Selasa, 24 Februari 2009

Diam!!!

Menyakitkan sekali ketika ingin bicara menjadikannya sungkan
Menyakitkan sekali ketika merasa paling sendiri di dunia ini

Keledai pun enggan untuk pergi tak bertuan
Dan ia menyapa sepi dalam sepi sendirian saja

Berkaca pada cermin, tetapi tak berbayang
Diam rasa pahit dalam kosong tanpa arwahnya

Berbayang jerit hati ingin ia lemparkan
Tetapi siapa yang akan mendengarnya

Malaikat jua tak ingin menjadi karib
Setan pun penat menatap wajah tak tampak pada cermin

Mati... tidak! Ia tidak mati
Ia masih bernyawa tetapi hanya berdiam

Dia memilih diam dalam sendirinya
Aku pun menyingkir darinya dengan jutaan alasan

"Basi! Diam kalian semua! Aku benci..."
Sudahlah... aku kembali pergi meninggalkannya




>>> Aveline Agrippina Tando

Kamis, 19 Februari 2009

Mengenai Hidup - Sekali Lagi

"Hidup ini, Anakku, hidup ini tak ada harganya sama sekali. Tunggulah saatnya, dan kelak engkau akan berpikir, bahwa sia-sia saja Tuhan menciptakan manusia di dunia ini."

Pramoedya Ananta Toer - Bukan Pasarmalam


Ketika membaca kalimat di atas, aku sedang dalam perjalanan. Dalam kendaraan. Setelah membaca kalimat itu, langsung saja kualihkan padanganku ke arah luar jendela. Aku mengangguk setuju.

Mungkin hanya Tuhan yang tahu alasannya mengapa Dia menciptakan manusia. Lalu bukan membiarkannya hidup bebas, melainkan hidup dalam petualangan yang tak hanya suka, tetapi juga duka.

Menurut Djenar Maesa Ayu, dalam novelnya Nayla, bahwa kita diciptakan bagai boneka. Kita selalu ditentukan oleh orang yang memainkan boneka itu.

Entahlah, ketika aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela, mengapa aku bisa setuju dengan semua itu karena saat itu aku melihat seorang kakek tua yang menarik gerobak dengan susah payah di pinggir jalan. Seorang ibu yang membawa tas besar sambil menggendong anaknya. Seorang pelajar yang berlari untuk berdesak dalam bus kota.

Lalu, pernah mereka pikir bahwa apa yang mereka tuju akan menjadi sebuah kesia-siaan karena ujung dari setiap hidup adalah kematian? Tak perlu Pak Pram memaksaku untuk terus memikir, aku sudah menjawabnya, Pak.



-A, dalam sebuah inisial-

Rabu, 11 Februari 2009

Pertanyaan

Ada jutaan pertanyaan yang selalu kau hanturkan padaku
Tetapi hanya dua dari jutaan yang bisa kujawab
"Apa kabar?" dan "Sedang apa?"
Sisanya adalah sebuah improvisasi hidupku
Termasuk ketika aku harus memilih mana yang baik
Untuk menentukan sebuah loyalitas
Di atas pergolakan hidup dalam pentas
Yang tak pernah tahu kapan itu berakhir

Semua adalah jalan
Semua adalah pencarian
Dan semua akan meninggalkan jejak

Ketika sulit menjadikan sebuah rangkai jawaban
Hanya bisa kujawab, "Itu proses ke depannya."
Diam. Lalu aku tak berkata-kata lagi
Sebelum kau membalas dan menanggapi jawabanku
Aku selalu hafal gaya bibirmu
Memebentuk kata "Proses apa?"
Lalu aku tertawa
Lepas

pada hari yang rasanya singkat namun tetap sama







>>> A, In An Initial
11 Februari 2009

Senin, 02 Februari 2009

Surat yang (Tak) Akan Sampai

Jakarta, 2 Februari 2009

Untuk seseorang yang terlibat kesibukan Ibukota
yang sepatutnya hari ini bergembira


Entahlah ini tulisan ke berapa kalinya yang kutulis ulang. Mulai dari kertas sejak dini hari tadi sampai sekarang, surat ini tak pernah bisa kutulis. Selalu saja ada beberapa kata yang kurasa kurang pas atau tidak benar dalam penempatannya dan isinya. Gundukan kertas telah menumpuk di atas keranjang sampah. Puluhan kali aku menekan tombol backspace. Selalu saja tak ada kata yang pas untuk menggambarkan harimu pada hari ini.

Semakin yakin pula surat yang kutulis ini pada akhirnya tak akan pernah sampai di tanganmu. Mungkin kau sangka aku tak tahu alamat rumahmu? Tak mungkin untuk hal itu. Sampai berapa kali dan berapa lama kau menyikat gigimu saja aku tahu. Mungkin kau sangka aku tak tahu caranya mengirim surat? Aku mampu melipat surat dengan amat rapi ketika aku mengirimkan ratusan naskah dan mencontohkan lipatan laporan penolakan naskahku. Maka ketika kau sangka aku tak bisa mengirim surat, mungkin aku lebih pakar dan piawai mengirim surat.

Ada alasan tersendiri mengapa aku tak mampu mengirim surat ini kepadamu.

Atau pada akhirnya juga kau akan menemukan suratku ini ketika aku tiada. Ketika aku sudah tak ada lagi. Atau ketika teman-temanku bercerita tentang surat yang kutulis khusus untukmu. Atau kau menemukannya dalam arsip catatanku di dunia maya ini. Hanya itu kemungkinannya.

Tak akan mungkin bisa kau menemukan suratku di mesin pencari. Aku sudah mencarinya sendiri. Dan kubuktikan kebenarannya bahwa tak akan pernah surat ini bisa kau baca selain kau membongkar sendiri tulisanku ini.

Aku sudah berjanji pada diriku bahwa surat ini tak boleh jatuh ke tanganmu walau ini dituju untukmu.

Jutaan gelak tawa yang kudengar dari kisah kita. Jutaan air mata yang mengalir dari pipi kita. Selalu saja kurasa kurang semua hal itu. Kurang banyakkah kisah yang kita jalani bersama? Ya, aku tak pernah merasa cukup dengan hari-hari kita yang masih melewati 5.000 hari. Aku mau jutaan hari yang bisa kita lewati. Mungkin bisa saja masih kurasa kurang untuk semua itu.

Atau mungkin aku lebih mencintai alam dibanding dirimu dan semua yang selalu pagi hari kulihat. Kau mencariku. Kau menghubungi telepon selularku. Kau mengirimkan pesan singkatmu. Kau... kau... kau lainnya.

Ada banyak cerita yang kita baca. Ada banyak melodi yang kita dengar. Ada banyak klise yang kita lihat. Semua itu tak mampu untuk menggambarkan hari-hari kebersamaan kita.

Apakah aku kurang puas menaklukkan seluruh Pulau Jawa bersamamu? Bahkan kita telah melewati daratan Pulau Dewata selama 3 minggu. Apakah aku tidak puas menaklukkan Sumatera Selatan sampai ke ujung-ujungnya? Tidak akan puas.

Mengapa aku ada? Karena aku diutus untukmu. Mengapa sukacita yang ingin kuhadirkan? Karena aku ingin melihatmu selalu bahagia. Mengapa air mata yang selalu kuhapus? Karena air matamu terlalu berharga untuk menangisi semua hal yang seharusnya tak membuatmu menangis.

Apa alasanku menuliskan surat ini untukmu? Jawabannya sederhana.

Karena hari ini adalah momentum spesialmu. Sebuah harimu yang membahagiakan.

Dua minggu aku mencoba mengatakan tiga kata untukmu. Selalu saja sulit. Aku coba berbagai macam cara. Aku memikirkan teknik yang baik dalam mengucapkan pola kataku yang amat sederhana untukmu.

Kucari apa yang cocok benda yang cocok untuk mendampingiku untuk mengucapkan tiga kata itu di hadapanmu. Tetap saja tak bisa yang kurasa tepat. Semua selalu saja salah. Pasti ada yang tak pantas. Walau sudah kukatakan dan kuyakini di dunia ini adalah hanya ketidaksempurnaan itu yang paling sempurna. Tetapi entah mengapa masih saja kuyakini bahwa masih ada yang cocok untukmu.

Benar kata Dewi Lestari, bahwa mengucapkan tiga kata itu butuh perjuangan. Kata yang amat sederhana. Kata yang semua orang tahu. Kata yang semua orang mengerti artinya.

"Selamat ulang tahun..."
Tiga kata yang selalu aku usahakan untuk mengucapkannya dan mencari pendampingnya. Dan sampai saatnya hari ini tiba, aku belum menemukan pendamping tiga kata itu. Mungkin esok atau lusa atau lain hari aku akan menemukannya.

Mungkin kau sudah tahu mengapa surat ini tak akan pernah sampai ke tanganmu. Mungkin aku malu pada diriku sendiri mengapa mengucapkan hal itu saja sulit sekali. Atau mungkin sampai saat ini aku belum menemukan kado yang pas untukmu.

Mungkin surat ini akan kau baca ketika aku sedang berlari dari tiada kepada tiada. Dan aku yang akan berbahagia dalam sebuah kata, "ketiadaan".

Dan kuyakini suatu hari nanti, kita akan berkisah lebih banyak lagi. Lebih banyak.




Dari yang mengasihimu dari lubuk terdalam...

A. Ag. T. - dalam sebuah inisial





Tulisan ini khusus kutunjukkan kepada yang berulang tahun pada hari ini. Siapalah dia... Hanya aku yang tahu. Selamat ulang tahun! Dan aku yakin surat ini masih lama terbaca olehmu...


Mundurlah, wahai Waktu
Ada "Selamat ulang tahun"
Yang tertahan tuk kuucapkan
Yang harusnya tiba tepat waktunya
Dan rasa cinta yang s'lalu membara
Untuk dia yang terjaga
Menantiku