Selasa, 30 Juni 2009

Menulis di Blog = Kejenuhan

Sebenarnya benar-benar enggan untuk menulis di blog dalam beberapa waktu ini. Niat sepenuhnya ada dan hadir tetapi tangan dan otak tak ingin menuliskannya. Banyak cerita yang sebenarnya dapat dibagi yang akhirnya malah nyasar ke tempat lain atau akhirnya menjadi draft.

Mungkin menulis di blog untuk saya sama saja dengan sebuah kejenuhan.

Beberapa minggu ini yang biasanya blog ini dipudate setiap minggunya dengan tulisan malah harus tergusur dengan tautan-tautan atau video. Memang benar-benar saya sudah sebegitu jenuhnya dengan menulis di blog. Eh? Bisa ya?

Saya begitu menikmati waktu-waktu saat ini. Membaca hasil borongan dari toko buku dan Pesta Buku Jakarta yang rutin tiga tahun belakangan ini saya kunjungi. Singgah di blog kawan. Membalas surat-surat yang sempat tertunda paska saya melancong ke Sukabumi. Chatting dengan teman-teman yang lama tak bersua. Dan satu lagi... mengomentari status teman-teman di Facebook.

Saya rasa ini sementara saja. Ya, sementara. Mungkin saya seperti beruang, butuh waktu untuk hibernasi.

Nah, tulisan ini juga hadir dengan penuh kejenuhan. Jadi maafkan daku, kawan...



A.A. - dalam sebuah inisial
30 Juni 2009 | 7.34

Sabtu, 27 Juni 2009

Wisnu

Wisnu
Kampung pada Esensinya [2]
Catatan perjalanan dari Live In Cikembar - 2009


"If you can't feed a hundred people, then feed just one." - Mother Teresa


Kadang saya selalu tak dapat mensyukuri semua yang telah saya terima. Baik pangan, sandang, papan, dan banyak lainnya. Saya adalah orang yang tidak beruntung, begitulah kata saya kepada diri ini. Saya orang yang berkecukupan. Mau makan sehari tiga kali masih bisa. Mau mandi dengan menghabiskan air sebanyak apapun masih juga bisa. Tak pernah tercatat tunggakan listrik, air, atau telepon. Semua lunas. Lantas apa lagi yang saya minta? Apa? Semua rasanya sudah banyak yang saya peroleh.

Memasuki kawasan yang jauh dari perkotaan rasanya tak begitu asing. Beberapa kali saya memasuki. Melihat orang mandi di sungai sambil mencuci pakaiannya. Lalu di ujung yang lain, orang mengambil air untuk dididihkan menjadi pelepas dahaga. Dan di ujung yang lain, air itu terus mengalir sampai ke selatan Pulau Jawa.

"Ini rumahnya..." kata seorang pemuda yang menunjukkan kami di mana rumah yang akan kami tinggali.
"Bu, ini yang akan tinggal..." lanjut pemuda itu kepada seorang ibu yang sudah renta.

Kami dipeluk hangat oleh ibu renta tersebut. Saya terpaksa membungkuk sedikit karena ibu itu hanya sebatas bahu saya. Beliau memeluk kami.

"Selamat siang, Ibu Juminta..." kata teman seperjalanan saya.
"Siang. Haduh... pasti capek! Masuk atuh..."

Kami melepaskan sepatu di depan rumah. Masih berpunggungkan ransel di belakang bahu. Setelah beliau mempersilahkan kami untuk duduk, mulailah ransel saya yang besar itu terlepas dari punggung saya. Saya duduk sambil memperhatikan suasana dalam rumah yang akan saya tempati.

"Ini rumah ibu sendiri?" tanya saya perlahan.
"Iya."
"Sudah lama di sini?"
"Lama banget atuh. Sejak kecil."

Saya mengangguk-anggukkan kepala perlahan.

"Bapak Juminta ke mana, Bu?" tanya saya lagi.
"Bapak mah jam segini masih di kebun. Sore nanti juga pulang."

Astrid, teman seperjalanan saya, bergantian bertanya mengenai Ibu Juminta. Kami seperti orang yang hendak menginterogasi saja. Sebenarnya bukan itu. Kami ingin tahu saja. Apa kegiatan keluarga ini dan bagaimana kehidupannya di kampung ini.

Rumahnya sangatlah jauh dari jangkauan kemewahan. Sangat sederhana. Tiga kamar. Langit-langit beranyaman rotan dengan cat yang masih terlihat baru. Gorden dengan kain seadanya dan ditarik dengan tali rafia. Pintu yang sudah reot termakan rayap. Hanyalah dinding yang berbeton. Selebihnya, anyaman dari rotan dan penegak dari bambu. Jangan harap ada bath tub ataupun kamar mandi penuh kemewahan. Dapur dengan kompor empat api dan penanak nasi dengan listrik. Ataupun pompa air yang tak pernah berhenti menyala.

Kalau hendak mandi, di belakang rumah ada kamar mandi beranyaman rotan. Airnya mau tak mau harus ditimba dari sumur sedalam sepuluh meter dari permukaan air dan pangkal sumur. Mau tak mau harus mengeret ember dan menceburkannya ke dalam sumur. Dibantu katrol, air di dalam ember akan naik. Jika enggan menimba dan air di dalam kamar mandi habis, ada kalanya mandi di sungai. Berjalan turun dari rumah Ibu Juminta sekitar enam meter. Jika setelah hujan turun, jangan pernah berharap bisa mandi di sungai. Jalannya akan longsor dan licin.

Seorang cucu dari Ibu Juminta datang menghampiri kami. Usianya masih tiga tahun. Berseragam Pramuka. Berlari-lari kepada kami. Tubuh mungil itu lalu bergolek di lantai ketika kami akan memasuki kamar yang akan kami tempati selama tiga hari.

"Nu... Nakal banget sih, kakaknya mau ke kamar..."

Kami berdua hanya tersenyum. Toh, kami tak merasa terganggu dengannya. Raut wajah gembira dihanturkannya. Ketika kami akan berjalan-jalan di sekitar, dia mengikuti kami. Saya menggandengnya.

"Namanya siapa, dik?"
"Inu..." jawabnya perlahan sambil menampakkan wajah yang malu.
"Wisnu!" seru seorang ibu yang menemani kami berjalan.
"Kelas berapa?"
"Belum sekolah. Masih tiga tahun."
"TK?"
"Ga ada biaya. Mahal kalau masuk TK."

Di tengah kenakalannya, saya sempat tertegun dengannya. Dia mau membantu Ibu Juminta mencari kayu bakar. Mencoba menyapu walau tubuhnya tak setinggi sapu dan hampir tahu semua jalan di kampung yang besarnya sekitar delapan hektar. Kami turun ke sungai dengannya dan dialah yang menunjukkan kami jalan menuju pelosok desa lainnya melalui hamparan sawah luas dan rawa-rawa. Pematang sawah yang kami lewati sesekali meninggalkan jejak sepatu kami. Ketika ada ranting di sekitar pematang tersebut, diambilnya untuk dibawa ke rumah.

Dua hari kami habiskan waktu bersamanya. Berkelana di seluruh pelosok desa. Kami memang nakal sekali. Sudah diperingatkan oleh Ibu Juminta agar jangan berjalan jauh-jauh, malah kami berputar-putar nyaris satu kilometer. Bermain di kebun Pak Juminta yang adalah milik seorang juragan peternakan lele, Pak Yamin.

Dia mengambil bantal dari dalam kamarnya dan dibawanya ke luar, tepat di hadapan kami. Bantal bertuliskan Segitiga Biru. Kami tercengang. Mulut kami sempat ternganga ketika membacanya. Saya langsung masuk ke kamar dan mengeceknya, benar! Bantal kami juga bertuliskan sama dan hanya bedanya bantal kami berlapiskan kain seprai.

Ah, Wisnu...

Kamis, 25 Juni 2009

Kampung pada Esensinya [1]

Kampung pada Esensinya [1]
Catatan perjalanan dari Live in Cikembar - 2009



"Petualang merasa sunyi / Sendiri di hitam hari / Petualang jatuh terkapar / Namun semangatnya masih berkobar" - Sang Petualang - Iwan Fals

Inilah alasan mengapa blog ini sempat dinonaktifkan selama tiga hari. Ya, karena satpam blog ini sedang menunaikan petualangan lagi ke tempat-tempat yang memang sudah direncanakan akan disinggahi dalam tahun ini. Dari yang biasanya saya setiap hari akan menyambangi untuk meninggalkan jejak atau sekedar singgah di blog kawan untuk membaca ketikannya. Tetapi selama tiga hari penuh, saya mengemasi tas saya dan siap untuk berangkat ke Cikembar, sebuah kecamatan yang benar-benar teresensi dengan perbukitan dan laut di pesisir selatannya.

Di hari pertama saya menjejaki Cikembar, saya dan kawan-kawan seperjalanan menuju ke sebuah gereja di Cikembar, Gereja Kristen Pasundan. Gereja ini sudah berdiri 123 tahun sejak Agustus 1886. Bangunannya tetap seperti bangunan tua. Gereja ini dapat memuat sekitar 200 orang untuk sekali kebaktian. Arsitekturnya hanya direnovasi jika langit-langit gereja bocor atau cat tembok mulai terkelupas. Lonceng gereja di sebelah pintu masuk adalah saksinya jika gereja ini sudah berdiri seratus tahun. Lonceng itu merupakan lonceng pendirian Pemerintah Belanda untuk gereja ini.

Kami tak berlama-lama di gereja ini. Sekedar singgah untuk makan dan bisa jadi akan menjadi basecamp kami ketika kami akan berpencar dan bersosialisasi dengan kelompok sekitar. Bersatu sejenak dengan mereka adalah sebuah pelayanan, begitu kata seorang kawan yang beserta dalam perjalanan ini.

Jangan harap dapat menemukan hotel! Di sini sangatlah jauh dari jangkauan hotel sebelum berjalan dengan bus atau angkutan kota di Pelabuhan Ratu selama dua jam. Mereka tinggal seadanya saja dengan apa yang mereka miliki. Satu yang unik, nyaris setiap rumah memiliki saluran televisi parabola. Di tengah kekurangan mereka, mereka bisa menyaksikan siaran televisi luar negeri. Alasannya satu. Karena itulah siaran yang harus ditangkap hanya bisa dengan parabola bukan dengan antena.

Saya dan kawan seperjalanan saya, Astrid, diantar ke rumah seorang penduduk. Dari gereja tadi ke dalam kampung tersebut kita harus berjalan sekitar 1,5 kilometer. Kalau saya berjalan kaki akan memakan waktu sekitar 45 menit. Naik ojek atau dengan angkutan kota selama 10 menit. Tetapi masyarakat setempat lebih memilih berjalan kaki dengan menembus ladang persawahan dan pepohonan pisang. Jalan beraspal baru ada sekitar tiga tahun lalu dan listrikpun belum begitu lama masuk ke dalam kampung ini.

Benar-benar jauh dari kota. Sangatlah jauh dari asap bus yang merongrong seperti di Jakarta. Perjalanan ini masih akan terus berlanjut.



25 Juni 2009 | 8.37

Kamis, 18 Juni 2009

Petualang

terkadang gelisah
terkadang resah
menjadi kawan seperjalanan
yang meminta untuk berhenti

terkadang letih
terkadang penat
menjadi setan pengganggu
untuk sejenak

terkadang lelah
terkadang sakit
menjadi musuh biduan
yang datang tak permisi

ah, aku ingin meneruskan perjalanan ini sampai ke ujung dunia. walau kakiku harus patah terlalu lama berjalan. walau punggungku retak dibebani ransel. walau tubuhku remuk digoncang badai. aku ingin meneruskan perjalanan ini sampai mati.



Dalam perjalanan, 11 Juni 2009 | 22.25

Minggu, 14 Juni 2009

Pada Lilin Malam

Dan kau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau berpijar
Sanggupkah kau menyengat
Seisi dunia

Chrisye - Lilin - Lilin Kecil

Begitu tulusnya malam hari ini
Ketika angin menampar begitu lembut
Mencari sang pendoa yang bertapa di sana
Ketika mentari sudah penat jadi penerang
Dan bulan pun yang ditunggu tak tampak batang hidungnya
Dia lupa jadi peneman sang pendoa itu, kata angin

Di jalan yang begitu sunyi di gelap
Tanpa ada lentera sebagai kawan untuk pelita
Sepotong lilin tanpa cahaya yang tergeletak tanpa daya
Di tengah jalan dengan tubuhnya yang hancur
Terinjak - injak dan teraniaya oleh sendal dan sepatu
Dan tak lagi punya harapan untuk berlanjut hidup

Seorang pendoa tanpa pelita melewatinya
Dan tanpa sengaja ujung kakinya menyentuhnya
Mengambilnya dan menggabungkan serpihannya
Memanaskannya dan melarutkannya menjadi utuh
Menghidupinya jadi pelita perjalanan
Melanjutkannya menjadi pendoa
Pendoa dunia tanpa henti

Jumat, 12 Juni 2009

Semua Orang dan Tuhan

Semua orang berhak patah hati, jiwanya terkoyak, dan merasa pedih dengan kenyataan hidupnya. Tak ada yang berhak untuk mencabut kepatenan atas hak mereka tersebut. Bahkan Tuhan yang menciptakannya saja tak ingin mencabut hak mereka, bahkan Tuhan memperdulikan mereka yang hatinya tersakiti, jiwanya terkoyak, dan memoles kenyataan hidup seseorang yang memedihkan itu.

Semua orang berhak mendapatkan haknya, baik sebagai anak, orang tua, sahabat, teman, kekasih, masyarakat, atau apapun. Mereka berhak menuntut hak mereka dengan cara apapun ketika mereka merasa haknya telah direngut oleh orang lain. Bahkan Tuhan saja mempersembahkan hak seseorang tanpa melihat gender, suku, ras, agama, warna kulit, dan sebagainya. Tuhan menjaga mereka seperti gembala yang menjaga sekawaan domba dengan penuh cinta.

Semua orang berhak untuk mencintai dan dicintai karena cinta itu adalah sesuatu yang universal. Tak ada seorangpun yang boleh merengutnya dari diri seseorang. Tuhan saja mencintai anakNya dengan sepenuh cinta.

Sabtu, 06 Juni 2009

Selamat Tidur

Ditemani Enya yang terus bersuara
Tanpa secangkir kopi yang masih hangat
Menepislah dia dari sisi kita
Ah, segelas susu lebih baik sebagai sobatmu
Menjelang kau terlelap malam ini
Setelah kita lelah seharian terus berkelana
Berlari ke sana ke mari bagai hendak perang
Bergegas seperti paramedik yang dinantikan
Aku tahu kau terlalu lelah untuk hari ini
Maka selimut telah kubentangkan
Seprai telah kuganti dengan bersih
Malam juga sudah datang lagi
Lepaskan rokokmu dan matikanlah
Bentangkanlah ragamu atas ranjang
Bukankah hari esok juga masih ada
Untuk apa kau pikirkan pekerjaanmu
Lupakanlah malam minggu pada hari ini
Untuk apa kau temani aku kalau kau lelah
Teguklah segelas susu
Kutemani kau dalam temaram gelap ini
Berselimut dinginnya hari
Untuk pamit dari bumi ini
Sejenak saja!


6 Juni 2009 | 19.59

Jumat, 05 Juni 2009

Kejahatan? Jadilah Dirimu!

Halaman ini memang dikhususkan untuk Astrid Camilla sepenuhnya atas jawaban dari pertanyaan yang diajukannya di YM



Sepertinya jawabanku melalui YM tadi, tak dapat memuaskan aku sendiri. Aku masih kecewa dengan jawabaku sendiri. (Duh! Jawabannya mungkin tak nyaman ketika aku menulisnya langsung di YM) Maka lebih baik kujadikan saja sebuah halaman yang memang kudedikasikan kepadamu. Apa susahnya menjawab pertanyaanmu? Mungkin karena YM bukanlah wadah yang dapat menempatkan aku untuk menjawab pertanyaanmu.

Sejujurnya, aku sendiri sontak kaget membaca pertanyaan seorang kawan di YM tadi. Bisa-bisanya dia bertanya kepadaku tentang hal itu. Aku juga belum mengenalnya lama. Hei... Kita butuh sesuatu lebih lama untuk menjadi diri kita sendiri. Katakanlah apa adanya, jangan dipendam!

Kawan, sejatinya kukatakan kepadamu, menjadi orang baik itu memang mudah. Tetapi ada yang lebih mudah lagi daripada menjadi orang baik, menjadi orang jahat. Nah, adakah orang yang ingin menjadi orang jahat? Kukatakan tak ada selain karena terpaksa. Kita punya kebutuhan masing-masing dan kita pula saling membutuhkan masing-masing. Tetapi itu semua kembali lagi tergantung intensitas kebutuhan, sejauh mana kita membutuhkan kawan kita dan sebagai apa kita membutuhkannya.

Untuk pertanyaan dirimu, mengapa ketika kita ingin menjadi baik ternyata sekitar kita jahat?, inilah jawabannya.

Terkadang kita terlalu merespon lingkungan kita secara terlalu berlebihan. Dan hal yang berlebihan itu yang dapat mengoyakkan hati kita sendiri sebenarnya. Seperti air, kalau sedikit, bisa kita manfaatkan, kalau sudah melimpah ruah, banjir harus kita alami. Sebenarnya itu juga kembali kepada diri kita. Respon yang jahat biarlah kita balas dengan kebaikan. Apa salahnya toh? Katanya supaya ada bekal masuk surga. Hehehe...

Tak ada salahnya ketika dalam situasi seperti ini kita butuh intropeksi diri. Itu sebagai meditasi pribadi yang tak pernah diketahui oleh orang banyak. Belajar dari pengalaman juga diperlukan. Soal memanfaatkan teman semacam itu, kuncinya adalah perelaan. Tiada jawaban yang lebih baik -menurutku- daripada perelaan itu sendiri. Toh, kalau seorang ibu yang ingin melahirkan anaknya tidak rela ketika rahimnya dilewati oleh sang anak, ibunya juga akan meninggal, bukan? Nah, kawan, seperti itulah jawabanku kepadamu. Relakan saja apa yang sudah kita berikan lagipula masih banyak sesuatu yang lebih yang dapat kita lakukan.

Halaman ini kuakhiri saja. Daripada kau pusing sendiri dengan jawabanku yang lebih panjang daripada pertanyaanmu.


Jakarta, 5 Juni 2009 | 4.24
Sahabatmu selalu,

A.A.

Selasa, 02 Juni 2009

Catatan 24

Kita punya mimpi, dan mimpi itu akan menjadi cita

Kita punya cita, dan cita itu akan menjadi tugas

Kita punya tugas, dan tugas itu akan menjadi nyata