Jumat, 29 Januari 2010

Antiklimaks

Sebelum membaca postingan ini, adalah hal yang bijak demi kebajikan membaca postingan sebelum ini.

Aku selalu percaya dengan hal-hal yang Paulo Coelho katakan di dalam bukunya The Alchemist: "Saat kamu menginginkan sesuatu, alam semesta bersatu membantumu untuk meraihnya." Ya, beberapa waktu aku ragu kepada diriku apakah target jangka dekat yang sudah kurencanakan matang-matang dan jauh hari akan selesai pada waktunya. Aku sudah memberikan tenggat waktu kepada diriku: tugas itu haruslah selesai pada waktunya. Yap, harga mati!

Namun seiring berjalannya waktu, tantangan itu semakin membuatku menggebu-gebu untuk mengejar targetnya. Seperti supir Metro Mini yang terobos sana sini untuk mengejar setoran pada hari itu. Aku sudah memberikan jeda kepada diriku sampai mana aku harus menyelesaikannya dan sampai mana pula aku harus melakukan eksekusi pada akhirnya. Semua ada polanya dan aku harus bersandar di balik pola tersebut.

Kadang aku sebagai tuan atas diriku sendiri harus bertanggungjawab pula kepada apa yang kuperbuat terhadap budakku tersebut. Sepanjang akhir tahun 2009, tiada henti aku mengejar semua itu. Siangku kuhabiskan di depan layar komputer. Malamku kuhabiskan mencari referensi dan lagi-lagi di depan komputer sampai nyaris pagi ke pagi. Desemberku adalah titik darah penghabisanku untuk mengejar semua yang harus kulakukan.

Ternyata tubuh ini menuntut untuk istirahat, sejenak saja. Tapi kuabaikan. Kugubris semua itu dan kukatakan pada diriku agar jangan lengah dan jangan bermalas-malasan. 2010 sudah hampir datang dan sampai di detik akhir 2009, aku masih mengerjakannya walau target akhirnya sudah tercapai sebelum pada waktunya. Agak sedikit lega namun aku masih belum puas dengan hasil itu. Alhasil, akupun ambruk.

Itu adalah puncaknya. Aku tidak lagi duduk di depan layar komputer. Jemari tidak lagi mengetik. Mata hanya kuat untuk menutup dan tubuh tak lagi kuat untuk melakukan aktivitasnya. Semuanya seperti terasa hampa. Akupun seperti tak punya makna. Aku benar-benar jengah pada diri sendiri. Hal-hal kecil macam itu akhirnya berdampak begitu kacau untukku.

Kuinsafi pada akhirnya aku hanya seorang manusia biasa. Aku bisa sakit hati, aku bisa marah, tertawa, menangis, tersenyum, atau tersipu malu. Manusia harus bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Lingkungan hanyalah wahana untuk sebuah permainan yang menghibur kita untuk mewarnai kanvas kehidupan. Hanya itu saja? Tidak!

Selama pendiaman itu, aku berdialog dengan diriku sendiri. Hendak apa aku? Akhirnya kurencanakan ulang semua itu. Kususun semuanya serapi mungkin dan konflik dengan diriku sendiri mulai menurun kepada babak-babak akhir. Aku mulai mengenal siapa aku dan bagaimana harusnya aku berproses untuk mencapaikan sebuah prestasi yang hendak kugapai. Aku berdialog dengan diriku sendiri seperti seorang kawan yang berdiskusi dengan sahabat-sahabatnya.

Nah, sobat, akupun kembali seperti janjiku. Ini sudah menurun kepada antiklimaks. Titik di mana konflik mulai mengerucut pada babak akhir. Aku berdamai dengan diriku sendiri dan berjanji semua akan berjalan baik dengan tanpa paksaan. Hidup ini begitu singkat, kuaminkan dan tak dapat kunafikan begitu saja. Tak bisa kulintasi hidup tanpa sesuatu yang tersirat.


Jakarta, 29 Januari 2010 | 20.29
AA - Penemu Antiklimaks Pribadinya

Sabtu, 23 Januari 2010

Klimaks

Ada beberapa hal yang memutuskanku untuk menekan tombol pause, menjauh sejenak dari dunia maya. Aku sendiri kalut kalau sampai-sampai kupaksakan lagi, aku lagi-lagi akan terjatuh seperti pada insiden-insiden sebelumnya. Di dalam taraf hidup manusia, aku menemukan banyak pola tingkah dan sikap dari terjemahan karakter-karakter manusia yang begitu kuat. Aku juga memiliki salah satunya. Salah satu dari semua yang ada di dalam dunia ini walau kuaminkan saja aku tidak dapat memiliki semua karakter yang baik dan jahat dari keseluruhkannya.

Kusadari juga pada akhirnya manusia punya batas. Begitu juga denganku. Di awal tahun 2010 ini, aku sungguh terlena dengan kenyataan yang begitu memahitkan hidupku sendiri. Kadang aku begitu egois terhadap diriku sendiri, aku hanya ingin bercerita kepada diriku sendiri. Aku mencurahkan semua ceritaku kepada nuraniku dan tidaklah berbagi solusi kepada realitas yang sudah menjadi bayang-bayang hitam di belakang punggungku sendiri.

Pada kenyataannya juga, aku begitu rapuh kepada diriku sendiri. Aku bersandar di tembok yang berlumut yang telah rayap kenyang memakannya. Di awal ini juga aku harus tergeletak nyaris dua minggu dengan hasil: nihil. Aku tidak melakukan banyak hal. Menulispun tidak. Aku begitu marah kepada diriku sendiri. Aku dendam kepada diriku sendiri. Ini adalah puncakku untuk melampiaskan amarah yang begitu membuncah.

Tubuh ini protes kepada tuannya. Tuannya yang sangat kurang ajar. Tidak tahu diri. Dibayar tidak sesuai dengan upah yang seharusnya. Mulailah aku berpikir harusnya kuinsafi aku hanyalah semata manusia.

Terima kasih kepada seluruh kawan-kawan yang begitu perduli kepadaku. Beberapa SMS, telepon, dan e-mail yang masuk ke dalam inbox-ku begitu banyak. Aku semakin sadar masih banyak yang peduli kepadaku di dalam kesendirianku. Aku sendiri tak tahu apa yang aku cari di dunia ini, apa yang hendak kutetaskan pada tanah yang kuinjak ini.

Memasuki tahunnya yang ketiga untuk blog ini, entah berapa banyak kulahirkan karakter-karakter yang jenaka, yang lucu, yang menggemaskan, yang menyebalkan, yang menakutkan, yang menggelikan, atau yang sama sekali tak tersadari olehku sendiri. Bisa jadi itu jelmaan dari diriku semata atau jelmaan imajinasiku semata. Atau pula itu dari konsep-konsep kawanku dan akulah eksekutornya.

Ini bukanlah blogku yang pertama. Aku punya kavling-kavling lain di dunia maya ini. Aku sering hilir mudik ke mana saja. Aku sering berkelana dan bertemu dengan banyak orang di sana. Namun, ketika aku berlari ke sana, aku merasa di sinilah aku berada. Aku layaknya memang di sini.

Aku tak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku saat ini. Yang jelas, semata aku sedang berada di puncaknya. Di titik paling tinggi dari sebuah konflik.

Siapa nyana, ketika kuungkapkan kata itu, aku sendiri benar-benar terkoyak. Puluhan pesan offline di YM, komentar-komentar di blog, lima e-mail, beberapa SMS dan telepon masuk ke dalam telepon genggamku semata menanyakan keberadaanku. Aku sendiri? Entahlah!

Untuk itu pula, kuucapkan ratusan, ribuan, jutaan, atau tak lagi terhingga terima kasih kepada kalian semua yang datang, membaca, berkomentar, "numpang ngobrol", sampai menjadi ruang temu kangen di kediamanku ini. Kuhargai tak ternilai semua itu, kuhormati sebagai tanda syukur dan terima kasih. Puji dan puja kupersembahkan kepada kalian semua. Itu adalah awal dan permulaan dari sebuah kehangatan.

Kini, kumohon persilahkanlah aku untuk beristirah sejenak. Aku akan kembali. beberapa hari mendatang. Jaga kesehatan selalu, salam untuk keluarga di rumah.


Jabat erat selalu,


Jakarta, 23 Januari 2010 | 12.06
Aveline Agrippina - Pencari Antiklimaks

Minggu, 17 Januari 2010

Kasih Tak Sampai

meregut pedih koyakan jiwa menikam
aku termanggu sendiri di depan cermin
hendaknya kupecahkan saja di muka jiwaku
biar jemariku terluka ketika kuketik setiap bait
semua tak lagi sama, semua amatlah berbeda
kecuali di dalam satu hal: yaitu cinta

cumbui saja rasa bencimu kalau itu pantas
begitu lamban waktu melangkahi detiknya
aku begitu benci dalam hening tak pasti
tetapi aku tetap akan teguh di dalam hatimu
tertusuk ribuan jarum air mata, aku kalut
aku kalut di dalam pelukanmu
di dalam sebuah kasih

------------ dan itu, tak akan pernah kudapatkan lagi------------


Kalau kau baca sajak ini, janganlah kau putarkan lagu Kasih Tak Sampai - Padi