Rabu, 21 Desember 2011

Peluk

ingin aku kembali ke dalam peluk kali pertamamu, ibu. di dalam dekap itu, aku diam-diam merayap ke dadamu, mengisap puting kasihmu, mengalirlah aku oleh cintamu yang membuatku tumbuh. di labirin kasih itu, kau lengkapkan aku dengan nutrisi yang cukup untuk aku melawan masa yang akan kuhadapi kelak, saat itu kau sudah menghitung uban di kepalamu dan lelah menggerogoti tubuhmu.

ingin aku kembali ke dalam peluk kali keduamu, ibu. di dalam dekap itu, aku mendengar tangisku sendiri, kau tersenyum bahagia kala itu. tanda-tanda kehidupan dimulai dari sana. sesederhana itu. lalu aku sandarkan kepalaku di dadamu, membiarkan aku dibelai oleh keping-keping sayang yang ada di sisi-sisi kecil yang membuatku semakin tahu untuk menghadapi masa yang semakin kejam.

sesederhana itu kau mengajarkan aku adalah manusia, dan menjadi manusia itu harus berjuang. bahkan sekadar bernapas. itu harus kujalani sampai nanti, di masa aku akan menjadi letih dan aku pun akan mengajarkan hal serupa kepada generasimu.



Jakarta, 22 Desember 2011 | 04.44
A.A.- dalam sebuah inisial

Senin, 12 Desember 2011

Berapa Buku yang Anda Baca di Tahun 2011?

Berapa buku yang telah Anda baca tahun ini? Seperti tahun kemarin, saya membuat daftar bacaan yang telah saya habiskan untuk tahun ini. Mungkin saja bertambah karena Desember masih memiliki19 hari lagi. Mana tahu sebuah keajaiban saya bisa menambah 19 buku lagi sampai di akhir tahun ini.

Lagi-lagi kendala saya adalah waktu di mana deadline yang tak henti-hentinya menerpa sehingga beberapa buku sempat tertunda atau tidak memiliki catatan tukang baca. Nah, berikut daftar bacaan saya untuk tahun ini. Kalau ada yang pernah membaca buku serupa dengan saya, mari kita berbagi.


Angka tidak menunjukkan peringkat.

1. Balada Ching-ching, Maggie Tiojakin
2. Leaving Microsoft to Change The World, John Wood
3. The Goddess of The Hunt, Tessa Dare
4. Selepas Bapakku Hilang, Fitri Nganti Wani
5. The Lover's Book, Kate Gribble
6. Surrender of A Siren, Tessa Dare
7. The Magicians, Lev Grossman
8. The Man Who Loved Book So Much, Allison Hoover Bartlett
9. Coming Home, Sefryana Khairil Badariah
10. Ayat-ayat Api, Sapardi Djoko Damono
11. Surat Kecil untuk Tuhan, Agnes Davonar
12. A Lady of Persuasion, Tessa Dare
13. Mati, Bertahun yang Lalu, Soe Tjen Marching
14. Selamat Datang di Pengadilan, Daniel Mahendra
15. (Cerita-cerita) dari Luar Jendela, Maestaccato
16. Eclair, Prisca Primasari
17. The Journeys, Adithya Mulya, dkk
18. Oksimoron, Isman H. Suryaman
19. Dan Saya Telah Menyelesaikan Pertandingan Ini, Ronny Pattinasarani
20. Matahari yang Mengalir, Dorothea Rosa Herliany
21. Perempuan, Langit ke Timur, Olin Monteiro
22. Tuesday with Morrie, Mitch Albom
23. The Pilgrimage, Paulo Coelho
24. Larasati, Pramoedya Ananta Toer
25. Tales From The Road, Matatita
26. Snow Country: Daerah Salju, Yasunari Kawabata
27. Karena Kita Tidak Kenal, Farida Susanty
28. Cecilia dan Malaikat Ariel, Joestin Gaarder
29. Stanza dan Blues, W.S. Rendra
30. Abad yang Berlari, Afrizal Malna
31. The Naked Traveler 3, Trinity
32. Gelang Giok Naga, Leny Helena
33. Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada, Leo Tolstoy
34. Sebelas Patriot, Andrea Hirata
35. Iluminasi, Lisa Febriyanti
36. Perahu Kertas, Dee [baca ulang]
37. Madre, Dee
38. Konde Penyair Han, Hanna Fransisca
39. Kedai 1001 Mimpi, Valiant Budi
40. Love, Aubrey, Suzanne LaFleur
41. That Camden Summer, LaVyrle Spencer
42. Presiden Prawiranegara, Akmal Nasery Basral
43. Kereta Tidur, Avianti Armand
44. Meraba Indonesia, Ahmad Yunus
45. Letters To Sam, Daniel Gotlieb
46. Life Traveler, Windy Ariestanty
47. Nasional.Is.Me, Pandji
48. Poconggg Juga Pocong, @poconggg
49. Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken, Joestin Gaarder
50. Asas-asas Manajemen, Ulber Silalahi
51. Once Upon a Love, Aditia Yudis
52. Jump, Moemoe Rizal
53. Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiardjo
54. Principles of Economic, N. Georgy Mankiw
55. Pengantar Logika, B. Arief Sidharta
56. The Windflower, Sharon dan Tom Curtis
57. Never Let Me Go, Kazuo Ishiguro



Untuk tahun ini, buku terbaik veri saya jatuh kepada Never Let Me Go dari Kazuo Ishiguro.


Untuk buku dengan gaya bahasa penceritaan menarik jatuh kepada Kedai 1001 Mimpi dari Valiant Budi.


Untuk desain sampul terbaik versi saya jatuh kepada The Journeys dari Adithya Mulya, dkk.



Untuk buku yang paling tebal yang saya baca tahun ini adalah Principles of Economic dari N. Georgy Mankiw.



Untuk penulis dengan ide paling kreatif versi saya jatuh kepada Perpustakaan Ajain Bibbi Bokken dari Joestin Gaarder.



Untuk penulis dengan tema paling menarik versi saya jatuh kepada Never Let Me Go dari Kazuo Ishiguro.



Untuk penulis terbaik tahun ini versi saya jatuh kepada Akmal Nasery Basral.



Nah, begitulah daftar bacaan saya sepanjang tahun ini. Bagaimana dengan Anda?



Bandung, 12 Desember 2011 | 07.02
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 11 Desember 2011

Bianglala Pasar Malam

katamu sendiri:
bahagia sering diciptakan di tempat tak dikira
lucunya adalah:
aku percaya dan aku berbisik 'amin'

lalu kita pergi ke pasar malam
anak-anak dibiarkan mendahului kita
'aku ingin naik kuda itu'
perempuan kecil memasang wajah iba
kita bertatap dan membiarkan ayahnya
membawa pergi ke depan loket

'aku tak punya uang cukup'
wajah iba berubah menjadi duka temaram
segelap malam, segelap perih dua ribu
'kita pulang saja, ayah' ajaknya
kita bertatap dan mencegatnya pulang
katamu:
'naiklah, dua ribu akan kubayarkan'

lalu kau memberinya uang sepuluh ribu
'kembalinya, om, tunggu aku ya'
kau memilih untuk meninggalkannya
'jajankan saja, dan ajak ayahmu'
kau menarik jemari kelingkingku
'bianglala?'
aku mengangguk, dan kita berangkat
ke sana, ke langit
aku menyebutmu bahagia

lalu diamlah bianglala itu
ia hanya menatap kita, menemani malam
di bawah, orang-orang memilih bahagia
di atas, sepasang kekasih
kini aku kau jadikan percaya
bahagia sering diciptakan di tempat tak dikira

katamu sendiri:
bahagia sering diciptakan di tempat tak dikira
lucunya adalah:
aku percaya dan aku berbisik 'amin'




Bandung, 11 Desember 2011 | 20.22
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 09 Desember 2011

Di Masa yang Pernah Ada





:G



Kembali kepada masa lalu adalah sebuah kebahagiaan bagi mereka yang tidak pernah mendambakan dewasa, itu kataku. Dan bagiku bercerita tentang masa lalu selalu membutuhkan keberanian yang tidaklah sedikit, apalagi mengenai masa-masa yang kelam dan tak lagi ingin kau mengenangnya. Setidaknya ia telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara mensyukuri kebahagiaan yang sifatnya hanyalah fana, sebagaimana juga ketidakbahagiaan itu.

Kerap aku tertawa ketika mengenang kembali masa-masa bahagia. Dan kerap aku merasa pilu ketika harus mengenang kembali masa-masa ketiadaan. Merapal dengan harfiah, aku kembali menuliskan tentang kamu. Ternyata tidak pernah ada kata habis untuk mengingat selalu mereka yang pernah kita kasihi. Tak perlu pula memandang bagaimana kita bertemu pula berpisah. Selalu ada jalan dan cara untuk hal tersebut.

Kemudian, berjibakulah aku dibuat oleh kenangan yang sudah-sudah. Tentang pertemuan pertama, bagaimana caramu yang menyapaku. Kita berkelibat dalam diskusi yang tidak mengenal ujung. Ada kopi, setumpuk buku, dan secengkram topik pembicaraan. Waktu kita biarkan saja bebas memilih: berlari atau berjalan. Toh, semua akan sama saja, pikirku kala itu. Biarkan saja kita dihempaskan oleh waktu sebagaimana ombak menghempas karang di lautan dan matahari menghempas bumi di langit. Tak pernah ada perih di sana.

Sangatlah tak etis bila kita hanya mau mengenang bahagia tanpa mengingat perih. Harusnya bagaimanalah kita berterima kasih kepada perih yang mengingatkan kita bahwa bahagia pun serupa dengan angin yang bisa saja berlalu demikian. Tetapi orang cenderung mengumpat perih sebagai jodoh yang tak diundang. Orang membenci kedatangannya dan mencoba meninggalkannya. Ada yang sanggup, ada pula yang tidak.

Sampailah kita pada sebuah tujuan: stasiun untuk berhenti. Punggung yang saling bertatap dan wajah yang saling berbalik. Di sudut mata, ada air yang dihapuskan oleh hujan. Awalnya kita seiringan, dan di persimpangan kita telah memutuskan untuk menjadi sendiri-sendiri. Keputusan yang tidaklah menyenangkan, tetapi harus ditelan sebagai keberadaan.

Kelak, sesampaiku di stasiun itu lagi, pasti masih ada sisa senja yang mendokumentasikan setiap bagian perpisahan itu. Sekarang terlihatlah lebih manis, dan pilihan untuk berpisah tidaklah selamanya salah. Karena dengan cara tersebut, selalu ada kehidupan yang lain setelah kehidupan hari ini.

G, aku akan pulang. Meski bukan tepat di hadapanmu, setidaknya kekayaan kata-kata sudah cukup mewakili untuk masuk kepada partikel-partikel yang hidup untuk bersenyawa di kemudian hari.





Bandung, 10 Desember 2011 | 05.02
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 08 Desember 2011

Waspadai Plagiarisme dalam Tulisanmu

Oleh: Aveline Agrippina


Bukan barang satu-dua kali kasus plagiarisme terjadi di Indonesia. Masih segar di benak kita di awal 2010, seorang profesor mempublikasikan tulisannya yang terbukti hasil plagiarisme. Setelah seorang cerpenis terbukti melakukan pragiarisme dan cerpennya berhasil terbit di salah satu koran lokal dan satu lagi terbit di koran nasional, muncul lagi kasus salah satu penerbit di Bandung yang diduga menerbitkan buku hasil dari plagiarisme karena kalimat yang ada nyaris serupa dan hanya menggunakan sudut pandang yang berbeda.


Plagiarisme bukan lagi menjadi kata-kata yang asing di dalam dunia kepenulisan. Apalagi dengan semakin canggihnya teknologi yang ada, membuat sang plagiator semakin leluasa untuk memindahkan tulisan orang lain atas namanya sendiri. Bahkan dengan mudahnya, misalnya dunia internet, membantu sistem copy-paste untuk memperlancar aksi plagiarisme.

Apa yang dimaksud dengan plagiat? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiat adalah pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri atau dengan kata lain menjiplak. Yang digolongkan ke dalam kasus plagiarisme adalah mengambil tulisan orang lain tanpa menyebutkan sumber, mengutip tanpa menuliskan sumber, atau menuliskan opini dan mengganti tulisan tersebut dengan perspektif berbeda tanpa menyeburkan sumber.

Plagiarisme memang terdengar hal yang simpel, tetapi bila kita sudah masuk ke dalam lubangnya, maka hukuman pun siap menjerat. Baik hukuman berupa penarikan gelar atau pemberhentian secara tidak terhormat di dalam bidang akademis, penarikan terbit di dalam bidang fiksi dan nonfiksi, atau yang paling berat adalah hukuman penjara atau denda. Di Indonesia sendiri sudah ada undang-undang yang menetapkan hal ini yaitu Undang-undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

Dengan melakukan plagiat, terbukti sekali bahwa kita bukanlah orang-orang yang kreatif. Ide berserakan di mana-mana dan itu bisa kita jadikan sumber untuk menulis dan tak perlu melakukan plagiat. Bila kita harus mengutip, jangan lupa menyebutkan sumber yang membuktikan bahwa pernyataan itu bukanlah milik kita. Zona plagiarisme memang mudah dilakukan, tetapi mudah juga untuk dideteksi. Jangan sampai kita pun harus menahan malu karena aksi copy-paste.






Tulisan ini pernah direncanakan untuk dipublikasikan di dalam majalah kampus, tetapi saya urungkan dengan berbagai pertimbangan yang ada dan melihat kondisi kampus saat ini. Harap maklum adanya kalau hanya terpublikasikan di sini.

Selasa, 06 Desember 2011

Kamu Tahu Apa yang Kita Perbincangkan

lalu semua orang menjadi diam ketika kita bicara
membiarkan kita menjadi bebas dan liar untuk bersuara
seakan dunia memang telah menelanjangi dirinya
dan siap untuk disetubuhi dengan umpat-puja
tapi,

terkadang kritik itu perih selebih sayat dengan garam
atau puja itu manis selebih tebu yang ditunggu
orang-orang terantuk, bisa saja begitu
atau geleng-geleng karena bimbang dan ragu

ah, aku yakin:
kamu tahu apa yang kita perbincangkan




Bandung, 6 Desember 2011 | 07.29
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 05 Desember 2011

Dan

ternyata kehidupan hanyalah sebuah perjalanan yang menyesatkan
kita tak pernah tahu kapan harus pergi, kembali, kapan waktunya
kita tak pernah tahu ke mana harus pergi, kembali, di mana tempat itu
dan tak pernah ada yang tahu, dan tak ada yang mengerti

lantas,
dengan cara tersebut kehidupan hanyalah teka-teki
sebuah misteri dengan tanda tanya yang besar
atau lingkaran amnesti yang tak tahu apa maksudnya




Bandung, 5 Desember 2011 | 18.43
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 29 November 2011

Tentang Hujan dan Kamu

ternyata masih saja tentang kamu
di balik segala rinai hujan dan air mata
di dalam rintik yang menari di langit
dan dalam genang dan kenang yang melantun

kamu adalah hujan, tapi kamu juga yang menjadi pelangi
kita begitu ragu menentukan pilihan
dan kita juga meragukan perasaan
apakah masih ada kamu dan tetap ada aku di balik kekamuan
masih tumbuh cinta setelah hujan turun

atau hujan itu kamu
dan aku yang tak paham


Bandung, 29 November 2011 | 11.36
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 26 November 2011

Di Sebuah Bagian yang Hilang

Di mana letak hati berada ketika ia tak dapat menemukan jalan pulang?

Sementara kita harus tetap belajar untuk memahami hidup agar lebih berarti

Di lapisan cerita indah, kadang membuat kita tersenyum

Meski kita sudah tak tahu tersesat sampai sejauh mana kini

Lalu, ke mana hati harus melangkah? Tanyaku.

Rabu, 23 November 2011

Ternyata

ternyata masih ada tentang kamu
di dalam ruang yang bisu
di dalam dimensi tak terjamah
di segi segmen yang tak tersentuh

tenyata kamu boleh berbeda jarak
tetapi tetap ada di ruang tak terbatas



Bandung, 24 November 2011 | 3.39
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 19 November 2011

Di Dalam Sebuah Euforia

:Adryan Adisaputra Tando


kita selalu membicarakan hal yang remeh
mungkin persahabatan selalu dimulai dengan cara demikian
tapi bukankah pernah kukatakan tentang sebuah sahabat
dan kita telah membuktikannya, kehidupan kita berkelindan
dan kita bukanlah sahabat
:karena kita lebih dari sahabat, lebih dari sekadar bersahabat

kita selalu memberikan ilmu-ilmu yang sederhana
lebih mudah dimengerti dan tak perlu bergelut dengan rumus
tak perlu pembuktian teori semesta semata, karena itulah
pernah kukatakan kepadamu di suatu masa yang baik
dan kita telah membuktikannya, kehidupan kita mengajarkan
dan kita bukanlah guru
:karena kita lebih dari guru, lebih dari sekadar menggurui

kita selalu berjalan di dalam petualangan yang menakjubkan
sementara orang-orang menganggapnya itu sebagai hal biasa
karena mereka tak pernah merasakannya sendiri, tentang ini
kita sanggup menerjang kebahagiaan yang tak sekadar fana
ia akan selalu hidup di hati, ia membatin di dalam darah
dan kita telah membuktikannya, kehidupan kita memberikan
dan kita bukanlah petualang
:karena kita lebih dari petualang, lebih dari sekadar bertualang


tetap menjadi lebih dari sekadar sahabat
tetap menjadi lebih dari sekadar guru
tetap menjadi lebih dari sekadar petualang

sahabat bisa tercerai berai, tetapi tidak dengan kita
guru bisa meninggalkan di masa lain, tetapi tidak dengan kita
petualang bisa hilang di suatu waktu, tetapi tidak dengan kita

bagimu, adalah bahagia
dirgahayu untukmu, bertumbuhlah dan berdewasalah



Peluk dan cium mesra,

A.A. - dalam sebuah inisial
Jakarta, 19 November 2011 | 07.16



PS: Ketika kutulis ini, kuputar selalu Dewi Lestari, Selamat Ulang Tahun, dan aku tahu di saat yang sama pula, kau sedang berbahagia.

Kamis, 17 November 2011

Welcome Home

Kamu,

aku pernah bercerita suatu hari tentang harapan kita yang tak pernah lari, ia menetap di hati. seperti malam yang sunyi, ia mencabik keseluruhan hati yang tak ingin dilukai. tetapi dengan kembali kepada keadaan semestinya, kita bisa menjadi berada. dan ada pula yang kita kenang dengan kerasan di suatu masa, suatu tempat.

dengan demikianlah, bebanmu terangkat. tak lagi kau kenal luka dan nestapa. terlalu manis kelak hidup bila dilewati dengan cara yang sangat asing. dan aku dan kamu, kita-menyebutnya begitu- tahu ke mana harus pergi.



Bandung, 17 November 2011 | 18.51
A.A. - dalam sebuah inisial

Perihal: Tahu

terkadang di dunia ini, kita bisa menjadi perih
bila kita terlalu banyak tahu dan keingintahuan menjadi luas
sementara tahu pun ada batasannya, ia tidak saja harus lebih
pula tahu pun tidak perlu kekurangan
mungkin tahu seperti obat, teguklah sesuai dosis
atau seperti makan, secukupnya saja

dengan cara itu, kita tak perlu menjadi mati
karena keracunan keingintahuan yang tak terbatas



Bandung, 17 November 2011 | 06.28
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 12 November 2011

Perihal: Malam

Dan kita selalu tahu,
kapan waktu harus menjamah matahari
dan melepaskannya


Bandung, 12 November 2011 | 19.02
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 08 November 2011

Di Tempat yang (Tak) Asing

Dan selalu ada tempat yang tak pernah ingin kau sambangi
Kau selalu tahu aku membenci tempat di mana ada air mata
Ada jerit sakit yang membuatmu ngilu di hati

Aku benci akan obat-obat, dan aku benci tentang segala derita


Bandung, 8 November 2011 | 08.46
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 04 November 2011

Tentang Hujan

karena sore
hujan pun datang saja
ia permisi pamit
dan terlihat jelas
ada air mata di sana




Bandung, 4 November 2011 | 16.06
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 03 November 2011

Menjunjung Pagi

pagi begitu sunyi, ia pilu
di dalam hatinya, ia mendekap luka
orang-orang berujar ia kesepian
disandera oleh segala bilur-bilur
dan tentang cerita pedih tiada akhirnya

pagi menuju kepada hilir sungai
dibungkamnya sunyi, biar orang bergidik
karena sunyi itu tentang kefanaan yang arif
segala tentang yang arif harus dibunuh
untuk itu ia melakukannya

pagi membunuh sunyi, mengundang keramaian
biar esok sunyi datang diundang malam
dan pagi akan membunuhnya lagi

sementara di ujung sana, matahari menunggu
siapa yang akan menang dalam pertarungan itu




Bandung, 3 November 2011 | 05.42
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 29 Oktober 2011

Sebuah Pagi


pagi ini tidak hujan meski mendung
seperti kemarau yang disapu hujan
pelangi adalah senyum
hujan adalah air mata
pagi ini langit sedang tersenyum
ditampiknya air mata
dan jadilah hari ini





Jakarta, 29 Oktober 2011 | 07.15
A.A. - dalam sebuah inisial



Kamis, 20 Oktober 2011

Tentang Sepi yang Meraja

Dear G,

Rasanya tidak begitu lama kita tidak bersua meski telah berapa bulan kita terbentang jarak. Apa kabarmu, itu yang hendak kutanyakan. Berkali-kali kutanya lewat angin, hujan, matahari, dan bulan, mungkin aku tahu jawabmu adalah sama. Tetapi lewat pertanyaan berbasa-basi itu, aku setidaknya ingin membuat sebuah persetujuan denganmu bahwa kita memang baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Kalau kau bertanya tentang apa yang saat ini paling kunikmati, tentu akan kujawab adalah kesendirianku. Ternyata kesendirian itu lebih nikmat daripada hura-hura. Lewat kesendirian itu, aku lebih bebas dengan segala hal yang akan kulewati dan ingin kutempuh. Bahkan tulisan untukmu kali ini, kutulis dengan kesendirianku.

Semakin dewasa, aku semakin sadar ternyata kita akan semakin bergelut dengan kepentingan saja. Aku semakin mengerti bahwa keutuhan yang ada di dunia ini bersifat sementara. Ia akan melebur sendiri dengan keadaan, keberadaan, dan keberadaban. Dan semakin dewasa pula, kita pelan-pelan telah dilepas untuk sanggup berdiri sendiri dan melintasi segala hal yang ingin kita raih.

Sekarang aku cenderung memilih jauh dari hiruk-pikuk dan lebih memilih pulang, membuka laptop, membaca buku, atau mencari teman satu-dua orang untuk berdiskusi. Entah orang-orang mengatakan aku memang ingin mengasingkan diri atau tidak, tetapi dengan cara ini aku mendapatkan apa yang aku inginkan.

Dan aku pun sesekali rindu tentang rumah. Dengan cara ini, aku belajar berkawan, bukan melawan sepi. Aku mencintai sepi seperti aku mencintai diriku, seperti aku mencintai segala kenangan tentang kamu dan yang kutangkap dari segala medan perih ternyata tidak pernah menjadi nyata. Ia hanya lembaran yang begitu klise. Dengan mencintai sepi itu, selalu ada rasaku yang pulang meski jasmaniku masih berada di sini. Masih ada kehangatan tentang rumah yang tak pernah hilang dan kuketahui bahwa yang dinamakan rumah adalah ketika kita mampu menempatkan hati di mana saja kita bisa merasakan zona nyaman.

Di sini sangatlah sepi. Awan berarak ke timur, kata orang-orang dan aku percaya saja. Tidak ada suara kereta, mobil, atau kebisingan lain. Aku pun bisa memutar Enya dengan jelas meski volume suara yang sangat kecil. Cenderung pula aku menghabiskan waktuku dengan tidur meski tak pernah merasa nyenyak. Seringkali aku terbangun di tengah malam atau waktu tidurku tidak pernah sama dengan ketika aku berada di rumah. Tapi bagiku cukup.

G, aku akan pulang. Entah di hari apa, tetapi kurasa kita tidak akan sempat bertemu. Namun aku selalu mendapatkan bahagia ketika aku sanggup menuliskan surat kepadamu dan dengan cara ini kuketahui bahwa kekayaan kata-kata bisa membuatku lebih bernyawa. Lewat cara inilah, kita bertemu.



Bandung, 20 Oktober 2011 | 10.32
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 19 Oktober 2011

Suka, Duka, Murka

kau tahu, dengan mengenal sukamu kau akan dapatkan segala bahagia yang orang-orang nantikan, dengan mengenal dukamu kau akan dapatkan segala nestapa yang orang-orang asingkan, dengan mengenal murkamu kau akan dapatkan segala egois yang orang-orang abaikan. berangkat dari suka, duka, murka, kau telah menjadi manusia yang mengalami manis-pahit kehidupan dan tak perlu lagi mengeluh tentang hidup yang terasa sangatlah tawar.


Bandung, 19 Oktober 2011 | 08.08
A.A. - dalam sebuah inisial

Penyair

Penyair

Jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang.

Jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah


Sarang Jagat Teater
19 Januari 1988.


Widji Thukul adalah seorang penyair dan aktivis yang lahir pada tanggal 26 Agustus 1963. Terlahir dari ayah yang seorang tukang becak. Rajin menulis puisi sejak SD dan bergabung dengan kelompok Sarang Jagat Teater. Sejak peristiwa 27 Juli 1996, Widji Thukul hilang dan diduga dilenyapkan oleh pemerintah orde baru karena kegiatan aktivisnya. Beberapa orang menyatakan masih melihatnya di tahun 1998. Sejak tahun 2000, ia dinyatakan hilang sampai kini. Salah satu buku kumpulan puisinya yang terkenal adalah 'Aku Ingin Jadi Peluru'.

Senin, 17 Oktober 2011

Bila Aku Dilarang Menulis

bila aku dilarang menulis, pun itu bukan masalah besar bagiku
aku akan menulis dengan tetes darah sebagai tinta*
dan tembok di muka rumahmu kujadikan kertas tak habis

bila aku dilarang menulis, aku tak akan pernah marah
akan kucabik setiap kata dan menempelkannya di pintumu
biar kau tahu kata-kata itu yang akan memenjarakanmu

bila aku dilarang menulis, aku memilih untuk diam
karena kau tidak akan pernah sadari dari diam itu
jantungmu telah berhenti karena jutaan aksara menyumbat detakmu




*) dari puisi Widji Thukul



Bandung, 18 Oktober 2011 | 01.46
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 14 Oktober 2011

Perihal: Berangkat

mungkin memang pulang yang mesti menjadi jawaban
dari semua kegelisahan yang lahir dari rahim waktu
yang dikandung oleh perempuan bernama rindu
dari sana ia menjadi seonggok anak yang sempurna

mungkin memang pulang memberi kecukupan
tentang haus akan cinta dan kasih di dalam dekap
tentang peluk di dalam setiap sapaan yang lembut
tentang cium yang mesra di bibir usia yang menua

dan pula mungkin pulang yang memberikan kecup kenang
biar kamu enggan untuk pergi lagi karena kamu tahu langkahmu
kamu tahu semestinya kamu memang berada di mana
dan di sanalah sesungguhnya rumahmu, letak hatimu bersemayam





Jakarta, 14 Oktober 2011 | 08.12
A.A. - dalam sebuah inisial

A Part of A Farewell

be a part of you
be a part of your heart
be a part of your journey
and be a part of your life

thank you
to make my life wonderful
to make my love colorful
to make my day beautiful

nice to meet you
but (very) not nice to separate you






Jakarta, October 14th 2011 | 08.04
A.A. - in an initial

Rabu, 12 Oktober 2011

Perihal: Perih

mungkin tuhan tahu seberapa engkau menderita karena perih itu
perih yang tak bisa kau bagikan kepada sekitarmu, kepadaku
perih yang hanya boleh kau nikmati seorang diri di dalam waktumu
atau kau memang hanya ingin menjadikannya bagian dari dirimu

tentang sakit itu bisa saja terobati, tetapi sejarah sudah lebih lekas mencatat
boleh kulit hatimu terluka, ditahirkan, tetapi akan meninggalkan bekas
biar kau ingat lagi rasa sakitmu, rasa perih yang tak bisa kau lupakan
biar kau selalu berusaha untuk tidak menggores luka kepada lawan bicaramu

mungkin tuhan tahu seberapa perih luka jiwamu yang meradang
ia hanya butuh tempat untuk beristirah dan memulihkan isi batin
lebih mengenal siapa dirinya dan tahu caranya untuk menjadi pulih
dari sana, ia menghargai perih sebagai bagian dari darah waktunya



Bandung, 12 Oktober 2011 | 07.27
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 08 Oktober 2011

Ia yang Disebut dengan Cinta

Bukankah kau yang memanggilnya demikian? Adapun aku tidak pernah melarang akan kehadirannya.

Aku hanya membuka pintu agar ia hendak bertamu, menikmati segala suguhan yang ada di rumah hati.

Kau memanggilnya dengan nama itu, aku pun demikian.

Memang mungkin ia yang disebut dengan cinta, ia yang dikenal dengan cinta.

Sehingga bukanlah hal yang tidak indah bila orang-orang bahagia karena ia, pula berlara karena ia.

Ia bisa menjadi sumber bahagia dan sumber nestapa. Ia seperti air yang melegakan, tetapi juga air yang menjadi bah.

Tapi tanpanya, hidup adalah tawar, tak lagi beragi.


Jakarta, 8 Oktober 2011 | 11.18
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 05 Oktober 2011

Perihal: Air Mata

bukankah kita pernah mendiskusikan hal ini
di mana kita hanya bisa menderita sakit seorang diri
menyimpan dendam yang tak terbalaskan
mengubur rasa sakit hati yang tak terbuka
dan benar-benar sungguh kesepian
air mata menjadi jawaban untuk memilih langkah
sebagaimana kita pernah pergi kepada waktu
untuk mengemis agar ia tak cepat berlari
agar tak sia-sialah semua hari yang ada
agar tetap ada harapan meski di tengah sepi
meski kau dan aku benar-benar merasa kesepian
air mata menjadi jawaban, untuk kau tahu tentang sebuah kehidupan
yang tak selalu semua orang tahu tentangnya



Bandung, 5 Oktober 2011 |5.01
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 29 September 2011

Epilog September

September hanya seperti pagi dan malam
ia datang untuk kemudian pergi lagi tanpa pamit
setidaknya kita tahu sehingga kita siap untuk kehilangannya lagi
mendoakannya di dalam perjalanannya dan membekalinya dengan asa
agar ia tak menjadi lenyap ketika dunia yang terlalu kejam memberangusnya
karena setiap orang berdoa agar September tidak lekas pergi
begitu juga aku dan kau, begitu juga kau dan aku

bukankah pergi memang untuk menemukan jalan pulang?
ketika itu gerimislah aku dengan air mata yang ada di pelupuk
tak hingga untuk melepas segala kenangan dan tak tampak wujud ikhlas
September menyimpan fajar dengan sebungkus ratap yang begitu manis
juga mengepak cinta yang tidak memandang sepi dan ramai
'aku harus pergi, sampai jumpa lagi di dimensi baru,' kata September

bukankah semua awal akan bertemu dengan akhir
bukankah semua pertemuan akan bertemu dengan perpisahan
bukankah kita hanya sekadar bertemu dan bertamu, duduk di beranda
seperti halnya September yang akan pamit, untuk pergi

entah ke negeri mana



Bandung, 29 September 2011 | 17.54
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 25 September 2011

Petang Bersama Ayah

adalah petang yang paling mengagumkan
dan tak akan pernah terlupakan.






Bandung, 25 September 2011 | 17.26
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 20 September 2011

Mendengar Cita-cita

Sebuah malam Juli di Senayan, Jakarta, saya mencegat taksi untuk menumpang setelah hampir seharian berkelana di kota ini. Tepatnya bukan berkelana, tetapi menyerahkan hasil kerja dan hendak pulang. Jakarta sudah memperlihatkan langitnya yang pekat dalam gelap dan saya sudah enggan untuk berdesak-desak di dalam busway yang semakin hari semakin tidak bisa membuat puas para penumpangnya karena armada bus yang tak pernah sesuai dengan jumlah penumpang.

Masuklah saya ke dalam sebuah taksi. Seorang bapak, sebutlah namanya Pak Amir. Tak ada ucapan selamat malam, tak ada sapa hendak ke mana arah kita. Tiba-tiba ia langsung bercerita sendiri. Tapi saya membiarkannya saja apa yang hendak dikatakannya sembari mengatakan ke mana saya akan beranjak.

Langit Jakarta sudah terisi oleh kerlap-kerlip dari lampu-lampu. Jalanan ibukota tetap padat, apalagi saya pulang di jam orang-orang pulang ke rumah. Klakson, umpat, dan suara knalpot menjadi hal yang tak asing lagi ketika hidup di Jakarta. Rasanya hampir tak ada orang yang hidup di jalanan Jakarta yang tidak ingin mengumpat dengan sikap dan perilaku sesama pengguna jalan. Bahkan sampai pengemis dan pengamen pun bisa menjadi sasaran ketika seorang pengguna jalan sudah naik darah di jalanan ini.

Saya tahu, malam-malam itu adalah malam-malam terakhir saya menikmati kemacetan Jakarta secara utuh. Setelahnya, mungkin saya hanya menikmati udara dingin dan angkot-angkot yang tahu sopan santun dalam mencari penumpang. Jakarta keras, dan itu benar-benar keras. Dari jalanan saja kita bisa melihatnya.

Pembicaraan saya dan sopir taksi tadi belum usai. Tiba-tiba ia bertanya tentang hal yang tak biasa saya bicarakan dengan supir taksi lainnya.

"Dik, kerja di mana?"
"Kerja sambil kuliah, Pak. Kerja serabutan. Hahaha..."
"Kuliahnya di mana?"
"Bandung."
"Lho? Kok?"
"Kuliah belum mulai, saya di sini bekerja iseng-iseng saja. Isi waktu liburan."
"Kuliahnya apa, Dik?"
"Ilmu Politik, Pak. Kenapa?"
"Tahu dong kasusnya Nazaruddin?"
"Tahu, Pak."
"Menurut Adik, Nazar salah atau tidak?"
"Salah dong, Pak. Tapi masih ada kepalanya lagi yang lebih salah."
"Pernah bercita-cita dengan Indonesia yang bebas dari korupsi, Dik?"

Glek! Seorang sopir taksi menanyakan hal seperti ini kepada saya. Cukup mengejutkan sekaligus membuat sebuah hal yang tak pernah saya duga-duga sebelumnya. Selama ini, saya tahu kasus Nazaruddin seperti apa dan saya mengikutinya. Tetapi saya tidak pernah bertanya kepada diri saya apakah saya pernah berpikir dan bercita-cita memiliki negara yang bebas dari korupsi.

"Mungkin, Pak. Kalau Bapak sendiri?"
"Selalu. Saya sering sedih, tapi saya kan cuma sopir taksi."
"Lalu, mengapa dengan sopir taksi, Pak? Apa saya yang mahasiswa dan Bapak yang seorang sopir taksi tidak boleh bercita-cita?"
"Ya, boleh. Tapi cita-cita cuma cita-cita saja."
"Cita-cita bisa terwujud kalau mimpi kita tidak ketinggian dan kita mampu menggapainya, Pak. Kalau negara tanpa korupsi itu pasti tidak pernah ada di dunia ini."

Malam itu pula, telinga saya seperti mendengar lagu dari John Lennon, Imagine. "
You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as on"

"Saya dulunya kerja di Telkom, Dik. 15 tahun di sana. Semua tunjangan kesehatan dan sekolah anak ditanggung."
"Kok berhenti?"
"Gaji tak naik. Meski tunjangan ada, sering tidak cukup karena mereka tidak pernah menaikkan tunjangan sampai penuh. Tapi, sampai sekarang saya tetap ditanggung karena saya mengundurkan diri."

Di kursi belakang saya mengangguk. Kemudian mendengarkan lagi Bapak itu bercerita.

"Anak saya sudah selesai SMK. Syukur, saya bisa menyekolahkannya dari taksi. Kadang juga saya sedih, anak saya sebenarnya ingin kuliah. Tapi saya belum mampu. Untung dia mau masuk SMK. Sekarang dia bisa bantu bapaknya. Desain gelas, spanduk, dan baju."

Saya selalu percaya, semua orang memiliki cita-cita. Semua orang pasti akan bercita-cita. Seorang sopir taksi atau seorang mahasiswa yang duduk bersama di dalam satu mobil, melintasi jalan yang sama pun pasti memiliki cita-cita. Bukankah kita sedari kecil memang sudah ditanamkan cita-cita? Cita-cita membuat kita supaya bertahan hidup untuk memperjuangkannya dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, membuat seseorang untuk menilai dirinya lebih berarti di dalam setiap kesempatan yang ada.

"Cita-cita itu ada batasnya, Pak. Kalau ketinggian, kita tak bisa menggapainya. Kalau kerendahan, mudah menggapainya, tetapi mudah juga untuk dilupakan oleh kita sendiri."
"Iya, Dik. Tapi orang miskin dilarang bercita-cita juga?"
"Cita-cita itu gratis, Pak. Semua orang bebas bercita-cita. Setinggi apa pun, serendah apa pun. Tapi kita harus sadar akan keterbatasan kita, Pak. Manusia pun ada batas dalam bermimpi. Bisa saja kita tidak sanggup menggapai cita-cita karena ketinggian."
"Jadi Adik tidak setuju dengan Sukarno?"
"Ya, tentu tidak. Memang bisa kita ke langit untuk menggapai cita-cita? Naik pesawat saja belum sampai ke langit paling atas. Hahaha..."

Perjalanan hampir usai. Saya hampir tiba sampai tujuan. Ada kesimpulan dalam hati bahwa Bapak Amir ini memang sudah bercita-cita. Orang kaya dan orang miskin boleh bercita-cita, perempuan dan laki-laki bebas bercita-cita. Cita-cita hanya berbeda dalam tinggi-rendah, besar-kecil, diperjuangkan-tidak, dan berhasil-belum berhasil. Tak ada cita-cita yang gagal.

Ada benarnya pula kata Andrea Hirata, berhenti bercita-cita adalah tragedi kehidupan manusia. Pak Amir bukannya ia tak mau memperjuangkannya, mungkin saja baginya dua cita-cita yang terdengar sederhana itu terlalu tinggi untuk digapainya seorang diri. Setidaknya, Beliau tidak berhenti untuk tetap bercita-cita.

Langit Jakarta hanya berhias lampu. Tibalah saya di destinasi berikutnya di mana teman saya sudah menunggu untuk obrolan malam sebelum saya pindah ke luar kota. Saya mengakhiri obrolan yang menarik dengan seorang sopir taksi yang memiliki cita-cita. Saya turun setelah membayar lebih sedikit sebagai bonus untuk mengisi kekosongan perjalanan saya yang terlalu membosankan hanya dengan diam.

Taksi itu melaju. Mungkin hanya saya dan Tuhan yang tahu, seorang sopir taksi pun memiliki cita-cita yang selalu ingin digapainya.




Bandung, 20 September 2011 | 07.19
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 17 September 2011

Intelektual Merdeka

Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intektual yang merdeka: sendirian, kesepian, dan penderitaan.




Surat kepada Soe Hok Gie

Intelektual Merdeka

Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intektual yang merdeka: sendirian, kesepian, dan penderitaan.




Surat kepada Soe Hok Gie

Perihal: Cinta

aku selalu yakin, kau telah mengenal cinta sejak kau menjadi embrio
mungkin kau tak pernah menyadarinya sampai kau sendiri tahu apa itu cinta
meski kau tak pernah bisa mendefinisikannya ketika kutanya 'apa itu cinta'
jawabannya tetap sama: rasa sayang
namun, rasa sayang yang seperti apa, lagi-lagi kubertanya

kita tidak pernah tahu kapan cinta datang bertamu dan pamit pulang
kita pun tidak pernah tahu bagaimana cinta bergelut dan hadir di dalam lingkup dunia
cinta bisa saja dikenal sebagai orang asing, atau datang sebagai seorang pencuri
bisa saja cinta datang sebagai orang yang tak tahu seperti apa cinta
tak seorang pun bisa memahaminya tentang dirinya itu

kadang pula, cinta datang seperti pecundang, menantang dalam kecut
tapi ketika ia pergi, barulah sadar cinta baru saja bertamu di beranda hatimu
risau, gelisah, dan rusuh hati melanda hatimu yang berkecamuk
tapi kubisik kepadamu: cinta pergi untuk datang kembali, suatu hari nanti




Bandung, 17 September 2011 | 08.34
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 15 September 2011

Sebuah Kotak Pandora

G,

Mungkin, hanyalah sebuah kemungkinan dari ribuan kemungkinan lain yang tak pernah bisa kita duga sebelumnya. Seperti tak seorang pun yang tahu tentang masa depan seperti apa, seperti sedang membaca sebuah buku. Kita tak pernah tahu apa yang ada di halama berikutnya. Seperti sedang menonton sebuah opera, kita tak tahu akan ada kejutan macam apa dalam adegan berikutnya.

Akhirnya, ada cerita yang membuat kita kembali merasa akan pulang. Aku bagai membungkus rindu yang tiada mengenal tepi. Ada fase di mana aku cuma bermain-main dalam ranah yang tak tahu akan seperti apa. Cerita-cerita di dalam kebisuan hanya sanggup teruntai manis sampai ke ujung hati. Seketika itu, masih ada harap dan pilu yang datang saling berkejar ke garis akhir.

Kadang, kuinsafi sebuah hal yang kumengerti tentang kamu. Tentang sebuah kotak pandora yang tak pernah berdebu untuk menyimpan kenangan kita. Siapa yang menjaganya, aku pun tak tahu, pula dengan kamu. Kita tak pernah tahu. Tapi, sungguhlah berterima kasih, kotak itu tetap tersimpan rapi dan tetap tak terlupakan untuk singgah kepadanya.

Masih ada catatan tentang aku yang menulis usia. Kita tak pernah menginginkan mati di usia tua, bukan? Terbahak seketika itu, aku berdiam di dalam permainan waktu. Usia yang bertambah bukan menjadi sebuah beban bagiku, tetapi menjadi sebuah refleksi yang menarik untuk disimak bagai buku yang begitu menarik dari anyaman aksara, seperti lagu yang begitu nyaman didengar dari denting melodi, dan seperti petualangan yang kuharap tak habis-habisnya untuk dilewati.

Ada kalanya, aku rindu akan kotak pandora itu. Ingin aku masuk ke dalamnya, bermain di sana dan menikmati hidup. Tapi inilah dunia, di mana semuanya butuh dengan perjuangan. Tak ada satu pun yang didapat secara cuma-cuma atau berdasarkan belas kasih.


G,

Benarkah rindu yang membuat kita tidak bisa berpaling dari kenyataan? Seandainya kita tahu jawaban sesungguhnya.




Jakarta, 15 September 2011 | 22.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 14 September 2011

Petang di Sebuah Sore

Kita berangkat di dalam sunyi
Aku enggan untuk berkata: aku pulang
Karena ini bukanlah lama, bukan sebentar
Tapi bagiku adalah bahagia
Sebuah manifestasi yang tak seorang pun dapat membentuknya



Bandung, 14 September 2011 | 14.59
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 11 September 2011

Bertamu di Rumah Tuhan

siang ini, aku hanya singgah ke rumah Tuhan
Ia mengajakku untuk makan siang
ternyata sederhana:
hanya nasi, tempe-tahu, ayam goreng, dan sayur bayam
ada sambal terasi sebagai penggodaku
ada es teh manis yang jelas sekali nikmat untuk diseruput

bayam itu diambilnya dari kebun di belakang rumah
ayamnya baru tadi pagi disembelih dari kandang
tempe dan tahu dibelinya dari pasar
dirawinya sebagai makanan yang sederhana

tak ada burger, spagheti, atau pizza
tak pula ada jus atau karbonasi
sekadar es teh manis

Tuhan memasaknya sendiri? ya
enak juga





Bandung, 11 September 2011 | 11.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 09 September 2011

Melawan Lupa

adalah tugas yang tak ada habisnya
untuk berbicara tentang melawan lupa
di mana seorang pun datang dan pergi
hadir dalam lingkup sebuah kejujuran
ada di dalam sebuah kebenaran
dan berkelindan di antara ranum-ranum
yang tak bisa dihitung dengan manis

melawan lupa adalah tugas
tugas yang tak menemui ujung
agar kenang dan harap
agar cita dan asa
agar kehidupan kita bertalu-talu
selalu dan harus berpilah pada esok
dan kebenaran serta kejujuran ada yang diungkap

hari ini adalah melawan lupa
melawan lupa mereka yang tak pernah mengingat tentang hari yang belum usai





Bandung, 9 September 2011 | 07.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 06 September 2011

Bagaimana Kita Memandang Keragaman

Pro Rike Anggraeni,

Bagiku, semua hari adalah sama. Yang berbeda hanyalah kita yang membuat pola-pola yang menjadikannya warna-warni. Seperti halnya kembang di taman, tentu tak semuanya sama. Atau pula sebagaimana kita memandang kehidupan. Silakan tanya kepada sahabat-sahabatmu, apa arti hidup bagi mereka. Tentu jawabannya sangatlah beragam.



Sebuah diskusi

Aku tak memungkiri aku menyukai apa yang disebut diskusi. Aku suka berbicara apa saja, berdebat tentang apa saja. Bagiku, itu hal yang sangat menantang isi otakku dan isi otak lawan bicaraku. Aku sering menggali lebih dalam apa yang dipandang lawan bicaraku dan aku bisa menggila untuk membicarakan apa saja. Termasuk hal yang begitu intim dengan bahasaku sendiri.

Rasanya tak etis kalau aku cuma berbicara tapi aku urung mendengar. Nah, untukku diskusi yang menyenangkan adalah kalau terbuka bila aku boleh berbicara, maka aku harus sudi untuk mendengar. Betapa egoisnya aku bila aku hanya ingin didengar tanpa mau mendengar.


Tentang Kematian dan Kelahiran

Aku dan kamu hanya lahir sebagai manusia, bukan Tuhan. Untuk itu, kita tidak pernah bisa mengetahui atau menghendaki kapan usia ini harus diakhiri. Sebagaimana pula kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan, bukan? Sebagaimana aku dan kamu menjalani kehidupan bukan atas kehendak kita sendiri, bukan?

Agak riskan aku berbicara tentang ini.



Tentang Tuhan

Dalam sebuah diskusi panjang tiga jam, aku berbicara lebih banyak tentang tuhan dan Tuhan. Aku tidak tahu bagaimana keningmu saat aku berbicara hal ini. Mengkerut, bisa jadi.

Tuhan itu cuma satu, hanya kita yang berbeda-beda cara menyapa dan menyembah. Agama hanya sebagai motivator. Untukku, menjadi agama apa saja bukanlah masalah. Silakan percaya Tuhan sebagai tuhan yang bagaimana. Toh, kita semua sesungguhnya tak ada yang tahu seperti apa wujud Tuhan? Kita semua hanya percaya di dalam lingkup keagamaan kita ini.



Tentang Menulis

Satu-satunya cara untuk menjadi penulis adalah menulis, tidak ada cara lain dari itu. Tiap kali mereka yang ingin belajar menulis datang kepadaku. Menggelikan. Menulis buku pun aku belum usai sampai kini, tetapi mereka memintaku untuk diajarkan menulis. Maka, mengkerutlah dahiku ini. Bagaimana caranya? Aku sendiri tak tahu.

Mengapa kita tidak sama-sama belajar? Ah, bolehlah mereka menulis karena ingin menjadi penulis. Setidaknya bagiku, menulis menjadi napas dan sering menyambung napasku. Tapi tak kupungkiri juga, aku sering belajar dari tulisan teman-temanku yang belum menerbitkan buku.

Mari, kita beriringan untuk belajar. Untuk menjadi lebih baik dalam merawi aksara.



Tentang Usia yang Bertambah

Usiaku dan usiamu adalah jarak yang terpisah begitu jauh. Tapi keragaman di antara kita terasa lenyap saat diskusi bergulir. Ada benang merah yang didapatkan dari setiap kata yang terucap, dari setiap kalimat yang mengalir, dan dari setiap makna yang teruntai manis.

Dan bagaimana kita memandang ulang tahun? Ini yang belum sempat kita bicarakan.

Aku sering melupakan ulang tahun karibku sendiri, bahkan ulang tahunku. Karena bagiku, semua hari adalah sama untuk dijalani. Usia yang bertambah sepatutnya tidak dibawa dengan kegembiraan, malah sebaliknya. Tugas kita sebagai manusia akan semakin banyak, runyam. Semakin banyak pula tuntutan yang hadir di dalam lingkup kehidupan kita.

Ah, percayalah satu hal ini: aku tidak menyukai ulang tahun.

Tetapi dari ulang tahun itu sendiri, aku menyukainya ketika aku mengucapkan ulang tahun kepada para sahabatku. Seorang pastor belajar dari seorang motivator tentang bagaimana cara mengucapkan ulang tahun itu. Setiap pagi, ia menelpon umatnya yang dikenal dan mengucapkan selamat ulang tahun. Ketika bertemu denganku, ia berkata 'umat melupakan ulang tahun saya, tetapi saya mengingatnya.' Langsung saja kami tertawa.

Tapi usia yang bertambah itu tak perlu dibawa menjadi hal yang sulit. Putar saja rol kehidupan ini dan biarkan ia bermain sebagaimana mestinya. Tak perlu hal yang dikhawatirkan tentang usia dan hidup atau mati itu sendiri. Ia akan berjalan dan bermuara entah ke mana dan kapan. Biarkan itu menjadi misteri agar kita bisa tetap tertawa dan tersenyum memandang kehidupan ini.

Nah, untuk itu... Dirgahayu bagimu. Selamat bertambah usia. Ini kado sederhana yang kuracik bagimu.




Bandung, 6 September 2011 | 07.47
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 04 September 2011

Pengukir Bahagia

sore bisa membuat kita lebih menghadap kepada sedih
setelah pagi dan siang kita menghadap kepada ramai
dan kita selalu bahagia saat bergelut dengan hal tersebut

ada mereka yang lebih bahagia di dalam ramai
mungkin pula aku bagian dari keramaian itu
yang membuatku ada dan kutahu aku cinta pada ramai

ternyata ada hal yang tak bisa kita temukan dalam ramai
ada kalanya sepi lebih bisa mendamaikan manusia dengan dirinya
menemukan akal yang lebih sehat, pekerti yang lebih dimengerti
agar manusia bisa mencapai apa yang dikatakan dengan bahagia

orang bisa merasakan bahagia karena ia pernah merasa sedih
seperti juga orang bisa merasakan sehat karena ia pernah merasa sakit
dengan begitu, aku dan kamu tahu bagaimana mempertahankan
apa yang harus kita pertahankan dan apa yang harus kita lepas



Bandung, 4 September 2011 | 16.12
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 25 Agustus 2011

Menerbitkan Matahari

dan pagi di kotamu ini
aku menggeser matahari
dan orang-orang menyebutnya
menerbitkan matahari

dingin di kotamu ini
kuberi hangat matahari
dan orang-orang menyebutnya
menerbitkan matahari


Bandung, 25 Agustus 2011 | 06.27
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 22 Agustus 2011

Tentang Putus Asa

guruku di sekolah selalu mengajarkan aku
agar jangan pernah menyerah kepada keadaan
tetapi aku bukanlah murid yang patuh
bahkan aku murid yang selalu membangkang
aku hanya mengikuti keadaan ke mana semestinya berada

guruku di sekolah selalu mengajarkan aku
agar berani melawan arus meski tubuhmu perih
tetapi aku bukan murid yang taat
aku memilih mengikuti arus dan membiarkan jasadku hanyut
dan aku hanya bisa menangis saat aku tahu aku gagal

ternyata orang yang berhasil itu:
berani melawan keadaan bagaimana pun caranya
berani melawan arus meski terluka perih

akankah aku akan memilih jalan itu?
itulah tanyaku pagi ini




Bandung, 22 Agustus 2011 | 06.17
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 20 Agustus 2011

Pagi

lampu-lampu kota mulai menyelimuti diri
orang-orang mulai bangkit dari tidur
dan matahari lagi-lagi mendahului kita

mari mengejar matahari
mari mengejar pagi




Bandung, 20 Agustus 2011 | 07.45
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 19 Agustus 2011

Memilih Pergi

pada akhirnya
aku lebih memilih untuk beranjak pergi
daripada untuk tetap tinggal

dan ternyata
pilihan itu tidak bisa dikatakan benar
pula tak bisa dikatakan salah

karena kita
sudah pernah memilih hal tersebut
dan harus menikmati suka-duka

mungkin hari ini
biar semesta tahu bagaimana aku memeluk rindu
yang berderu untuk mengantar haru



Bandung, 19 Agustus 2011 | 16.13
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 17 Agustus 2011

Menjamah Merdeka

tahukah kamu
merdeka bukan sekadar melawan penjajah
tetapi juga melawan bangsa sendiri
dan itu tugas yang lebih berat

tahukah kamu
merdeka bukan sekadar bangga dengan bendera sendiri
tetapi juga mempertahankan kibas kibarnya
dan itu tugas yang sangat berat

tahukah kamu
merdeka bukan sekadar perayaan yang ramai
tetapi juga perhatian kepada mereka yang kesepian
dan itu bukanlah tugas yang ringan

tahukah kamu
merdeka bukan sekadar makan dengan kenyang
tetapi juga memberi makan kepada mereka yang kelaparan
dan itu tugas hari ini

merdeka hari ini bukan soal mengusir penjajah,
merdeka hari ini adalah soal mengusir ketidakadilan


Jakarta, 17 Agustus 2011 | 21.50
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 14 Agustus 2011

Dan Inilah

yang mungkin tak semua orang tahu,
ada kalanya kita pun merasa kesepian
meski kita di tengah hiruk pikuk
di tengah keramaian yang benar-benar ramai

dan aku pun akan pulang
sampai jumpa di hari mendatang
semoga kau pun tahu alasan mengapa sepi
begitu menjadi dalam darah dan nadiku

karena ketiadaan yang harusnya ada




Bandung, 14 Agustus 2011 | 4.44 PM
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 07 Agustus 2011

Perihal: Pergi

Biar hari-hari menjadi sebuah manifestasi karya yang sangat abadi, maka kita harus berani meninggalkan mereka yang kita kasihi untuk sebuah masa depan yang setiap detik akan kita sambut. Adapun tentang hari ini, biar waktu mengelolanya menjadi sebuah kenangan yang tersimpan rapi di sebuah ruang, di dalam rumah yang tak pernah lupa untuk mengingatnya.

Aku pun demikian adanya. Kuberanikan diri untuk pergi, menanggalkan semua yang telah kumiliki, meninggalkan semua yang kucinta, dan melangkahkan kaki ke negeri yang berbeda. Kita berpisah. Bukan berarti melupakan. Untuk itulah, mengapa mereka membenci apa yang dinamakan berpisah. Meski hari demi hari bergulir, cepat atau lambat, tahu atau tidak, sanggup menerima atau tidak, kehilangan akan datang seperti matahari yang terbit tanpa sanggup kita menjegalnya untuk tidak tenggelam.

Bahwa aku mengasihi semua kenangan yang pernah ada di kota ini. Maaf bila aku lebih sering menggerutu sebagai manusia daripada mensyukuri apa yang pernah kunikmati dalam suka dan duka, bahagia dan lara, senang dan susah. Dan aku pun hanyalah manusia; tak pernah lepas dari segala kesalahan.

Begitu banyak cerita yang kurawi di kota ini, terlalu banyak harapan yang kutaruh di tempat ini, namun masih adakah tempat bagiku untuk berpulang di suatu hari nanti? Sejauh apa pun aku pergi, aku percaya esok aku akan kembali, seperti petualang mana yang tak rindu akan rumah. Bagiku, tiada apa-apa bila aku tidak mengeja rasa rindu yang menggebu dan meletup di dada. Aku hanya sanggup menyimpannya dan menumpahkannya ketika pulang di hari depan.

Percayalah, aku tidak akan melupakan begitu saja. Terlalu manis untuk dilupakan begitu saja. Dan satu lagi, aku akan pulang untuk melepas cumbu mesra di hari esok.

Aku pergi dulu, sampai jumpa di lain waktu.

Peluk sapa dan cium mesra,

Jakarta, 8 Agustus 2011 |
A.A. - dalam sebuah inisial

Kredo Sunyi Pagi

di bawah matahari yang berangkat menuju langit
aku beranjak pergi menuju ke angkasa menggenggam asa
biar cinta menjadi sesuatu yang mengejawantah dan menghasilkan
buah-buah yang melimpah untuk sepanjang hari
dengan pembaruan yang kekal dan fana pun lenyap
aku meringkuk di atas awan, menyambut embun yang siap pergi
waktunya telah habis, katanya. dia harus pergi tidur dahulu
tugas telah usai dikerjakan dan matahari sudah senyum-senyum
tempatnya sudah dibersihkan oleh bulan yang letih
di cakrawala membentang, aku mendendang bunyi sangkakala
agar asa bukan sekadar asa, melainkan menjadi manifestasi yang manis




Jakarta, 7 Agustus 2011 | 09.05
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 05 Agustus 2011

Dongeng Sebelum Tidur

:Adryan Adisaputra Tando

lekas menujulah ke kasurmu, akan kudongengkan sebuah cerita pengantar tidurmu
ini cerita yang pernah kaudamba sewaktu kecil, kini kuulang kembali
adalah suatu ketika di negeri yang sangat jauh, seorang anak laki-laki berusaha menjadi seorang yang tinggi dan besar
kala itu, tubuhnya masih sangat kecil, hanya segenggam kepal orang dewasa
ia berkata kepada ibunya kapan ia bisa menjadi dewasa, ia ingin bertumbuh besar
ibunya hanya berucap tunggu saatnya, ketika itu juga ibunya menangis
sang ibu tahu kalau anaknya tidak akan bisa seukuran dirinya
ya, anak itu kerdil. ibu itu hanya menangis, memikirkan masa depan anak itu
anak itu semakin bertambah usia, ia hanya seukuran genggam kepal
sampai saat ibunya meninggal, ia tetap berukuran seperti itu
'kau tak akan bisa bertumbuh besar, tapi kau bisa bertumbuh dewasa. dewasa tidak memihak dan dia hanya bisa dipilih,' kata seorang temannya yang melihat dirinya bersedih
ia pun pergi berlari, entah ke mana. merayakan kedewasaannya.
sampai kini, aku pun tak tahu ke mana anak itu. rasaku, ia sudah menimang cucu dan bahagia
meski dengan tubuh mungilnya tersebut
nah, sekarang tidurlah. selamat tidur.


Jakarta, 6 Agustus 2011 | 00.04
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 03 Agustus 2011

Menghitung Matahari

ada berapa matahari malam ini
katanya matahari hanya tertutup punggung bumi
ia tetap ada, tapi tak seorang tahu berapa banyak
coba rasakan dari panasnya
bukankah semuanya bisa dihitung dari hal tersebut

ada berapa matahari malam ini
selama kau merasa gerah dan mengipas perut dengan baju
itu yang dinyatakan dengan banyaknya matahari
tapi, pernah kauhitung berapa banyaknya
apakah lebih banyak dari bintang

ada berapa matahari malam ini
aku tidak lagi memikirkannya, tapi
matahari masih ada untuk pagi ini kan?



Jakarta, 5 Agustus 2011 | 00.27
A.A. - dalam sebuah inisial

Menunggu Matahari Terbit di Ubun-ubun

aku hanya menunggu matahari
di sebuah persimpangan yang beku
membuat kaki benar-benar kaku
sampai terbitlah di luas langit
dan aku tahu:
matahari mencintai hari dengan matahati




Bandung, 3 Agustus 2011 | 05.41
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 31 Juli 2011

Ada Satu Kisah di Kota Itu

pulang, adalah esensi yang mengagumkan
tak peduli dengan baju baru atau uang yang melimpah
tak peduli dengan makan dan minum yang sangat lezat
tapi berbuka bersama adalah hal yang dinanti

pulang, adalah rindu yang terpecah
tak peduli seberapa maaf yang diberikan
tak peduli seberapa doa yang dihanturkan
tapi maaf dan doa menjadi ibadah yang hakiki

pulang, adalah cerita yang ditunggu
tak peduli berapa lama engkau pergi
tak peduli berapa banyak yang kau raih di kota lain
tapi kebersamaan selalu menjadi hal yang begitu indah





Jakarta, 31 Juli 2011 | 18.18
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 29 Juli 2011

Perihal: Pamit

: Berlianevie Harjan


Ini sudah kuinsafi sejak lama bahwa suatu hari nanti kita memang akan memilih, menempuh, dan menikmati jalan kita sendiri-sendiri. Bahwa yang hanya bisa kita kenang adalah kenangan yang masih tersimpan rapi di dalam mozaik pikiran kita. Ada jalan di mana kita harus berpisah untuk bertemu lagi di suatu ketika. Mungkin di Puncak Everest, di Pegunungan Alpen, di Samudra Atlantik, di Laut Baltik, atau di jalur Gaza. Mungkin. Atau kemungkinan yang bisa terjadi adalah kita tidak pernah bertemu lagi.


Aku tahu, ini adalah soal melepas yang memang harus dilepas. Kehilangan memang sudah tidak bisa dipungkiri dan tak seorang pun mampu untuk menolaknya. Sejak kecil, kita sudah dididik untuk menerima kehilangan itu menjadi suatu hal yang lumrah, tetapi semakin bertumbuh dewasa, kita semakin mengerti bahwa kehilangan adalah hal yang begitu menyakitkan. Kita tidak bisa menerima lagi kehilangan itu sebagai hal yang biasa, tetapi juga bukan hal yang spesial. Justru itu, kita lebih memilih membenci apa yang dinamakan dengan kehilangan.


Waktu pun tidak memiliki hak apa pun untuk mengubah yang telah ada. Kehilangan adalah kehilangan, apa pun namanya, bagaimana bentuknya, seperti apa caranya, di mana, kapan, atau mengapa harus ada, ia akan tetap berwujud kehilangan. Itulah yang pernah dan akan kita rasakan: kesepian dan saling rindu di dunia yang beribu-ribu jarak yang memisahkan.


Di musim panas dan hujan, aku pun tahu, kita pernah mencipta kenangan dan bahagia pernah teranyam di setiap segmennya. Untuk itu, kenangan selalu berwujud meski tak sanggup kita sentuh. Dengan cara itu, di masa depan, kita bisa kembali ke hari-hari kemarin meski tak akan lagi sama.


Terima kasih sudah menjadi pendengar yang baik, sahabat dalam suka dan duka, dan penasihat yang ulung. Terima kasih sudah pernah mengisi waktu dengan bahagia dan air mata. Terima kasih sudah menjadi bahagiaku dan sedihku karena tiada itu semua betapa tawarnya hidup ini.


Aku selalu membenci sebuah pertemuan, karena kuyakin akhirnya adalah sebuah perpisahan.




Jakarta, 29 Juli 2011 | 23.09
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 28 Juli 2011

Suatu Cerita Tentang Masa



:G

Aku telah bercerita banyak tentang kamu
meski kita tidak bisa kembali seperti kemarin
tetapi datang ke rumahmu, berdiam di dalamnya
berbincang dengan banyak kawan, hilir mudik
itu telah membuatku kembali pulang
kepada kenang yang ternyata tidak hilang

Tahukah mau aku berbicara tentang bintang
terkadang menjadi sendiri menjadi lebih nikmat
seperti bintang yang di angkasa
bintang yang sendiri lebih terlihat
daripada bintang yang bertebar di gelap langit
mereka tertawa, aku tak pernah bersikap untuk menghibur

Aku merasa kembali pulang kemarin
kedatanganku yang seperti pencuri membuatmu bahagia
ternyata setelah kehilangan, datang kembali memang dikatakan pulang
aku suka dengan tubuhmu yang bersemayam dengan kata-kata
meski kini kita tidak lagi bisa merengkuh dan mereguk
kita pun berbagi banyak perjalanan sepanjang kita pergi sendiri

G, ternyata banyak yang berubah setelah lama kutak sambangi kau
jalan-jalan menuju rumahmu kini sudah bertumbuh dengan ruko-ruko
semakin banyak kemacetan yang kulihat karena truk yang hilir mudik
bunga di taman itu sudah semakin banyak dan semakin bermekar
kata ibumu, bunga itu sempat layu karena aku tak lagi kemari
dia pun merasa kehilangan, seperti aku yang kehilangan kamu

G, ketika kita tak mampu kembali ke masa kemarin dan tidak lagi bisa menjadi kemarin, ada yang membuat kita kerasan dan tetap betah dalam mengingat masa kemarin yang begitu manis dan terlalu sayang untuk dilupakan, ada cerita yang harus terus terawi dengan bahagia dan membuat kita semakin cinta untuk pulang, yakni kenangan.




Jakarta, 28 Juli 2011 | 17.05
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 21 Juli 2011

Tentang Rumah Penuh Kenangan

Rumah adalah tempatmu untuk kembali pulang setelah ribuan mil kau lintasi dunia ini dengan ribuan pengalaman yang harus kau simpan.
Rumah adalah kotak pandora yang tak bisa berdebu, selalu mengingat tentang kelahiranmu sampai saat kau harus dilepas orang tuamu.
Rumah adalah harapan di masa mendatang yang selalu rajin dipupuk agar bertumbuh subur.
Rumah adalah pabrik yang memproduksi kehangatan tiada henti dan tak pernah mengenal berhenti produksi.
Rumah adalah tempat untuk belajar terbang hingga pada waktunya kita pun akan meninggalkannya untuk mengangkasa.
Rumah adalah rumah dengan definisi yang tak bisa dijangkau oleh aksara.

Akupun akan rindu pulang, suatu hari nanti.



Jakarta, 21 Juli 2011 | 22.52
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 16 Juli 2011

121 Hari yang Lalu

Sudah 121 hari...

Masih adakah harap tentang di masa-masa lalu
kita sudah memutuskan untuk memilih jalan sendiri
berpisah di persimpangan dan saling melambai
kita sudah menemukan untuk mencari masa depan
saling berpunggung dengan godam di dada yang menggebu

Bukanlah hal yang mudah untuk mencatat semua cerita manis
butuh banyak waktu agar lebih mengerti tentang semua kenangan
perlu lebih banyak energi yang tercurah untuk mencapai langit tujuan
meski perjalanan seperti waktu: tak akan pernah berhenti
setidaknya jeda kekosongan membuat kita semakin mengerti
apa tujuan dan maksud dari segala pertanda tentang perpisahan

Dulu kita pernah ada di sebuah tempat untuk pertemuan
tapi semua orang tidak dapat menafikan untuk hal yang diberi nama perpisahan
lewat cara itu kita menghargai apa arti kebersamaan
kita menghargai betapa manisnya itu semua




Jakarta, 16 Juli 2011 | 11.26
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 13 Juli 2011

Sebuah Catatan

Di mana letak hati berada ketika ia tak dapat menemukan jalan pulang?

Sementara kita harus tetap belajar untuk memahami hidup agar lebih berarti

Di lapisan cerita indah, kadang membuat kita tersenyum

Meski kita sudah tak tahu tersesat sampai sejauh mana kini

Lalu, ke mana hati harus melangkah? Tanyaku.

Selasa, 12 Juli 2011

Orkes Pagi

Di belantara pagi yang sunyi, ada sebuah dendang suara
ditangkap oleh pasangan daun telinga yang setia
biar terbangun dari hal-hal yang sekadar mimpi belaka
bergegas untuk menyambut kembali cakrawala
meski tidur belumlah cukup menghapus lelah

Ada nyanyian pagi yang membawa ke peraduan
yang membuatkan secangkir senyum
yang membentuk seulas kopi yang tiada pahit
ada anak-anak sekolah berlari mengejar bis kota
ada mulut orang yang sudah sibuk seperti kereta api
ada lagi orang-orang yang mengumpat karena macet

Ih, pagi membuat kita lebih brutal di mana pun adanya kita
tapi percuma saja bila hidup hanya dilalui dengan mengaduh
yang mengubah pagi adalah kita karena pagi selalu sama
pagi datang tepat waktu, membangunkan kamu dan saya
biar tak menjadi makhluk Tuhan paling malas



Jakarta, 12 Juli 2011 | 08.20
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 11 Juli 2011

Sebuah Entri

ada yang hilang,
tapi kau tahu apa itu?



sementara matahari telah menunaikan tugas
kita masih sibuk dengan yang hilang
tapi kau tahu apa itu?




Jakarta, 11 Juli 2011 | 09.37
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 08 Juli 2011

Inilah yang Dinamakan Pulang





Dan inilah yang dinamakan pulang
ketika rindu meletup perlahan
menunggu menjadi saat bahagia
bertemu menjadi obat menutup pilu
dan menguap kala memeluk kekasih-kekasih


Bandung, 8 Juli 2011 | 12.33
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 01 Juli 2011

Vale!



kita, di antara cangkir yang hangat dan gelas yang berkeringat
seperti uap yang menguap dari mulut cangkir
seperti embun yang membasahi tubuh gelas
kupikir kau dan aku seperti uap dan embun: pergi dan kembali
tapi, kapan?


hujan pun menyaksikan pembicaraan intim kita
bukan aku tak suka, tapi aku lebih semakin merasa terperih
kadang kita bisa mencintai hujan
tapi bisa membencinya seperti hari ini, hari ini aku membencinya

ia tak bersalah apapun kepadaku, tapi dengan datangnya
ada seribu kenangan yang mengalir dalam langkah kita
ia mengingatkanku tentang caranya menangis
meski aku selalu bingung bagaimana caranya mengeluarkan air mata

gulana datang ketika gundah pun tiba
kita sanggup melewati waktu, tapi tak sanggup menghentikannya
dan saat itulah,puncak segala puncak aku harus siap
dan kaupun juga, seharusnya siap

pada akhirnya akan ada punggung yang saling berbalik
ada mereka yang berangkat ke negeri timur
ada yang hanya diam di kotanya saja, menunggu pulang
dan ada juga yang hanya mampu menatap cakrawala

ketika kita tahu soal ini, mungkin kita tak akan memilih
biar saja angin membawanya berlari ke mana pun inginnya
dan agar ada waktu yang berjumpa di hari depan
akupun kelu melepas, tapi aku bahagia demi hari depan




Serpong, 1 Juli 2011 | 20.00
A.A. - dalam sebuah inisial


Senin, 27 Juni 2011

Sebelum Berangkat



Kapal itu akan segera berangkat, kau tatih perihmu di antara luasnya samudra raya. Kau terlalu tangguh sebagai manusia. Pula kau terlalu siap untuk dijadikan manusia dan bermain-main di wahana yang begitu keras untuk menghardik mereka yang lemah. Aku hanya ingin mengantarmu.

Aku hanya ingin mengantar pedihmu, biar karang tahu kau bukanlah manusia biasa.

"Jangan antar aku dengan air mata, kita belumlah mati."

Baiklah, kuturuti permintaanmu, kukabulkan seakan aku tuhan yang tahu kebutuhanmu, tahu segala keluh kesahmu, tahu dan juga merasakan godam yang menghunjam dinding hati yang bisa saja remuk setiap saat. Hati manusia akan remuk meski ia dibuat dari baja sehebat apapun, sekuat apapun, ketika hati itu tak lagi bisa membuka tabir rahasianya.

Tubuh kita bersatu, sesaat saja. Langit hanya menyaksikan tingkah kita yang begitu lancang di muka umum. Toh, bagi mereka, ini hal yang lumrah ketika kapal hendak berangkat untuk melepaskan kekasih. Karena mereka pun berbuat hal yang demikian sama dengan kita. Tak ada yang perlu dipertentangkan dengan perpisahan.

Kubisik doa di dalam jamah-jamah setiap langkahmu. Bendung air mata memang kuat ketika dipaksa untuk bertahan. Biar di antara kekuatan bendungan dan doa yang dianyam dalam jejakmu yang menyisakan bekas di setiap langkah, kau tetap ada.

Dan... semoga kaupun kekal di antara dunia yang fana. Di antara keberangkatan yang tak seorangpun tahu harus berada sampai kapan dalam ziarahnya ini.





Jakarta, 27 Juni 2011 | 21.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 25 Juni 2011

Gone Too Soon



Like a comet
Blazing 'cross the evening sky
Gone too soon

Like a rainbow
Fading in the twinkling of an eye
Gone too soon

Shiny and sparkly
And splendidly bright
Here one day
Gone one night

Like the loss of sunlight
On a cloudy afternoon
Gone too soon

Like a castle
Built upon a sandy beach
Gone too soon

Like a perfect flower
That is just beyond your reach
Gone too soon

Born to amuse, to inspire, to delight
Here one day
Gone one night

Like a sunset
Dying with the rising of the moon
Gone too soon
Gone too soon


Michael Jackson
June 25, 2009 - June 25, 2011


Jumat, 24 Juni 2011

Dua Pertanyaan Sederhana

ada dua pertanyaan sederhana yang kuyakin kau tak mampu untuk menjawabnya:

pertama: mengapa harus pergi?

dan yang kedua: apakah kita akan berjumpa lagi?






Jakarta, 24 Juni 2011 | 21.07
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 21 Juni 2011

Melepas Hari

ketika masa itu sudah harus dilewati
dan harapan seperti hampir putus
lepaskan saja
dan biar waktu meleburnya menjadi baru



Jakarta, 21 Juni 2011 | 6.28
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 19 Juni 2011

Tentang Ayah yang Mengagumkan



Siapa orang yang paling mengaggumkan dalam hidupmu?

Ayah.

Empat tahun menulis di blog ini, tentu sudah banyak ceritera yang saya bagikan lewat tulisan, foto, musik, video, atau sekadar komentar di blog kawan-kawan. Bagi yang sudah lama mengikuti blog saya, mungkin ceritera tentang ayah saya bukan lagi sesuatu yang baru. Tentang ayah saya sering kali saya bagikan lewat blog ini.

Saya selalu percaya sosok ayah adalah sosok yang istimewa di dalam setiap hidup orang. Seorang Abraham Lincoln saja menganggumi sosok ayahnya yang menjadi motivator dalam hidupnya. Pendukung masa depannya yang paling setia dan yang paling tahu apa yang ia butuhkan. Meskipun Abraham Lincoln dididik untuk bekerja, bukan mencintai.

Saya memang harus mensyukuri atas kelahiran saya yang begitu istimewa. Saya hidup di tengah keluarga yang tentunya istimewa. Di tengah maraknya berita tentang ayah yang menyiksa anaknya, ayah saya bukan termasuk orang yang melakukan hal serupa. Ayah saya jauh dari kekerasan terhadap anak-anaknya. Saya dididik secara bebas dan merdeka, tidak dipaksakan dan terbuka.

Masih saya ingat betul ketika dengan gembiranya saya datang kepadanya membawa kabar bila saya diterima di salah satu jurusan yang saya kehendaki. Saya berlari dan berteriak di hadapannya. Euforia di hadapannya benar-benar.

"Itu sudah pilihanmu. Sekarang tinggal waktunya berjuang dan itu menjadi keputusanmu untuk berjuang dan bertahan atau mundur dari sana."

Saya tahu itu bukanlah jurusan yang dikehendakinya. Beliau lebih memilih saya untuk mengambil jurusan ilmu hukum. Sebelumnya juga beliau sempat mengeluh kepada saya.

"Untuk apa susah-susah kamu masuk IPA, tapi malah kuliah di IPS?"
"Iseng. Hahaha..."
"Di mana-mana orang pengin masuk IPA supaya bisa jadi dokter. Kamu bisa masuk IPA malah ambil IPS!"

Tak jarang saya harus beradu argumen dengannya. Kami tetap pada keputusan kami masing-masing. Tidak lagi peduli dengan kata egois yang distempelkan orang-orang kepada kami. Saya adalah anak yang mewarisi gen keras kepalanya. Saya dan beliau selalu ngotot dengan pendapat kamilah yang paling benar.

Ketika saya harus meninggalkan rumah, bertarung kembali dengan alam, katanya hanyalah sederhana. "Jangan lupa makan vitamin! Sudah papa masukkan ke dalam tasmu!" Aku hanya tertawa dan sekembalinya ke rumah, vitamin itu masih utuh. Tak disentuh, tak dibuka, dan tidak sekali pun diteguk! Sontak saya menyimpannya di dalam laci meja dan ketika beliau bertanya,"mana vitaminnya? Habis tidak?" Saya hanya manggut-manggut berbohong.

Saya bukanlah anak yang patuh. Saya kerap membangkang. Saya selalu merasa lebih mengerti apa yang saya butuhkan. Ketika saya gagal, beliau selalu siap menjadi pendengar keluh kesah saya. Beliau siap untuk menjadi teman perjalanan yang baik dan menyenangkan. Di saat itu, keras kepala kami melebur menjadi satu. Kami punya prinsip yang sama.

Betapa hebatnya semesta menciptakan orang-orang yang seperti saya dan ayah saya yang bisa menjadi satu meski memiliki kepala yang benar-benar melebihi batu. Memang ayah saya adalah ayah yang istimewa. Orang yang paling istimewa dalam hidup saya.

Ayah saya adalah guru yang terbaik, sahabat yang paling setia, dan ayah yang paling luar biasa yang pernah saya kenal. Saya bangga memiliki ayah sepertinya. Saya bangga dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya mencintainya dengan sepenuh hati.

Dan saya meyakini ayah saya menyayangi saya meskipun saya bukanlah anak yang selalu bisa dibanggakan olehnya.

Terbentang ribuan jarak yang membuat kisah kita begitu banyak untuk dibagi, Pa. Ada ribuan kenangan. Ada jutaan bahagia. Ada milyaran berbagi. Semua itu selalu kita gunakan untuk menjalin persahabatan yang lebih dari ayah dan anak. Aku adalah anak yang mewarisi gen keras kepalamu tetapi selalu luluh ketika aku harus bercerita tentang dirimu yang selalu dapat aku banggakan. Seutuhnya, aku benar-benar bahagia memiliki ayah sepertimu.

Teman-temanku tentunya iri hati kepadaku bila papa masih sempat untuk datang untuk menemaniku mengambil ijazah. Sempat-sempatnya di antara kesibukanmu, kau menemaniku untuk pergi ke suatu tempat di mana masa depanku akan ada di sana. Bahkan kau siap untuk melepasku pergi lagi dengan leluasa.

Terima kasih untuk segala totalitasmu, Pa. Terima kasih untuk amarahmu yang membuatku untuk kembali pulang kepada jalur di mana aku harus berada, terima kasih untuk selalu menjadi alarm yang mengingatkanku bahwa aku tidak pernah bisa berjalan sendiri, terima kasih untuk menjadi teman perjalanan yang menyenangkan yang bisa diajak berbagi, terima kasih untuk menjadi pendengar setia dan menjadi penasihat agung ketika aku butuh, terima kasih untuk menjadi guru yang bisa kuteladani, dna terima kasih telah membuatku bebas melebihi burung yang merdeka untuk terbang.

Maaf, kalau aku bukanlah anak yang bisa engkau banggakan.

Selamat Hari Ayah, Pa!



Jakarta, 19 Juni 2011 | 19.53
A.A. - dalam sebuah inisial