Sabtu, 24 April 2010

Buku Kemarin, Buku Hari Ini, Buku Esok, dan Buku Selamanya

"Buku adalah sebuah taman, sebuah kebun buah, sebuah gudang penuh barang, sebuah pesta, seorang teman seperjalanan, seorang penasihat, bahkan sejumlah besar penasihat." - Henry Ward Beecher

Sebenarnya, tanpa kita sadari setiap hari kita pasti melakukan kegiatan membaca. Tidak harus melulu membaca buku. Banyak hal yang dapat kita baca sepanjang hari. Ketika kita mulai membuka mata sampai pada menutup mata, berapa banyak huruf yang sudah Anda baca sepanjang hari? Bayangkan saja, sejak membuka mata kita sudah membaca jam berapa saat kita terbangun. Membuka layar telepon genggam sudah berapa banyak kata yang kita baca? Melintasi perjalanan sudah berapa banyak tulisan yang kita baca?

Hidup manusia memang pada hakikinya tidak dapat jauh dari kegiatan membaca. Mau tidak mau membaca menjadi sebuah kewajiban yang tidak lagi dapat ditolak. Pemerintah sudah menggalakkan kegiatan membaca demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan membaca, kita dapat melihat dunia lebih jauh. Mengeksplorasikan diri secara lebih meluas. Dengan membaca, kita bisa pergi dari satu benua ke benua lainnya tanpa transportasi dan akomodasi. Dengan membaca, kita dapat memutar waktu sebelum kita lahir.

Setiap pagi, ketika saya terbangun dari tidur. Saya selalu bahagia melihat susunan buku yang bertumpuk di atas meja saya. Meja saya memang tidak akan pernah bisa rapi dari yang namanya buku. Pasti berantakan dengan kertas, pena, penggaris, dan buku. Ya, sesekali juga dompet dan telepon genggam. Kemudian saya melirik ke arah langit-langit, rak buku saya mulai terpenuhi buku dan mulai berpikir harus memiliki gudang sendiri untuk buku-buku berikutnya.

Harus saya akui, saya adalah orang yang dulunya rajin berkunjung ke perpustakaan ketika SMP. Selama sebulan, saya bisa melahap sepuluh buku. Nama saya pasti tercantum di dalam "daftar kutubuku terbanyak" pada setiap bulannya. Bukan, bukan saya sombong. Tetapi memang agenda membaca adalah agenda yang tidak dapat dilupakan begitu saja. Sejak kecil, orang tua saya membiasakan anak-anaknya membaca koran setiap hari. Kalau tidak membaca, siap-siap saja kita akan diledek habis-habisan karena tidak mendapatkan berita terbaru apa yang ada kini.

Lama-lama, ledekan itu saya gubris. Saya terbiasa membaca sendiri. Buku-buku di perpustakaan sekolah, buku-buku hasil tukar menukar dengan teman, dan buku-buku hasil dari uang jajan sendiri. 25% dari uang jajan saya pasti akan terbeli buku. Setidaknya satu atau dua buku setiap bulannya. Kadang saya sampai memaksakan diri untuk datang ke pesta-pesta buku demi membeli banyak buku. Kebiasaan saya semakin menjadi ketika saya mengecapkan diri bahwa saya menjadikan membaca bukan sekadar hobi, melainkan bagian dari hidup.

Ketika ada razia, guru saya sudah tahu pasti ada novel atau buku yang tidak menyangkut pelajaran yang ada di tas saya. Pernah seorang guru bertanya kepada saya: "buku apa lagi yang ada di tasmu, Av?" Saya hanya tertawa geli sambil menjawab "buku pelajaran". Padahal ada buku lain tetapi tidak saya masukkan ke dalam tas karena saya sudah tahu akan ada razia pada hari tersebut.

Kini saya mengerti benar apa manfaat membaca. Coba, andaikan saja ketika buku tidak pernah ditulis, apakah kita akan mengenal dunia itu bulat? Ketika buku tidak pernah ditulis, apakah kita akan mengenal cerita Mahabharata dan tahu Kerajaan Sriwijaya pernah ada di tanah Indonesia? Jika buku tak pernah tertulis, darimana kita akan tahu Jupiter adalah planet terbesar di galaksi dan bintang tidak sama dengan planet? Pernahkah kita menyadari apakah kita akan tahu Issac Netwon menemukan ilmu gravitasi hanya dari buah apel yang terjatuh? Buku membawa kita kepada luasnya dunia ini. Merangkumnya menjadi begitu kecil dan kita akan tahu apa masa-masa lalu.

Dengan membaca, saya bisa menghasilkan uang. Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, saya bekerja di sebuah penerbitan hanya menjadi seorang pembaca saja. Pembaca kemudian mengomentari isinya. Semenjak saya mendapatkan pekerjaan itu, saya amat menghargai membaca dan menulis. Betapa mudahnya membaca dengan selera dan sulitnya dengan hati. Betapa kita harus siap dicerca ketika tulisan kita harus turun kepada masyarakat.

Karena membaca, saya tahu banyak hal. Karena membaca, saya mengerti banyak hal. Karena membaca, saya mengenal siapa diri saya. Karena membaca, saya mendapatkan banyak hal yang saya inginkan.

Sudah berapa buku yang Anda baca pada tahun ini?

Selamat hari buku sedunia! Kita bertemu di World Book Day Indonesia di Museum Bank Mandiri tanggal 15-16 Mei nanti ya! (Saya akan hadir di sana...)



San Fransisco, 23 April 2010 | 22.00
Jakarta, 24 April 2010 | 08.00
AA. - dalam sebuah inisial

Selasa, 13 April 2010

Semestinya Kau Bahagia

Seperti itulah memang seharusnya, kamu sepatutnya bahagia. Walau pada akhirnya kita memang tidak dapat dipersatukan. Sedikit banyak kita akan menerima rasa kehilangan sekaligus belajar melepas seseorang untuk memahami bagaimana sakitnya ketika kita dijauhi ataupun menjauhi orang tersebut.

Aku tak bisa egois terhadap diriku. Karena bagaimanapun juga, manusia sudah tercipta atas dasar jalannya sendiri-sendiri dan akan menembus ziarah kehidupannya juga. Terkadang kita tidak pernah berdiskusi dengan malam yang begitu panjang padahal rembulan memiliki jawaban yang sedikit lebih pasti daripada isi hati kita.

"Aku lebih memilih tidak bahagia daripada berpisah..."

Masih juga kita melirihkan lagu bersimfoni menyayat diri. Padahal kita tak perlu melakukan semua itu kalau kita siap menghadapi kehilangan. Inilah yang membuatku membenci pertemuan karena aku tahu bahwa kita akan berpisah suatu hari nanti. Aku selalu berusaha menjauhi untuk bertemu, berpapasan, apalagi berjabat tangan. Bukannya aku anti akan etika kesopanan, tetapi semata-mata aku harus menjauhi pertemuan itu.

Namun aku tidak pernah bisa menjauhinya. Dia semakin mendekat dan mendekat. Semakin aku menjauhinya, aku semakin banyak bertemu dengan orang yang tak pernah kuharapkan. Semakin banyak pula aku bertemu di dalam kesempatan tanpa sengaja. Termasuk dirimu.

"Kita tidak lagi dapat dipersatukan."

"Bukannya sejak dahulu kita memang tidak pernah bisa dipersatukan?"

Aku menganggukan kepala. Sepakat dengan kata-katanya itu. Kita akan membuat kebahagiaan itu sendiri-sendiri. Cepat atau lambat hubungan ini juga akan terbongkar, sadarkah kita? Setelah kita mencobai diri kita untuk menyimpan semua ini, masih layakkah kita?

"Kamu masih punya mimpi keluarga bahagia bukan? Itu bukan ada pada diriku."

Semestinya kau bahagia, tapi bukan denganku. Bukan kita berdua yang meluruskan semua mimpi-mimpimu. Kau terlalu layak untuk bahagia sedangkan tidak denganku. Untuk ribuan kenangan yang sudah pernah kita jalani, baiknya kau catatkan di dalam buku tua dan kubur buku itu di dalam tanah. Agar jangan lagi kau mengingat semua yang pernah kita lakukan. Semata-mata ini demi dirimu seorang.

"Jangan pernah pedulikan aku!"

"Kita harus berpisah?"

"Ya..."

Aku tahu bagaimana ke depannya kita akan terkoyak bersama. Berusaha menghapus kenangan yang begitu kelam dalam hidup sedangkan di sisi lain kita harus menempuh kehidupan lagi. Hidup kita terlalu penuh dengan kepura-puraan yang nikmatnya hanyalah sesaat. Harusnya kusadari itu. Kau terlalu layak untuk bahagia, tetapi bukan bersamaku.

"Kalau memang ini jalan yang paling benar, baiklah kita berpisah."

"Karena hidupmu terlalu indah, terlalu sayang untuk disia-siakan begitu saja."

"Dan engkau juga. Peluk aku! Untuk terakhir kali saja..."

Aku memelukmu. Dalam peluk ini, semua rasa kita tertumpah sudah. Antara haru, kesal, benci, suka, duka, amarah, dan banyak lainnya. Semua kenangan melebur begitu saja di dalam pelukan ini. Pantaskah aku mencumbui cintamu sementara kau tidak pernah mendapatkan apa yang engkau harapkan dari aku? Di sisi lain aku terus menggeruk semua isi hatimu.

"Semestinya kau bahagia..."

"Semestinya. Tapi aku tidak tahu aku akan bahagia atau tidak."

"Semestinya. Kau. Bahagia."

Terlalu sayang hidupmu yang indah itu berlalu begitu saja bersamaku yang hanya mampu menghembuskan nyawa beraroma mati jiwa untuk mendapatkanmu sesaat demi kerakusanku. Kalanya aku harus melepaskanmu dan kau melepaskanku. Kita saling melepaskan untuk mendapatkan kebahagiaanmu saja.



Jakarta, 13 April 2010 | 16.07
AA. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 10 April 2010

Andai Aku Tak Dapat Membaca

Andai aku tak dapat membaca
akankah aku melihat dunia dengan lebih nyata?
Sedangkan kita harus mengeja semua aksara
untuk mengartikan hidup ini hendak apa

Andaikan aku tak dapat membaca
akankah aku mengerti kata dari rasa yang ada?
Sedangkan kita harus menerima makna
dari huruf yang tersusun

Andaikan aku tak bisa membaca
akankah saat ini aku berbicara?
Sedangkan bertutur butuh waktu
demi tahu apa kebutuhan saat ini

Aku tak tahu akan menjadi apa kalau dulu, sekarang, dan masa depan aku tidak bisa membaca

GagasMedia, 10 April 2010
AA - dalam sebuah inisial tengah rapat

Andai Aku Tak Dapat Membaca

Andai aku tak dapat membaca
akankah aku melihat dunia dengan lebih nyata?
Sedangkan kita harus mengeja semua aksara
untuk mengartikan hidup ini hendak apa

Andaikan aku tak dapat membaca
akankah aku mengerti kata dari rasa yang ada?
Sedangkan kita harus menerima makna
dari huruf yang tersusun

Andaikan aku tak bisa membaca
akankah saat ini aku berbicara?
Sedangkan bertutur butuh waktu
demi tahu apa kebutuhan saat ini

Aku tak tahu akan menjadi apa kalau dulu, sekarang, dan masa depan aku tidak bisa membaca

GagasMedia, 10 April 2010
AA - dalam sebuah inisial tengah rapat

Kamis, 01 April 2010

Bertualang atau Berpetualang

Tak selamanya kamus harus menjadi jawaban yang patut dibenarkan. Kamus juga dikarang oleh manusia dan setiap kamus belum tentu berisi dan berbicara sama tentang sebuah arti kosakata. Atau juga kamus akan memuat tambahan-tambahan kata. Bayangkan, andai di dunia Bahasa Indonesia ada satu juta kata yang belum termasuk imbuhan, akan ada berapa banyak halaman kamus yang akan tercetak?

Pagi ini, saya disuguhkan bacaan menarik dari Harian Kompas pada halaman 9 edisi Kamis, 1 April 2010. Di kolom "REDAKSI YTH", kita akan mendapati satu judul "Berpetualang". Seperti ini isinya:


"Berpetualang"

Baik Kamus Umum Bahasa Indonesia maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa tidak memasukkan berpetualang sebagai turunan lema tualang. Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko pun tak menyertakan kata itu. Turunan lema itu dalam Kamus Besar hanya bertualang, petualang, bertualangan, dan pertualangan. Secara morfologis bentukan tualang yang dibubuhi awalan ber- yang benar adalah bertualang. Sama halnya dengan kata juang yang menjadi berjuang, dan kata tinju yang menjadi bertinju.

Namun, sebagian kalangan masih menggunakan kata berpetualang, bukan bertualang. Hal itu juga dilakukan Kompas, Jumat (12/3/2010) halaman 52. Pada rubrik wisata tersua judul "Berpetualang di Tengah Laut". Seandainya nalar liguistik kita memaafkan judul "Berpetualang di Tengah Laut", selayaknya kita juga membolehkan "berpejuang di medan tempur" atau "berpetinju di Jakarta".

INDA SUHENDRA
Perum Lido Permai D3/3
Ciburuy, Cigombong, Bogor


Melihat kondisi berbahasa kita yang seringkali menggunakan kalimat asal, kita tidak pernah peduli dengan khazanah kosakata Indonesia yang ternyata juga memiliki aturan bermain di dalamnya. Ada beberapa kata yang boleh ditambahkan huruf bantuan dan tidak, ada juga yang harus menghilangkan huruf sebelumnya, atau menambahkan dua imbuhan sekaligus.

"Tualang" di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan sebagai orang yang tidak tentu tempat tinggalnya. Petualang adalah orang yang melakukan kegiatan tualang. Bertualang adalah kegiatan melakukan pengembaraan. Bagaimana dengan berpetualang itu sendiri? Apakah kegiatan seseorang melakukan petualangan?

Seperti kata "ubah" yang sering dituliskan merubah dan perubah. Padahal imbuhan di dalam tata Bahasa Indonesia tidak pernah menghadirkan imbuhan mer- dan per-. Pernah seorang guru bertanya kepada saya: "yang benar 'perubah' atau 'peubah'?" Dan banyak dari kami yang menjawab "perubah".

Bagaimana dengan "perhatikan"? Seperti Bahasa Inggris, jika memberikan imbuhan pada kata "swim" dan "-ing", akan ada penambahan kata "m" sebagai membantu kata tersebut sehingga akan membentuk kata "swimming". Demikian juga dengan kata "perhatikan". Itu tidaklah dapat disalahkan karena ada penambahan huruf "r" sebagai pembantu pembentukkan kata.

Sebenarnya masih banyak kata yang sering salah dalam menggunakannya karena pola berbahasa kita yang lebih mudah dan lebih terdengar tidak asing di telinga kita karena faktor kebiasaan seperti kata "lalat" yang sering terucap "lalet" atau "lelat". Juga ada "apel" yang memiliki definisi berbeda. "Apel" memiliki definisi pertama sebagai bagian dari jenis buah-buahan dan definisi kedua sebagai upacara.

Memang tidak pernah ada pelarangan untuk berbahasa atau menambahkan imbuhan. Tetapi baiknya diarahkan lebih tepat sebagaimana mestinya. Bahasa Indonesia memang memiliki banyak sekali aturan main di dalamnya dan dapatlah kita akui sering kali ada kata yang tidak sengaja diubah karena penuturan dan faktor kebiasaan berbahasa yang salah.

Masih pedulikah kita untuk berbahasa dengan baik?




Jakarta, 1 April 2010 | 08.51
A. A. - dalam sebuah inisial