Jumat, 27 Mei 2011

Pesan Ibunda

Kata ibunda sebelum aku pergi ke negeri di seberang pulau
ini pun dipesankannya lewat surat karena aku tak pernah pulang
pamit pun hanya lewat telepon yang tak bisa merekam kenang:

kembali nak, kembali kalau memang harus kembali
ada rumah yang bisa kau tinggalkan untuk tidur saat kau kembali
kalau harus menjadi bedinde, jujurlah pada pekerjaanmu
meski berat dan coba serap simbiosis apa yang dikenakan
dalam kehidupanmu di seberang pulau: komensalisme, mutualisme
tapi jangan pernah kau menjadi parasitisme, jangan pernah jahat
meski kau bisa saja benci kepada pekerjaanmu, tapi jangan anti kepada mereka
lengkapilah hatimu dengan hati yang tulus dalam bekerja
bergiatlah agar orang-orang memandangmu anak yang memiliki bara semangat
meski hatimu kelak sepi, tidak ada orang yang bisa kau bagi kedukaan
tak ada orang yang bisa kau ajak untuk tertawa bersama
atau akan kau dendangkan langgam yang menyayat hatimu
tapi hentikan bila kau hanya mampu berurai airmata
biar tirai kemenangan selalu terbuka bagimu
dan kamu menjadi anak yang merdeka

tapi, kau akan pulang 'kan, nak?





Jakarta, 27 Mei 2011 | 06.21
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 25 Mei 2011

Di Sebuah Bagian yang Tak Lenyap




Ini adalah sebuah bagian yang tak akan pernah lenyap
jika kau percaya bahwa ia akan abadi sebagai sejarah
dari segala perjuangan tanpa senjata dan darah
kami berjuang dengan kata, kata yang kami kirimkan
kepada sang penguasa yang tak pernah mengerti merdeka
kepada mereka yang tak tahu bagaimana mencintai diri sendiri
untuk mereka belajar arti kejujuran kepada anak-anak kecil

Ini adalah sebuah bagian yang tak akan pernah lenyap
meski waktu menggulingkan keberadaannya sebagai peristiwa
kami hanya berjuang lewat teriak, keringat, dan semangat yang membakar
karena yang kami tuntut hanya satu: perubahan yang benar
benar, bukan berarti harus membenci pemimpin kami
benar karena kami sayang kepada negeri kami
untuk alasan itu, kami lancang menegur saudara

Ini adalah sebuah bagian yang tak akan pernah lenyap
walau orang-orang melupakannya kelak perjuangan ini
mereka tahu bahwa kami pernah membahagiakan mereka dengan cara ini
setidaknya sejarah pernah menggoreskan catatannya mengenai
kami merindukan oasis di tengah gurun perjuangan yang semakin sengat
kami tak ingin diarak sebagai pahlawan, kami ingin menjadi benar
karena merdeka bukan sesuatu yang turun dari langit begitu saja
merdeka adalah berjuang untuk menjadi merdeka
dan itu pun didapatkan bukan secara cuma-cuma

Ini adalah sebuah bagian yang tak akan pernah lenyap
meski hari selalu berganti dan detik sudahlah berlari
tapi ini bukan sekadar kenangan yang biasa kau simpan dalam pandora
cita-cita, air mata, semangat, keringat, sorakan, dan hidup kami di hari itu
tak akan menguap bersama waktu, ia akan tetap ada
entah sebagai apa kelak, itu yang kuaminkan



Jakarta, 25 Mei 2011 | 08.06
A.A.- dalam sebuah inisial



Untuk sebuah manuskrip yang akan diselesaikan....

Selasa, 24 Mei 2011

Perihal: Kopi


pagi ini
di depan beranda rumah
asap dari cangkir mengepul
menyambut hadirmu
di dalam pekatnya
menyentuh harimu

biar kamu tetap hidup
katanya

biar kamu tetap kuat mengangkat ransel
lagi-lagi katanya

kalau begitu
selamat pagi



Jakarta, 24 Mei 2011 | 8.01
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 23 Mei 2011

Pengejawantahan Bahagia



Sudahkah Anda berbahagia?

Sejak kecil, saya memang selalu bertanya-tanya apakah saya sudah bahagia. Namun, dari sejak kecil pula saya tak percaya bahwa saya sudah bahagia. Mengapa? Karena saya sendiri belum bisa merasakan apa itu bahagia menurut saya.

Kalau begitu, pernahkah saya bahagia? Saya sendiri tak yakin bahwa saya tidak pernah tidak bahagia. Mungkin saya sering menciptakan bahagia saya sendiri tanpa saya insafi. Dari sana saya bisa merasakan bahagia yang saya ciptakan tanpa orang-orang tahu. Tanpa berbagi bahagia dengan mereka.

Aveline kecil pernah berpikir kalau bermain sepeda dengan teman sepermainannya adalah bahagia. Lambat laun, pemikiran itu berubah. Ia tanggalkan sepeda tersebut dan berganti dengan bermain bola. Lagi-lagi ia berpikir kalau dengan bermain bola, ia bisa berbahagia. Ternyata pemikiran itu berubah lagi setelah ia menemukan bahagia di antara lapisan kertas yang dijilid. Dengan membaca, ia bahagia?

Ternyata lagi-lagi, ia berubah pikiran. Aveline yang bertumbuh semakin dewasa ternyata tidak berpikir tentang bermain lagi. Ia berpikir dengan mengejar ranking di sekolah, ia akan menjadi orang yang berbahagia. Setelah ranking itu ia dapatkan, nyatanya ia semakin tidak puas. Aveline kecil mengejar target untuk masuk ke kelas unggulan. Wah, pikirnya saat itu, ia akan menjadi bahagia.

Setelah masuk, ia malah mengejar bahagia yang lain. Ia menciptakan mimpi-mimpi lain yang menurutnya akan membuatnya menjadi orang yang berbahagia. Ia berpikir lagi dan berpikir lagi dengan cara dan menjadi apa ia dapatkan bahagia.

Ternyata bahagia itu diciptakan setelah bahagia lain tercipta. Itulah kata Aveline saat ini. Ya, akhirnya saya sadari kalau memang saya memiliki kecenderungan memiliki bahagia yang berbeda dengan orang lain. Atau malah sama tapi saya tak menyadarinya? Bahagia tak akan tercipta bila tak ada bahagia lain yang sudah diciptakan dahulu.

Ini seperti ilmu ekonomi: mengejar segala kehendak yang begitu banyak di dalam lingkup yang terbatas. Semakin banyak bahagia yang ingin saya ciptakan, semakin terbatas dunia yang saya miliki. Bukankah di dunia ini, semua orang menginginkan bahagia? Begitu juga dengan saya. Saya pun ingin bahagia dengan cara yang saya miliki. Meski itu dalam keterbatasan.



Apa wujud bahagia itu?


Ini yang tak pernah bisa saya jawab. Menurut saya, bahagia bukanlah benda mati, tetapi juga bukan kata sifat. Tafsiran bahagia benar-benar subyektif dan sangatlah tak absolut. Tak semua orang bisa berbahagia dengan cara orang lain yang ia miliki.

Ada orang yang mewujudkan bahagia dengan memiliki banyak uang. Ia percaya uang memberikannya bahagia yang tiada tara. Ada juga orang yang percaya dengan bekerja, ia bisa menjadi orang yang sangat bahagia. Maka, ia memutuskan untuk bekerja siang dan malam. Atau ada juga orang yang mengatakan ia bahagia dengan menghabiskan waktunya di atas ranjang dan tidur. Tapi apakah semua orang sama?

Aveline yang sudah bertumbuh dewasa tak lagi percaya kalau ranking memberikannya bahagia utuh. Ia mencari bahagia lain. Dengan membaca, menulis, travelling, bahkan duduk ngobrol dengan teman-temannya berjam-jam di kedai kopi itulah yang membuatnya menjadi bahagia. Tak kadang pula, ia tak menemukan bahagianya lewat cara itu.

Saya tak tahu bagaimana wujud bahagia yang sesungguhnya. Apa ia bersembunyi di bawah kasur, duduk manis di meja makan, diam di antara rak buku, atau sudah berada di dalam aliran darah saya. Bahagia itu berwujud maya atau nyata juga tak saya ketahui. Tapi yang saya tahu, bahagia selalu berputar.

Saya pun menyadari kalau bahagia selalu ada bukan karena ia dicari, tetapi karena tercipta yang bukan sesuai kehendaknya. Tapi dengan perwujudan bahagia yang lain.

Bagaimana wujud bahagia itu? Ada yang bisa menjawabnya?



Jakarta, 23 Mei 2011 | 07.16
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 22 Mei 2011

Perihal: Belajar



ternyata,
kasih itu tidak lebih
dari sekadar belajar
belajar untuk memberi dan menerima
belajar untuk mendapatkan dan merelakan
belajar untuk mempertahankan dan melepas



Jakarta, 22 Mei 2011 | 09.44
A.A.
- dalam sebuah inisial

Minggu, 15 Mei 2011

Perihal: Kehilangan



tiba-tiba saja
matahari menangis
saat kuselesaikan cerita
tentang sebuah kehilangan
yakni
kehilangan kamu






Jakarta, 15 Mei 2011 | 21.20
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 12 Mei 2011

Hari Ini Tiga Belas Tahun yang Lalu



Hari ini tiga belas tahun lalu:

Sedang apa kau, sayang?

aku bermain senapan di depan DPR
aku bermain orasi di atas mimbar
aku bermain gas air mata di muka MPR

siapakah perduli?

aku yang akan dijerang peluru
aku yang akan berdarah jadikan mati
aku yang tergeletak di tengah Gatot Soebroto

selamatkah engkau?

dari huru hara itu
dari amukan itu
dari atas nama reformasi

engkaukah itu?

yang menjadi jenazah
yang masih berlarian
yang berdiri di mimbar

akankah kau kenang itu?

semua kematian yang jadinya kisah
semua perjuangan kita jadinya angan
semua tragedi hidup jadinya air mata

apa yang akan diwariskan pada mereka?

sebuah cita-cita atas reformasi
sebuah kemenangan untuk demokrasi
sebuah harapan yang jadikan mimpi adanya

Hari ini tiga belas tahun lalu

akankah sejarah mencatatnya?




Jakarta, 13 Mei 1998 - 13 Mei 2009 - 13 Mei 2011

Perihal: Kamu




Musim semi keempat, tidaklah juga sama
pagi sudah datang dan pergi
datang lagi, kemudian pergi lagi
dan datang lagi
tapi kamu tak sama dengan pagi, atau pula musim semi

kamu cuma bisa datang kemudian pergi
dan tak lagi datang

Orang-orang berkata
supaya aku belajar untuk melupakan kamu
melupakan cerita kita, tentang masa depan
melupakan tentang pernikahan, kehamilan, dan anak
melupakan tentang musim gugur di Westminter
melupakan tentang musim dingin di St. Petersburg
melupakan masa tua di depan tungku penghangat
melupakan tentang kedatangan cucu-cucu yang lucu

Aku selalu belajar untuk itu
tapi semakin aku melakukannya, godam semakin keras
ia memukul pedih, menyayat perih, menyobek luka
semakin aku belajar untuk melupakan kamu
semakin itu pula aku tahu kalau aku kehilangan kamu

Kamu bukanlah pagi, musim semi, atau angin lalu
kamu datang meninggalkan manis
dan pergi meninggalkan pahit dan getir

Dan ini musim semi keempat yang datang untuk pergi
tapi kamu tak pula datang lagi



Jakarta, 12 Mei 2011 | 07.34
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 11 Mei 2011

Balada Restoran

di meja nomor sebelas
tersaji nasi yang mengepul-ngepul
ikan gurame bakar lengkap dengan sambal kecap
tahu goreng yang baru matang
petai yang berlumur cabai
segelas es kelapa
dan rasa lapar yang menggebu-gebu

pelayan mondar-mandir
membawa nampan
membawa menu
membawa piring dan gelas kotor

jari kasir yang manis itu
menari di atas angka-angka

haduh...
wangi ayam bakar
wangi ikan bakar

di luar sana
seorang anak kecil di dalam gerobak
menghirup wangi tersebut

'pak, lapar'
'sebentar ya, nak. kalau botol kecap ini laku, kita makan bubur'




Jakarta, 11 Mei 2011 | 19.57
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 05 Mei 2011

Rumah





Adakah dari mereka yang tak pernah rindu pulang? Adakah mereka yang tak rindu untuk kembali merebahkan kepala di atas kasur di rumah? Bukankah rumah menjadi tempat untuk menaruh hatimu yang paling hakiki? Tempat untuk kau berdiam di dalamnya? Tempat menyimpan segala kenangan masa kecil dengan teman sepermainanmu?

Saat ini, aku rindu pulang. Pulang ke rumah. Meski aku sedang berada di dalamnya.

Rumah yang kukenal kini sudah berbeda. Ah, mungkin pula aku yang berubah. Tapi entahlah. Kini semua sudah tak sama. Rasaku, ini adalah efek aku meninggalkan rumah begitu lama. Berkelana sesuka hatiku saja. Baru pulang ke rumah, sekadar bersapa, kemudian pergi lagi. Seperti itu hampir keseharianku.

Tapi, rumah tak pernah membiarkanku kesepian meski aku pergi meninggalkannya sendiri. Ia bukan hanya tempat yang kokoh untuk kudiami, tapi juga tempat untuk kuberkeluh kesah. Rumah bagiku bagai rahim ibu yang mencukupi segala nutrisi, membiarkan aku bermanja di dalam tubuhnya. Rumah selalu menyimpan rapi cerita yang kubagikan kepadanya setelah pulang; seperti ibuku yang tahu masa kecilku yang seperti apa.

Sungguh, aku rindu rumah. Rumah yang paling sejati.

Seperti janjiku, biarkan aku berkelana dahulu, sebebas-bebas yang kukehendaki. Karena aku selalu percaya bahwa rumah akan selalu merindukanku untuk pulang sebagaimana aku rindu terhadapnya.

Aku rindu akan harum masakan yang berkeliling di dalam rumah, menerobos celah-celah kecil di sudut-sudut pintu dan jendela, dan membuatku lapar serta bergegas untuk menyerbunya. Aku rindu akan acara televisi yang selalu dikritik oleh ayahku karena tak pernah mendidik kami, kemudian ia menggantinya dengan berita yang langsung menuai protes dari kami. Aku rindu akan buku-buku yang kutinggalkan sampai berdebu, menguning, dan seperti tak punya harapan. Aku rindu meja kerjaku yang senantiasa menemaniku menganyam ribuan cerita yang ada, menjadi kasur kala aku tertidur, dan tak pernah marah bila kutumpuk beban yang berat di atas bahunya.

Kini, sesungguhnya aku benar-benar merasa kesepian. Ingin rasanya aku menetap di rumah berhari-hari hanya untuk memanjakan diriku kepadanya. Ingin masuk kembali ke dalam rahimnya dan bermain di dalamnya. Melupakan semua hal yang harus kukerjakan lekas-lekas. Aku ingin pulang.

Aku selalu percaya, rumah tak pernah menolakku.
Karena rumah selalu memberikan tempat untuk hatimu berpulang, kembali berada.




Jakarta, 5 Mei 2011 | 19.44
A.A. - dalam sebuah inisial

Hidupmu Singkat Kalau...

Hidup terlalu singkat
kalau hanya bisa dilewatkan di kursi
duduk menunggu hari berganti

Hidup terlalu singkat
kalau cuma bisa menunggu mati


Jakarta, 5 Mei 2011 | 13.49
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 01 Mei 2011

Perihal: Pulang



mungkin kau lelah berkelana,
maka pulanglah
di mana rumah masih menyediakan bagimu
rasa hangat yang tak lekas putus

mungkin kau mencari pendengar ceritamu,
maka pulanglah
di mana rumah ada orang-orang yang kau kasihi
untuk mendengar jejak kakimu

ini adalah soal pulang: menunggumu di muka rumah

mungkin kau mencari yang kau butuhkan,
maka pulanglah
di mana segala kecukupan itu ada di rumah
dan terletak rapi dalam kamarmu

mungkin kau ingin beristirah,
maka pulanglah
di mana rumah menyediakan ranjang murah hati
yang boleh kau letakkan lelahmu di sana

ini adalah soal pulang: untuk apa kau terlalu lama berkelana?

hai petualang,
sesungguhnya, apa yang kamu cari?
bukankah ia ada di rumahmu?
di hatimu yang selalu manis itu?



Jakarta, 1 Mei 2011 | 17.56
A.A. - dalam sebuah inisial