Minggu, 31 Juli 2011

Ada Satu Kisah di Kota Itu

pulang, adalah esensi yang mengagumkan
tak peduli dengan baju baru atau uang yang melimpah
tak peduli dengan makan dan minum yang sangat lezat
tapi berbuka bersama adalah hal yang dinanti

pulang, adalah rindu yang terpecah
tak peduli seberapa maaf yang diberikan
tak peduli seberapa doa yang dihanturkan
tapi maaf dan doa menjadi ibadah yang hakiki

pulang, adalah cerita yang ditunggu
tak peduli berapa lama engkau pergi
tak peduli berapa banyak yang kau raih di kota lain
tapi kebersamaan selalu menjadi hal yang begitu indah





Jakarta, 31 Juli 2011 | 18.18
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 29 Juli 2011

Perihal: Pamit

: Berlianevie Harjan


Ini sudah kuinsafi sejak lama bahwa suatu hari nanti kita memang akan memilih, menempuh, dan menikmati jalan kita sendiri-sendiri. Bahwa yang hanya bisa kita kenang adalah kenangan yang masih tersimpan rapi di dalam mozaik pikiran kita. Ada jalan di mana kita harus berpisah untuk bertemu lagi di suatu ketika. Mungkin di Puncak Everest, di Pegunungan Alpen, di Samudra Atlantik, di Laut Baltik, atau di jalur Gaza. Mungkin. Atau kemungkinan yang bisa terjadi adalah kita tidak pernah bertemu lagi.


Aku tahu, ini adalah soal melepas yang memang harus dilepas. Kehilangan memang sudah tidak bisa dipungkiri dan tak seorang pun mampu untuk menolaknya. Sejak kecil, kita sudah dididik untuk menerima kehilangan itu menjadi suatu hal yang lumrah, tetapi semakin bertumbuh dewasa, kita semakin mengerti bahwa kehilangan adalah hal yang begitu menyakitkan. Kita tidak bisa menerima lagi kehilangan itu sebagai hal yang biasa, tetapi juga bukan hal yang spesial. Justru itu, kita lebih memilih membenci apa yang dinamakan dengan kehilangan.


Waktu pun tidak memiliki hak apa pun untuk mengubah yang telah ada. Kehilangan adalah kehilangan, apa pun namanya, bagaimana bentuknya, seperti apa caranya, di mana, kapan, atau mengapa harus ada, ia akan tetap berwujud kehilangan. Itulah yang pernah dan akan kita rasakan: kesepian dan saling rindu di dunia yang beribu-ribu jarak yang memisahkan.


Di musim panas dan hujan, aku pun tahu, kita pernah mencipta kenangan dan bahagia pernah teranyam di setiap segmennya. Untuk itu, kenangan selalu berwujud meski tak sanggup kita sentuh. Dengan cara itu, di masa depan, kita bisa kembali ke hari-hari kemarin meski tak akan lagi sama.


Terima kasih sudah menjadi pendengar yang baik, sahabat dalam suka dan duka, dan penasihat yang ulung. Terima kasih sudah pernah mengisi waktu dengan bahagia dan air mata. Terima kasih sudah menjadi bahagiaku dan sedihku karena tiada itu semua betapa tawarnya hidup ini.


Aku selalu membenci sebuah pertemuan, karena kuyakin akhirnya adalah sebuah perpisahan.




Jakarta, 29 Juli 2011 | 23.09
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 28 Juli 2011

Suatu Cerita Tentang Masa



:G

Aku telah bercerita banyak tentang kamu
meski kita tidak bisa kembali seperti kemarin
tetapi datang ke rumahmu, berdiam di dalamnya
berbincang dengan banyak kawan, hilir mudik
itu telah membuatku kembali pulang
kepada kenang yang ternyata tidak hilang

Tahukah mau aku berbicara tentang bintang
terkadang menjadi sendiri menjadi lebih nikmat
seperti bintang yang di angkasa
bintang yang sendiri lebih terlihat
daripada bintang yang bertebar di gelap langit
mereka tertawa, aku tak pernah bersikap untuk menghibur

Aku merasa kembali pulang kemarin
kedatanganku yang seperti pencuri membuatmu bahagia
ternyata setelah kehilangan, datang kembali memang dikatakan pulang
aku suka dengan tubuhmu yang bersemayam dengan kata-kata
meski kini kita tidak lagi bisa merengkuh dan mereguk
kita pun berbagi banyak perjalanan sepanjang kita pergi sendiri

G, ternyata banyak yang berubah setelah lama kutak sambangi kau
jalan-jalan menuju rumahmu kini sudah bertumbuh dengan ruko-ruko
semakin banyak kemacetan yang kulihat karena truk yang hilir mudik
bunga di taman itu sudah semakin banyak dan semakin bermekar
kata ibumu, bunga itu sempat layu karena aku tak lagi kemari
dia pun merasa kehilangan, seperti aku yang kehilangan kamu

G, ketika kita tak mampu kembali ke masa kemarin dan tidak lagi bisa menjadi kemarin, ada yang membuat kita kerasan dan tetap betah dalam mengingat masa kemarin yang begitu manis dan terlalu sayang untuk dilupakan, ada cerita yang harus terus terawi dengan bahagia dan membuat kita semakin cinta untuk pulang, yakni kenangan.




Jakarta, 28 Juli 2011 | 17.05
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 21 Juli 2011

Tentang Rumah Penuh Kenangan

Rumah adalah tempatmu untuk kembali pulang setelah ribuan mil kau lintasi dunia ini dengan ribuan pengalaman yang harus kau simpan.
Rumah adalah kotak pandora yang tak bisa berdebu, selalu mengingat tentang kelahiranmu sampai saat kau harus dilepas orang tuamu.
Rumah adalah harapan di masa mendatang yang selalu rajin dipupuk agar bertumbuh subur.
Rumah adalah pabrik yang memproduksi kehangatan tiada henti dan tak pernah mengenal berhenti produksi.
Rumah adalah tempat untuk belajar terbang hingga pada waktunya kita pun akan meninggalkannya untuk mengangkasa.
Rumah adalah rumah dengan definisi yang tak bisa dijangkau oleh aksara.

Akupun akan rindu pulang, suatu hari nanti.



Jakarta, 21 Juli 2011 | 22.52
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 16 Juli 2011

121 Hari yang Lalu

Sudah 121 hari...

Masih adakah harap tentang di masa-masa lalu
kita sudah memutuskan untuk memilih jalan sendiri
berpisah di persimpangan dan saling melambai
kita sudah menemukan untuk mencari masa depan
saling berpunggung dengan godam di dada yang menggebu

Bukanlah hal yang mudah untuk mencatat semua cerita manis
butuh banyak waktu agar lebih mengerti tentang semua kenangan
perlu lebih banyak energi yang tercurah untuk mencapai langit tujuan
meski perjalanan seperti waktu: tak akan pernah berhenti
setidaknya jeda kekosongan membuat kita semakin mengerti
apa tujuan dan maksud dari segala pertanda tentang perpisahan

Dulu kita pernah ada di sebuah tempat untuk pertemuan
tapi semua orang tidak dapat menafikan untuk hal yang diberi nama perpisahan
lewat cara itu kita menghargai apa arti kebersamaan
kita menghargai betapa manisnya itu semua




Jakarta, 16 Juli 2011 | 11.26
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 13 Juli 2011

Sebuah Catatan

Di mana letak hati berada ketika ia tak dapat menemukan jalan pulang?

Sementara kita harus tetap belajar untuk memahami hidup agar lebih berarti

Di lapisan cerita indah, kadang membuat kita tersenyum

Meski kita sudah tak tahu tersesat sampai sejauh mana kini

Lalu, ke mana hati harus melangkah? Tanyaku.

Selasa, 12 Juli 2011

Orkes Pagi

Di belantara pagi yang sunyi, ada sebuah dendang suara
ditangkap oleh pasangan daun telinga yang setia
biar terbangun dari hal-hal yang sekadar mimpi belaka
bergegas untuk menyambut kembali cakrawala
meski tidur belumlah cukup menghapus lelah

Ada nyanyian pagi yang membawa ke peraduan
yang membuatkan secangkir senyum
yang membentuk seulas kopi yang tiada pahit
ada anak-anak sekolah berlari mengejar bis kota
ada mulut orang yang sudah sibuk seperti kereta api
ada lagi orang-orang yang mengumpat karena macet

Ih, pagi membuat kita lebih brutal di mana pun adanya kita
tapi percuma saja bila hidup hanya dilalui dengan mengaduh
yang mengubah pagi adalah kita karena pagi selalu sama
pagi datang tepat waktu, membangunkan kamu dan saya
biar tak menjadi makhluk Tuhan paling malas



Jakarta, 12 Juli 2011 | 08.20
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 11 Juli 2011

Sebuah Entri

ada yang hilang,
tapi kau tahu apa itu?



sementara matahari telah menunaikan tugas
kita masih sibuk dengan yang hilang
tapi kau tahu apa itu?




Jakarta, 11 Juli 2011 | 09.37
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 08 Juli 2011

Inilah yang Dinamakan Pulang





Dan inilah yang dinamakan pulang
ketika rindu meletup perlahan
menunggu menjadi saat bahagia
bertemu menjadi obat menutup pilu
dan menguap kala memeluk kekasih-kekasih


Bandung, 8 Juli 2011 | 12.33
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 01 Juli 2011

Vale!



kita, di antara cangkir yang hangat dan gelas yang berkeringat
seperti uap yang menguap dari mulut cangkir
seperti embun yang membasahi tubuh gelas
kupikir kau dan aku seperti uap dan embun: pergi dan kembali
tapi, kapan?


hujan pun menyaksikan pembicaraan intim kita
bukan aku tak suka, tapi aku lebih semakin merasa terperih
kadang kita bisa mencintai hujan
tapi bisa membencinya seperti hari ini, hari ini aku membencinya

ia tak bersalah apapun kepadaku, tapi dengan datangnya
ada seribu kenangan yang mengalir dalam langkah kita
ia mengingatkanku tentang caranya menangis
meski aku selalu bingung bagaimana caranya mengeluarkan air mata

gulana datang ketika gundah pun tiba
kita sanggup melewati waktu, tapi tak sanggup menghentikannya
dan saat itulah,puncak segala puncak aku harus siap
dan kaupun juga, seharusnya siap

pada akhirnya akan ada punggung yang saling berbalik
ada mereka yang berangkat ke negeri timur
ada yang hanya diam di kotanya saja, menunggu pulang
dan ada juga yang hanya mampu menatap cakrawala

ketika kita tahu soal ini, mungkin kita tak akan memilih
biar saja angin membawanya berlari ke mana pun inginnya
dan agar ada waktu yang berjumpa di hari depan
akupun kelu melepas, tapi aku bahagia demi hari depan




Serpong, 1 Juli 2011 | 20.00
A.A. - dalam sebuah inisial