Sabtu, 24 Oktober 2009

Kabut Hitam

Kabut Hitam
Catatan Kaki-kaki [3]



"Aku begitu heran mengapa pagi ini hanya ada awan hitam tanpa matahari. Mungkin akan ada pertanda buruk, mungkinkah firasat semalam akan lekas menjadi kenyataan."
"Hei, kenapa begitu pesimis? Firasat itu hanyalah permainan hati. Kita bisa menerima dan jalankan saja semua alurnya. Kita mainkan saja melodi-melodinya."
"Tapi aku takut, awan sudah diselimuti kabut. Kata orang, ini adalah pertanda yang kurang baik. Walau aku tahu ini adalah musim hujan, tetapi mengapa harus sekarang askan turun hujan. Apakah tak ada hari lain?"
"Mungkin saja ada, tapi waktu sudah menentukan kehendaknya juga."




Catatan Kaki-kaki adalah serial 99 catatan dengan gaya bahasa komunikasi antar dua orang. Tulisan ini pernah dilabuhkan di blog lama saya dan pada akhirnya berlabuh juga pada blog ini. Tulisan yang ada di dalam serial ini tidak akan pernah dapat disamakan dengan cerpen karena karakter tulisannya yang terlalu sedikit. Di sini -dalam serial ini-, tidak akan pernah ditemukan narasi yang tidak dalam bentuk dialog.

Jumat, 09 Oktober 2009

Kembali

Ketika kita beranjak pergi, mengangkat ransel, mengenakan sepatu gunung, dan tertatih-tatih melangkah meninggalkan rumah, akankah kau ingat masakan di rumahmu yang harumnya sampai ke hidungmu tak terbatas jarak? Ketika pintu rumah menanti untuk kau datangi setelah engkau beranjak pergi begitu jauh, lepaskan sepatumu dan masuklah sejenak, ingat-ingatlah masa kecilmu yang bahagia.

Merpati pun akan pulang ke sarangnya setelah beranjak begitu lama. Ikan-ikan akan kembali ke dalam karangnya setelah bermain-main di dasar laut. Pengembara akanlah singgah dan beristirah di rumahnya sejenak untuk melepas rindu kepada kampung halaman. Semua akan kembali pada mulanya seperti yang ada tertulis bahwa debu kepada debu dan tanah kepada tanah.

Begitu pula dengan menanti, kita berjalan seperti Tuhan menulis skrip permainan ini. Aku berlari, berjalan, terjatuh, terantuk, bangkit, dan akhirnya akupun juga akan pulang. Karena penantian panjang semua manusia adalah kembali kepada Sang Pencipta sebagaimana telah ada tertulis dan itu sudah menjadi paten setiap waktu dan sepanjang masa.

Sudah tahulah semua manusia bahwa manusia boleh berencana tetapi Tuhan sudah berencana jauh dari dahulu pembentukannya dunia ini. Kita hanya menerima dan menjalankan semuanya. Kita adalah petualang dan peziarah dunia yang akan mencari suatu jalan kembali kepada Tuhannya manusia masing-masing pribadi. Puncak kemenangan dan kejayaan seorang petualang adalah ketika dia kembali dengan selamat setelah mengarungi dasar lautan, mendaki puncak gunung, melintasi jalan berliku, mengepakkan sayapnya di awan-awan. Begitu pula dengan hidup ini, kita menanti, mencari, dan menerjemahkan semua aral dan tujuan hanya untuk menemukan sesuatu jalan: kembali.

Sabtu, 03 Oktober 2009

3 Oktober

Sudah Oktober lagi rupanya,

kamu masih memandang langit itu?
masihkah menghitam pekat seperti tahun lalu?
di sini hujan, begitu derasnya
kadang kilatpun masuk tanpa mengetuk pintu

tak mengenal permisi, katamu
dan kini seperti kilatan kamera ketika kupotret

ah, ya... masih ada beberapa bulan
sebelum tahun ini habis, bukan?
butuh konsistensi lebih kepada waktu
jangan pernah bercanda kepadanya
kita akan terus dibawanya menjadi tua

mari kita bentuk epilog menarik
di ujung kisah perjalanan ini

hujan masih turun dengan derasnya
mungkin dia merindukan bayangmu
untuk tidak lagi membuatnya meruntuh

yah... ya... baiklah
kita mengetas rindu atas jauhnya jarak
kita mencari hati di bentangan laut luas
bagaimana rasanya berbagi di antara daratan
dan laut menjadi pemisah yang begitu nyata
bukankah pada tanggal ini juga
aku berada di kota itu dalam kesunyian
di dalam kereta malam, kutatap jendela
terbelah-belah oleh percikan hujan

aku masih mengenalmu
dalam satu nama
dalam satu jiwa
dalam satu pribadi utuh

dan ketika perpisahan
ada baiknya aku bermain dalam monolog
toh, kita juga menjalani semua dengan improvisasi

lantas, hari ini
apa yang harus kubagi?



3 Oktober 2009 | 20.29
Jakarta yang dibelah hujan
AA - dalam sebuah inisial

Kamis, 01 Oktober 2009

Doa Seorang Kawan

Kawan,
Mungkin aku sendiri tidak merasakan apa yang terasa kini
Aku tak dapat membaca isi hatimu yang penuh gundah gulana
Penuh air mata yang mengoyak batinmu dan tak bisa kau sunggingkan senyuman
Tapi Tuhan tahu, karena Ia tidak pernah membutakan mataNya untuk memperhatikan engkau
Dia menghitung setiap tetesan air mata yang kau jatuhkan
Dia menghitung luka-luka yang tergores di ragamu

Kawan,
Mungkin aku tak dapat menghiburmu, membuatmu tertawa
Aku tak tahu sedalam mana engkau terluka kehilangan semuanya ini
Sekejap saja, getaran itu merampas semua yang engkau miliki
Dan semua itu haruslah ditebus dengan air mata, jerit tangis, histeris, bahkan kematian
Tapi Tuhan tahu, karena Is tidak pernah mematikan nuraniNya untuk mengulurkan kebutuhanmu
Dia sudah mencatat semua yang akan engkau butuhkan
Dia akan mengirimkan semua perlengkapanmu untuk melanjutkan hidup

Kawan,
Kita tak pernah memilih, meminta, mendoakan, dan merancang semuanya
Kita tak pernah menginginkan, mencari, dan mengharapkan semuanya
Engkau berkata: takdir... takdir... aku harus menerimanya ini
Aku belajar dari semua cerita pedih ini, tragedi yang penuh dengan gambaran hitam
Semuanya hanyalah sementara, dan Tuhan tidak pernah main-main dengan ciptaanNya

Kawan,
Jangan pernah salahkan dirimu, jangan kau cerca Tuhanmu
Tak sepenuhnya dosamu juga tak sepenuhnya Tuhan marah padamu
Kita harus ditampar karena kita sudah tak dapat lagi disentil
Kita sudah kebal dengan sentilan, kita harus mendapat yang lebih sakit lagi
Mungkin aku dapat berkata seperti ini, tapi engkau...
Entahlah, bagaimana keadaanmu di sana di mana engkau masih mencari hidup
Mencari ayah, ibu, anak, saudara, kakek, nenek, dan sanak keluargamu
Menangisi mereka yang sudah berpulang dalam reruntuhan

Kawan,
Ingatlah, aku masih perduli kepadamu, jangan salahkan dirimu
Kuyakini semua doamu Tuhan dengar, Tuhan akan mengabulkan
Dia akan mengembalikan dan mengandakan semua yang telah kau miliki sebelumnya
Kita tak pernah meminta, memilih, dan mencari semua ini
Tuhan akan mengamini seluruh doamu, Tuhan tidak menulikan telingaNya
Tuhan sayang kepadamu dan Dia menginginkan sesuatu darimu

Amin







Dedikasi untuk sahabat-sahabat di tanah bencana
Teriring doa untuk kalian semua, tetap tegar



Jakarta di Hari Kesaktian Pancasila 2009 | 21.32