Kamis, 30 April 2009

Hitam, Putih, Abu-abu

Hitam
Kelam
Pada masa
yang lalu berjalan

Putih
Derang
Pada masa
yang kini berjalan

Hitam
Kelam
Pada hari
yang tak pasti

Putih
Derang
Pada hari
yang selalu pasti

Abu-abu?

Jakarta, 30 April 2009 | 19.41

Jumat, 24 April 2009

Kepada Fajar

Terpaksa kutulis untukmu, fajar
sebelum kau datang mengusir pergi
pada malam yang tak pernah salah untuk datang
untuk membuatku dan dia tertidur lelap

Aku amat membencimu, sangat membenci
aku membenci matahari yang memanaskan bumi
karena itulah aku harus menguras semua tenagaku
sampai aku harus memutar otakku nyaris gila

Kepada fajar, aku tulis ini untukmu
janganlah lekas datang hari ini
aku ingin lelap pada waktu seperti ini
jangan usir malam yang tak pernah salah

Kalau memang harusnya kau datang
nantilah kapan aku ingin bangun
atau menjadi jenuh dengan malam:

dan rasanya aku tak pernah bosan


Kepada fajar, aku tulis ini untukmu
jangan datang mengusir malam: dia tak salah padamu

A.A. - dalam sebuah inisial
Jakarta hening, 24 April 2009 | 22.45

Kamis, 23 April 2009

We Need More

We Need More

Yang Datang Tanpa Rasa Sayang - Episode 3
Ada Hal yang Harus Dipahami - Episode 2


Terkadang semua hal harus menggunakan logika yang lebih. Termasuk dalam hal mencintai. Walau perasaan lebih mendominasi keadaan, pastilah logika juga yang harus ikut ambil bagian.

Kita butuh waktu yang lebih untuk bermeditasi. Menjelajahi alam luar dari keegoisan kita. Mencari kesungguhan apa yang harusnya kita miliki sebelum menyatukan diri dan mencoba mengulangi sesuatu mulai dari garis awal. Kadang lelah, tetapi harus dijalani dan menjadi lakon - lakon lain.

"Butuh waktu..."

"Pasti. Aku yakin kamu bisa."

"Tapi..."

"Ah, sudahlah... Kan kamu sudah memutuskan bahwa ini yang seharusnya. Hari ini akan menjadi masa lalu dan aku, aku tak akan mengusik masa lalumu itu. Biarlah dia mengiris hatimu namun kamu akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada yang bisa kudapatkan."

"Aku ingin bertemu. Sekali saja dan terakhir kali."

Aku bertemu dengannya di sebuah bar di tengah kota. Bar ini juga yang mempertemukan kita pertama kali. Dan kita bertemu untuk terakhir kalinya.

"You need more than me." *

"But, you..." **

"Please, forgive me! I made one mistake with you. I came to you and made you sad. It's a trouble of me." ***

Kenapa lagi dan lagi kau usik masa-masa itu? Bukankah kau sudah berjanji?

"Kita tuntaskan masalah ini sekarang."

"Ya, setelah itu aku akan pergi. Dan kamu tak akan pernah mendapati aku lagi."

"Sebenarnya, aku ingin bertemu denganmu kali ini untuk yang terakhir. Tolong, peluk aku sekali saja. Itu akan mengobati rasa yang lebih sakit daripada kamu membuatku seperti ini."

"Aku benar-benar bersalah. Aku lancang masuk ke dalam sisi hidupmu dan merusak kebahagiaanmu bertahun-tahun."

"Itu bukan kesalahan."

"Jadi?"

"Memang harus demikian terjadi. Kamu tak perlu minta maaf. Seharusnya aku yang meminta maaf, kalau perlu sampai harus mati demimu aku rela."

Aku sudah bersandar dalam dadanya. Harum tubuhnya tetap sama. Dia tetap memberikan rasa hangat yang tidak dikurangi sedikitpun walau aku melukainya. Aku semakin merasa bersalah. Penebusan yang layak adalah aku rela mati demi kamu. Begitu banyak rasa, aku memilihkanmu rasa duka dan benci.

Lantas, dengan rasa benci itu, semua selesai? Tidak.

Kita bermain dalam babak yang tanpa kita sadari adalah jurang yang akan membunuh kita sendiri. Kita salah dalam menentukan arah hingga tersesat sampai terlalu jauh. Kita tidak melihat terang walau matahari memberikan sinar berkali-kali tanpa henti pada siang. Kita terlalu angkuh bahwa semua dapat selesai dengan sendirinya.

"Jangan lepaskan aku..."

Aku menangis di dalam peluknya. Dia semakin merapatkan pelukan itu. Matanya terpejam dan enggan menatapku sedikitpun. Di ujung matanya, bulir air mulai mengalir. Aku semakin tak kuasa menahan semua emosi yang kupendam begitu lamanya. Ingin kubunuh cinta ini. Palsu! Aku memberikan sesuatu yang palsu padamu.

Tangannya perlahan merenggang. Jatuh ke atas kedua pahanya. Kepalanya tertunduk. Air mata tak lagi kulihat dari ujung matanya.

"Mas..."

Dia tak lagi bergerak dan membuka matanya.

"Mas..."

Aku memanggilnya lebih kencang. Suaraku mengundang perhatian orang banyak. Mereka berkerumun di depan mejaku. Aku masih menepuk pipinya dan berusaha membangunkannya.

"Mbak, dia sudah..."

***

Aku masih ada di hadapannya. Dia benar, setelah pertemuan itu, aku tak dapat melihatnya lagi. Sekalipun dia pulang ke rumah. Dia tak akan pernah pulang lagi. Aku tak tahu dengan semua yang dia sembunyikan dariku. Semua yang aku enggankan dariku sudah kutumpahkan kepadanya.

Dia sudah tak lagi menjadi nyata.

Dan dia bukanlah abadi, melainkan fana.

"We need more. More love, more patient, and more immolation." ****

Kata itu masih kusimpan dalam memoriku. Dan kata itu pula yang akan memberikan padaku pengajaran yang lebih daripada sesuatu di dunia ini.



A.A. - dalam sebuah inisial
23 April 2009 | 10.35



*) Kamu butuh sesuatu yang lebih daripada saya.
**) Tetapi, kamu...
***) Tolong, maafkan saya! Saya membuat kesalahan padamu. Saya masuk dan membuatmu sedih. Itu adalah menjadi kesulitan untuk saya."
****) Kita butuh sesuatu yang lebih. Cinta yang lebih, kesabaran yang lebih, dan pengorbanan yang lebih."

Senin, 20 April 2009

30 April untuk Pramoedya Ananta Toer

30 April untuk Pramoedya Ananta Toer
-Serpihan dari catatan untuk Pramoedya Ananta Toer-


Prolog

Kalau saja lelaki tua yang tak pernah menganggap dirinya adalah tua itu masih hidup, mungkin dia sedang menyulutkan rokok pada mulutnya. Atau jika dia tidak memilih mengakhiri hidupnya pada 3 tahun yang lalu, saat ini dia masih akan membakar sampah di depan rumah yang berdiri enam lantai tersebut.

Ya, dialah lelaki yang tak pernah ingin disebut tua walau waktu telah menganyam sisa hidupnya, Pramoedya Ananta Toer.


Sastra Indonesia dan Pram

Mungkin semua pecinta sasta Indonesia sangatlah mengenal Pram, jadi tak perlu lagi ada penjelasan siapa Pram dan seperti apakah Pram itu. Bahkan ada yang mengenal sosok Pram baik dari luar maupun dari dalam.

Pram tak akan pernah lepas dari sastra Indonesia. Mungkin dia jugalah yang menjadi juru kunci dengan sastra sejarah Indonesia. Bagaimana dia bisa menikahi antara sastra dan sejarah yang biasanya identik dengan kata "menjemukan". Sudah sastra, sejarah pula. Dialah yang berhasil meramukan sastra dan sejarah tanpa menaburkan bumbu kejemuan tersebut.

Yang mengherankan adalah bagaimana bisa dia mengaduk sastra dan sejarah tanpa menaburkan bumbu jemu.

Rasanya, dia patut berterima kasih pada zaman komunisme Indonesia karena tanpa hal itu, mungkinkah lahir buku-buku Pram yang berbau dengan sejarah dan masa-masa yang mempenatkan di Buru. Ataukah mungkin dia bisa menciptakan seorang perempuan feminisme, Minke yang berani memberontak? Saya pikir tidak pernah. Andai saja Pulau Buru tak pernah dia kediamkan, bisakah Bumi Manusia lahir?

Sayangnya, tulisannya tak pernah berhasil dibaca oleh Indonesia pada zamannya. Jilid-jilid bukunya hanya menjadi abu. Malah, tulisannya berhasil keluar dari Indonesia dan diterbitkan dalam berbagai bahasa.

Bumi Manusia dan Tetralogi Buru

33 bahasa. Ya, 33 bahasa yang berhasil menerjemahkan Bumi Manusia. Siapakah yang dapat menyaingi Bumi Manusia yang benar-benar menceritakan sendiri apa yang tak terlintas oleh sejarah Indonesia? Rasanya tak akan ada. Seperti kata Pram sendiri,"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Ya, lahirnya Bumi Manusia jugalah yang membuat Pram tak pernah terbelah oleh waktu. Pram tak akan pernah hilang dalam sejarah karena dia sendirilah yang mengatakan dan menuliskan bahwa menulis adalah pekerjaan untuk keabadian dirinya.

Bumi Manusia pernah dicanangkan akan dibuat menjadi film, namun sampai sekarang tetaplah dia akan dikenang sebagai novel. Rencana itu mungkin masih akan lama. Tetapi pementasan Nyai Ontosoroh sudah dilakukan di dua belas kota di Indonesia. Ini menjadi bukti besar bahwa Bumi Manusia tetaplah lahir sebagaimana mestinya.

Kegilaan seorang Pramoedya Ananta Toer menulis adalah pembuktian bahwa dia memang tak ingin hilang oleh peradaban masyarakat. Saking menjadikan menulis adalah bagian hidupnya, dia berhasil menceritakan Minke sampai empat babak sekaligus. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca menjadi bukti autentik atas Pram yang pernah berdiam di Buru dan memfilmkannya dalam kata-kata.

Cinta Pram dan Minke

Kata yang paling mengena dalam Bumi Manusia adalah ketika Jean Marais mengatakan kepada Minke bahwa "Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini."

Dia menulis dengan cinta, dan karena cinta itulah Minke lahir. Cinta yang menghadirkan Pram menjadi seorang yang tegar untuk ditahan dan dicap sebagai seorang PKI. Bahkan di tengah kepenatannya di Buru, dia dipaksa menulis kepada sang ditkakor dengan kata-kata manis. Dia menangis ketika menuliskan surat balasan untuk sang diktator.

Cinta kepada wanitapun dibuktikan dengan kata-kata pada Jejak Langkah yang diucapkan oleh Minke,"Tanpa wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia takkan ada yang memuji kebesaranMu. Semua puji-pujian untukMu dimungkinkan hanya oleh titik darah, keringat dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena melahirkan kehidupan."

Karet Bivak, Pada Akhirnya

Entah dari berapa banyak pemakaman yang ada di muka bumi ini, dia memilih Karet Bivak. Karet Bivak menjadi keabadiannya. Dan dia berangkat ke Karet Bivak dalam sunyinya sendiri, persis seperti apa yang diceritakan dalam Bukan Pasarmalam. "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang seperti dunia dalam pasarmalam."

Setelah kabar kematian sang Bumi Manusia beredar luas, makamnya seperti tempat pariwisata sendiri. Banyak sekali yang berduyun-duyun datang ke sana, sekedar untuk melihat nisan Pram. Dan di sanalah pasarmalam (Pram menuliskan "pasarmalam" bukan "pasar malam") dibentuk secara tidak sengaja oleh Pram.

Pram untuk Saya

Saya terbelenggu dalam romantika sastra Pram setelah saya yang menjadi seorang petualang di toko buku tanpa sengaja menemukan "Bukan Pasarmalam". Terlintas di pikiran saya ketika membaca tulisan di belakang buku tersebut adalah hubungan seorang ayah dan anak. Lalu apa hubungannya dengan pasarmalam?

Ketika usai membaca Bukan Pasarmalam dalam waktu satu jam, saya langsung berujar, "orang seperti apakah Pram itu?" Gila. Satu jam yang amat menggilakan untuk saya pada saat itu. (Andaikan waktu dapat mendur sehari saja, akan saya catat kapan saya menghabiskan waktu satu jam dengan Bukan Pasarmalam.)

Sejak itulah, saya mengejar dan terus mengejar Pram dalam kata-katanya. Saya menjadi pemburu buku-buku Pram. Dia masuk begitu saja ke dalam hidup baca saya tanpa permisi dan membuatnya jatuh cinta pada setiap kata-katanya.

Untuk saya, Pram adalah guru secara tidak langsung. Dia kaya akan bahasa dan cara menerjemahkan isi pikirannya dengan sejuta estetika. Dia mengajari saya membentuk pola kata di tengah kesulitan dan keterbatasan. Adalah kehadiran Pram di dalam koleksi buku saya menjadi sebuah penghargaan besar untuk saya.

Jutaan terima kasih tetaplah tidak pernah cukup atas ilmu yang disetrumkan kepada saya melalui kata-kata Pram. Mungkin pembaca Pram juga akan mengatakan demikian. Dia bagai setan yang merasuki saya agar tetap membacanya dan terus membacanya. Dia mendongengi tanpa membuat orang tidur, malah membuat orang mati penasaran dengan ceritanya.

Epilog

Mengapa hari ini ada tulisan ini? Ya, genap sudah tiga tahun Pram berpulang. Dan tulisan ini hadir agar mengingatkan saya bahwa saya pernah belajar untuk mencintai sastra Indonesia dan Pram telah berhasil menghiptonis saya dengan kata-kata yang dia rajutkan pada cara yang tak pernah saya ketahui.

Tulisan sederhana ini juga saya persembahkan secara khusus untuk Pram dan untuk siapa saja yang sungguh terjebak dalam keindahan di tengah kesederhanaan kata-kata Pram dan menjadi bukti bahwa masih ada anak muda yang mencintai kata-kata Pram.


A. A. - dalam sebuah inisial
Korban Hipnotis Pram

Sabtu, 18 April 2009

Kesendirian Itu...

Kamu tahu aku takut:

akan kesunyian
akan kegelapan
akan hening

Namun kamu tak tahu
ada yang lebih menakutkan: kesendirian

Kadang aku merasa risih
gelisah dan resah
dikejar oleh sendiri

"Ini hanya negeri dongeng?" tanyaku
lalu kamu berlari

banyak hal yang membuatku
tegar
jatuh
terinjak
menangis
tertawa
gelisah

namun ada hal yang membuatku mati:
kesendirian

kesendirian yang abadi



I was born to walk alone...



A.A. - dalam sebuah inisial
Jakarta, 18 April 2009 | 11.43

Selasa, 14 April 2009

Ada Hal yang Harus Dipahami

Ada Hal yang Harus Dipahami

Yang Datang Tanpa Rasa Sayang - Episode 2



Pada akhirnya, setelah surat itu berstatus draft dalam surat elektronikku, kuputuskan surat itu memang harus tiba padanya sebelum semua berlanjut tanpa hal yang pasti seperti demikian ini. Kalau memang harus kita akhiri semua ceritera kita, mengapa kamu masih harus canggung terhadap semua ini? Itu pasti juga akan menyiksa dirimu dan perasaanmu sendiri.

Kadang dengan hal yang kuperbuat padamu itu sungguh kubuat dari ketulusan hati? Tidak! Aku bukanlah seperti itu. Jika kamu menilaiku aku pantas menjadi istrimu demi masa depanmu, itu adalah benar semata di matamu. Belum tentu di mataku.

Seperti yang kau katakan sendiri kepadaku bahwa merelakan harus menjadi sebuah jalan ketika tidak ada lagi pintas yang dapat kita lalui. Selalu kucamkan katamu itu, dan katamu itu benar padaku. Rupanya itu hanya katamu untukku, tidak untukmu secara pribadi. Itu hanya seperti kata penghiburan untuk jiwamu yang seharusnya bisa merelakanku.

Ketika dengan terpaksa kutekan "send" untuk mengirimkan rangkaian kataku padamu, aku mulai sesunggukkan. Aku tak tahu pastinya bagaimana perasaanmu ketika kau membacanya. Kalau sampai kau memang harus merelakan semua ceritera ini berakhir demikian, aku sudah siap. Karena memang itulah yang telah kurencanakan sejak awal pergulatan hati bermain dalam relung ini.

Butuh waktu untuk takut kesendirian. Sungguh! Demi Tuhan, aku takut dengan kesendirian yang akan mengecamku ketika kau benar- benar memisahkan diri dariku. Namun, itu adalah sebuah jalan yang telah kita tempuh setapak demi setapak. Entah bagaimana caranya atau waktunya, kita pasti berpisah. Aku tahu hal itu dan kata - katamu mungkin memang menjadi tolak ukur kepedulianku padamu.

"Karena aku sayang padamu bukan atas nama cinta, melainkan karena kasihan."

"Karena itu kamu ingin kita berpisah?"

"Ada alasan lain selain daripada itu. Bukannya kamu sudah tahu?"

"Ya, aku tahu. Aku memang harus sadar diri tentang hal itu."

Aku mulai sesunggukkan. Bibir ini perlahan bergetar. Sungguh aku takut, takut akan kesendirian dan takut kehilangan dirimu. Aku selalu mencemaskanmu dan mengkhawatirkan keadaanmu di manapun beradanya dirimu. Aku selalu mencarimu bahkan aku terpaksa sekalipun bereinkarnasi menjadi seekor semut untuk masuk ke celah yang paling kecil. Semua itu karena perelaan yang besar yang memang harus aku berikan kepadamu.

Karena kasihan itu alasan pertama yang tak benar untuk dijadikan alasan.

Hal - hal yang telah kau sadari seharusnya menjadi pengetahuanmu dan bekalmu bahwa aku memang tidak bisa untuk diperkenankan lagi bersama. Adalah hal yang egois ketika kau tidak memperbolehkan aku memisahkan dirimu. Aku berani bersumpah, tidak ada laki-laki lain selama ini yang menyebabkan perpisahan yang kelak akan kita jalani.

Pesan singkatmu tak hadir lagi beberapa hari setelah kukirimkan surat itu padamu. Rentang jarak Jakarta dan Kulonprogo begitu jauh sehingga tanganpun tak mampu untuk menggapai satu sama lain. Sehingga jalan untuk berkomunikasi hanyalah telepon. Dan telepon itu juga aku berkesempatan untuk tidak memberikan harapan yang lebih daripada kecukupan untukmu semua ini.

"Kalau memang aku harus rela, baiklah... Aku tak akan menghancurkan masa depanmu."

"Terima kasih. Aku sungguh berterima kasih sekali."

Seperti pencuri, air mata jatuh setetes demi setetes. Menghujani semuanya ini.

"Aku ingin memelukmu dan anak-anak kita."

"Aku ingin mengelus perutmu yang akan mengandung anak kita."

"Aku ingin bersatu dalam keluarga yang bahagia denganmu."

Benar-benar, sungguh... Aku takut hal ini. Hal yang harus dapat kau pahami sebelum semua ini terlambat dan tidak ada jalan keluarnya. Apalagi mengingat kata-katamu yang sungguh membahagiakan hatiku dan menjadi pelipur ketika aku berlara.

Aku menjadi merasa berdosa terhadapmu.
Terhadap peristiwa munafik ini.


A.A. - dalam sebuah inisial
14 April 2009 | 14.52

Rabu, 08 April 2009

Yang Datang Tanpa Rasa Sayang - Episode 1

Kepadamu aku hadir
tanpa rasa sayang,


Hari ini aku hadir lagi melalui ungkapan dalam ketikan huruf keyboard. Sungguh menjadi alasanku mengapa aku tak ingin bertemu denganmu. Menjadikan aku merasa enggan dan seolah membuatmu menjadi salah paham dengan keberadaanku yang lebih nyaman ketika aku tidak mendekat padamu. Ada banyak alasan yang menjadikanku lebih memilih menjauh daripadamu dibandingkan seperti masa-masa dulu, dapat hadir tanpa beban.

Sungguh, aku terpaksa mengakuinya! Mendekat padamu adalah beban yang amatlah amat berat.

Pada awalnya, aku cinta dengan ungkapan-ungkapanmu melalui surat elektronik ataupun melalui pesan singkat di telepon genggamku. Aku merasa nyaman dengan setiap lekuk kata yang terbentuk dari pikiranmu. Aku merasa semua hal itu adalah hal yang hidup. Terlalu mustahil jika aku tidak bisa mengerti apa yang kau maksud. Kau rangkai semua keindahan aksara itu lewat apa yang kau kirimkan.

Lama-lama aku mengerti ada hal yang tak seharusnya kita lakoni. Dengan terpaksa, aku harus membenci semua yang kau kirimkan padaku. Surat elektronikmu terpaksa langsung kubuang tanpa kubaca. Pesan singkatmu yang senantiasa absen dalam layar telepon genggamku langsung kuhapus tanpa jejak sedikitpun. Perlahan aku menjadi merasa muak dengan ungkapan - ungkapan yang kau kirimkan setiap hari untuk memotivasiku. Rasa-rasanya aku tak perlu dimotivasi dengan kata - katamu.

Pada awalnya, aku nyaman ketika berada di dekatmu. Kau seperti penjaga yang selalu siap sedia untuk menjagaku. Tak perlu kurasakan khawatir ataupun gundah ketika kau menggandengku. Aku tahu itu adalah caramu untuk menyalurkan rasa sayangmu padaku. Dari banyak cara, kau memang telah memutuskan untuk demikian.

Lama-lama, aku mengerti aku tak perlu dijaga olehmu. Aku tak pernah merasa membutuhkanmu. Kutepis tanganmu ketika engkau ingin menggandengku. Aku tahu hatimu terluka dengan perbuatanku. Koyakan itu begitu dalam, namun tetap kuteruskan ketika tanganmu mulai mendekat untuk menggandengku. Aku menjadi enggan dengan caramu untuk menyalurkan rasa sayang.

Pada awalnya, aku sungguh gembira ketika bertemu denganmu. Perjumpaan denganmu selalu kunantikan sepanjang hari. Kadang, aku menjadi risih dan ingin tahu keberadaanmu ketika kau jauh daripadaku. Aku jadi merasa diguna-guna oleh air wajahmu yang selalu membuatku merindu. Aku menjadi seorang gila yang menanti aktor kesayangannya pentas di depannya dan membuatnya histeris. Itulah aku ketika kamu ada.

Lama-lama, aku mengerti memang seharusnya aku tak perlu sampai jauh ke sana untuk merindumu. Terlalu naif. Akupun jadi muak sendiri dengan pola tingkahku masa lalu di matamu. Aku menjadi merasa salah dengan hal itu aku bisa membuatmu terus berharap. Aku lebih memilih untuk hidup sendiri walau itu menyesakkan.

Pada awalnya, aku suka dengan setiap nasihatmu. Dari gayamu berbahasa, mudah kucerna dan mudah membuatku merasuk. Begitu kau berbicara, aku seperti mendengar pidato seorang yang besar. Kau seperti Tuhan atas diriku. Hanya kau dan kau sajalah yang berhak mengusik diriku seorang.

Lama-lama, aku mengerti tak boleh lagi kau berbuat demikian di hadapanku. Seharusnya kupatahkan semua nasihatmu. Semua nasihatmu menjadi api yang siap membakar hatiku. Tak lagi kucamkan dalam pikiranku bahwa kau adalah penasihat agung yang ulung. Malah sebaliknya, kau hanya mengguruiku saja.

Seandainya kau tahu, dengan apa yang kuperbuat sekarang benar-benar membuatku menjadi perih sendiri. Kadang aku ingin juga merasakan cabikan yang kubuat sendiri kepadamu. Namun, aku tak perlu merasakannya. Memang semua rasa itu kuperbuat untukmu. Penuh dedikasi kepadamu dengan rasa benci.

Mungkin dengan membuang setiap lekuk aksaramu. Mungkin dengan menolak pegangan tanganmu. Mungkin dengan menjauhkan diri darimu. Atau dengan membuatmu bosan untuk menasihatiku. Dengan cara itu kuharap kau dapat membenciku sehingga dengan mudah kamu dapat membenciku.

Tapi apa yang kuharapkan malah berbanding terbalik. Lekuk aksaramu selalu mengundangku untuk membacanya. Kata-katamu selalu membuatku mati dalam penasaran. Walau seharusnya tak perlu kubuka atau kubalas. Kadang rasa selalu mengalahkan apa yang diinginkan.

Atau dengan menjauhkan darimu adalah hal yang mudah bagiku? Ternyata tidak! Ketika bertemu denganmu, matamu selalu mengundangku untuk lekas bertemu. Walau dengan mudah aku berlari menjauhimu, ternyata tak pernah mudah. Setiap kali aku ingin tahu kegiatanmu, kesibukanmu, atau di mana kau saat ini.

Sialnya, nasihatmu terlalu begitu berharga. Semua itu memang pantas untuk kulakukan. Tak bisa kutolak. Nasihatmu semuanya benar. Dan kau mungkin telah tahu sendiri bahwa aku telah jenuh dengan nasihatmu yang sebenarnya tak pernah membuatku untuk penat. Aku ingin membuatmu berhenti dengan kata-katamu.

Dengan hal demikian yang kulakukan, seharusnya kau dapat membenciku dan menjadikan aku jijik di matamu. Bukan sebaliknya seperti sekarang. Kamu malah semakin mencoba menyayangiku.

Aku tak bisa memisahkan diri daripadamu begitu saja. Ada hal yang kau tak dapat mengerti mengenai keputusan yang kubuat ini. Aku memang salah terlalu dini membuat ikrar tak akan memisahkan dirimu selamanya. Jadi dengan cara ini kucoba membuatmu berlalri dariku. Seharusnya memang kau membenciku bukan membebaniku dengan rasa sayangmu yang semakin menggunung seperti sekarang. Aku harus, ya aku harus membuatmu membenciku. Karena dengan cara itu kau dapat membuatku tak lagi layak bersanding di hadapanmu.

Sungguh... Aku terlalu mencintaimu, namun ada hal yang tak dapat kau mengerti.
Aku tak akan lagi pernah datang kepadamu dengan rasa sayang.
Walau kutahu itu hal yang sungguh munafik termasuk kepadaku sendiri.



Dariku
yang datang tanpa rasa sayang




A.A. - dalam sebuah inisial
8 April 2009 | 20.20


PS: Tulisan ini sengaja kutuliskan untukmu, Margareth, untuk seseorang yang ingin kau buat membencimu, YD.

Sabtu, 04 April 2009

Di Atas Rel Mati

Di atas besi tua yang berkarat, yang diam pada jalan berkerikil. Hidup di tengah kesepian yang merajalela pada setiap ikatan sambung rel. Tak dapat berkutik ketika sepur melewati di atasnya. Hanya kepasrahan yang menggesek roda sepur dengan belahan besi tua yang menjadi jalan roda tersebut.

Dia adalah gabungan besi yang bernasib harus demikian adanya. Dia harus tergesek dengan kecepatan sepur. Dicongkel orang. Dijual atau diinjak oleh orang. Dia tak akan pernah menjadi tuan. Selamanya akan menjadi budak. Budak agar orang - orang yang berkejaran dengan waktu dapat dengan cepat menembus harinya.

Mungkin di atas rel itu kosong. Tak ada yang berbicara.

Sekalipun semut yang melintas di atasnya selain sepur.

Semua makhluk boleh melalu-lalang di atasnya. Tak ada yang berhak untuk membatasi keadaan sesungguhnya.

Tak ada yang mengawasi. Seorang tua yang tertatih - tatih berjalan di atasnya. Tanpa membawa apapun. Dia melewati setiap jalan di atas rel itu. Berjalan seperti orang yang hendak datang pada juragannya. Dia membungkukkan punggungnya.

Di ujung sana, sepur telah berjalan dengan cepatnya. Tak ada waktu untuk berhenti.

"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet......................."

Dia tak berjalan ke pinggir. Entahlah, dia memang ingin mati atau tak mendengar.

"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet......................"

Dia bahkan diam di tengah.

"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeet........................"

Sapaan itu. Ah, bukan! Itu bukan sapaan!

Tubuh yang renta itu tak lagi berbentuk. Tak dapat lagi dibedakan mana kepala, badan, tangan, dan kakinya. Pakaiannya telah berlumur darah. Tak ada yang tahu bahwa tubuh renta itu telah dihajar oleh sepur. Tak ada yang tahu siapa dia. Tak ada yang menghampirinya, hanya sekedar mencari atau mengumpulkan bagian - bagian tubuhnya yang memang ingin mati di atas rel. Semutpun juga tidak. Dia hanya lewat dan melihat tubuh yang akan membangkai itu.

Sekalipun dia salah. Sekalipun dia benar. Atau hal apapun.


Tak ada orang yang berbondong - bondong melihat tubuh itu. Tak ada orang yang histeris. Tak ada orang yang mengumpulkan serpih - serpih tubuhnya. Semua diam. Tak ada orang di sekeliling rel itu. Sekedar untuk tahu bahwa ada yang mati. Semua tak tahu bahwa ada yang mati di atas rel.

Sepur itupun tak berhenti. Sekalipun dia telah membunuh seorang yang renta. Sekalipun dia telah salah atau benar. Penumpang yang menjerit histeris hanya menjadi abaian sejenak.

Dia telah mati dalam kesunyian. Pada sunyi yang paling sunyi.

Di atas rel yang juga mati.






Jakarta, setelah klakson sepur terdengar...
4 April 2009 | 10.20
A.A. - Dalam sebuah inisial


Foto: Rel kereta Bogor - Serpong, Banten