Jumat, 28 November 2008

Di Dalam Sebuah Angkot

Adalah hal - hal yang unik yang sebenarnya sering kita lewatkan ketika kita berada di suatu tempat tanpa mengamati sekitar kita. Adalah banyak hal - hal yang lebih bijak dibandingkan dengan hal - hal yang berbau keegoisan dan keotoriteran.

Sejujurnya, ketika saya menuliskan hal ini, saya diinspirasi dalam kebijaksanaan dibanding dengan keegoisan yang sering saya lakukan. Serta merta memilih apa yang sebaiknya lebih dibaikkan daripada memilih apa yang salah.

Inspirasi ini saya dapatkan ketika saya berada di dalam angkot. Ya... hari ini saya memutuskan menjadi satu. Berbaur satu dengan mereka. Saya lepaskan kunci motor dari tangan saya dan saya lebih memilih untuk menduduki kursi angkot dibandingkan saya harus menarik tuas motor. (Sekali lagi, serta merta untuk mengurangi rasa keegoisan untuk ambil bagian dalam memacetkan Jakarta dan mengurangi dampak pemanasan global -huh! Terlalu mengada-ada untuk hal ini, Iblis sepertinya berbisik demikian ketika saya memutuskan untuk masuk ke dalam angkot.-)

Ada beberapa hal yang saya amati amatlah menarik ketika kita tersadar sesuatu mengenai hal ini...

Pagi ini, ketika saya menunggu angkot melewati dan berhenti di depan saya, ada beberapa orang anak kecil berlari - lari melewati saya. Lalu sampai di persimpangan, mereka berhenti berlari dan memutuskan untuk berjalan kaki. Aneh! Kok berhenti? Saya bertanya di dalam hati. Tak sampai berapa lama, saya melihat mereka kembali berlari -seolah mereka mengerti apa yang saya pikirkan pagi ini-.

Tak menyesal saya memutuskan untuk menjadi salah penumpang angkot pada hari ini. Saya mengamati beberapa hal yang sebenarnya unik yang tak pernah saya sadari sebelumnya.

Ketika saya memutuskan naik angkot, saya berpikir memang hal yang bijak untuk itu. Saya hanya perlu mengeluarkan ongkos. Dibandingkan dengan memilih naik motor, saya menjadi beralih ke angkot. Saya tak perlu cemas apakah motor saya akan dibredel orang atau ketika saya kembali ke tempat motor saya menunggui saya hanya tinggal kaca spionnya saja atau hanya tinggal kuncinya saja.

Ada dua hal unik lainnya yang amatlah sayang ketika saya lupa mencatat hal - hal ini dalam catatan saya hari ini.

Yang pertama, angkot menyamakan derajat semua orang yang berada di dalamnya. Saya merasakan hal itu. Mereka tidak mengenal kaya, miskin, tua, muda, janda, duda, atau masih jomblo -bisa jadi saya masuk dalam kalangan ini-, cantik, tampan, atau jelek sekalipun, angkot menerima keberadaannya. Angkot menyamakan derajat semua orang dan menerima kebaikan dan kekurangan orang lain. (Kecuali untuk kurang ongkos, anda akan dipanggil oleh supir angkot untuk menambahkannya). Di dalam angkot, status kita sama. Tidak bisa memperbedakan suku, ras, dan agama. Mungkin di mata angkot, manusia adalah semuanya sama.

Yang kedua adalah saya membuktikan sendiri penumpang angkot adalah orang yang sombong. Ketika derajat mereka telah sama baik satu dan yang lain, mereka tetap sombong. Mereka hanya bertegur sapa dengan yang mereka kenal saja. Selebihnya dengan yang tidak mereka kenal, apakah mereka bertegur sapa? Saya rasa tidak. Buktinya, ketika saya menduduki kursi itu, secara iseng saya menghitung jumlah orang yang ada. 13 orang di dalamnya termasuk saya. Namun tak ada dari mereka yang menegur sapa atau sekedar kenalan. (Bukannya berharap...)

Padahal derajat mereka telah disamakan ketika mereka berada di dalam angkot itu. Yang miskin sama dengan kaya. Yang (merasa) jelek bisa jadi menjadi seorang yang cantik atau tampan. Dan ketika mereka turun, derajat mereka tetaplah sama seperti ketika mereka menunggui angkot.

Kalau saya pikir - pikir, jika saya yang menjadi orang yang paling ramah di dalam angkot itu. Saya akan dicurigai sebagai orang gila ataupun menjadi pencopet. Maka ada kalanya saya pikir lebih baik saya menjadi seorang yang sombong dibanding saya menjadi orang yang ramah namun dicurigai. (Seandainya saya menyapa dan sok akrab dengan mereka yang menumpang satu angkot dengan saya).

Hari ini adalah hal yang menarik ketika saya berada di dalam angkot. Dan hari ini saya telah membuktikan kebenaran atas ekspetasi pikiran saya yang mengatakan demikian adanya.



Aveline Agrippina Tando


Catatan: Ini adalah cerpen ke - 50 yang telah saya ciptakan secara ajaib. (Adalah catatan yang sangat tidak penting sebenarnya untuk menutup cerpen ini). Dan gambar itu secara iseng saya temukan di Google, tampak ada iklan yang cocok untuk tulisan saya kemarin.

Rabu, 26 November 2008

Komunikasi (Tanpa) Batas

Komunikasi (Tanpa) Batas
Untuk sebuah pribadi yang merasa jauh


-Aveline Agrippina-


"Lalu apa rasanya tanpa teman?"
"Kosong yang pasti."
"Hanya itu?"
"Masih banyak kok!"
"Kalo sahabat itu pergi menjauh?"
"Aku yang merasa kesepian."
"Seberapa jauh sepi itu?"
"Amat jauh..."
"Oh ya?"
"Ya..."

***

"Lalu... bagaimana memaknai sebuah pertemanan?"
"Menghargai dan memberi kebebasan. Itu kuncinya."
"Lalu, kenapa harus takut ketika sahabatmu itu berbicara dengan yang lain?"
"Karena aku merasa sepi."
"Yakinkah demikian?"
"Amat yakin..."
"Kalo kamu takut, artinya kamu tidak memberikan kebebasan dong?"
"Masak sih... perasaan aku selalu memberikan kebebasan untuknya."
"Coba jelaskan!"
"Kalo sahabatku berbicara dengan yang lain, aku ikut mendengar dan aku ikut tertawa. Namun tak lama aku pergi dari mereka. Biarlah mereka berduaan saja."
"Itu yang namanya kebebasan?"
"Iya..."
"Kurasa kamu salah mengatakan itu sebuah kebebasan. Kebebasan itu bukan kamu berlari lalu merasa takut sendiri."
"Jadi bagaimana?"
"Bagaimana kamu memposisikan dirimu yang tepat di antara sahabatmu juga bisa menerima keberadaan teman yang dekat dengan sahabatmu itu. Bukan karena terpaksa lalu kamu merasa takut. Tetapi memang tulus. Barulah kamu bisa mengatakan kebebasan."
"Caranya?"
"Seperti demikianlah... Memahami pribadi masing - masing."

***

"Menilai bukanlah sebuah perbuatan yang terlarang."
"Lalu?"
"Menilai adalah perbuatan untuk meningkatkan karakter masing - masing insan."

***

"Tiba-tiba hujan turun sore ini, aku teringat pada engkau..."
"Aku?"
"Ya... engkau.... sahabat yang kukenal 6 tahun lalu."
"Ada apa dengan aku dan hujan?"
"Ya... ketika hujan turun, engkau bertanya tentang hal - hal pertemanan."
"Dan kau selalu menyebut itu dalam catatanmu itu adalah komunikasi tanpa batas."
"Tetapi kata 'batas' kuapitkan dengan tanda kurung. Bisa jadi komunikasi kita berbatas."
"Sejak 6 tahun lalu aku mengenalmu, kamu jiwa yang tetap."
"Untuk apa aku berubah? Walau aku semakin dewasa, tetapi aku adalah aku. Tak akan menjadi yang lain."
"Komunikasi tanpa batas ya?"
"Yap... itulah yang kusebut dengan sebuah pertemanan."




Ketika hujan turun sore ini
Dan aku sedang menatap jemariku
10 jemari menari dengan indahnya di atas abjad tak tersusun
Telepon itu berdering dan membawaku pada masa lalu
Sebuah masa kebahagiaan (ketika hujan turun)
Dan kuharap hujan sore ini tak lekas mereda
Karena aku takut ketika hujan mereda
Kebahagiaan yang tercipta secara alamiah ini sirna
Tetapi biarlah hujan terus turun membawa kebahagiaan selalu
Untuk mendamaikan hatiku, tempat tersembunyi dalam jiwa ini



Tulisan Komunikasi Berbatas ini dipersembahkan khusus untuk diri saya secara pribadi (mungkin juga untuk seorang sahabat yang baru chat via YM).

26 November 2008

Minggu, 09 November 2008

Menjadi "Tuhan" Atas Manusia Lain

Yang perlu diketahui adalah tulisan ini hanyalah sekedar tulisan refleksi, bukan untuk mendukung ataupun menolak hukuman mati.

Pagi ini, ketika menjalani rutinitas saya ketika hari libur -menyalakan komputer dan mulai berjalan - jalan di dunia maya-, saya tertarik dengan satu tulisan singkat yang ada di inbox Multiply saya. Cukup singkat. Tentang kematian Amrozi dan kawan - kawan. Begitulah kurang lebih isinya yang saya tangkap. Kemudian secara iseng, saya mulai mencari kebenaran atas berita itu. Saya gali lebih informatif, ternyata hasilnya sama saja, saya mendapatkan isinya sama saja, Amrozi dkk telah dihukum mati.

Pertentangan hukuman mati di Indonesia sebenarnya telah ada sejak hukuman mati dan penjadwalan hukuman mati untuk Fabianus Tibo (Kasus Poso) -yang menurut penilaian saya- ditentukan secara tergesa-gesa. Ada mereka yang menyatakan boleh hukuman mati diberlakukan, tetapi menurut agama ataupun hal - hal lainnya, tidak dibenarkan hukuman mati diberlakukan.

Saya tidak membahas tentang pertentangan hukuman mati atau hal apapun. Seperti judul di atas, itulah yang akan saya bahas hari ini. Sebuah metafora pagi yang saya terima. Entah itu adalah sebuah kebenaran ataupun hanyalah sebuah tipuan belaka untuk mengelabui rakyat. Lebih tepatnya untuk membuat rakyat senang ataupun bangga ataupun hal - hal lainnya yang sebenarnya ingin dirasakan.

Hukuman mati. Mengapa bisa hukuman mati diterapkan? Pada awalnya hukuman mati diciptakan untuk membuat efek jera bagi pembunuhan. Benarkah? Saya rasa salah. Toh, kalo seseorang telah dihukum mati, siapa lagi yang akan jera? Ada juga keluarganya yang meraung - raung sedih. Maka hukuman mati adalah bukanlah menjadi sebuah hukuman melainkan menimbulkan tindak pidana lainnya.

Ada beberapa macam hukuman mati (hukuman mati? Kata - kata yang salah, mengapa tidak menggunakan mencabut nyawa tersangka saja?) yang diberlakukan di seluruh dunia. Menurut Wikipedia, ada 6 macam hukuman mati. Pancung kepala, sengatan listrik, gantung, suntik mati, tembak, dan rajam. Dan katanya, hukuman suntik matilah yang pantas untuk menggantikan semuanya karena hukuman lainnya adalah hukuman yang tidak berkeprimanusiaan. Sejenak saya berpikir, berkeprimanusiaan? Benarkah? Apakah membunuh orang dengan menyuntik mati itu dianggap berkeprimanusiaan? Saya pikir sama saja. Membunuh orang dengan cara apapun tetaplah sesuatu yang tidak berkeprimanusiaan.

Saya ingin tahu, menurut anda, membunuh seseorang itu tindakan menghukum mati untuk seseorang bukan? Misalnya saja, si A dendam pada si B karena si B telah menipu si A. Lalu si A membunuh si B. Termasuk hukuman mati bukan?

Judul tulisan saya hari ini, menjadi TUHAN atas manusia lain apa sangkut pautnya dengan hukuman mati? Menurut orang banyak (dan teori yang ditetapkan oleh orang yang lebih dewasa ketika saya kecil), yang berhak menentukan mati adalah TUHAN. Tuhan yang berhak memberikan nyawa dan mencabut nyawa seseorang.

Namun bagaimana dengan hukuman mati? Dalam pikiran saya, hal itu adalah seseorang manusia telah menjadi TUHAN atas manusia lainnya. Mereka yang menentukan jadwal kematian seseorang. Apapun alasan mereka untuk menetapkan seseorang harus dihukum mati. Mulai dari hukum atau seseorang itu memang harus mati karena kalo dia tetap hidup, teruslah dunia akan dihancurkannya sampai memang takdirnya harus mati demikian adanya.

Menjadi TUHAN atas manusia lain. Acap kali kita tak pernah berpikir, dengan mengeksekusi nyawa seseorang, kitapun telah menyamakan diri kita dengan TUHAN secara tidak langsung. Dan Indonesia telah menjadi TUHAN atas rakyat mereka yang ditetapkan hukuman mati.

Di Indonesia, sebenarnya sudah ditetapkan tidak boleh diberlakukannya hukuman mati untuk seseorang. Tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 28A

Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Artinya mereka yang menentukan hukuman mati telah melanggar UUD 1945 pasal 28A dan telah menjadi TUHAN atas manusia lainnya.

Jadi, bagaimana dengan ketetapan hukuman mati? Terus dijalanikah? Atau hari ini untuk yang terakhir? Itu semua tergantung kebijakan hukum atau biarkan TUHAN yang SEBENARNYA yang menentukan kematian.


>>>> Catatan pagi ini...
>>>>> 9 November 2008 -08.49
>>>>>>Aveline Agrippina Tando

***

Tulisan ini tercantum di sini

Selasa, 04 November 2008

Answer, Reason, Life

Give me the answer, if I cannot find that.
Just it I need now...

Give me the reason, if I cannot see all of the world
Just it... Yes, just it...

Give me long life, if I cannot find the answer and I cannot see all of the world

So... I hope them...



>>> Very long night...
Aveline Agrippina Tando