Selasa, 22 Desember 2009

Kasih Ibu Itu Tidak Sepanjang Jalan

Saya tak tahu peribahasa mana yang mengatakan "kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah" apakahbenar atau tidak. Di dalam dinamika sosial, apakah kasih dapat diukur dengan mistar, jangka sorong, neraca, atau sebagainya? Kasih -sepanjang yang saya tahu- adalah soal rasa, soal perasaan, dan kepekaan seseorang untuk menilai sisi penyayangan umat manusia.

Bagaimana kasih ibu sepanjang jalan? Apa ukurannya? Saya pernah bertanya kepada nenek saya mengenai hal ini. Mengapa kasih ibu sepanjang jalan? Apakah tidak ada yang lain sebagai dasar ukuran? Hanya sepanjang jalan sajakah? Nenek saya menjawab sangat mudah: karena kasih seorang ibu itu tidak ada batasannya.

Sejenak saya berpikir benarkah tiada batasannya jika diukur dengan acuan jalan? Dengan mengandung, tergopoh-gopoh berjalan dengan perut yang semakin besar, semakin menua, bisa diukur dengan jalan. Melahirkan, menyusui, dan menjaga sampai anak itu bisa melepaskan diri dari ibunya. Menjaga ketika sakit, mengajarkan, dan memberi makan. Menjadi teman curhat, teman perjalanan, teman suka dan duka. Banyak hal yang ibu berikan kepada seorang anak tetapi hanya diukur dengan sepanjang jalan. Lantas, jalan yang manakah yang menjadi pondasi ukuran tersebut?

Sewaktu SD, guru saya pernah menyinggung hal ini. Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Guru saya mendeskripsikan kasih ibu itu seperti jalan tol, terus mengalir tiada henti. Saya sempat protes kepada beliau: "Pak, jalan tol juga macet, Pak!" Balasannya adalah: "macet itu ketika ibumu sakit atau sedang bersedih." Baiklah, persepsi itu saya terima. Kemudian beliau membentangkan mistar 30 sentimeter dan berkata: "nak, kasih anak itu sepanjang galah. Galah itu sepanjang ini!" Saya hanya diam dan berpikir saja mengenai jalan dan galah itu.

Semenjak saat itu, saya tak pernah menerima bahwa kasih ibu itu sepanjang jalan. Saya tidak pernah setuju dengan pepatah itu. Mana bisa kita menyatakan kasih ibu itu sepanjang jalan? Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah: apa balasan anak kepada ibunya sehingga bisa diukur sepanjang galah?

Kembali lagi kepada nenek saya. Saya bertanya mengapa hanya sepanjang galah. Apakah tidak ada yang lebih panjang atau lebih pendek lagi? Jawabannya: karena galah itu benda yang pendek, kadang kedua ujungnya bisa dipegang oleh satu orang. Lho, bukannya masih banyak benda yang bisa semacam itu? Lalu, memang tidak sepanjang jalankah? Bukannya mereka juga tidak pernah dituntut untuk dilahirkan?

Abraham Lincoln sebagai anak pernah menulis:

I remember my mother's prayers and they have always followed me. They have clung to me all my life. (Saya mengingat doa-doa ibu saya dan doa itu selalu mengikuti saya. Doa-doa itu melekat kepada saya sepanjang hidup saya)

Apakah ibu bahagia ketika kasihnya diukur hanya dengan jalan? Apakah ibu puas kasihnya hanya sepanjang jalan? Apakah ibu senang kasihnya sebatas jalan semata? Apakah anak bangga kasihnya sepanjang galah? Apakah anak merasa lega kasihnya yang diberikan hanya sebatas galah?

Uang bisa dinilai, harta bisa diukur. Sekaya apapun ibu kita, semiskin apapun ibu kita. Material bisa dijumlahkan, dikurangi, dikali, dan dibagi. Bagaimana dengan kasih? Apa ukuran dasar untuk sebuah kasih sehingga Abraham Lincoln bisa menulis demikian?

Banyak pertanyaan di dalam benak saya. Saya tidak pernah mengamini bahwa kasih ibu sepanjang jalan. Saya tidak pernah setuju dan saya acap kali memberontak dengan keadaan itu. Kasih itu soal rasa, soal hati. Kalau diukur seperti jalan, seperti galah, saya tak akan pernah mampu mengukurnya. Kasih ibu itu tidak sepanjang jalan dan kasih anak itu tidak sepanjang galah.

Saya mengukurnya dengan rasa, bukan dengan satuan semacam itu. Kasih ibu yang saya rasakan selama saya hidup itu tidak ada batasannya. Tidak terdefinisi. Tidak terhingga. Dan kasih yang saya balaskan kepada ibu saya adalah kasih yang tidak ada bedanya dengan isapan jempol semata. Itulah yang membuat saya tetap bertahan mengapa kasih anak itu bukan sepanjang galah, ketika saya merasa kasih saya sudah di seberang galah, saya merasa: cukup. Dan itu tidaklah cukup untuk membahagiakan seorang ibu. Ibu yang pernah ada di dunia ini. Ibu yang tak pernah menuntut banyak dari anaknya. Ibu yang menilai semua hal secara: gratis. Ibu yang paling saya muliakan di dunia.


Selamat pagi! Selamat hari ibu!


Jakarta, 22 Desember 2009 | 7.39




The mother is everything - she is our consolation in sorrow, our hope in misery, and our strength in weakness. She is the source of love, mercy, sympathy, and forgiveness. He who loses his mother loses a pure soul who blesses and guards him constantly. - Kahlil Gibran

Kamis, 17 Desember 2009

Rintih

Mungkin aku akan pulang nanti
Ketika senja tak lagi menampak wajah
Atau kereta sempat kukejar menuju kota
Debu sudah berkarib dengan kulit ari
Hendak apa yang kubagi ketika malam

Jalan kereta begitu lamban
Sesampai aku di kotamu menanti hari
Detik tak dapat digapai untuk dilewatkan
Kadang sisa nafas harus dipaksa
Tak dapat lagi berlari, kita serasa tanpa makna

Aku hendak pulang kepada rumah
Di papan dipan yang reot di muka
Aku berlari ke kebun yang memakan bapak
Hendaklah musnah dilalap ilalang liar
Dan dusun tak lagi bisa kukatakan nyata




Jakarta, 17 Desember 2009 | 20.43

Jumat, 04 Desember 2009

Pesta Kebun Akhir

Pesta Kebun Akhir
Napak Tilas 2009 Januari - 2009 Desember



"Yesterday is history. Tomorrow is a mystery. Today is a gift. That's why it is called the present." - Joan Rivers.

Ini adalah sebuah pesta. Pesta sederhana. Tidak lebih dari sebuah temu sesapa hangat. Tidak kurang dari sebuah reuni singkat untuk cengkrama. Apa yang dapat dibagikan dalam pesta? Sekadar makanan? Sekadar salam dan senyum? Nah, tuan rumah dapatlah berbagi cerita. Untuk kali ini, suguhan nikmati saja seadanya...

Terlalu dini. Ya, mungkin terlalu dini bagi Anda untuk mengucapkan selamat tahun baru. Tetapi tidak untuk saya. Ini pesta kebun untuk blog saya. Pesta kecil-kecilan dan menjadi sebuah napak tilas dari perjalanan yang terlewati selama 365 hari. Belum genap memang 365 hari, masih ada 20 hari lagi yang tersisa untuk tahun 2009, tetapi lebih baik saya genapkan saja karena ini adalah catatan terakhir blog ini untuk tahun 2009. Blog ini akan kembali update untuk berkisah pada tahun 2010. Kalau ada update terbaru, itu mungkin hanya cerita lama yang baru sempat diprasastikan di dalam blog ini atau memang sudah berbentuk draft lama sekali di blog ini. Yang paling terbaru kupastikan 2010.

Seperti yang kukatakan pada akhir tahun 2008, aku memang tidak membuat resolusi untuk hal apapun. Kuaminkan bahwa semua akan tergapai dengan sendirinya, usaha dan doa adalah alat untuk proses meraih cita-cita. Dan terbukti memang, tanpa resolusi, tanpa target, saya bisa berproses lebih menyeluruh.

Nestapa dan gembira. Air mata dan tawa. Duka dan suka. Semua ada dalam 2009. Semua nyaris sempurna memadu menjadi satu. Pertemuan dan perpisahan sudah terjadi. Kematian dan kehidupan dalam sebuah jalan adalah kemudahan untuk berpulang, mencari jalan untuk mencapai suatu tujuan. Kita tidak pernah sendiri untuk mencarinya, tetapi menemukannya adalah sendiri. Tak dapat ditentukan kapan kita dapat menerima dan dapat merelakan.

Kehilangan dengan orang yang pernah saya kasihi dan pernah kita jalankan untuk berbagi cerita. Awalnya memedihkan, di mana itu terjadi di awal tahun. Tetapi berjalannya waktu, setiap kalender harian terus disobek dan bertambahlah usianya setiap manusia. Saya bisa menerima kehilangan dan saya belajar memaknai hidup bahwa kita sebagai manusia adalah fana. Tak lebih dari itu adalah ketidakabadian yang akan datang dan yang abadi adalah sejarah yang pernah terukir.

Juga ada lagi kisah yang kubagikan mengenai rasa rindu yang menggebu-gebu untuk sahabat nun jauh di seberang sana. Perpisahan acap kali membuat orang lupa mereka masih ada yang harus diingatnya dan mereka yang benar-benar sejati sebagai seorang sahabat adalah mereka yang tak lupa menghitung jumlah sahabatnya dan selalu rela berbagi kepada sahabatnya itu. Kubagi kisah denganmu, kisah sebuah persahabatan sejati. Persahabatan yang tak digoyahkan jarak dan waktu.

Pertambahan usia untuk orang tua, saudara, dan sahabat juga sudah pernah kubagikan di dalam blog ini. Dalam sajak, cerita, atau esai sebagai hadiah ulang tahun mereka. Yang jelas, mereka tak tahu bahwa aku sudah menuliskannya atas dasar kasih dan cinta tak terbalaskan dari kalian. Kutulis semuanya itu berdasarkan cinta yang kalian berikan dan kudedikasikan kepada mereka semua dengan tulus pada dasar yang paling tulus. Tiada balasan yang kuharapkan selain itu semua.

Patah semangat dan putus asa telah kuanyam jadi sajak dan cerpen. Terkadang esai. Atau penuh kemarahan juga sudah kukupaskan dalam berbagai cerita. Ada yang bermakna dan juga tidak. Kubagi cerita-cerita yang sudah kujalankan dalam kehidupan ini. Ketika aku sedang berbincang dengan sahabatku, ketika kudapatkan sesuatu yang baru, pengalaman rasa berbagi dan cinta adalah sebagai penyedapnya saja. Sebagai wujud itu semua, kubuktikan aku tidak main-main dalam berkata dan membuat apa tujuan dari hidup ini sebenarnya. Sekadar penantian? Sekadar pencarian? Atau sekadar lainnya?

Kisah lainnya juga sudah kubagi seperti cerita perpisahan di bandara. Di mana bandara adalah tempat yang bisa penuh dengan air mata. Penuh rasa sedih dan gembira. Mengharu biru atau duka nestapa. Melebur semua menjadi satu dalam sebuah perpisahan. Beberapa tulisan memang sebagai pengingat saya, saya pernah bertemu mereka yang hebat, mereka yang rendah hati dan tetap beradaptasi pada dunia mereka yang lainnya. Di mana mereka menghirup udara yang sangatlah berbeda dengan keadaan lainnya.

Ada juga kisah kehidupan yang kuulas dalam tulisan, dalam foto, dan dalam nuansa-nuansa lainnya. Tentang kejujuran, nurani yang bicara, dan keberanian menjadi patriot sejati. Cara menjadi manusia yang sebenarnya tak pernah kubagi, tetapi komentar-komentar kawan-kawan adalah cara dan saluran bagaimana berproses lebih bijak. Pertanyaan-pertanyaan temanku yang pernah kuposting juga itu sebagai sekadar berbagi, bukan prosesku untuk memotivasi atau sok sebagai pakarnya dalam bidang polah pikir manusia.

Blog inipun juga pernah mati suri. Ketika aku sibuk bermain di petak lainnya, dia terlantar. Namun aku kembali menenun kata demi kata dan setiap jurnal yang tertulis seperti kisah sendiri dalam hidup. Kemenangan dan kekalahan, kebangkitan dan keletihan, semua silih berganti. Cerita-cerita perjalananku di mana setiap kakiku menyambangi jalan, kubagi cerita kepada aksara-aksara yang tak henti minta ditulis.

Nah, akhir tahun sudah datang lagi. Pesta akhir tahun, pesta kebun kuakhiri saja. Semoga persahabatan maya yang akan menjadi nyata, persahabatan nyata untuk keabadian, dan pesta ini adalah singgasana untuk berbagi, menapaki dan mengulas semua yang pernah kubagikan dan pernah kujalani. Para tetamu sudah menikmati sesajian dan berpamit pulang, mungkin akan kosong. Tetapi masih ada anjangsana-anjangsana lainnya yang membuat kita akan bertemu pada suatu ruang dan lorong waktu yang tak seorangpun tahu.

Sekarang, selamat tahun baru! Dirgahayu untuk semuanya! Pesta kebun berakhir sampai di sini. Kita bertemu di pesta lainnya...

Hendaknya hidup bukan sekadar menunggu, tetapi melakukan. Kemarin adalah sejarah, esok menjadi misteri, hari ini adalah hadiah. Tiada yang lebih indah dari semua itu. Itulah satu-satunya alasan menjadi kado yang paling baik dan nyata.





Jakarta, 4 Desember 2009 | 22.54
A.A. - dalam sebuah inisial


Rabu, 02 Desember 2009

Desember Awal

Aku belum juga mati. Kini satu tahun sudah datang lagi, Desember awal sudah membuka lembaran barunya. Ya, aku belum juga mati. Prediksi mereka sepertinya meleset sebegitu jauh. Nyatanya, aku bisa bertahan sampai saat ini, hanya saja tekanan sosial lebih menekanku daripada rasa sakit semacam flu saja yang dapat membunuhku sekejap mata.

Kalender menunjukkan 1 Desember.

Praktisnya, ini tahun keempatku berada di tempat ini. Begitu memilukan hidupnya, kata kawan-kawanku yang masih peduli denganku kalau mereka mengingat tanggal ulang tahunku pada hari pertama bulan kedua-belas. Tetapi aku lebih kerasan untuk tetap hidup di sini dengan wilayah sosialisasi yang begitu sederhana. Begitu kecil lingkup pertemanan yang kumiliki namun rasa keterikatan batin lebih kuat di antara sesama kami.

Kalender menunjukkan 1 Desember.

Penyakit ini memang akan membunuhku, aku tahu itu. Aku juga tidak pernah memintanya. Apalagi sampai memohon-mohon untuk mati dengan penyakit yang dikatakan penyakit kutukan ini. Ini bukan hanya sakit secara fisik, tetapi juga rohani benar-benar diremukkan oleh penyakit ini.

Seseorang berkunjung ke rumahku sebelum aku berkemah di dalam rumah yang kutempati ini. Keluargaku sudah tahu dan aku memang membukanya tanpa merahasiakan apapun dengan mereka. Jujur saja lebih baik dan kurasa aku mendapatkan penyakit ini karena uji sampel darah di mana pekerjaanku sebagai tim medis begitu dominan untuk mendapatkan penyakit ini.

Kujabat tangan seorang yang datang itu. Dia menyambutnya dengan ramah dan hangat.

"Hei... Lekas ke toilet, cuci tanganmu bersih-bersih. Dia HIV positif." Seseorang temannya lagi membisikkan pelan. Aku membaca dari gerak bibirnya. Aku begitu miris dengan hidupku sendiri. Aku merasa kasihan dengan diriku.

"Maaf, toilet di mana ya?"

Dengan pedih dan tercabik-cabik rasanya, aku menunjukkan jalan menuju toilet. Benar saja, dia langsung mencuci tangannya berulang kali di hadapanku.

"Ah, pasti kalian belum makan siang..." tebak ibu.

"Hahaha... Ibu tahu darimana?"

"Saya tahu raut wajah kalian."

Ibu langsung menyajikan kue-kue kecil ke hadapan mereka. Mereka berbinar-binar menatap kue itu, hendak mencaploknya segera. Ah, nikmatnya - pikir mereka. Aku tersenyum saja, itu hasil karyaku.

"Ini buatan anak saya."

"Hmmmh... Maaf Bu, kami sudah kenyang."

"Lho?! Katanya kalian belum makan siang?"

"Iya... Maksudnya tadi, kami masih kenyang, Bu..."

***

Hari ini kalender pada 1 Desember.

Ulang tahunku ke-28. Tak ada perayaan seperti dulu. Tak ada pesta meriah. Tak ada acara yang menarik. Semua kulewati dengan mereka yang sependeritaan.

Seorang dokter gigi menolakku mentah-mentah ketika karies pada gigiku membuat nyeri.

"Saya HIV positif, Dok..."

Dokter itu langsung meletakkan penanya dan mengatakan kepadaku: "Kami tidak menerima pasien yang terinfeksi HIV positif. Silahkan Anda meninggalkan ruangan ini dan mencari dokter lain."

Koyakan itu seperti ribuan godam, mengalahkan nyeri yang ada di gerahamku. Lantas, kalau aku seorang HIV harus dikucilkan seperti ini?

Hari ini 1 Desember, tahun keempat keberadaanku di sini, 28 tahun bertahan hidup, dan hari AIDS sedunia.

Mereka mengatakan jangan kucilkan kami, tetapi sampai sekarang kami tetap sebagai orang yang terkucilkan. Bahkan kami sakit bukan karena fisik kami yang lemah, tetapi goyah jiwa kami akibat mereka yang enggan berbagi cerita dengan kami. Kami dibunuh bukan karena virus yang ada dalam tubuh kami, tetapi mereka enggan menerima kami sebagai sesamanya. Antiretroviral memang menolong kami, tapi tidak menyelamatkan kami. Kami tetap dilakukan seperti itu di tengah kehidupan sosial kami.

Aku lebih memilih mati daripada sistem kasta yang tak tercantum dalam masyarakat bahwa kami harus disingkirkan...



2 Desember 2009 | Untuk Hari AIDS Sedunia
Stop AIDS: Akses untuk Semua !
Lawan virusnya, bukan orangnya...