abraham Lincoln dididik untuk bekerja, bukan mencintai.

Saya memang harus mensyukuri atas kelahiran saya yang begitu istimewa. Saya hidup di tengah keluarga yang tentunya istimewa. Di tengah maraknya berita tentang ayah yang menyiksa anaknya, ayah saya bukan termasuk orang yang melakukan hal serupa. Ayah saya jauh dari kekerasan terhadap anak-anaknya. Saya dididik secara bebas dan merdeka, tidak dipaksakan dan terbuka.

Masih saya ingat betul ketika dengan gembiranya saya datang kepadanya membawa kabar bila saya diterima di salah satu jurusan yang saya kehendaki. Saya berlari dan berteriak di hadapannya. Euforia di hadapannya benar-benar.

"Itu sudah pilihanmu. Sekarang tinggal waktunya berjuang dan itu menjadi keputusanmu untuk berjuang dan bertahan atau mundur dari sana."

Saya tahu itu bukanlah jurusan yang dikehendakinya. Beliau lebih memilih saya untuk mengambil jurusan ilmu hukum. Sebelumnya juga beliau sempat mengeluh kepada saya.

"Untuk apa susah-susah kamu masuk IPA, tapi malah kuliah di IPS?"
"Iseng. Hahaha..."
"Di mana-mana orang pengin masuk IPA supaya bisa jadi dokter. Kamu bisa masuk IPA malah ambil IPS!"

Tak jarang saya harus beradu argumen dengannya. Kami tetap pada keputusan kami masing-masing. Tidak lagi peduli dengan kata egois yang distempelkan orang-orang kepada kami. Saya adalah anak yang mewarisi gen keras kepalanya. Saya dan beliau selalu ngotot dengan pendapat kamilah yang paling benar.

Ketika saya harus meninggalkan rumah, bertarung kembali dengan alam, katanya hanyalah sederhana. "Jangan lupa makan vitamin! Sudah papa masukkan ke dalam tasmu!" Aku hanya tertawa dan sekembalinya ke rumah, vitamin itu masih utuh. Tak disentuh, tak dibuka, dan tidak sekali pun diteguk! Sontak saya menyimpannya di dalam laci meja dan ketika beliau bertanya,"mana vitaminnya? Habis tidak?" Saya hanya manggut-manggut berbohong.

Saya bukanlah anak yang patuh. Saya kerap membangkang. Saya selalu merasa lebih mengerti apa yang saya butuhkan. Ketika saya gagal, beliau selalu siap menjadi pendengar keluh kesah saya. Beliau siap untuk menjadi teman perjalanan yang baik dan menyenangkan. Di saat itu, keras kepala kami melebur menjadi satu. Kami punya prinsip yang sama.

Betapa hebatnya semesta menciptakan orang-orang yang seperti saya dan ayah saya yang bisa menjadi satu meski memiliki kepala yang benar-benar melebihi batu. Memang ayah saya adalah ayah yang istimewa. Orang yang paling istimewa dalam hidup saya.

Ayah saya adalah guru yang terbaik, sahabat yang paling setia, dan ayah yang paling luar biasa yang pernah saya kenal. Saya bangga memiliki ayah sepertinya. Saya bangga dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya mencintainya dengan sepenuh hati.

Dan saya meyakini ayah saya menyayangi saya meskipun saya bukanlah anak yang selalu bisa dibanggakan olehnya.

Terbentang ribuan jarak yang membuat kisah kita begitu banyak untuk dibagi, Pa. Ada ribuan kenangan. Ada jutaan bahagia. Ada milyaran berbagi. Semua itu selalu kita gunakan untuk menjalin persahabatan yang lebih dari ayah dan anak. Aku adalah anak yang mewarisi gen keras kepalamu tetapi selalu luluh ketika aku harus bercerita tentang dirimu yang selalu dapat aku banggakan. Seutuhnya, aku benar-benar bahagia memiliki ayah sepertimu.

Teman-temanku tentunya iri hati kepadaku bila papa masih sempat untuk datang untuk menemaniku mengambil ijazah. Sempat-sempatnya di antara kesibukanmu, kau menemaniku untuk pergi ke suatu tempat di mana masa depanku akan ada di sana. Bahkan kau siap untuk melepasku pergi lagi dengan leluasa.

Terima kasih untuk segala totalitasmu, Pa. Terima kasih untuk amarahmu yang membuatku untuk kembali pulang kepada jalur di mana aku harus berada, terima kasih untuk selalu menjadi alarm yang mengingatkanku bahwa aku tidak pernah bisa berjalan sendiri, terima kasih untuk menjadi teman perjalanan yang menyenangkan yang bisa diajak berbagi, terima kasih untuk menjadi pendengar setia dan menjadi penasihat agung ketika aku butuh, terima kasih untuk menjadi guru yang bisa kuteladani, dna terima kasih telah membuatku bebas melebihi burung yang merdeka untuk terbang.

Maaf, kalau aku bukanlah anak yang bisa engkau banggakan.

Selamat Hari Ayah, Pa!



Jakarta, 19 Juni 2011 | 19.53
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 15 Juni 2011

Melawan Waktu


meski aku sanggup melawan kehilangan
tapi aku terseret dalam zona waktu
yang tak pernah bisa kulawan
sampai zaman yang tak pernah kumengerti



Jakarta, 15 Juni 2011 | 20.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 08 Juni 2011

Tentang Malam yang Hujan



Segmen 1

malam yang ditunggu oleh para pecandunya
kami menunggunya di sebuah kedai kopi
sejak matahari pamit pulang kepada langit
dan langit pun merasa dingin teramat sangat
ia memutuskan untuk malam menyelimutinya

Segmen 2

saat itu juga, malam dibentangkannya
langit kelelahan setelah memutar dunia
kami pun girang alang kepalang
ini sebuah pertanda baik untuk candu
artinya langit akan terlelap sangat lama

Segmen 3

kereta pun berlari di atas rel melintasi malam
seperti kami yang melewati malam dengan candu
kopi dan kopi, tawa dan tawa, setumpuk naskah pembicaraan
waktu jadi sungkan menegur kita
meski ia sudah kami acuhkan sepanjang hari

Segmen 4

tetiba gerimis datang di depan mata kami
menyadarkan atas tumpukan gelas kopi
tawa kami yang paling ramai terdengar
dingin menyilet kulit sampai berdarah
tanpa harus mengeluarkan darah

Segmen 5

apa pembicaraan kami berakhir begitu
dan tidaklah seperti itu
ternyata naskah tawa kami masih belum usai
masih ada bab terakhir sampai hujan datang
hujan sendiri yang benar-benar datang
mengirimkan pesan untuk melengkapi malam

Segmen 6

dan hujan pun turun



Bandung, 8 Juni 2011 | 22.52
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 04 Juni 2011

Soal Perih



Buat kamu,


Ternyata saya tahu bagaimana rasanya berbagi sakit. Tapi saya lebih tahu untuk mempersiapkan kehilangan yang teramat sangat. Sesungguhnya, saya sangatlah tidak siap untuk menghadapinya. Ini benar-benar godam yang harus saya pikul dengan sangat berat. Saya siap akan pertemuan tetapi saya tidak sanggup menghadapi apa yang dinamakan dengan kehilangan. Saya memang manusia biasa, seperti insan pada umumnya yang tak sanggup menghadapi kehilangan.

Saya pikir saya seorang yang kuat, siap menghadapi semua ini. Saya pikir ini adalah hal yang biasa, ternyata lebih dari itu. Saya pikir saya bisa berjalan seperti biasa dalam kondisi seperti ini. Saya pikir saya akan tenang-tenang saja untuk meninggalkan kamu dalam kondisi seperti ini.

Ternyata keterikatan batin kita terlalu kuat. Sangat kuat.

Arwah kita satu, darah kita satu. Yang terluka padamu, berdarah padaku. - Sutardji Calzoum Bachri

Saya menuliskan untuk kamu dengan terpaksa, dengan mata yang sembab menahan bendungan air mata. Semua kata mengalir begitu saja. Tak ada lagi yang bisa saya pendam. Saya benar-benar dalam ketakutan saat ini. Saya bukan takut akan kematian yang akan menghadang di depan, tetapi terlebih dari itu, saya takut dengan kehilangan yang menyakitkan.

Saya benci air mata. Saya benci menangis. Saya hanya suka dengan kebersamaan. Ya, terserah dengan kata orang-orang bila saya orang yang egois karena mereka belum tentu mengerti seberapa dekat antara kita. Mereka mengatakan perpisahan adalah hal yang lumrah karena mereka belum pernah menghadapinya. Bila mereka mengerti, mereka akan tahu ini pedih yang begitu perih.

Seberapa jauh surga dari kita? Itu yang selalu ingin kutanyakan. Biar aku bisa menghentikan waktu. Aku tahu Tuhan tidak bisa menghentikan kehilangan, menghentikan perpisahan. Aku juga tak ingin menyalahkan Tuhan. Ia tak bersalah atas apa pun. Aku hanya ingin menghentikan waktu. Biar ia menunda kehilangan yang akan kita hadapi sampai aku puas. Puas untuk mencumbumu dengan bahagia sehingga bila saatnya telah tiba, aku tak perlu mengantar perpisahan dengan air mata. Biar kamu tak perlu merasa perihnya air yang menetes di antara luka.

Saya banyak belajar setelah berita yang (sebenarnya tidak terlalu) menyentak saya ketika mendengarnya. Saya tahu kita akan pergi ke mana orang-orang akan pergi. Tapi lagi-lagi saya tidak bisa menghadapi apa yang dinamakan kehilangan.

Bila memang harusnya pergi, tolong katakan dahulu agar saya punya waktu untuk mengucapkan sampai jumpa. Saya masih mematri apa yang dinamakan selamat tinggal dan sampai jumpa itu sangatlah berbeda. Saya membenci ucapan 'selamat tinggal' karena saya percaya orang-orang masih memiliki kesempatan untuk bertemu lagi, entah di mana, entah di dimensi mana, dan entah di gurun yang mana. Tapi, apa kau tahu bagaimana caraku menyayangimu dengan diam-diam seperti ini?

Mungkin kurasa, kehilangan yang akan memberikan makna seberapa besar arti seseorang ketika ia tiada, bukan ia ada.


Jangan lekas pergi, tapi lekaslah sembuh! Masih banyak cerita yang belum kita rawikan di halaman rumah sebelum rumah ini kita tinggalkan.




Lebih dari sekadar benang merahmu,




Jakarta, 4 Juni 2011 | 20.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 02 Juni 2011

Soal Waktu



dia yang tak dapat kembali
tapi juga tak dapat berlari

dia yang dapat pergi
tapi tak dapat bersembunyi

hari ini adalah tentang hari ini
tak perlu diungkap tentang esok
karena ia sudah punya rawian sendiri

hari ini adalah tentang hari ini
tak perlu diceritakan tentang kemarin
karena ia sudah menjadi kenangan dan sejarah

dia boleh saja pergi dan tak kembali
tapi hari ini adalah tentang hari ini

tak ada yang perlu kamu khawatirkan

semua akan baik-baik saja, percayalah untuk ini





Jakarta, 2 Juni 2011 | 08.47

A.A. - dalam sebuah kultimasi dahsyat

Rabu, 01 Juni 2011

Perih


Di depan pintu rumahmu, aku hanya mampu terdiam. Di depan itu pula, kau menatapku lirih seolah kau mengerti alasan yang tak sempat aku ucapkan untuk pergi di tempat yang kusendiri tak mengerti mengapa harus ke sana. Kita berbicara lewat tatap mata.

'Untuk apa di sini?'

Kau turun mendatangiku. Aku tahu ini akan terjadi. Kau tak akan pernah rela meninggalkan aku sendiri, mendiamiku dalam waktu yang cukup lama.

'Hanya untuk mencari jalan pulang.'

'Jalan pulang?'

'Jalan pulang ke hatimu.'

Sembab matamu. Aku menunduk di hadapan wajahmu. Ternyata semudah itu membuatmu menangis. Tapi kehadiranku bukanlah untuk membuatmu menangis. Ada yang ingin kukatakan sebelum pergi:

'Perih ini hendak kubagi denganmu, maukah kau menerimanya?'






Jakarta, 1 Juni 2011 | 21.24
A.A. - dalam sebuah inisial