Selasa, 28 September 2010

Katamu yang Meluluh

Katamu sewaktu di bukit:
cakrawala sederhana mengitari waktu
lalu ia menciptakan kehidupan yang fana
dan dari segala kefanaan itulah
esensi nyata sebagai manusia terlihat

Katamu sewaktu di pantai:
cantiknya dunia bukan karena terpoles
bukan karena kau bedakkan wajahnya
atau kau kenakan lipstik pada bibirnya yang kering basah
seperti air mukamu yang memelas pelita
meski lesu berlari bagai ombak di tubuhmu

Katamu sewaktu di jalan:
meski kutahu awal dunia adalah kegelapan
pelita tetap ada walau hanya terang petromak
poster yang ada di kerak bumi menjadi jelas
atau kursi lapuk yang hampir kududuki
atau kupilih jatuh di depan warung gentana itu
rikuhku dimakan angin, berlalu dia ke utara

Katamu sewaktu di kereta:
Tuhan narsis! Dia hadir dalam wujud kilat
aku tertawa saja kala itu, hujan memecah kaca
tidak meretakkan jendela, tidak menembuskan angin
bergeminglah suara mereka menuju pulang
aku di mana? tanyaku. jawabmu: suatu ziarah
Tuhan di mana? tanyaku -lagi. Jawabmu: terselip di jejak sepatumu

Katamu sewaktu di rumah:
siluet aku dan kamu berbekas di lantai
bercermin seperti malaikat yang melayang
kita mabuk, tanpa anggur ataupun segelas bir
tak juga kita teguk berbutir-butir ala pecandu
tetapi di dalam pelarian nyata
aku, kamu, kita
kamu, aku, kita
kita, aku, kamu
kita, kamu, aku
kita tetap insan yang sama

meski hari telah berbeda, musim sudah pergi berganti-ganti


Jakarta, 28 September 2010 | 19.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 19 September 2010

Temani Cahaya

Seperti lorong yang menyepi, menikmati rasa sepinya

Embusan karang yang terseret ombak di tepi dermaga

Aku tetap memaku diri untuk tetap diam berdiri

Mencari pelepas dahaga di tepi telaga

Aku pergi berlari mencari tempat menggantung

Agar cahaya dapat celos dari lorong sepi itu

Mahkamah Tuhan yang tahu rasanya kesepian

Dan pelita menjadi sobat dari jalan merantau

Semoga ia menjadi obat penawar rasa sakit

Daripada kau memutuskan untuk mengkafani aku

Atau biarkan sajak-sajakku tertabur dalam kertas

Dan menyatu menjadi tulang belulang di tanah

Saat aku kembali pulang




Jakarta, 19 September 2010 | 02.31
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 18 September 2010

Seperti yang Kita Kehendaki

kadang
matahari tak bersinar dari ufuk timur
pantai tak lagi berlarikan ombak
yang menanti nyiur untuk kembali bergoyang

kadang
kita berlari
kita berjalan
kita terjatuh
kita terbangun

kadang
perjalanan indah
perjalanan sedih
perjalanan gembira
perjalanan yang merupakan esensi sendiri

dan, apa yang kita kehendaki dari hidup ini?
itu pertanyaan yang tak tahu
kapan terjawab





Jakarta, 18 September 2010 | 13.31
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 12 September 2010

Erma Louise Bombeck - Seandainya Aku Masih Punya Kesempatan untuk Menjalani Kehidupan

Seandainya aku masih punya kesempatan untuk menjalani kehidupan...
Aku akan mengurangi berbicara dan mendengarkan lebih banyak.
Aku akan mengundang teman-teman untuk makan malam di rumah sekalipun karpetku akan ternoda dan sofaku jadi rusak.
Aku akan menikmati makan popcorn di ruang tamu dan mengurangi kekuatiran tentang debu-debu karena seseorang menyalakan perapian.
Aku akan mendengarkan ocehan-ocehan kakekku tentang masa mudanya.
Aku tidak akan ngotot menutup kaca jendela mobilku di musim panas karena rambutku yang sudah tertata rapi dan dispray.
Aku akan menyalakan lilin merah jambu itu sebelum ia rusak di gudang.
Aku akan duduk di halaman rumput dengan anak-anakku tanpa kuatir rumput yang kotor.
Aku akan menangis dan mengurangi tertawa ketika menonton TV dan lebih lagi ketika melihat kehidupan ini.
Aku akan mengambil sebagian beban yang dipikul suamiku.
Aku akan beristirahat di ranjang ketika sakit dan bukannya ngotot berpikiran bahwa dunia akan meninggalkanku jika aku tidak bekerja hari itu.
Aku tidak akan pernah membelu barang hanya karena barang itu dikatakan praktis atau karena digaransi seumur hidup.
Aku tidak ingin menolak untuk hamil selama 9 bulan, tetapi sebaliknya menghargai setiap detik dan menyadari bahwa keajaiban yang tumbuh di dalam rahimku adalah bagian dari keikutsertaanku di dalam menunjukkan keajaiban Tuhan.
Jika anakku menciumku dengan tiba-tiba, aku tidak akan pernah berkata, "Nanti saja ciumannya. Sekarang pergi mandi dan kita akan makan malam."
Aku akan lebih banyak mengucapkan "Aku mengasihimu" da lebih banyak mengucapkan "Maafkan aku".
Tetapi yang terpenting, aku akan meraih setiap menit... memandangnya... betul-betul melihatnya... menghidupinya... dan tidak akan menyia-nyiakannya.





Erma Louise Bombeck - Penulis, Kolumnis, dan Humoris Amerika

Kamis, 09 September 2010

Kadang

Kadang mulut hanya asal berbicara
Kadang tangan hanya asal bergoyang
Kadang kaki hanya asal melayang
Kadang mata hanya asal melihat
Kadang telinga hanya asal mendengar
Kadang hati hanya asal menerjemahkan
Kadang otak hanya asal berpikir

Kadang berbicara membentuk suatu kesalahan
Kadang bergoyang membentuk suatu luka
Kadang melayang membentuk suatu jeritan
Kadang melihat membentuk suatu dosa
Kadang mendengar membentuk suatu ketidakabsahan
Kadang menerjemahkan membentuk suatu pedih
Kadang berpikir membentuk suatu celah kotor

Kadang kesalahan tidak bisa dimaafkan
Kadang luka tidak dapat diobati
Kadang jeritan tidak dapat diredupkan
Kadang dosa tidak dapat disadari
Kadang ketidakabsahan tidak bisa menyatukan
Kadang pedih tidak dapat hilang
Kadang celah kotor lebih mendominasi kehidupan

Untuk kesalahan, luka, dan jeritan
Walau tak dapat dimaafkan, setidaknya memberi pelita mengampuni
Jika hanya sekecil biji sesawi ampunan itu

Untuk dosa, ketidakabsahan, dan pedih
Walau tak dapat diampuni, setidaknya memberi pelepas dahaga rindu
Jika semua itu bisa menjadi khilaf

Untuk celah kotor
Semoga tidak terjadi lagi dan kita bisa menjadi bersih seutuhnya
Sambil menutup wadah penghitungan dosa sepanjang bulan



9 September 2010 | 8.29
A.A. - dalam sebuah inisial



PS: Selamat Idul Fitri, maaf untuk semua yang patut dinyatakan maaf...

Rabu, 08 September 2010

Musim Dingin yang Kaku

Di suatu musim,
akan kukenang lagi wajahmu
eh... langit tak lagi merah
sedang beku, kata dirimu 'kan?

Ada mereka yang tertatih berjalan
melawan dinginnya si dingin
padahal hanya sejengkal saja
mungkin Tuhan salah mengutuk

Musim ini musim dingin
mungkin saljupun sudah menjadi es batu
dan aku kaku, kaku di haribaan jalan ini.



8 September 2010 | 22.56
A.A. - dalam sebuah inisial