Rabu, 10 Oktober 2012

Merayakan Che Guevara

duhai kasih
aku sebenarnya berharap ada kau disisiku
bercumbu dalam orasi-orasi tentang pembebasan
berkasih-kasih dalam debat panjang revolusi
berpeluk mesra dalam kejaran tirani

duhai kasih
aku sebenarnya berharap kau ada disisiku
berjalan bergandengan dengan kaum tertindas
bernyanyi mesra dalam tarian penantian
atau hanya sekedar diam dan saling memandang
sambil berpikir berdua adakah ruang untuk kita
berucap mesra dalam tangisan kehilangan

duhai kasih
sekali lagi aku berharap
bukankah kamu tau
revolusi butuh pejuang
siapkan dirimu...
agar kutanamkan benih revolusi dirahimmu

***

aku tahu, ya aku tahu!
jika aku keluar, sungai menelanku
inilah takdirku, hari ini aku pasti mati!
tapi tidak, kekuatan jiwa kan mengatasi segalanya
ada beribu rintangan, ku akui itu
tak kan ku keluar
jika harus mati, biarlah terjadi di gua ini

peluru, apakah yang dapat ia lakukan
jika takdirku adalah mati tenggelam?
tapi, kan kukalahkan takdir itu
kekuatan jiwa kan mengalahkannya

mati? tentu saja!
tapi di tembusi peluru, di robek banyonet?
TIDAK!
tenggelam, tidak!
kenangan kan mencatat namaku abadi
aku melawan!
aku mati melawan!




- Che Guevara

Minggu, 23 September 2012

Perihal: Eulogi

G,
bagiku semua kehilangan adalah hal yang menyakitkan, bagaimana tidak ketika kau harus melepas orang yang kaukasihi dan tidak lagi dapat menggapai mereka. kepedihan bagai tombak yang menikam punggungmu, sampai berdarah menembus jantungmu, lalu lenyap. keniskalaan yang kaudapatkan.

G,
bagiku semua kesedihan adalah sama, tidak bisa tidak untuk belajar merelakan atau tetap berjalan bersama waktu yang tidak akan pernah meninggalkanmu dan aku. sementara itu kehilangan akan semakin nyata saat orang yang kaukasihi berlalu dan berjalan entah ke dunia mana lagi.

G,
bagiku semua kehilangan dan kesedihan adalah sama. yang berbeda pada saat kautahu apa yang kaurasa hilang dan dukamu semakin mendalam. untukku, kehilangan yang paling menyakitkan bukan pada saat kaurasakan kehilangan akan seseorang, tetapi ketika kau telah kehilangan hatinya.

karena cinta yang kaukasihi itu tidak akan lagi berlabuh kepada dirimu



Jakarta, 23 September 2012 | 19.32

A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 14 September 2012

Medio September

puisi-puisimu tidak berbeda seperti daun-daun kering
: berserak di mana-mana, meminta orang memungutnya
setiap kata yang terempas di kertas tidak dibiarkannya diam
hanya seakan-akan butuh kepastian untuk berharap lebih
saat waktu memasuki September dan bergegas pergi

sampai suatu saat, kesadaran manusia pun ada
tidak ada yang tidak fana di dunia ini
dan kekekalan hanyalah bukti nyata tentang manusia
yang ingin menyamakan diri dengan penciptanya


Bandung, 15 September 2012 | 02.32

A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 12 September 2012

Tentang Musim Gugur

katanya, musim gugur akan segera berakhir
menghabiskan usianya yang tersisa di tahun ini
kelak ia akan berangkat ke tahun yang lain
dengan cerita yang berbeda, menemui orang-orang baru
seakan musim gugur akan menjadi sebuah kerinduan

lalu, setiap orang akan berhadapan dengan musim lain
di mana akan semakin jarang terlihat dan ditemukan
ranting-ranting yang gugur di kala petang tiba
angin yang membawa daun berterbang ke luasnya langit
dan mengiring cinta yang tidak akan pernah putus


Bandung, 12 September 2012 | 18.23

A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 27 Agustus 2012

Bukan Euforia Kekasih

G,
senyata apa kita bisa menyentuh perpisahan
semampu apa kita bisa memeluk bahagia
atau itu hanya bagian dari euforia sesaat saja

eulogi untuk petang yang akan berangkat
fitri kepada muasal di langit yang menjingga
tapi bukankah demikian hidup akan kembali ke asal
bagai jerami yang mengering bersama usia

ada fajar di pangkal hari esok, bisakah membuatmu tersenyum?

mereka yang berlalu dari kota, mengatakannya mudik
menciptakan kekosongan kota dan kepedihan yang asing
kealpaan waktu tidak lagi seperti gurauan semata
melawan ketiadaan, kekosongan, seperti melawan stigma

perlu air mata, darah, dan juang yang terlalu mahal, G

langkah di pucuk rinai hujan memeluk yang akan berangkat
mengantar seseorang yang disebut kekasih untuk kembali
berpisah sejenak, merasakan bahagia sendiri-sendiri

tapi tidaklah senikmat bersama

bukankah begitu, G?




Bandung, 27 Agustus 2012 | 18.22

A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 17 Agustus 2012

Keputusan

semudah keputusan untuk berangkat
kaumengepakkan segala keperluanmu
pergi ke stasiun, membeli tiket
jika tiada, kau akan berlari ke terminal
mencari tiket yang masih tersisa
atau kau memilih bermalam sejenak di sana

semudah keputusan untuk berkelana
kau berjalan ke mana saja tanpa tujuan
kau berlalu melintasi apa saja
kau bertemu dengan orang-orang asing
berbicara dengan bahasa yang mengerutkan dahi mereka
atau memilih bermalam di jalan yang sepi dan sunyi

semudah keputusan yang kita buat
segala konsekuensi menjadi kesenangan
atau penderitaan


Jakarta, 17 Agustus 2012 | 20.07

A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 12 Agustus 2012

Tentang Prolog

Adalah sebuah terima kasih karena kamu telah berani masuk ke dalam hidupku, mengisinya dengan apa yang mungkin tidak dapat orang lain rasakan, memberikanku harapan yang seharusnya aku tak perlu berharap setinggi apa yang ada di dalam pikiranku. Kemudian kamu memilih untuk keluar, meninggalkan aku bersama harapan itu. Kosong. Harapan itu tidaklah bernilai apa-apa. Lalu, tidak ada jejak yang kamu tinggalkan sebagai pertanggungjawaban atas perasaan yang telah kamu tanamkan kepadaku

Aku marah. Marah kepada kamu, marah kepada diriku sendiri. Marah kepada orang-orang di sekitarku yang membuatku mengenal kamu. Harapan yang kosong itu berisi amarah. Air mata yang membuatku tidak lagi merasakan dunia sekitar. Aku marah dengan air mataku sendiri. Betapa lancangnya ia datang untuk menjadi senjata bagi kaum perempuan dan aku tidak bisa pernah menerimanya. Ia adalah titik lemah, bagiku.


- sebuah bagian yang belum usai

Selasa, 07 Agustus 2012

Kereta Senja

di stasiun, kita pernah bertemu dan memulai kisah
tentang perjalanan anak manusia
ada suka dan duka yang membalut di dalamnya
ada senyum yang ternyata berbentuk air mata
ada air mata yang berwujud tawa

kita tak pernah tahu
sampai pada saatnya
kereta senja lewat, berlalu ke stasiun berikutnya

di gerbong-gerbong kereta
ada kesibukan dan egoisme manusia yang fasih
tapi kasih akan tetap nyata di tengah-tengah mereka
di tengah-tengahku, di antara kamu
menuju ke tempat berikutnya

kita tak perlu menyangkal bagian dari perpisahan
kereta senja merekam setiap langkah
ia mematri bahwa kita pernah jatuh cinta di dalam perjalanan
kita pernah duduk, saling kenal, saling tatap
untuk apa mengutuk petang kalau pagi tidak bisa membuatmu bahagia
adalah waktu yang sebenarnya merenggut kita

bahkan cinta itu sendiri tidak bisa abadi
kecuali

jika kau percaya cinta kita abadi



Jakarta, 7 Agustus 2012 | 18.59

A.A. - dalam sebuah inisial


Minggu, 05 Agustus 2012

Tukang Tulis, Bukan Penulis

Aku memang seorang tukang tulis
Bukan seorang penulis

Apa bedanya?

Aku sendiri tidak tahu.

Bahan baku tukang tulis dan penulis itu sama:

Huruf.

Tapi aku bukan penulis
Kalau ada yang bertanya apa profesiku, katakan saja:

Ia tukang tulis


Jakarta, 6 Agustus 2012 | 01.44
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 01 Agustus 2012

Prolog of August

i wish i can fly
above the sky
above the words
i wish...
i pray for you
then,
i will wait the goals

god has been waiting
since the 2012 came

Prolog of August

i wish i can fly
above the sky
above the words
i wish...
i pray for you
then,
i will wait the goals

god has been waiting
since the 2012 came

Jumat, 27 Juli 2012

Di Lorong Kereta

ada mereka yang berlalu begitu saja
menumpang lewat tanpa permisi
senja berlalu, bersama kereta melaju
dan waktu tersibak di dalam kaku


Jakarta, 27 Juli 2012 - 18.41

A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 24 Juli 2012

Membangun Rahasia

Setiap yang kautulis adalah rahasia
seperti rumah yang hendak kaudirikan
di balik tembok-temboknya, tak seorang pun tahu
apa yang kautanamkan untuk menjadikannya kokoh
di balik dasar tanah di mana tembok itu bersemayam
apa yang kaurahasiakan di dalamnya
bersama bongkah batu, bersama kata-kata
bersama puisi yang kautuliskan itu

Setiap yang kauucap adalah rahasia
seperti keputusanmu untuk pergi tanpa pesan
tanpa kabar yang akan menunjukkanku harus ke mana
membiarkan aku menerka-nerka ke mana engkau bertujuan
tanpa alasan apa yang membuatku bisa membiarkanmu pergi
dan ada rasa khawatir yang berevolusi bersama waktu yang kulintasi
mungkinkah itu rindu, aku bertanya suatu ketika
dan bila benar, kau hanya menginginkan aku
menjelmakan rindu sebagai rahasia, seperi yang kau ucap
bersama kalimat yang kaumadahkan ke langit

Setiap yang kauembuskan adalah rahasia
seperti yang tak dapat kuketahui
ketika itu aku hanya boleh merasakan semata
tanpa bisa menyentuhnya, memeluknya
dibiarkannya menyiksa, sama seperti rindu yang tak habis
kemudian tak ada yang menjemputnya
di mana semestinya ia bersandar kepada hatinya yang kosong

Setiap yang kaurindukan adalah rahasia
rindu itu rahasianya, dan aku tak bisa membongkar rahasiamu


maaf,
kalau memang benar, rindu yang menjadi rahasiamu






Jakarta, 25 Juli 2012 | 00.12

A.A.- dalam sebuah inisial

Minggu, 22 Juli 2012

Bagian yang Belum Usai

Kadang cinta dapat membelenggu siapa saja tanpa permisi, tanpa memikirkan di mana kita berada dan sedang apa kita saat itu. Dia bisa saja menggoda diri untuk berlari dari sebuah kenyataan dan mengundang kita untuk berada di dunia lain. Menggondol sebuah keyakinan bahwa benar kita sedang jatuh cinta dalam keadaan macam apapun. Dengan siapa saja kita hiraukan dengan persepsi bahwa cinta sebegitu menggoda kita pada sebuah situasi yang tak pernah sulit untuk ditekuni, merasakannya.

- sebuah bagian yang belum usai

Rabu, 18 Juli 2012

Meski Ada Matahari

Meski ada matahari di pagi ini
Aku tetap tak dapat melihat surga, G
Meski ada mataharu di pagi ini
Aku tetap merasa berbalut dingin, G
Mungking orang yang hatinya biasa terluka
Hanya bisa merasakan dingin, sedingin hatinya
Hanya bisa merasakan gelap, segelap lukanya


Bandung, 18 Juli 2012 | 08.09
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 08 Juli 2012

Kepada yang Tak Memiliki Segalanya

G,
Pada dasarnya memang kita tak memiliki apa-apa
sejak lahir, segalanya diawali dengan pemberian
bahkan untuk kembali pun, kita harus menyerahkannya kembali

G,
Pada dasarnya memang kita tak memiliki apa-apa
kita diciptakan untuk menciptakan hal yang lain
kemudian memberikan lagi kepada Yang Mencipta

G,
Pada dasarnya memang kita tak memiliki apa-apa
tak perlu tinggi-tinggi berharap, tak perlu sempurna
demikianlah apa yang harusnya, itulah yang kamu jalani



Jakarta, 8 Juli 2012 | 21.45
A.A. - dalam sebuah inisial

Bapa Kami

Kudengar seorang anak berdoa di pinggir jalan, katanya kepada Tuhan:

Bapa kami yang di sorga,
dikuduskanlah nama-Mu.
Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu,
di bumi seperti di sorga.
Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya,
dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni
orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.


Kemudian, air mataku meleleh.

Jatuh ke tanah, untuk menguap
Seperti doa-doa yang dilangitkan anak itu




Jakarta, 8 Juli 2012 | 21.39
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 03 Juli 2012

Baik

Sesederhana bahagia, itulah kebaikan sesungguhnya
kekalahan yang terkecap untuk dinikmati pahitnya
air mata yang mengalir mengajarkan melepas kebahagiaan
terluka yang terbekas meninggalkan perih yang membatin

lalu, bagaimana kamu menikmatinya?

Rasakan bahagia yang tersisa, melekat, dan jangan larut
dan kamu merasakan sesuatu yang baik
lantas, apa lagi yang harus kamu sangkal?



Jakarta, 3 Juli 2012 | 22.07
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 23 Juni 2012

Ketika di Suatu Masa

ketika segala khawatirmu membelenggu
tenanglah, G
setenang karang di lautan yang keras

ketika segala kegagalan berdiam untukmu
tersenyumlah, G
tak semua kegagalan itu sia-sia

ketika segala nestapa menunggumu
bersabarlah, G
nestapa itu mendewasakan dari luka

ketika segala kekecewaan melandamu
tertawalah, G
mungkin dunia mengajakmu bergurau

lelaplah, G

ketika di suatu masa akan ada yang lebih
lebih baik
lebih terang
lebih dari sesuatu yang kau pikirkan

lelaplah, larutlah dalam mimpi
seperti malam


Jakarta, 23 Juni 2012 | 22.40
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 22 Juni 2012

Langit di Jakarta


Picture from here



apa yang kau kenang dari kotamu itu
diam-diam lampu kota menyala
langitnya dari terang pun remang
kemudian gelap
kemudian tak lagi ada matahari
lalu orang bergegas pergi
lantas kembali pulang

diam-diam seorang karwayan belajar jatuh cinta
di tengah kemacetan
yang begitu asing di negeri lain

diam-diam seorang pengamen belajar berjuang
di tengah keterasingan
yang begitu keras dan tiada ampun

diam-diam seorang sopir belajar sabar
di tengah bah musiman
untuk lari dari keberadaan

di dalam kota yang begitu kecil
seperti sesak, di langit pun demikian
bahkan
langit di kota ini pun
terlalu sulit untuk menjadi terang lagi

kemudian
seorang pengemis kecil
yang mengiba di pinggir lampu merah
menatap tulisan
"Dirgahayu 485 DKI Jakarta"

ia pun bergetar membacanya
lirih, haru
sekaligus perih

"beginikah semua ibu?
bahkan termasuk ibukota?"
bisiknya di tengah klakson
yang memekakan telinganya



Jakarta, 22 Juni 2012 | 21.22
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 19 Juni 2012

Surat yang Tak Kunjung Usai

G,

Aku pernah menulis surat cinta. Sama seperti orang-orang yang pernah merasakan cinta. Mereka akan menuliskan apa saja, kapan saja, di mana saja. Tentang perasaan mereka yang malu-malu, tentang degup yang tak terdengar, tentang kesunyian yang begitu ramai. Tentang cinta itu sendiri.

Benar. Cinta seringkali membuat orang menjadi tidak berdaya, menjadi lebih berani sampai kepada nekat, menjadi siap untuk menghadapi segala sesuatu sampai kepada ketiadaan persiapan apa pun untuk dihadapi. Tapi cinta pula yang mengajarkan aku untuk bisa menuliskan perasaan. Menulis surat cinta.

Benar lagi. Surat cinta tak harus ditulis di atas kertas berwarna merah jambu. Tak pula perlu diberikan kecupan di penghujung tulisan. Tak perlu kata-kata romantis -yang sering kusebut picisan- dan membuatku tertawa sendiri. Seperti ada sesuatu yang tak terungkapkan di dalam kata-kata dan itulah mereka menyebutnya cinta.

Kemudian, masih banyak lagi cinta-cinta yang dimuarakan kepada angin, kepada air, dan kepada waktu. Mereka menggiring cinta itu entah ke mana, tetapi ia akan menemukan perhentiannya sendiri. Seperti kapal yang akan berlabuh, demikianlah cinta yang tiada pernah henti untuk terus dikredokan dan dimadahkan. Aku tetap dibuatnya bahagia.

Surat itu pun, tak kunjung usai. Sama seperti cinta.

G,

Surat cinta pun sama seperti cinta. Tak tahu kapan dimulai, tak tahu kapan diakhiri. Aku percaya cinta yang menuliskan kebenarannya di dalam surat-surat yang kubaktikan kepadamu. Dan aku pun selalu berdoa...

jangan pernah usai.






Jakarta, 19 Juni 2012 | 20.36
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 12 Juni 2012

Do What You Love, Love What You Do

Bekerja, bagi saya, adalah sebuah kesempatan untuk memaknai kehidupan sekecil apa pun itu. Bahkan, kebahagiaan pun dapat bersumber dari apa yang saya lakukan pada saat ini, pada waktu saya bekerja, atau hal-hal remeh yang sering dianggap orang sebagai kutukan atau beban yang harus dipikulnya.

Bekerja adalah momen untuk menangkap momen keindahan seminimal apa pun. Untuk saya, bekerja pun bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Tanpa pernah bisa diduga, kadang pula tanpa bisa direncanakan, atau bisa saja di dalam kondisi yang tidak diharapkan untuk bekerja.

Setidaknya saya adalah salah satu manusia yang paling berbahagia di dunia ini. Meskipun saya bekerja, sesungguhnya saya pun tidak merasakan apa yang dinamakan oleh orang-orang sebagai beban atau keterpaksaan. Saya bekerja atas dasar saya mencintai apa yang saya kerjakan, apa yang saya lakukan. Dengan demikian, saya pun sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Confucius bahwa dengan mencari pekerjaan yang sesuai dengan hatimu, engkau tidak akan pernah merasakan bekerja.

Itulah saya. Saya pun tidak merasakan bagaimana beban bekerja, malah sebaliknya, saya menganggapnya itu sebagai wahana permainan yang menyenangkan. Wahana di mana saya bisa bebas berpikir dan bertindak. Bebas untuk membebaskan diri sendiri.

Kalau ditanya, di mana saya bekerja, saya sendiri pun sering merasa kesulitan untuk menjawabnya. Pekerjaan saya hanya butuh media untuk menulis dan kebebasan untuk berpikir. Saya sering bekerja ketika sedang menunggu jam masuk kuliah, di restoran, di dalam mobil travel, atau sedang menunggu jadwal rapat. Saya pernah diharuskan membuat esai di tengah seminar sedang berlangsung. Atau saya pun pernah dikontak tengah malam di saat baru tiba di bandara untuk mengirimkan materi presentasi.

Semua itu saya lakukan tanpa beban. Saya melakukannya dengan cinta karena dengan berbagai alasan yang membuat saya mencintai pekerjaan saya. Tanpa perlu saya mengeluh, tapa perlu merasa tersiksa, dan saya pun melakukan sesuatu yang belum tentu orang lain dapat melakukannya: mencintai apa yang mereka lakukan, melakukan apa yang mereka cintai.

Tabik!



Jakarta, 12 Juni 2012 | 16.10
A.A. - dalma sebuah inisial

Minggu, 10 Juni 2012

Menjelang Pagi

G,
apa doa yang lebih baik daripada mendoakan mereka yang selalu kita kasihi? aku selalu memilih untuk mendoakan untuk kehidupan yang lebih bijaksana. aku selalu berdoa agar aku dan mereka yang kukasihi selalu siap untuk menghadapi hari, bukan lagi berdoa agar hari-hari yang memeluk setiap kita.

G,
apa ada pagi yang lebih baik daripada melihat mereka yang kita kasihi sedang terbangun? aku selalu menunggu pagi utuh agar mereka yang selalu kita kasihi bangun di dalam bahagianya, menceritakan mimpinya semalam. aku selalu menunggu matahari datang di mana harapan itu ikut terbit bersamanya.

G,
apa ada cerita yang tidak bisa membuatmu kembali menjadi manusia yang bahagia? aku menanti kabarmu yang paling baik di setiap pagi dan cerita sepanjang hari akan segera dimulai. aku ingin menjadi waktu di mana kamu tidak lagi dapat menghindari aku. kita sama-sama berjalan. kita ada di dalam dimensi yang seirama.

G,
pagi sedang aku tunggu. tepatnya menunggu harapan. menunggu seseorang yang akan bangun dan menceritakan mimpinya.



Jakarta, 11 Juni 2012 | 00.56
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 02 Juni 2012

Lebih dari Hujan Bulan Juni

:Sapardi Djoko Damono


sesungguhnya ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
ia tak merahasiakan rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

sesungguhnya ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
ia tak menghapus jejak-jejak kakinya
ia tak ragu di jalan itu

sesungguhnya ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
tak dibiarkannya yang tak terucapkan
tak terserap akar pohon bunga itu






Jakarta, 2 Juni 2012 | 08.28
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 22 Mei 2012

Life After Life

G yang baik,
pernahkah engkau percaya
tentang kehidupan setelah kematian
dan kehidupan itu yang menjadikan
seseorang menjadi lebih abadi
lebih merasakan akan kekal
dan berpihak kepada kenyataan

G yang baik,
kalaupun engkau tidak percaya
bila memang benar ada
kehidupan setelah kematian itu
kelak, ketika kita mengalaminya
tetaplah berbuat baik
senantiasalah untuk menjadi kekal

G yang baik,
dan bila jauh hari kau telah percaya
sudah kuaminkan engkau pasti
melakukan seribu satu hal yang baik
dari seribu kewajiban untuk berbuat baik
saat itu pula orang-orang mengagungkanmu
dan akan merindukanmu bila kau berlalu
entah ke mana



Bandung, 23 Mei 2012 | 00.51
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 19 Mei 2012

Anjangsana

seribu mil dari tempat kau berpijak
selalu ada yang menunggumu pulang
di depan beranda
akan mengajakmu bercengkrama

seribu mil dari tempat kau berpijak
ada yang dengan sabar menantimu
di depan pintu rumah
akan menarikmu masuk dan berteduh bersama

seribu mil dari tempat kau berpijak
ada yang selalu mengasihimu, tak henti
tak letih



Jakarta, 19 Mei 2012 | 20.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 12 Mei 2012

Hari Ini Empat Belas Tahun Lalu

Hari ini empat belas tahun lalu:

Sedang apa kau, sayang?

aku bermain senapan di depan DPR
aku bermain orasi di atas mimbar
aku bermain gas air mata di muka MPR

siapakah perduli?

aku yang akan dijerang peluru
aku yang akan berdarah jadikan mati
aku yang tergeletak di tengah Gatot Soebroto

selamatkah engkau?

dari huru hara itu
dari amukan itu
dari atas nama reformasi

engkaukah itu?

yang menjadi jenazah
yang masih berlarian
yang berdiri di mimbar

akankah kau kenang itu?

semua kematian yang jadinya kisah
semua perjuangan kita jadinya angan
semua tragedi hidup jadinya air mata

apa yang akan diwariskan pada mereka?

sebuah cita-cita atas reformasi
sebuah kemenangan untuk demokrasi
sebuah harapan yang jadikan mimpi adanya

Hari ini empat belas tahun lalu

akankah sejarah mencatatnya?




Jakarta, 13 Mei 1998 - 13 Mei 2012

Mari melawan LUPA!

Kamis, 03 Mei 2012

Sebuah Tanya

Bahagia itu,
seperti angin yang bisa dirasakan, tapi tak bisa disentuh
seperti laju bus yang akan selalu maju, tapi akan kembali lagi
seperti setan yang tak diundang, tapi bisa dilepas

Nestapa itu,
seperti neraka yang tak tahu di mana, tapi tahu bagaimana panasnya
seperti kapal yang begitu mewah, tapi karam pun pasti
seperti luka yang kering, tapi bekas tak bisa pudar


Lalu, mana yang kamu pilih? Menjadi bahagia atau nestapa?


: aku memilih untuk tidak memilih.




Bandung, 3 Mei 2012 | 23.19
A.A. - dalam sebuah inisial

Menulislah di Semeru

Dimuat di dalam buku Untukmu, Pena Inspirasi (2011)


Kepada Soe Hok-gie,

apa kau masih menulis di surga sana?

di Semeru di mana tulangmu berterbangan

masih senang mengkritik?

ah, kalau kau sekarang masih hidup

banyak yang bisa kau kritik

tapi, bukan hanya kau

demikian pula aku yang tetap menulis

kita yang pernah bermimpi tentang dunia

dunia yang tak pernah akan datang

Gie,

kalau kau memang ingin menetap di Semeru

titipkan salam kepada matahari

ucapkan cita-cita idealisme dan pluralisme kita

kita yang masih muda memang yang harus bergerak

tapi Gie,

kalau kau turun dari Semeru

jangan lupa kirimkan tulisanmu ke koran

biar mereka yang merasa busuk itu bungkam

meski kita masih bau kencur di mata mereka

Gie,

jangan pernah berhenti menulis

terus mendaki dan menetaplah di puncak Semeru

Jakarta, 19 Maret 2011 | 13.13

A.A. - dalam sebuah inisial


Rabu, 02 Mei 2012

Sajak Cinta di Tengah Hujan

G,

Hari Rabu terasa begitu kelabu. Seharian langit berwarna abu-abu, pertanda sendu dibawa oleh rindu. Beku, di dalam hampa yang begitu sunyi karena risau. Aku tahu ada kekosongan yang berbicara di antara kita karena jarak yang begitu jauh. Seorang musafir pun mengerti bagaimana perpisahan itu terjadi karena waktu. Tapi biarkan cinta yang bersemayam di dalam hati setiap orang yang merasa kelu.

Kalau memang kamu menyebutnya cinta, rindu itu biarkan melebur bersama waktu. Bagai es yang tak lagi bisa mempertahankan kebekuannya karena semua di dunia ini seperti bersifat semu. Pula duka itu bersifat bayang-bayang seperti bahagia yang bisa berganti bagaikan musim sepanjang waktu.

G,

Mencintaimu adalah menjadi bahagiaku. Mencintaimu adalah tugasku yang tidak mengenal perhentian akhir. Demikian semestinya terjadi, karena cinta itu yang membuat seseorang begitu berarti. Aku mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta, terluka di dalamnya, terpisah karenanya, dan terobati deminya. Ada pengorbanan yang harus diberikan untuk menerima yang lain. Tapi, mencintaimu adalah suatu kewajiban yang tidak boleh kuhentikan begitu saja.

G,

Bahagiaku adalah mencintaimu. Meski di dalam dukaku ada rasa rindu yang meletup, ada gerimis air mata yang membentuk aliran sungai di pipi. Secangkir kopi sebagai penawar perih rasa kangen yang mencabik-cabik membuatku mengerti ada kenangan yang tidak akan pernah hilang ditarik oleh waktu. Kenangan yang membuat seseorang berani untuk melihat cinta itu selalu ada, di dalam ketiadaan sekalipun.

Dan aku selalu percaya.



Bandung, 2 Mei 2012 | 22.00
A.A. - dalam sebuah inisial

Di Mana Sekolah Sesungguhnya?

Oleh: Aveline Agrippina


Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru. - Ki Hajar Dewantara



Tentu saja, saya bukanlah seorang yang ahli dalam bidang pendidikan. Saya pun masih belajar dan akan terus belajar. Saya tidak pernah diundang sebagai pembicara untuk pendidikan atau pula diajak menulis mengenai pendidikan. Ralat, mungkin diajak menulis pernah, tapi saya tolak karena bukanlah di sana letak keahlian saya. Saya bukan praktisi yang praktis bisa diteladani oleh para pendidik dan mereka yang terdidik.

Pendidikan di masa kini bukanlah sesuatu yang mewah lagi. Bukan termasuk di dalam kebutuhan sekunder apalagi tersier. Ia tak kalah pentingnya dengan apa yang dibutuhkan oleh hidup kita, yakni sandang, pangan, dan papan. Maka tidaklah mengherankan apabila orangtua terus berjerih payah untuk dapat menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Dengan gelar yang berderet, mereka meyakini anaknya dapat dijadikan lumbung masa depan yang hidup. Mereka akan bergantung kepada anak-anaknya di hari tua.

Untuk saya, sekolah yang ada saat ini bisa menjadi terbagi dua: satu, sebuah bangunan di mana guru dan murid berkumpul, mengadakan proses belajar-mengajar, dan memberikan hasil berupa nilai di dalam wujud apa pun. Kedua, sebuah proses di mana kita diperkenalkan kepada kehidupan yang sebenar-benarnya. Semua orang boleh mendefinisikan 'sekolah' menurut kepercayaan mereka masing-masing, termasuk Anda. Tak perlu terpaku dengan kata-kata di sini.

Bagi saya, sekolah sebagai bangunan hanyalah sebuah formalitas semata. Di sana, kita hanya diajarkan hal-hal mendasar untuk mengakrabi lingkungan sekitar. Mengerti tentang ilmu-ilmu yang berkembang di dunia ini. Bahkan mengajarkan kita untuk lebih ambisius untuk mengejar setinggi mungkin nilai yang dicapai, sebanyak mungkin deret gelar yang didapat. Ia hanya fasilitas resmi di mana membuktikan kita akan menjadi kaum yang terpelajar dengan ijazah yang kita genggam kelak setelah menyelesaikan pendidikan di sana.

Sekolah yang saya anggap sebagai benar-benar sekolah adalah ketika kita sudah terjun di dalam masyarakat itu sendiri. Ada ilmu-ilmu yang tidaklah terpakai saat menerjuninya. Di sana, kita dituntut terus untuk semakin giat di dalam belajar dan mengenal dunia seluas-luasnya. Kehidupan itulah yang sesungguhnya 'sekolah hidup' yang menghidupi saya. Menghidupi seseorang untuk bangun dari tidur, mewujudkan apa yang harus dicapainya.

Sekolah yang sesungguhnya tidaklah menghasilkan ijazah. Anda patut dikatakan lulus ketika Anda sudah menyelesaikan tugas di dalam kehidupan itu dengan sebaik-baiknya. Maka, tak perlu heran apabila saya selalu lebih banyak belajar kepada sekolah kehidupan dibandingkan di sekolah yang bersifat formalitas semata itu.

Sekolah yang sesungguhnya bukan hanya mengajarkan saya bagaimana mempertahankan hidup, tetapi bagaimana berbagi dan menerima, bagaimana mewujudkan mimpi yang selalu saya dambakan, bagaimana untuk bisa membuka mata, telinga, dan indera peraba lebih peka. Sekolah itu yang mengajarkan saya bagaimana membuka pikiran dan hati di dalam waktu yang bersamaan dan memutuskan seluruh hal dengan rasional tanpa perlu berteori. Sekolah yang mengajarkan saya untuk melihat dunia yang lebih luas, melihat kenyataan semanis dan sepahit apa pun itu.

Saya meyakini setiap orang memiliki sekolahnya sendiri. Entah di mana pun mereka, bagaimana pun keadaan mereka. Saya yakini mereka belajar di dalam sekolah yang mereka ciptakan, mereka lihat, dan mereka rasakan. Keterikatan batin antara sesama manusia yang bisa membentuk sekolah baru. Sekolah kehidupan, begitu saya menyebutnya. Tak perlu ada gelar berderet di dalamnya, tak perlu ijazah yang dibawa pulang. Yang membanggakan adalah ketika kau dinyatakan lulus di dalam sekolah kehidupan itu oleh orang-orang yang ada di sekitarmu sebagai gurunya.

Itulah sekolahku yang sesungguhnya, di mana sekolahmu?

Selamat belajar! Selamat Hari Pendidikan Nasional.



Bandung, 2 Mei 2012 | 09.21
A.A. - dalam sebuah inisial



*) Ada kerinduan tersendiri untuk bercerita, dan hari ini saya mengejawantahkannya. Menyenangkan sekali rasanya.

Selasa, 01 Mei 2012

The Prayer

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan kehidupan di dunia ini
sehingga aku tahu bahwa tujuan dari kehidupan itu adalah kematian
dan kematian itu yang mengajarkan aku untuk tidak pernah menyia-nyiakan kehidupan
karena kehidupan itulah yang membuat segalanya menjadi hal yang fana
dan aku tidak pernah bisa menafikan waktu yang berjalan yang menggiringku kepada usia tua
atau kepada waktu yang terbatas tanpa bisa kutebak atau kuterka

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan kebahagiaan di dunia ini
agar aku mengerti tentang kesedihan yang pernah atau sedang melanda hidupku
mereka akan selalu berganti, berseling bagai matahari di pagi dan bulan di malam
mereka yang memberikan senyum dan air mata bisa mengalir sendiri, atau mengalir bersama
biar aku tidak akan melewati setiap bahagiaku dengan rasa sedih, dan sedihku dengan bahagia
biarkan aku mencintai kehidupan ini dengan kebahagiaan dan kesedihan

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan rasa lelah di dunia ini
sehingga aku tidak selalu menjadi manusia yang bergiat akan menghabiskan waktu untuk bekerja
agar aku tidaklah menjadi manusia yang candu akan kerja seperti orang yang rakus akan kekayaan
tapi lewat rasa lelah yang aku alami itu, aku sadar jika aku pun hanya manusia yang terbatas
dan aku tidak melewati waktuku dengan melupakan orang-orang yang kukasihi
agar tidak melupakan untuk mengistirahatkan seluruh tubuhku yang bukanlah mesin yang harus dikontrol oleh teknisi
melainkan akulah yang harus mengerti segala keterbatasan yang kupunya

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan sakit di dunia ini
agar aku menghargai bagaimana nikmatnya sehat yang lebih banyak kau karuniakan
biar aku tahu bagaimana menderita di dalam kerusakan fisikku karena egoisku semata
dan sehat sangatlah bernilai ketika aku sudah merindukannya seperti induk yang dirindu anaknya
biar aku tahu sakit pun bisa datang dari tubuh yang kau ciptakan ini ada mereka yang mengasihiku
dan sesungguhnya aku tidaklah pernah hidup seorang diri, tidak boleh tidak peduli
karena kesembuhan itu berasal dari mereka yang mencintaiku

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan kesepian di dunia ini
karena keramaian pun tidak selalu dapat memberikan kedamaian secara lahiriah dan batiniah
melainkan kesepian itu bisa membuatku mengerti apa yang diriku butuhkan
lewat rasa sepi itulah aku tahu ada orang-orang yang mengisi waktunya bersamaku
tidak ingin membiarkan aku diam di dalam sepi seorang diri
mereka mau kuajak berbagi di dalam hening yang menikam atau sepi yang menyayat

terima kasih tuhan karena ada batas-batas yang kau ciptakan
agar aku mengerti untuk selalu bersyukur
agar aku mengerti untuk selalu berbagi
agar aku mengerti bagaimana untuk menerima
dan agar aku pahami darimana aku berasal dan akan kembali



Bandung, 1 Mei 2012 | 21.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 27 April 2012

Hari Ini, Seribu Tahun yang Lalu

mungkin alam tercipta dengan caranya yang dahsyat
dengan misteri yang tak seorang manusia pun mengerti
betapa kelamnya dunia tanpa hiruk-pikuk
atau ditemukan cara yang menarik mengisi kekosongan

andai nenek moyangku masih hidup
mungkin kini akan diceritakannya tentang kehidupan
yang sering diceritakan dalam dongeng-dongeng
diantarkannya aku dalam tidur kepada mimpi-mimpi
agar ada dunia baru tercipta dari kata-kata

manusia kini hanya mengerti tentang ramai
udara yang benar-benar tak terlihat hampir tak lagi ada
kupercaya nenekku akan bercerita betapa mudahnya ia menemukan
hanya cukup membuka jendela rumah dari atas pohon
diberikan hadiah pula oleh pagi dengan riuh cicit burung
berlomba mengisi suara pagi yang masih mengenal dingin

kalau nenekku bercerita tentang apa yang ada
di seribu tahun yang lalu
aku percaya, sekarang aku sedang tertidur
sembari mengigit jariku
karena iri yang begitu tinggi, iri yang ada di hati
untuk dunia yang masih mengenal hal-hal baik



Bandung, 27 April 2012 | 19.19
A.A.- dalam sebuah inisial

*) Ah, betapa baiknya waktu itu. Ia menunjukkan apa yang terjadi saat ini, apa yang aku rasakan sekarang, memberikan pertanda akan umur dan usia.

Rabu, 25 April 2012

Nocturnal

pabrik kata-kata memulai produksi ketika malam menjelang
buruh-buruh mulai bekerja
mesin-mesin menyala
asap pun mengepul tinggi

pabrik kata-kata mulai sibuk dengan setiap kata yang keluar
disusunnya dengan komposisi huruf
dirapikan dengan tanda baca
ditata di dalam paragraf

pabrik kata-kata bersiap mendistribusikan kata yang telah terproduksi
dibungkusnya rapi di dalam plastik esai
dimasukkannya ke dalam kotak cerita
disiapkannya untuk diberangkatkan kepada pembaca

kemudian, pagi menjelang, pabrik pun merasakan lelah
mesin-mesin dimatikan
buruh-buruh pulang
asap pun tak terlihat lagi

dan, setiap kata yang tercipta telah memilih pelanggannya sendiri, yakni pembaca


Bandung, 25 April 2012 | 23.34
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 16 April 2012

Perihal: Menunggu Pagi

G,
Begitulah keseharianku: menunggu pagi. Pagi yang utuh bagiku adalah pagi dengan matahari yang ada di langit, dingin yang menusuk-nusuk, dan embun yang masih bersandar mesra di dedaunan. Pagiku sempurna karena setangkup roti dan secangkir kopi tersedia lagi. Pagiku manis karena suara burung yang membangunkanku dengan perlahan. Pagiku indah karena aku bangun kembali untuk menunaikan tugas yang tak pernah usai. Aku tak lantas mengeluh, bukan keinginanku pula untuk hal itu.

Menunggu pagi adalah menunggu dengan baik, mengajarkan sabar kepadaku sampai tiba waktunya.



Bandung, 16 April 2012 | 04.18
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 10 April 2012

Waktu di Antara Kenyataan

G yang baik,
Pada akhirnya aku memilih untuk mengikuti kenyataan, entah seburuk dan semanis apa. Entah seperih dan segembira mana. Entah sejauh dan sedekat apa. Aku telah memilih untuk menjadi seseorang yang memiliki langkah ke mana harus berjalan di antara kesendirian dan keramaian; mengikuti waktu di antara kenyataan yang tidak lagi dapat ditolak.

Penyangkalan memang bisa membuat kita merasakan sakit sendiri. Lari daripada kenyataan bisa meruntuhkan jati diri yang penuh akan kebimbangan dan penolakan hanya akan membuat kita berpendar pada cahaya yang tidak membutuhkan kita.

G yang baik,
Senantiasa aku memilih langkahku sebagai awal dari hidup yang pasti bisa lebih banyak berharap. Harapanlah yang memberi kita porsi lebih untuk berani menghadapi kenyataan, sepahit apa pun itu.

Doaku selalu,

A.A.



Bandung, 10 April 2012 | 05.58
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 06 April 2012

19.56

entah apa yang menarik dengan angka itu
aku sendiri tidak tahu, tapi aku bergetar
di dalam diam hari ini, kelu bibir
aku menjadi enggan untuk berbicara lebih

kukatakan kepada kawanku tentang digit itu
katanya, ah, sekadar perasaanmu yang bisu
ada pula yang mengatakan hanya menit yang berlalu
tapi tubuhku bergetar ketika aku tahu apa yang ada

kata seorang kepadaku di dalam perjalanan
semakin dewasa, kita semakin takut akan kehilangan
kini aku percaya, sungguh kata-kata itu tak kusangkal
bahkan waktu yang akan berlalu pun aku takut kehilangannya

entah, aku merasa ada yang tidak biasa
dan entah apa pun itu, aku takut dengan kehilangan
seperti manusia dewasa lainnya
atau pula, aku takut untuk kehilangan masa kecil



Jakarta, 6 April 2012 | 20.02
A.A. - dalam sebuah inisial

Menunggu Pagi

Menunggu kehilangan malam
Kehilangan gelap yang paling gelap

Menunggu kedatangan pagi
Kedatangan terang yang paling terang

Ada yang datang dan pergi
Seperti apa pun yang telah ada di dunia

Untuk berakhir

Minggu, 25 Maret 2012

Maserasi Cakrawala

suatu ketika, seperti apa yang diduga
ibarat cengkiak yang tahu akan gula
semua yang tersembunyi tidaklah lagi rahasia
ia akan dibuka dengan caranya yang nyata
pada rahasianya sendiri, pada waktunya

kepercayaan adalah modular yang baik
seperti sampaian yang harus dijunjung
meski mencaduk semua keniscayaan
dan niskala!
hilang dari pemberontakan yang dipercaya akan maukuf
menyegel segala kepatrian iman yang hakiki

tuhan pun tahu apa insan yang inginkan
tak perlu mereka bertindak ala seorang yang merapu
pula mesti berukup untuk sesuatu yang ia tahu
biar ciptaannya tak perlu pondik
bertingkar di zona yang nyaman saja

dan biar cakrawala bermaserasi
guna waktu akan kepercayaan dan rahasia
mereka saling bergandeng




Bandung, 25 Maret 2012 | 07.15
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 19 Maret 2012

Eulogi


Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan karisma seorang bapak yang bisa melindungi anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak tidak bisa melindungi anaknya. Bapak lebih mirip perempuan yang sangat cengeng: curhat di sana-sini.

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan sosok orang tua yang bisa mendampingi anaknya dan tahu cara melengkapi kebutuhan anaknya dalam kesulitan apa pun. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak tidak bisa mendampingi dan melengkapi kebutuhan anaknya. Bapak lebih mirip sapi: mengeluh selalu.

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan orang tua yang tahu caranya melindungi anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak sudah mencari perlindungan dahulu untuk diri Bapak. Bapak lebih mirip tentara takut mati: kabur sebelum perang. (Eh, Bapak seorang militer 'kan?)

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan acara televisi yang menampilkan Bapak dengan wajah gagah dan tegas untuk berorasi, membakar semangat anak-anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak sudah melampiaskan curahan hati Bapak dengan gaya feminin. Bapak mirip remaja galau: mengeluarkan sikap cengeng.

Pak, Bapak sudah memilih jalan untuk menjadi siapa. Anak-anakmu pula tahu apa yang harus dituntut dari bapaknya. Mereka tidak meminta rumah yang bermiliaran seperti kediaman Bapak. Cukup bagi mereka rumah yang bisa melindungi dari panas dan hujan. Mereka tidak meminta mobil yang berharga ratusan juta seperti kendaraan Bapak lengkap dengan sopir. Cukup bagi mereka angkot, bus kota, atau sekadar berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya.

Bapak, Bapak membawa nama Bapak kami yang sebelumnya. Bapak Soekarno berat hati untuk menaikkan harga BBM. Bapak Soeharto gundah gulana untuk membebankan harga BBM kepada rakyat. Ya, saya tahu, Pak. Bapak pun berat hati. Tapi kedua bapak saya yang Bapak bawa-bawa namanya itu berani memberikan jaminan hidup yang lebih nyata.

Tiba-tiba saya ingin gerimis air mata. Bapak ternyata begitu lemah. Jaminan hidup untuk anak-anak di hari esok masih berupa tanda tanya. Entah, anak-anak Bapak akankah masih dapat makan esok, berangkat ke sekolah, atau masih bisa melanjutkan hari esok. Bukan rumah, bukan mobil, bukan harta kekayaan Bapak yang kami tuntut. Tapi gerak hati Bapak untuk tidak mengeluh kepada anak-anak Bapak.

Cukuplah anak-anak Bapak mengeluh kepada nasibnya sendiri, padahal Bapak bisa menolong mereka dari lidah Bapak yang sering berkata 'prihatin' itu.






Bandung, 19 Maret 2012 | 09.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 15 Maret 2012

Perihal: Waktu

G,

musim kemarau akan segera tiba
hari pun berganti terasa begitu cepat
tetapi biarlah, biar waktu berlari
dan bebaskanlah ia
bila ingin merenggutmu

karena ada kebahagiaan lain menunggu
di tepi waktu yang lain, G
percaya saja untuk hal itu

dan percaya, membuat kita berani menghadapi esok
termasuk kehilangan



Bandung, 15 Maret 2012 | 06.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 14 Maret 2012

Perihal: Dua Pertemuan, Tiga Tatap

G yang baik,

Bukankah kita tidak pernah berpikir atau merancang atau mengagendakan suatu pertemuan di awal tahun ini? Sebuah pertemuan telah membuatku berani menentukan pilihan yang seharusnya kuambil. Pada mulanya, kita tidaklah saling mengenal. Pada mulanya, kita bukanlah siapa yang mengerti tentang apa-apa. Tetapi pada akhirnya, kita tidak bisa menyangkal bahwa kita pernah saling kenal, bertemu, sapa, berbagi senyum, dan bertukar tawa.

Pertemuan seringkali dalam wujud yang tidak terduga, tidak bisa menduga-duga seperti kita menerka kapan matahari akan datang. Aku percaya, setelah dua pertemuan yang tersisa sejak hari ini, kita masih akan bertemu lagi entah di mana dan kapan. Kepercayaan yang telah membuatku berani, kepercayaan pula yang telah membentukku untuk siap dan sigap menantang kehilangan. Menantang perpisahan. Menantang epilog yang memang harus terjadi sebagai penutup sebuah perjalanan.

Lalu, ada janji yang pernah kusimpan diam-diam di lubuk hati ketika aku tahu terlalu banyak tentang kamu. Percayalah, aku tetap setia untuk menyimpannya di dalam wujud rahasia. Meskipun prinsipku tetap sama: aku lebih bahagia untuk tidak mengetahui apa yang seharusnya tidak kuketahui. Sikap itu kurasakan berubah, tapi aku tidak dapat memungkirinya. Membiarkannya tetap menjadi sebuah rahasia. Selalu kucoba untuk bersikap biasa saja, apa adanya. Aku coba untuk mengabaikan rahasia yang terbongkar itu, yang membuatku menganga sendiri. Tak percaya dengan apa yang telah terjadi.

G yang baik,

Setiap orang memiliki rahasianya sendiri. Seperti langit yang diam-diam memiliki misteri yang tidak bisa diungkap begitu saja. Semakin bertumbuh besar, seseorang akan memiliki tabir rahasia yang berlimpah. Biar saja berbagai tabir itu tersimpan rapi sebagai rahasia yang harus kamu jaga sampai kelak menutup mata. Bila rahasia itu terbongkar, mungkin memang saatnya ia tidak lagi terjaga sebagai sebuah rahasia.

Dan tetaplah percaya kepadaku, rahasiamu tetap kupegang erat sebagai rahasia.

G yang baik,

Pada akhirnya, kita harus siap dengan bentuk perpisahan bagaimanapun bentuknya. Hari ini merupakan salah satu pertemuan yang kunantikan dan akan kurindukan kelak. Tersisa satu pertemuan lagi yang kurasa bisa saja tidak bisa terwujud karena suatu hal yang tak terprediksi. G, aku akan selalu pulang ketika aku memang butuh pulang. Tapi bukan di hatimu aku akan berlabuh untuk pulang. Ia hanyalah dermaga sesaat. Dermaga yang ingin melepaskanku dari penat sesaat. Pulang yang sesungguhnya adalah ke hati yang kumiliki sendiri. Pulang yang sesungguhnya adalah ketika hati memang selalu merasakan hal yang paling nyaman.

Terima kasih untuk berbagi cerita. Terima kasih untuk berbagi cerita, canda, tawa, dan ilmu yang bisa saja terlupa dari bangku sekolah. Terima kasih telah mengisi hari-hariku setidaknya sepekan kita pernah berpapas wajah sekadar untuk bertukar senyum.

Dan itu, akan kurindukan kelak.





Bandung, 14 Maret 2012 | 06.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 13 Maret 2012

Perihal: Cinta

Manusia butuh rasa cinta untuk menetralisir segala beban kebencian yang dipikulnya, yang mendera dirinya, mencabik-cabik hatinya, dan bisa membuatnya bernanah karena waktu tidak bisa mengobatinya dengan bijaksana.


Rabu, 07 Maret 2012

Segenggam Mimpi

cuma soal keberanian untuk mewujudkannya
ditambah pula dengan perjuangan untuk mengejawantahkannya
itu, sangat cukup

Sabtu, 03 Maret 2012

Sekotak Kenangan

akhirnya,
aku tahu bahwa kenangan meninggalkan pesan di antara kesan yang tak bisa dibaca begitu saja.

Kamis, 01 Maret 2012

If I Could Be Where You Are

Where are you this moment
Only in my dreams
You're missing, but you're always
a heartbeat from me.

I'm lost now without you.
I don't know where you are.
I keep watching,
I keep hoping,
but time keeps us apart.

[chorus]
Is there a way I can find you?
Is there a sign I should know?
Is there a road I could follow,
to bring you back home?

Winter lies before me,
Now you're so far away
In the darkness of my dreaming
The light of you will stay

If I could be close beside you,
If I could be where you are,
If I could reach out and touch you,
And bring you back home.

[chorus]
Is there a way I can find you?
Is there a sign I should know?
Is there a road I could follow,
to bring you back home?

To me...



- Enya

Rabu, 29 Februari 2012

Epilog Februari

Kita akan berjumpa lagi
Di tahun mendatang, di tahun yang istimewa
Untuk sekali lagi perjalanan yang mahamanis

: terima kasih selalu




Bandung, 29 Februari 2012 | 16.19
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 27 Februari 2012

Senja

ada senja yang hadir sebagai horizon
dan itulah yang kusebut dengan namamu
sebuah keabadian dari hari-hari yang datang
kemudian pergi

kemudian berlalu

mengikuti keberadaan angin




Bandung, 27 Februari 2012 | 18.12
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 21 Februari 2012

Sebuah Suratan Pagi

:G

kuketahui hari ini
usia itu sangatlah siingkat
lebih singkat dari kata-kata
lebih singkat dari waktu


Jakarta, 21 Februari 2012 | 06.22
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 19 Februari 2012

Kepada Sebuah Malam

dan hidup ini terlalu fana, G
aku mengenal kamu bukan dalam waktu yang cepat
tapi aku juga kalut dalam takut untuk kehilangan
pada waktu yang terlalu cepat
sama cepatnya seperti malam menjadi pagi
dan pagi pun bisa menjadi tiada karena waktu

dan hidup ini terlalu perih, G
jika kita tahu sejak kecil tentang dunia yang sesungguhnya
aku tidak menginginkan kata-kata yang manis
kenapa tidak berani untuk tetap berkata jujur
kalau dunia adalah wahana di mana harus berjuang
peluh dan air mata adalah kawan yang paling karib

dan hidup ini terlalu singkat, G
aku tak tahu soal usia esok akankah masih ada
kalau ada, maka aku akan tetap bersukacita
kalau tiada, aku tidak akan memilih dukacita
cukuplah menjadi pertanda bahwa waktu
waktu bisa merenggut setiap kita
tanpa alarm yang berbunyi untuk menandakan
ada malaikat menunggu untuk berjalan-jalan
entah ke mana



Jakarta, 19 Januari 2012 | 23.35
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 17 Februari 2012

Perihal: Rahasia




:G



Ada di suatu waktu, kita hanya cukup mengetahui hal-hal yang cukup kita ketahui. Bila ingin tahu yang berlebih pun, kita harus siap dengan rasa sakit dengan rahasia-rahasia yang sebenarnya tak patut kita ketahui. Setiap rasa ingin tahu yang besar harus diikuti dengan persiapan akan rasa kecewa yang sama-sama besar. Tak semua harus kita ketahui dan tak semua harus dipecahkan sebagai hal yang bukan lagi rahasia.

Ada waktunya rahasia hanya perlu bersemayam sebagai rahasia.

Dengan rasa ingin tahuku yang begitu menggebu tentang kamu, aku memang harus siap dengan rasa kecewa yang akan menuntunku kepada seluruh sikapku kemudian hari. Berpura-pura tidak tahu, seakan semua biasa saja. Berpura-pura diam, seakan tak ada yang kusembunyikan. Itulah, mengapa ada kalanya rahasia cukup disimpan menjadi rahasia saja. Tak perlu diketahui orang pada umumnya.

Aku percaya, G.

Setiap orang memiliki masa lalu. Entah masa lalu yang kelam atau yang manis. Seperti langit yang bisa saja mendung tiba-tiba, kemudian cerah kembali atau malah memilih hujan. Setiap waktu, masa itu akan seseorang kenang sendiri. Itu cukup. Tak perlu dibagikan kepada rahasia-rahasia yang perlu ia genapkan untuk diungkap. Dan setiap persoalan di dunia ini hanyalah berdimensi untuk dipecahkan dan dikekalkan di setiap sejarah hidup seseorang.

Hari ini, aku telah cukup belajar mengetahui.

Mengetahui pun memiliki batas. Barangsiapa yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, ia pun harus siap memiliki rasa kecewa yang juga sama besarnya. Tidak semua hal harus kita ketahui.

Dan aku memilih hidup dalam menyimpan setiap rahasiamu. Rahasia kepada waktu. Rahasia kepada masa lalu.

Tak akan kuungkapkan kepada seorang satu pun kepada mereka yang mengetahui tentang kamu. Biar mereka bersikap sewajarnya, sebagaimana aku bersikap pura-pura tidak tahu apa yang pernah terjadi di masa lalu kepada dirimu. Itu jalan yang kutempuh untuk membahagiakanmu selalu. Membiarkan di waktu yang ternyata semakin sedikit ini, aku bisa melihatmu. Bisa selalu merasakan kedekatan yang tidaklah sedikit orang bisa meraba tentang hal tersebut.

Setiap manusia yang bertumbuh dewasa akan memiliki tabir rahasianya sendiri.

Begitu pula denganku, denganmu. Dengan kita.

Dan ada jalan yang tetap kupilih: menyimpan rahasiamu sebagai rahasia.




Bandung, 18 Februari 2012 | 04.46
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 15 Februari 2012

Perihal: Kecewa

hari ini aku belajar
ada kalanya manusia harus belajar untuk kecewa
karena tak seharusnya semua ia ketahui
karena tak seharusnya ia menginginkan membuka tabir rahasia

hari ini aku belajar
ada kalanya manusia harus menerima kecewa bagai pil pahit
karena di dunia ini, setiap insan menyimpan masa lalu
dan masa lalu tidaklah selalu manis untuk dikenang

hari ini aku belajar
ada kalanya manusia harus bersikap seakan tiada apa pun
karena di dunia ini ada hal-hal yang memang tak perlu dijangkau
cukup rahasia menjadi rahasia dan diam tetap diam

hari ini aku belajar
kecewa lebih peka dirasakan daripada gembira itu sendiri
tetapi tanpa kehadirannya, gembira pun tak tahu bagaimana disyukuri
sementara itu, luka akan selalu mengering meski berbekas

hari ini aku belajar
bersiaplah menerima kecewa seperti menerima bahagia
bersiaplah menerima lara seperti menerima gembira
bersiaplah menerima duka seperti menerima suka

karena dari sana,
kecewa adalah hal yang baik
sama baiknya dengan hal-hal baik yang orang inginkan



Bandung, 16 Februari 2013 | 01.23
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 12 Februari 2012

Prolog: Menuju Timur



Sesungguhnya, tak pernah ada di benak saya bahwa suatu kali saya akan menulis dan terus menulis. Sampai kini. Sampai kini pun saya tetap menulis, entah di mana saja, entah kapan saja. Kini, menulis sudah seperti bernapas bagi saya dan kebutuhan itu bisa membuat saya tetap hidup hingga kini.

Sebuah tawaran menarik datang dari teman saya ketika sedang mengerjakan proyek untuk dua buku. Tanyanya,"mengapa blog-mu yang sudah dikunjungi ribuan orang itu tidak kamu bukukan?" Belum terlintas untuk menjawab apa, dia kembali berujar,"bukukan saja yang terbaik. Dengan cara apa pun."

Akhirnya, saya pun sadar saya memang bukan orang yang rapi dalam mendokumentasikan tulisan saya. Hampir seluruhnya berantakan di mana-mana. Entah di catatan kuliah, catatan sewaktu sekolah, di dalam catatan telepon genggam, blog yang berkeliaran di mana-mana, di blog mikro, entah di mana saja.

Pada akhirnya, Menuju Timur inilah yang menjadikan seluruh catatan saya sedikit rapi. Setelah melewati tahap seleksi, menyusunnya, dan memilih akan diterbitkan dengan cara apa, ia pun terlahir. Prosesnya tak memakan waktu sampai setahun. Bahkan hanya beberapa bulan saja. Ia lebih banyak diendapkan daripada diproses.

Isinya pun banyak mengambil dari blog ini dan pada catatan-catatan saya yang biasa berkeliaran di mana-mana. Dokumentasi yang apik, menurut saya secara pribadi.

Rencana awalnya adalah buku ini akan dipublikasikan bersamaan dengan usia blog ini yang keempat. Tetapi karena saya sudah terikat kontrak dengan salah sebuah penerbit untuk penulisan naskah dan ada proyek lain yang harus dituntaskan mendekati bulan April, maka ia terlahir prematur.

Terima kasih untuk selalu dan tetap mendukung keberadaan blog ini sehingga ia telah menjadi nyata di muka bumi ini. Terima kasih untuk sebuah dedikasi yang besar yang sesungguhnya ini adalah perwujudtan cinta itu sendiri yang tidak pernah pergi begitu saja.

Apa pun keadaannya, ia telah ada. Ia telah lahir.

Selamat datang di dunia ini. Selamat menuju timur.




Bandung, 12 Februari 2012 | 09.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 07 Februari 2012

Perihal: Pertemuan

tentang satu peristiwa
dan kami diam-diam berbisik
menatap
menyimpan misteri
rindu akan sesuatu
menahan sakit
kemudian berlalu

pergi

dan meninggalkan semua
tak ada jejak yang disimpan
semua terlihat sia-sia



Bandung, 7 Februari 2012 | 21.54
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 03 Februari 2012

Ode untuk Bunda

dan satu-satunya orang yang tak bisa kudefinisikan
tapi kurasakan cintanya

sesederhana itulah

adapun tak ada kata terlambat
dan aku anakmu, akan pulang
menemuimu di dalam bahagiamu

bagimu, selamat ulang tahun
meski kuucapkan petang
waktu adalah tetap sama, untukmu



Bandung, 3 Februari 2012 | 19.37
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 01 Februari 2012

Hujan Bulan Februari

di bawah rintik, ada yang mengiba
untuk mengalami dan menjalani
sebuah tautan perjalanan yang tak biasa
untuk merintis tujuan pasti

di bawah rintik, ada yang mengiba
biar setiap keping kehidupan
memiliki arti yang semestinya
agar kepastian pun mutlak adanya

di bawah rintik, ada yang mengiba
rindu, rindu, rindu, rindu, dan rindu
ia mencumbu pada keping kehidupan
pula mengadu pada tautan perjalanan

di bawah rintik, ada yang mengiba
sebuah pertemuan, sebuah perpisahan
jarak membentang untuk bersua lagi
diam-diam memendam keberadaan

di bawah rintik, ada yang mengiba
kemudian tak ada yang tahu jawaban
dan memang tidak perlu kata-kata untuknya
ia akan menemukan jalannya sendiri

di bawah rintik, ada yang mengiba
kamu tersenyum, menyisipkan harap
yang berjalan bagai bayang-bayang
bagai semu di musim semi


Bandung, 1 Februari 2012 | 07.20
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 20 Januari 2012

Gracias

Dear W,

I wanna say thank you for your kindness, for the experiences, and your trusts.
I wanna say thank you for the nice lessons, for the spirit, and anything.
Finally, I decided to resign from my position.
I'm sorry if I cannot do the best and I can't make you proud of it.

Cause I thought the happiness doesn't come from money and many treasure.
But happiness comes from what we do with love and we enjoy to do that.

Mari Menyeleksi Kritik

Satu hal yang tidak dapat dipungkiri dari seluruh karya yang dihasilkan dan dipublikasikan secara umum di dunia ini adalah kritik. Kritik menjadi sebuah senjata bagi pembaca, penonton, atau pula pendengar untuk melampiaskan kekecewaan mereka terhadap apa yang mereka baca, mereka tonoton, atau pula mereka dengar. Kritik adalah tanggapan yang paling nyata terhadap karya yang dipublikasikan dan menjadikan sebuah pertimbangan atas baik-buruknya sebuah karya.

Tapi tidak semua orang bisa menyampaikan kritik dengan baik dan bijaksana. Ditambah lagi bila yang lahir adalah kritik yang keras, kritik yang lebih bernada emosional, atau kritik yang benar-benar mencela terhadap karya dan proses kreatif kita. Sayangnya, semua kritik yang ada harus diterima dengan berbagai cara yang mampu kita sikapi.

Yang menjadi pertanyaannya kini: apakah semua kritik tersebut harus dikelola?

Bila pertanyaan tersebut datang kepada saya, maka saya akan menjawab tidak.

Bagi saya, kritik tidaklah harus seluruhnya dikelola untuk karya yang akan datang meskipun wajib diterima bagi seluruh karya. Anggap saja itu sebagai masukan yang baik walau dengan cara yang tidak selamanya baik. Untuk menyikapi kritik tersebut, maka saya selalu memberikan alternatif bagi diri saya sebagai cara efisiensi terhadap karya mendatang: menyeleksi kritik.

Ada lima poin yang saya tawarkan untuk diri saya sendiri ketika sebuah kritik sudah masuk dan harus saya terima. Menerima kritik dengan lapang dada memang sebuah cara yang benar, tetapi menyeleksi kritik -bagi saya- adalah cara yang benar untuk menebus perbaikan terhadap karya saya. Lima poin tersebut adalah isi dari kritik, sasaran kritik, cara mengkritik, selera sang kritikus, dan saran yang diberikan.

Isi dari kritik selalu saya cantumkan sebagai nomor wahid untuk menelusuri di mana letak kesalahan atau kelemahan karya saya. Bila lahir dua-tiga kritik dengan isi yang serupa, tentulah itu bukan soal selera lagi yang bicara, melainkan objektivitas yang sudah menilai. Apalagi yang disampaikannya adalah pada titik kelemahan yang sama. Seringkali saya menuntut tiga sampai lima teman saya yang saya anggap baik untuk memberikan kritik terhadap apa yang saya tuliskan. Dengan syarat yang saya tanamkan bagi diri saya sendiri yaitu isi kritik yang sudah bernada sama pada titik kesalahan yang sama, di sanalah kritik memang harus dikelola.

Sasaran kritik menjadi poin berikutnya yang bagi saya cukup penting. Mengapa? Untuk saya, ada dua sasaran terhadap suatu kritik itu sendiri: yang pertama adalah untuk perbaikan karya dengan iktikad yang baik, kedua adalah untuk menjatuhkan karya serta orang yang membuat karya tersebut dengan iktikad yang belum tentulah baik. Maka, alternatif berikutnya bagi diri saya adalah saya melihat sasaran kritik tersebut ke arah mana.

Dari mana saya mengetahui sasaran kritik tersebut mengarah untuk ke arah yang lebih baik atau hanya sekadar keinginan untuk menjatuhkan? Dari cara menyampaikannya dan isi dari kritik tersebut. Bila isi dari kritik hanya membandingkan seluruh sisi negatif saja dan dengan kata-kata yang ketus, tentu menjadi tanda yang harus dipikirkan kembali apakah kritik tersebut untuk kebaikan atau sebaliknya.

Cara mengkritik bagi setiap orang tentulah berbeda-beda. Bila Anda menerima kritik dengan kata-kata hujatan yang membanjir, terima saja dan silakan memilih jalan mana yang akan Anda tempuh: abaikan atau sikapi dengan cara yang sopan. Maka dengan cara yang sopan akan membuat sang kritikus pun bisa mati daya dengan cara kritiknya yang tidaklah baik tersebut. Kritik dengan banjir akan hujatan tidaklah selalu bernada positif, malah bisa sebaliknya. Boleh saja pembaca kecewa dengan apa yang dibacanya, boleh pula dilampiaskan di dalam kritik, tetapi tak perlu ada kata umpatan di dalamnya. Karena umpatan bukanlah menghasilkan perbaikan, tidak menunjukkan kesalahan, dan apakah benar bisa memberikan saran yang sesungguhnya.

Yang menjadi bagian yang penting bagi saya adalah selera sang kritikus. Mari berandai-andai saja untuk hal ini. Anggaplah Kritikus A merupakan seorang yang suka membaca novel teenlit. Ketika saya menyodorkan naskah novel yang bergenre perang dan sejarah, bisa saja kritik yang diberikan bukanlah kritik yang sesungguhnya. Maka, ketepatan terhadap seseorang yang mampu untuk memberikan kritik adalah nilai yang tepat. Jangan sampai kritik yang diberikan malah menjatuhkan karya Anda karena faktor selera yang berbeda. Nilailah karya tersebut kepada orang yang tepat.

Di bagian yang saya anggap perlu adalah saran. Kritik yang baik tentunya akan disertakan saran. Gunanya untuk apa? Sangatlah besar kegunaannya. Lihat saja berapa banyak karya besar yang lahir karena kritik dan saran. Sungguh tepatlah jika saran dapat dicantumkan.

Berdasarkan poin-poin tersebut saya menyeleksi kritik yang akan saya terima. Cukuplah berterima kasih kepada kritikus dengan niat apa pun ia sudah memberikan apresiasi terhadap karya kita. Tetapi untuk mengelolanya, seleksilah kritik mana yang tepat untuk karya Anda, karena karya Anda (yang saya selalu percaya) tidak melulu membutuhkan kritik atas dasar selera. Seleksilah kritik mana yang layak dan tidak, itu cukup.

Nah, terimalah kritik yang ada dengan santun meski melukai Anda dan karya Anda, tetapi seleksilah kritik tersebut apakah Anda aminkan atau tidak. Dengan demikian, kritik pun tepat pada sasaran guna perbaikan untuk karya berikutnya.

Selamat berkarya.



Salam dari tukang kritik yang pasif,


Bandung, 20 Januari 2012 | 17.39
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 17 Januari 2012

Kamu. Cinta. Lalu Apa?

Kamu menyebutnya cinta, aku menyebutnya sayang. Keduanya terlihat berbeda, tetapi jalan menujunya selalu sama.

Biar jarak menjadi pemisah; biar aku tak letih-letihnya mencari jalan untuk menujumu selalu.

Sesungguhnya tidaklah sulit untuk menemukan bahagia, sesungguhnya bahagia itu tentang kamu. Kamu yang selalu hadir.

Mengeja namamu dalam bisu, terlalu manis ketika kita hanya bisa bicara tetapi tak memahami dan tak menikmati setiap lekuk aksaranya.

Selamat malam bagimu, selamat pagi bagiku. Berbeda dimensi waktu tidak mewajibkan kita berbeda saling mempercayai hati.

Biar cinta yang memenjarakan hidupmu agar kau merasa terlindungi dari marabahaya. Biar kasih yang menerangi gelapmu agar kau merasa damai.

Doamu di setiap rasa rindu adalah bahagiaku yang memiliki tempat tersendiri. Ia adalah hadiah yang paling manis yang ada di dunia ini.

Mungkin tuan akan bertanya kepada saya: untuk apa kamu jatuh cinta? Jawab saya sederhana: memaknai hidup yang manis.



Kamu


Kamu adalah titik-titik rindu yang menyatu, membuat garis yang penuh dengan bayang-bayang entah kapan kita bertemu.

Kamu adalah kata-kata yang tak pernah hilang.

Kamu adalah setapak jalan yang akan selalu kutelusuri dan tak letih-letih kupatrikan jejak.

Kamu adalah sebuah bintang di langit yang akan selalu berpendar untuk menjadi penunjuk langkahku.

Kamu adalah sebuah buku yang tak akan habis-habisnya kubaca, kutelusuri aksara dalam tubuhmu tiada henti.

Kamu adalah sepotong mozaik yang hilang dan ditemukan dengan cara yang baik dan bijaksana, tidak secara kebetulan semata.

Kamu adalah baris-baris hujan yang turun, mengirimkan seribu kenangan lewat kunang-kunang, dan meninggalkan pesan tanpa riskan.

Kamu adalah kata-kata yang tak lepas, merekat dalam kalbu yang paling dalam.




Cinta


Cinta seringkali membuat orang lebih naif, atau bisa lebih malu-malu. Cinta pula bisa menghidupkan kembali, tetapi juga membunuh.

Cinta pula yang membuat orang merasakan ramai, tetapi bisa merasakan sepi. Orang bisa menentukan atau bingung tentang hidupnya karena cinta.

Seberapa benci kita menguraikan kalimat tanya, sementara harus diinsafi bahwa cinta adalah tanda tanya yang paling besar di dunia ini.




Lalu apa?





Medio Januari 2012
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 16 Januari 2012

Tentang Kamu




Tentang kamu,
yang sesungguhnya tak pernah lari
dan selalu ada





Bandung, 16 Januari 2012 | 17.55
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 11 Januari 2012

A Path

dari banyak keputusan,
saya telah memilih

dari banyak kesempatan,
saya telah menggunakan

dari banyak cerita,
saya telah menikmati

dari banyak taburan,
saya telah menuai

dari banyak rahmat
saya telah mensyukurinya

dari banyak segala
saya telah mengecapnya

dan ini menjadi sebuah langkah


that's it a path
i start, i fight, and i win



Jakarta, 11 Januari 2011 | 11.17
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 08 Januari 2012

Penyangkalan

adalah ketidaksanggupan atau ketidakbisaan
menerima segala sesuatu yang membuat
seseorang terpaksa menyangkal
menolak keberadaan yang lain atau dirinya sendiri
dan tentunya akan membentuk bilur-bilur luka baru
sementara luka lain belumlah usai
belum kering

setidaknya menerima dan merelakan dengan hati yang paling iba
adalah kunci dari pintu dendam yang tertutup terlalu erat.




Jakarta, 8 Januari 2012 | 21.04
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 06 Januari 2012

Surat Tentang Suratan

Pro I,
seorang sahabat, teman perjalanan, kisah di dalam sebuah kisah.


It is good to have an end to journey toward; but it is the journey that matters, in the end. - Ernest Hemingway



Apa kabarmu? Aku tidak menemukan kata-kata yang lebih layak daripada bertanya tentang kabarmu. Lama kita tak bersua, duduk di kedai kopi dari siang sampai tengah malam. Cangkir berganti cangkir, gelas berganti gelas, pembicaraan berganti pembicaraan. Sesekali kita mendiskusikan tentang manuskrip yang tak pernah selesai itu diselingi gelak tawa yang mengundang perhatian pengunjung lainnya. Tapi aku suka. Aku suka bila mereka tahu kita pun dapat bahagia dengan duduk memegang cangkir atau gelas, menyeruput kopi, dan tawa yang nyaris tiada henti.

Telah lama aku hendak menuliskan surat kepadamu. Ada sedikit dari ribuan kisah yang hendak kubagikan kepadamu tentang kunjunganku ke berbagai tempat, berinteraksi dengan banyak orang, dan menemukan esensi yang menarik yang sepatutnya kau ketahui sebagaimana kerap kau bagikan kepadaku. Dapatlah kau katakan ini adalah catatan perjalanan yang kurangkum dengan caranya tersendiri.

Telah tiga pekan aku berada di kota ini. Tentunya interaksi yang kulakukan kepada sekelilingku juga semakin banyak. Aku mendiskusikan tentang buku, musik, film, penerbitan, plagiarisme, konsep perjalanan, sampai kepada soal yang paling bodoh: cinta. Aku tidak tahu mengapa sampai sekarang aku menyebut pembicaraan soal cinta adalah pembicaraan yang bodoh. Tapi aku suka. Aku suka membicarakannya tiada henti.

Baiklah, aku mengawalinya dari sini saja.

Akhirnya aku bertemu dengannya. Awalnya aku membuat perjanjian dengannya di kedai kopi. Tetapi ada satu dan lain hal, akhirnya kusambangi ia untuk bertemu di depan perpustakaan desa yang telah ditutup karena hari menjelang sore. Bagiku, bertemu di mana saja bukanlah sebuah masalah. Yang penting: bertemu. Sesederhana itu saja.

Aku pernah bertemu dengan kawanku di tengah jalan. Membuat janji dengannya di tengah jalan pada pukul sepuluh malam. Aku nangkring begitu saja di atas motor dan menunggu mobilnya berhenti di depanku. Dan benar saja kalau kau menduga bahwa aku dan dia berdiskusi di pinggir jalan. Sewaktu itu, di Bandung, jalan sedikit lebih ramai dari biasanya. Kurasa ini karena efek dari akhir pekan. Dingin masih bisa menembus ke pori-pori kulit meski aku telah mengenakan jaket yang cukup tebal yang biasanya kukenakan saat aku mendaki gunung.

Tapi pembicaraan tidaklah sebeku yang kau kira, tidak sedingin angin Bandung. Seperti biasa saja, seperti kawan lama yang hendak bertemu dan peluk sapa. Kami bermain di dalam kata-kata.

Begitu pula dengan pertemuan bersama kawanku yang satu itu. Hujan baru saja usai turun dan kita bersua tepat di depan perpustakaan. Berbicara banyak hal tentang buku, puisi, cerpen, sampai pada penerbitan. Aku tak tahu mengapa tiap kali bertemu dengan kawan yang satu ini pasti topiknya selalu sama dan aku tidak pernah bosan bercerita tentang hal yang itu-itu saja. Mungkin karena lama tidak bersua dan setumpuk percakapan pun tetap saja menarik.

"Semakin gemuk saja setelah jalan-jalan keluar negeri."

Balasnya adalah gelak tawa. Aku tersenyum saja. Cukup. Diskusi kami cukup panjang dengan durasi nyaris 75 menit. Aku yang harus pergi karena sudah ada janji lain untuk pertemuan online dengan karib yang lain. Sedikit gila aku di hari itu dengan nekatnya membuat perjanjian pada jadwal yang begitu cepat dan mepet.

Ada bingkisan yang diberikannya kepadaku. Pembatas buku dan gantungan kunci. Sebenarnya aku mengharapkannya memberikanku hanya pembatas buku saja. Tapi tak apalah, sudah diberi pun adalah hal yang baik. Terima kasih kepadamu, kawan, kalau tanpa sengaja kau mampir ke lamanku untuk kawanku yang kusebut di atas itu.

Kemudian, aku bermain di sebuah kantor penerbitan. Cukup lama. Padahal kawan-kawanku sudah menunggu di tempat lain. Kuundur saja janji dengan kawanku itu sampai pukul sembilan malam barulah kami bertemu. Sudah cukup lama aku tidak bermain di sana sampai larut malam.

Aku tiba sekitar pukul sebelas siang. Kabarnya, akan ada penulis yang menandatangani bukunya bertepatan dengan kedatanganku. Setibanya, aku lebih cenderung bermain-main dengan buku-buku, bacaan-bacaan yang tergeletak begitu saja. Aku tak tahu bagaimana menyebut 'kerja' dengan sesuatu yang kusukai. Bagiku, bekerja dengan apa yang kusenangi bukan lagi sebuah beban, tetapi sebagai wahana bermain.

"Kapan novel lo?"

Pertanyaan itu lahir dari seorang editor di balik bertumpuk-tumpuk buku bersampul hitam. Glek! Pertanyaan itu pernah lahir di awal Januari tahun lalu. Terasa deja vu. Benar saja, aku belum pernah menuliskan novel. Hanya cerpen, sajak, atau sekadar esai yang dipesan.

"Gue yakin lo ada interest ke sana."

Ya, aku mengangguk sembari tersenyum. Aku tidak dapat memungkirinya. Dengan sebuah pertanyaan,"dari mana aku memulai?" dan jawabannya adalah "lo tulis aja yang sesuai dengan lo sebagai permulaan."

Ah, baiklah! Sebuah pelajaran, menarik!

"Deadline-nya dong, Kak."

"Karena pertama kali, tiga bulan!"

Kusambut lagi kata-katanya dengan tawa. Tiga bulan! Glek! Tapi tak ada salahnya mencoba kalau benar-benar sebuah manuskrip pertama ditulis dalam tiga bulan. Mencari ide, merawinya, mengejawantahkannya, kemudian mengirimkannya sebagai pelunasan utang. Manis!

Ya, sedikit aku ingin bercerita. Sesungguhnya aku pernah mencoba menulis novel, tetapi karena satu dan lain hal, novel itu kandas di tengah jalan. Ya, lenyap begitu saja.

Masih asri dan hijau, begitu ketika aku menengokkan kepalaku ke halaman belakang kantor redaksi ini. Terngiang pertama kali saat aku mendapat panggilan dari kantor ini. Satu-satunya yang paling muda! Matilah aku saat itu setelah aku tahu satu-satunya manusia yang menyandang gelar SMA. Aku duduk di tengah. Kiriku saat itu adalah laki-laki yang berjaket BEM UI. Seingatku ia adalah seorang mahasiswa Sastra Korea. Digenggamannya ada buku Negeri 5 Menara dari A. Fuadi sebagai caranya menghabiskan waktu untuk menunggu waktu wawancara. Di sebelah kanan, seorang lelaki pula. Kurasa ia adalah mahasiswa juga. Dihabiskannya waktu menunggu dengan mendengarkan musik sembari tidur.

Awalnya aku hanya iseng. Iseng mengirimkan lamaran sebagai pengulas pertama naskah mana yang siap naik. Kupikir merekalah yang sudah menyandang gelar mahasiswa yang bakal diterima. Sedangkan aku? Mari tertawa! Dan di sore menjelang akhir pekan, aku menerima telepon dari editor yang kuceritakan di atas itu dua tahun yang lalu. Saat itu, baru saja aku di atas kendaraan, hendak pulang ke rumah setelah menyelesaikan rutinitas.

"Masih kosong di hari Sabtu?"

Kuiyakan saja. Memang waktu itu aku sedang kosong di akhir pekan. Tidak sesibuk sekarang dengan berbagai rutinitas yang ada. Dan esoknya adalah kali kedua aku datang ke kantor itu. Bertemu dengan editor-editor lain. Kelak kuceritakan lebih banyak lagi tentang pertemuan-pertemuan yang sudah-sudah.

Aku memilih untuk menyelesaikan apa yang harusnya kukerjakan di hari itu di balik kubikel setelah membantu seorang penulis menandatangani bukunya tersebut. Kemudian bercakap-cakap banyak hal sampai pukul tujuh malam. Kemudian aku pun pamit.

I yang baik,

Masih ingat bukan ketika aku menceritakan bahwa aku hendak menghabiskan musim penghujan di Yogyakarta? Tetiba kuurungkan karena sebuah telepon datang dan menawarkan sebuah pertemuan. Kutunda lagi dan lagi perjalanan menuju ke sana. Kupilih menghabiskan liburanku di ibukota saja. Bertemu dengan kawan-kawan lama. Yang penting aku berjalan-jalan, entah dengan siapa saja dan ke mana saja.

Mungkin perjalananku adalah perjalanan sederhana di mana setiap orang bisa saja menikmatinya, menjalaninya. Tapi itulah aku. Lebih memilih untuk bercerita seperti ini. Berbagi kepadamu apa yang hendak kubagikan. Cukup lama bukan kamu menunggu cerita tentang kunjunganku semacam ini? Dan inilah yang dapat kubagikan kepadamu.

Kupikir perjalanan bukanlah ke mana kita harus pergi, berlomba siapa yang sampai dahulu di tempat yang paling jauh, berapa banyak jejak langkah yang kita tinggalkan. Bagiku perjalanan adalah memaknai setiap segmen rutinitas dengan sederhana.

Itu dulu ceritaku. Kalau cukup banyak waktu, aku akan bercerita lebih banyak lagi. Tentunya di sisa liburanku, aku masih memiliki kesempatan untuk berkunjung ke mana pun. Kuceritakan kelak. Ingatkan aku biar aku tak letih-letihnya berbagi setiap langkah yang kupatrikan di mana saja kepadamu.

Semoga hari-harimu manis dan kau tak mengenal lelah untuk tetap tersenyum.

Tabik!



Peluk dari sahabatmu selalu,


Jakarta, 6 Januari 2011 | 11.02
A.A. - dalam sebuah inisial




I adalah tokoh fiktif yang diceritakan oleh A.A. Kamu, yang sebagai pembaca, bebas menerjemahkan sosok I seperti kehendakmu. Semoga pertanyaan siapa I terjawab dan tak perlu kamu menduga-duga ia laki-laki mana lagi atau perempuan yang macam apa. Kamu bebas menjelmakan I sebagai apa saja. ~ Tukang Tulis.