Senin, 28 September 2009

Sang Petualang

Sang Petualang
Catatan Kaki-kaki [2]


"Kamu masih ingin berangkat? Dengan keadaanmu seperti sekarang ini? Ah, jangan gila kamu! Kalau terjadi apa-apa, aku tak tahu lagi bagaimana keadaanmu."
"Percaya saja, modalnya hanya itu. Semua akan baik-baik saja. Aku sudah mulai merasa lebih baik dan siap untuk mengangkat ransel kembali."
"Tolong hubungi aku kalau terjadi apapun denganmu, aku pasti akan cemas menunggu kabar darimu. Aku tahu jiwamu itu memang membara, tetapi peduli jugalah denganku, dengan mereka yang menantimu."
"Lepaskan aku, tolong... Bebaskan diriku untuk meraih gunung bahkan aku ingin mati di puncaknya!"



Catatan Kaki-kaki adalah serial 99 catatan dengan gaya bahasa komunikasi antar dua orang. Tulisan ini pernah dilabuhkan di blog lama saya dan pada akhirnya berlabuh juga pada blog ini. Tulisan yang ada di dalam serial ini tidak akan pernah dapat disamakan dengan cerpen karena karakter tulisannya yang terlalu sedikit. Di sini -dalam serial ini-, tidak akan pernah ditemukan narasi yang tidak dalam bentuk dialog.

Selasa, 22 September 2009

Hai, Pagi

Hai pagi,
mari kita minum sajian kopi pahit ini

Hai pagi,
mari kita santap
roti sarapan ini

Hai pagi,
mari kita bekerja untuk hari ini

Senin, 21 September 2009

Kepada Pagi Ini

Kepada Pagi Ini
Catatan Kaki-kaki [1]




"Ah, katamu kita berbicara di depan kafe itu sambil mencari sinyal wi-fi pagi ini."
"Adakah baiknya kita terdiam sejenak?"
"Oh, pada mulanya seperti itu saja."
"Jangan pernah buang waktumu itu, lantas gunakanlah saja."
"Kuharap demikian, mari nyalakan notebookmu dan bekerjalah karena hari-hari adalah jahat."







Catatan Kaki-kaki adalah serial 99 catatan dengan gaya bahasa komunikasi antar dua orang. Tulisan ini pernah dilabuhkan di blog lama saya dan pada akhirnya berlabuh juga pada blog ini. Tulisan yang ada di dalam serial ini tidak akan pernah dapat disamakan dengan cerpen karena karakter tulisannya yang terlalu sedikit. Di sini -dalam serial ini-, tidak akan pernah ditemukan narasi yang tidak dalam bentuk dialog.

Senin, 07 September 2009

Buah Maja untuk Sang Patih

Aku benar-benar kasihan dengan Gajah Mada. Sekian lama dia berjuang, memberontak terhadap berbagai macam kerajaan dengan upayanya menyatukan nusantara malah kandas di ujung jalan dengan kegagalannya untuk merebut Sunda. Bahkan sampai kini, Sunda dan Jawa masih sulit untuk disatukan. Walaupun sudah diberikan nama Indonesia, dalam keberagamannya, kita masih sulit menyatu.

"Aku ingin memberikan buah Maja untuk Gajah Mada."
"Apa? Sudah gila kau?!"
"Tidak! Aku ingin menghadiahkannya. Begitu malang nasibnya sampai akhir hayatnya."
"Aih, benar-benar gila kau ini!"

Aku memetik beberapa Maja yang begitu pahit dan sepat. Memasukkannya ke dalam saku celanaku. Aku mengingat Dyah Pitaloka yang akan dipinang oleh Prabu Hayamwuruk dan Gajah Mada berkumandang bahwa Dyah Pitaloka adalah penyerahan utuh dari Kerajaan Sunda. Seandainya Hayamwuruk tahu, utusannya pernah jatuh cinta kepada Dyah Pitaloka.

Kalau saja Gajah Mada tak punya pemikiran menyatukan nusantara, mungkin Dyah Pitaloka tak akan mati bunuh diri dan Hayamwuruk akan hidup bahagia dengannya. Namun kalau Gajah Mada tak punya pemikiran dan bersumpah tak akan memakan Maja, aku tak akan pernah singgah ke makamnya untuk memberikan buah Maja kepadanya.

"Patih, ini untukmu... Hadiah untuk Patih yang tak pernah menyerah."

Beberapa butir buah Maja kuletakkan di atas makamnya. Entahlah benar atau tidak itu makamnya, namun aku sudah membulatkan janji menghadiahkannya buah Maja sebagai apresiasi atas lambang kebijaksanaan dan kesetiaannya sampai akhir hayat. Termasuk mengecap pahitnya buah Maja.

"Selamat menikmati, Patih!"





Jakarta, 7 September 2009 | 20.13