Kamis, 29 September 2011

Epilog September

September hanya seperti pagi dan malam
ia datang untuk kemudian pergi lagi tanpa pamit
setidaknya kita tahu sehingga kita siap untuk kehilangannya lagi
mendoakannya di dalam perjalanannya dan membekalinya dengan asa
agar ia tak menjadi lenyap ketika dunia yang terlalu kejam memberangusnya
karena setiap orang berdoa agar September tidak lekas pergi
begitu juga aku dan kau, begitu juga kau dan aku

bukankah pergi memang untuk menemukan jalan pulang?
ketika itu gerimislah aku dengan air mata yang ada di pelupuk
tak hingga untuk melepas segala kenangan dan tak tampak wujud ikhlas
September menyimpan fajar dengan sebungkus ratap yang begitu manis
juga mengepak cinta yang tidak memandang sepi dan ramai
'aku harus pergi, sampai jumpa lagi di dimensi baru,' kata September

bukankah semua awal akan bertemu dengan akhir
bukankah semua pertemuan akan bertemu dengan perpisahan
bukankah kita hanya sekadar bertemu dan bertamu, duduk di beranda
seperti halnya September yang akan pamit, untuk pergi

entah ke negeri mana



Bandung, 29 September 2011 | 17.54
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 25 September 2011

Petang Bersama Ayah

adalah petang yang paling mengagumkan
dan tak akan pernah terlupakan.






Bandung, 25 September 2011 | 17.26
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 20 September 2011

Mendengar Cita-cita

Sebuah malam Juli di Senayan, Jakarta, saya mencegat taksi untuk menumpang setelah hampir seharian berkelana di kota ini. Tepatnya bukan berkelana, tetapi menyerahkan hasil kerja dan hendak pulang. Jakarta sudah memperlihatkan langitnya yang pekat dalam gelap dan saya sudah enggan untuk berdesak-desak di dalam busway yang semakin hari semakin tidak bisa membuat puas para penumpangnya karena armada bus yang tak pernah sesuai dengan jumlah penumpang.

Masuklah saya ke dalam sebuah taksi. Seorang bapak, sebutlah namanya Pak Amir. Tak ada ucapan selamat malam, tak ada sapa hendak ke mana arah kita. Tiba-tiba ia langsung bercerita sendiri. Tapi saya membiarkannya saja apa yang hendak dikatakannya sembari mengatakan ke mana saya akan beranjak.

Langit Jakarta sudah terisi oleh kerlap-kerlip dari lampu-lampu. Jalanan ibukota tetap padat, apalagi saya pulang di jam orang-orang pulang ke rumah. Klakson, umpat, dan suara knalpot menjadi hal yang tak asing lagi ketika hidup di Jakarta. Rasanya hampir tak ada orang yang hidup di jalanan Jakarta yang tidak ingin mengumpat dengan sikap dan perilaku sesama pengguna jalan. Bahkan sampai pengemis dan pengamen pun bisa menjadi sasaran ketika seorang pengguna jalan sudah naik darah di jalanan ini.

Saya tahu, malam-malam itu adalah malam-malam terakhir saya menikmati kemacetan Jakarta secara utuh. Setelahnya, mungkin saya hanya menikmati udara dingin dan angkot-angkot yang tahu sopan santun dalam mencari penumpang. Jakarta keras, dan itu benar-benar keras. Dari jalanan saja kita bisa melihatnya.

Pembicaraan saya dan sopir taksi tadi belum usai. Tiba-tiba ia bertanya tentang hal yang tak biasa saya bicarakan dengan supir taksi lainnya.

"Dik, kerja di mana?"
"Kerja sambil kuliah, Pak. Kerja serabutan. Hahaha..."
"Kuliahnya di mana?"
"Bandung."
"Lho? Kok?"
"Kuliah belum mulai, saya di sini bekerja iseng-iseng saja. Isi waktu liburan."
"Kuliahnya apa, Dik?"
"Ilmu Politik, Pak. Kenapa?"
"Tahu dong kasusnya Nazaruddin?"
"Tahu, Pak."
"Menurut Adik, Nazar salah atau tidak?"
"Salah dong, Pak. Tapi masih ada kepalanya lagi yang lebih salah."
"Pernah bercita-cita dengan Indonesia yang bebas dari korupsi, Dik?"

Glek! Seorang sopir taksi menanyakan hal seperti ini kepada saya. Cukup mengejutkan sekaligus membuat sebuah hal yang tak pernah saya duga-duga sebelumnya. Selama ini, saya tahu kasus Nazaruddin seperti apa dan saya mengikutinya. Tetapi saya tidak pernah bertanya kepada diri saya apakah saya pernah berpikir dan bercita-cita memiliki negara yang bebas dari korupsi.

"Mungkin, Pak. Kalau Bapak sendiri?"
"Selalu. Saya sering sedih, tapi saya kan cuma sopir taksi."
"Lalu, mengapa dengan sopir taksi, Pak? Apa saya yang mahasiswa dan Bapak yang seorang sopir taksi tidak boleh bercita-cita?"
"Ya, boleh. Tapi cita-cita cuma cita-cita saja."
"Cita-cita bisa terwujud kalau mimpi kita tidak ketinggian dan kita mampu menggapainya, Pak. Kalau negara tanpa korupsi itu pasti tidak pernah ada di dunia ini."

Malam itu pula, telinga saya seperti mendengar lagu dari John Lennon, Imagine. "
You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as on"

"Saya dulunya kerja di Telkom, Dik. 15 tahun di sana. Semua tunjangan kesehatan dan sekolah anak ditanggung."
"Kok berhenti?"
"Gaji tak naik. Meski tunjangan ada, sering tidak cukup karena mereka tidak pernah menaikkan tunjangan sampai penuh. Tapi, sampai sekarang saya tetap ditanggung karena saya mengundurkan diri."

Di kursi belakang saya mengangguk. Kemudian mendengarkan lagi Bapak itu bercerita.

"Anak saya sudah selesai SMK. Syukur, saya bisa menyekolahkannya dari taksi. Kadang juga saya sedih, anak saya sebenarnya ingin kuliah. Tapi saya belum mampu. Untung dia mau masuk SMK. Sekarang dia bisa bantu bapaknya. Desain gelas, spanduk, dan baju."

Saya selalu percaya, semua orang memiliki cita-cita. Semua orang pasti akan bercita-cita. Seorang sopir taksi atau seorang mahasiswa yang duduk bersama di dalam satu mobil, melintasi jalan yang sama pun pasti memiliki cita-cita. Bukankah kita sedari kecil memang sudah ditanamkan cita-cita? Cita-cita membuat kita supaya bertahan hidup untuk memperjuangkannya dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, membuat seseorang untuk menilai dirinya lebih berarti di dalam setiap kesempatan yang ada.

"Cita-cita itu ada batasnya, Pak. Kalau ketinggian, kita tak bisa menggapainya. Kalau kerendahan, mudah menggapainya, tetapi mudah juga untuk dilupakan oleh kita sendiri."
"Iya, Dik. Tapi orang miskin dilarang bercita-cita juga?"
"Cita-cita itu gratis, Pak. Semua orang bebas bercita-cita. Setinggi apa pun, serendah apa pun. Tapi kita harus sadar akan keterbatasan kita, Pak. Manusia pun ada batas dalam bermimpi. Bisa saja kita tidak sanggup menggapai cita-cita karena ketinggian."
"Jadi Adik tidak setuju dengan Sukarno?"
"Ya, tentu tidak. Memang bisa kita ke langit untuk menggapai cita-cita? Naik pesawat saja belum sampai ke langit paling atas. Hahaha..."

Perjalanan hampir usai. Saya hampir tiba sampai tujuan. Ada kesimpulan dalam hati bahwa Bapak Amir ini memang sudah bercita-cita. Orang kaya dan orang miskin boleh bercita-cita, perempuan dan laki-laki bebas bercita-cita. Cita-cita hanya berbeda dalam tinggi-rendah, besar-kecil, diperjuangkan-tidak, dan berhasil-belum berhasil. Tak ada cita-cita yang gagal.

Ada benarnya pula kata Andrea Hirata, berhenti bercita-cita adalah tragedi kehidupan manusia. Pak Amir bukannya ia tak mau memperjuangkannya, mungkin saja baginya dua cita-cita yang terdengar sederhana itu terlalu tinggi untuk digapainya seorang diri. Setidaknya, Beliau tidak berhenti untuk tetap bercita-cita.

Langit Jakarta hanya berhias lampu. Tibalah saya di destinasi berikutnya di mana teman saya sudah menunggu untuk obrolan malam sebelum saya pindah ke luar kota. Saya mengakhiri obrolan yang menarik dengan seorang sopir taksi yang memiliki cita-cita. Saya turun setelah membayar lebih sedikit sebagai bonus untuk mengisi kekosongan perjalanan saya yang terlalu membosankan hanya dengan diam.

Taksi itu melaju. Mungkin hanya saya dan Tuhan yang tahu, seorang sopir taksi pun memiliki cita-cita yang selalu ingin digapainya.




Bandung, 20 September 2011 | 07.19
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 17 September 2011

Intelektual Merdeka

Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intektual yang merdeka: sendirian, kesepian, dan penderitaan.




Surat kepada Soe Hok Gie

Intelektual Merdeka

Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intektual yang merdeka: sendirian, kesepian, dan penderitaan.




Surat kepada Soe Hok Gie

Perihal: Cinta

aku selalu yakin, kau telah mengenal cinta sejak kau menjadi embrio
mungkin kau tak pernah menyadarinya sampai kau sendiri tahu apa itu cinta
meski kau tak pernah bisa mendefinisikannya ketika kutanya 'apa itu cinta'
jawabannya tetap sama: rasa sayang
namun, rasa sayang yang seperti apa, lagi-lagi kubertanya

kita tidak pernah tahu kapan cinta datang bertamu dan pamit pulang
kita pun tidak pernah tahu bagaimana cinta bergelut dan hadir di dalam lingkup dunia
cinta bisa saja dikenal sebagai orang asing, atau datang sebagai seorang pencuri
bisa saja cinta datang sebagai orang yang tak tahu seperti apa cinta
tak seorang pun bisa memahaminya tentang dirinya itu

kadang pula, cinta datang seperti pecundang, menantang dalam kecut
tapi ketika ia pergi, barulah sadar cinta baru saja bertamu di beranda hatimu
risau, gelisah, dan rusuh hati melanda hatimu yang berkecamuk
tapi kubisik kepadamu: cinta pergi untuk datang kembali, suatu hari nanti




Bandung, 17 September 2011 | 08.34
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 15 September 2011

Sebuah Kotak Pandora

G,

Mungkin, hanyalah sebuah kemungkinan dari ribuan kemungkinan lain yang tak pernah bisa kita duga sebelumnya. Seperti tak seorang pun yang tahu tentang masa depan seperti apa, seperti sedang membaca sebuah buku. Kita tak pernah tahu apa yang ada di halama berikutnya. Seperti sedang menonton sebuah opera, kita tak tahu akan ada kejutan macam apa dalam adegan berikutnya.

Akhirnya, ada cerita yang membuat kita kembali merasa akan pulang. Aku bagai membungkus rindu yang tiada mengenal tepi. Ada fase di mana aku cuma bermain-main dalam ranah yang tak tahu akan seperti apa. Cerita-cerita di dalam kebisuan hanya sanggup teruntai manis sampai ke ujung hati. Seketika itu, masih ada harap dan pilu yang datang saling berkejar ke garis akhir.

Kadang, kuinsafi sebuah hal yang kumengerti tentang kamu. Tentang sebuah kotak pandora yang tak pernah berdebu untuk menyimpan kenangan kita. Siapa yang menjaganya, aku pun tak tahu, pula dengan kamu. Kita tak pernah tahu. Tapi, sungguhlah berterima kasih, kotak itu tetap tersimpan rapi dan tetap tak terlupakan untuk singgah kepadanya.

Masih ada catatan tentang aku yang menulis usia. Kita tak pernah menginginkan mati di usia tua, bukan? Terbahak seketika itu, aku berdiam di dalam permainan waktu. Usia yang bertambah bukan menjadi sebuah beban bagiku, tetapi menjadi sebuah refleksi yang menarik untuk disimak bagai buku yang begitu menarik dari anyaman aksara, seperti lagu yang begitu nyaman didengar dari denting melodi, dan seperti petualangan yang kuharap tak habis-habisnya untuk dilewati.

Ada kalanya, aku rindu akan kotak pandora itu. Ingin aku masuk ke dalamnya, bermain di sana dan menikmati hidup. Tapi inilah dunia, di mana semuanya butuh dengan perjuangan. Tak ada satu pun yang didapat secara cuma-cuma atau berdasarkan belas kasih.


G,

Benarkah rindu yang membuat kita tidak bisa berpaling dari kenyataan? Seandainya kita tahu jawaban sesungguhnya.




Jakarta, 15 September 2011 | 22.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 14 September 2011

Petang di Sebuah Sore

Kita berangkat di dalam sunyi
Aku enggan untuk berkata: aku pulang
Karena ini bukanlah lama, bukan sebentar
Tapi bagiku adalah bahagia
Sebuah manifestasi yang tak seorang pun dapat membentuknya



Bandung, 14 September 2011 | 14.59
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 11 September 2011

Bertamu di Rumah Tuhan

siang ini, aku hanya singgah ke rumah Tuhan
Ia mengajakku untuk makan siang
ternyata sederhana:
hanya nasi, tempe-tahu, ayam goreng, dan sayur bayam
ada sambal terasi sebagai penggodaku
ada es teh manis yang jelas sekali nikmat untuk diseruput

bayam itu diambilnya dari kebun di belakang rumah
ayamnya baru tadi pagi disembelih dari kandang
tempe dan tahu dibelinya dari pasar
dirawinya sebagai makanan yang sederhana

tak ada burger, spagheti, atau pizza
tak pula ada jus atau karbonasi
sekadar es teh manis

Tuhan memasaknya sendiri? ya
enak juga





Bandung, 11 September 2011 | 11.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 09 September 2011

Melawan Lupa

adalah tugas yang tak ada habisnya
untuk berbicara tentang melawan lupa
di mana seorang pun datang dan pergi
hadir dalam lingkup sebuah kejujuran
ada di dalam sebuah kebenaran
dan berkelindan di antara ranum-ranum
yang tak bisa dihitung dengan manis

melawan lupa adalah tugas
tugas yang tak menemui ujung
agar kenang dan harap
agar cita dan asa
agar kehidupan kita bertalu-talu
selalu dan harus berpilah pada esok
dan kebenaran serta kejujuran ada yang diungkap

hari ini adalah melawan lupa
melawan lupa mereka yang tak pernah mengingat tentang hari yang belum usai





Bandung, 9 September 2011 | 07.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 06 September 2011

Bagaimana Kita Memandang Keragaman

Pro Rike Anggraeni,

Bagiku, semua hari adalah sama. Yang berbeda hanyalah kita yang membuat pola-pola yang menjadikannya warna-warni. Seperti halnya kembang di taman, tentu tak semuanya sama. Atau pula sebagaimana kita memandang kehidupan. Silakan tanya kepada sahabat-sahabatmu, apa arti hidup bagi mereka. Tentu jawabannya sangatlah beragam.



Sebuah diskusi

Aku tak memungkiri aku menyukai apa yang disebut diskusi. Aku suka berbicara apa saja, berdebat tentang apa saja. Bagiku, itu hal yang sangat menantang isi otakku dan isi otak lawan bicaraku. Aku sering menggali lebih dalam apa yang dipandang lawan bicaraku dan aku bisa menggila untuk membicarakan apa saja. Termasuk hal yang begitu intim dengan bahasaku sendiri.

Rasanya tak etis kalau aku cuma berbicara tapi aku urung mendengar. Nah, untukku diskusi yang menyenangkan adalah kalau terbuka bila aku boleh berbicara, maka aku harus sudi untuk mendengar. Betapa egoisnya aku bila aku hanya ingin didengar tanpa mau mendengar.


Tentang Kematian dan Kelahiran

Aku dan kamu hanya lahir sebagai manusia, bukan Tuhan. Untuk itu, kita tidak pernah bisa mengetahui atau menghendaki kapan usia ini harus diakhiri. Sebagaimana pula kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan, bukan? Sebagaimana aku dan kamu menjalani kehidupan bukan atas kehendak kita sendiri, bukan?

Agak riskan aku berbicara tentang ini.



Tentang Tuhan

Dalam sebuah diskusi panjang tiga jam, aku berbicara lebih banyak tentang tuhan dan Tuhan. Aku tidak tahu bagaimana keningmu saat aku berbicara hal ini. Mengkerut, bisa jadi.

Tuhan itu cuma satu, hanya kita yang berbeda-beda cara menyapa dan menyembah. Agama hanya sebagai motivator. Untukku, menjadi agama apa saja bukanlah masalah. Silakan percaya Tuhan sebagai tuhan yang bagaimana. Toh, kita semua sesungguhnya tak ada yang tahu seperti apa wujud Tuhan? Kita semua hanya percaya di dalam lingkup keagamaan kita ini.



Tentang Menulis

Satu-satunya cara untuk menjadi penulis adalah menulis, tidak ada cara lain dari itu. Tiap kali mereka yang ingin belajar menulis datang kepadaku. Menggelikan. Menulis buku pun aku belum usai sampai kini, tetapi mereka memintaku untuk diajarkan menulis. Maka, mengkerutlah dahiku ini. Bagaimana caranya? Aku sendiri tak tahu.

Mengapa kita tidak sama-sama belajar? Ah, bolehlah mereka menulis karena ingin menjadi penulis. Setidaknya bagiku, menulis menjadi napas dan sering menyambung napasku. Tapi tak kupungkiri juga, aku sering belajar dari tulisan teman-temanku yang belum menerbitkan buku.

Mari, kita beriringan untuk belajar. Untuk menjadi lebih baik dalam merawi aksara.



Tentang Usia yang Bertambah

Usiaku dan usiamu adalah jarak yang terpisah begitu jauh. Tapi keragaman di antara kita terasa lenyap saat diskusi bergulir. Ada benang merah yang didapatkan dari setiap kata yang terucap, dari setiap kalimat yang mengalir, dan dari setiap makna yang teruntai manis.

Dan bagaimana kita memandang ulang tahun? Ini yang belum sempat kita bicarakan.

Aku sering melupakan ulang tahun karibku sendiri, bahkan ulang tahunku. Karena bagiku, semua hari adalah sama untuk dijalani. Usia yang bertambah sepatutnya tidak dibawa dengan kegembiraan, malah sebaliknya. Tugas kita sebagai manusia akan semakin banyak, runyam. Semakin banyak pula tuntutan yang hadir di dalam lingkup kehidupan kita.

Ah, percayalah satu hal ini: aku tidak menyukai ulang tahun.

Tetapi dari ulang tahun itu sendiri, aku menyukainya ketika aku mengucapkan ulang tahun kepada para sahabatku. Seorang pastor belajar dari seorang motivator tentang bagaimana cara mengucapkan ulang tahun itu. Setiap pagi, ia menelpon umatnya yang dikenal dan mengucapkan selamat ulang tahun. Ketika bertemu denganku, ia berkata 'umat melupakan ulang tahun saya, tetapi saya mengingatnya.' Langsung saja kami tertawa.

Tapi usia yang bertambah itu tak perlu dibawa menjadi hal yang sulit. Putar saja rol kehidupan ini dan biarkan ia bermain sebagaimana mestinya. Tak perlu hal yang dikhawatirkan tentang usia dan hidup atau mati itu sendiri. Ia akan berjalan dan bermuara entah ke mana dan kapan. Biarkan itu menjadi misteri agar kita bisa tetap tertawa dan tersenyum memandang kehidupan ini.

Nah, untuk itu... Dirgahayu bagimu. Selamat bertambah usia. Ini kado sederhana yang kuracik bagimu.




Bandung, 6 September 2011 | 07.47
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 04 September 2011

Pengukir Bahagia

sore bisa membuat kita lebih menghadap kepada sedih
setelah pagi dan siang kita menghadap kepada ramai
dan kita selalu bahagia saat bergelut dengan hal tersebut

ada mereka yang lebih bahagia di dalam ramai
mungkin pula aku bagian dari keramaian itu
yang membuatku ada dan kutahu aku cinta pada ramai

ternyata ada hal yang tak bisa kita temukan dalam ramai
ada kalanya sepi lebih bisa mendamaikan manusia dengan dirinya
menemukan akal yang lebih sehat, pekerti yang lebih dimengerti
agar manusia bisa mencapai apa yang dikatakan dengan bahagia

orang bisa merasakan bahagia karena ia pernah merasa sedih
seperti juga orang bisa merasakan sehat karena ia pernah merasa sakit
dengan begitu, aku dan kamu tahu bagaimana mempertahankan
apa yang harus kita pertahankan dan apa yang harus kita lepas



Bandung, 4 September 2011 | 16.12
A.A. - dalam sebuah inisial