Senin, 29 Maret 2010

Ai

Ai,
kepada senja yang menanti fajar
kita pernah menjumpati semua rentasan rindu
seperti laut yang menjadikan garam ada
dan siap meniadakan garam itu pula

Ai,
seperti itulah ketika cinta berada
tiada tawar yang dapat kita rasakan
ketika mereka semua sudah mendapatkan tempatnya
dan aku dan kamu, menikmatinya saja

Ai,
bagaimana kita merasakan sesuatu
ada gulatan rasa yang meletup-letup
perlahan bagai godam yang mengetuk besi
akan membengkokkan cerita kita

Ai,
seperti itulah cinta akan menempatkan diri
di antara rindu yang saling mengejar
ada benci dan suka yang bergelut di dalamnya
semakin kita bisa merasakan, maka hanyutlah kita
---- pada keyakinan, semestinya cinta demikian adanya




Jakarta, 29 Maret 2010 | 8.47
AA. - dalam sebuah inisial

Jumat, 26 Maret 2010

Donna, Donna

On a wagon bound for market
there?s a calf with a mournful eye.
High above him there?s a swallow,
winging swiftly through the sky.

Reff:
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summers night.

Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.

Stop complaining! said the farmer,
Who told you a calf to be?
Why don?t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?

Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.





Joan Baez

Selasa, 23 Maret 2010

Membaca Cinta

Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal: orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca. - Charles Jones

Dua minggu lagi. Ya, tinggal dua minggu lagi saya berkutat dengan naskah setumpuk di meja kerja, setiap waktu kosong membukanya, membacanya, dan mencoba menikmatinya. Dua minggu lagi saya mele
wati malam-malam panjang saya dengan membaca dan kemudian kehidupan saya akanlah lagi kembali seperti biasa. Di sisi lain amatlah menyenangkan, namun saya percaya saya akan kehilangan momentum-momentum seperti itu.

Saya menikmati pekerjaan ini. Pekerjaan yang hanya butuh dikerjakan di rumah atau di mana kita bisa membuatnya kapan saja. Deadline
satu minggu saya rasa adalah hal yang baik. Orang seperti saya memang harus ditenggat dengan garis mati itu. Lha? Kalau tidak, saya bisa terlena dengan kesantaian saya. Masa kerja saya dengan salah satu penerbitan hampir habis, hampir.

Sudah 15 naskah yang saya baca bersama rekan-rekan satu tim di dalam penerbitan itu. Banyak sekali tema yang diangkat oleh penulis dan dari berbagai macam rasa dan cara menceritakannya. Banyak naskah yang menarik dan lebih banyak lagi naskah yang terpaksa dipulangkan kepada ayah-ibunya karena tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Selama bekerja di sini, saya mengenal dekat berbagai orang yang berada di belakang buku. Dan kini, saya salah seorangnya -untuk sementara waktu saja-. Kami berbagi cerita penulisan, cara menerbitkan, dan banyak lainnya. Setiap Sabtu, kami berkumpul. Bertukar cerita mengenai naskah yang kami baca dan diselingi senda gurau.

Rekan-rekan kerja saya bukanlah mereka yang memang fokus untuk penerbitan. Tidak! Mereka adalah mahasiswa atau karyawan kantor yang masih muda. Saya? Hahaha... Tak perlu ditanya. Pokoknya saya yang paling muda di antara mereka semua itu. Percaya saja! Saya tak berani bohong soal ini.

Pekerjaan yang hanya sekadar membaca ini menuntut saya untuk menerima semua naskah tersebut apa adanya. Mau tak mau. Saya tidak bisa menuntut genre apa yang ingin saya baca, melainkan genre tersebut haruslah saya baca. Awalnya membaca seperti itu adalah membaca yang sangat menyiksa dan memaksa sekali. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, saya mulai bisa beradaptasi dengan itu semua. Saya mulai bisa membacanya dengan cinta.

Saya menikmati pekerjaan saya. Sungguh! Pekerjaan yang ternikmat yang pernah saya lakukan. Sekadar membaca kemudian memberikan penilaian terhadap naskah yang tinggal memilih dua arah: kantor pos atau divisi editing. Begitulah, bekerja yang sesuai dengan hobi dan minat. Betapa menyenangkannya!

Bekerja di sini tak bedanya dengan membaca cinta. Seperti membaca semua naskah saya yang tak jauh tentang cinta. Cinta memberikan rasa serius yang lebih tetapi lebih mendalam memberikan makna dan pengalaman. Saya menemukan rekan kerja saya yang memiliki kemampuan lebih daripada saya. Di sini, kita siap dipuji dan dicela, akan dipuja dan dicerca. Tetapi, dari itu semua kita akan memetik pelajaran berharga.

Dua minggu lagi, saya bekerja. Rapat besar tim naskah akan siap digelar sebagai bentuk pertanggung-jawaban kami sebagai tim penilai naskah tersebut. Kemudian saya akan menikmati hari-hari saya seperti biasa: membaca tanpa tenggat waktu. Di sisi lain, saya akan merasakan kehilangan waktu kebersamaan saya dengan rekan-rekan tim naskah tersebut. Saya akan menjadi jarang melewati dini hari dengan membaca. Saya akan merindukan itu semua, pada suatu hari nanti. Itukah bentuk dari membaca cinta? Hanya kita yang tahu jawabannya.

Tabik!




Jakarta, 23 Maret 2010 | 9.10
AA. - dalam sebuah inisial

Pro GM, di mana aku menaungi diri dengan membaca dan menulis

Minggu, 21 Maret 2010

Cinta, Merah Darah

Aku benci dengan cinta.

Entah mengapa sejak peristiwa menyakitkan itu, aku tidak lagi dapat menerima cinta sebagai bagian dari hidup. Aku benci dilahirkan sebagai seorang wanita. Menjadi seorang wanita adalah kesalahan terbesar. Ini bisa saja membuatku menjadi gila tiada tara.

Aku benci dengan darah. Aku benci jika jemariku harus terluka ketika sampai kini aku belum bisa memotong bawang. Darah dan merah mengingatkanku pada sesuatu. Membuatku menjadi benci kepada cinta.

Walaupun pada hakikinya, cinta memang tercipta untuk manusia dapat hidup secara damai, cinta bisa saja menjadi begitu naif dan munafik. Menjadi sosok yang dapat mengkhianati hati insani lainnya. Ketika itu, barulah kita tersadar. Memang cinta menjadi sangat menyakitkan untuk dikecap.

Aku benci dengan tablet. Menurutku, dia bukanlah menyembuhkan melainkan membuatku menjadi nyaris mati. Ya, baru nyaris. Belum mati, bukan? Ketika dia masuk ke dalam tubuhku, dia menghancurkan sel-sel tubuh yang berfungsi dan tidak. Akh, itu belumlah seberapa. Aku pernah nyaris mati untuk peristiwa yang paling menyakitkan itu.

"Dua juta."
"Semahal itu?"
"Lha, kalian sudah terlambat. Sudah terlalu besar."
"Satu juta, bagaimana?"
"Resikonya terlalu besar. Tambah lima ratus lagi."

Satu juta rupiah. Kami sudah mendapatkanya. Hasil dari penjualanan seluler kami dan penghematan kami. Sisanya, dia mengatakan dia akan meminjam dari sana sini. Aku cukuplah menjalankannya saja.

Beberapa tablet harus kuteguk dengan air. Andai, andai, andai sperma itu tidaklah keluar dari tubuh lelaki itu dan masuk ke dalam jendela vaginaku. Andai saja sperma itu tidak membuahi sel telur yang ada di dalam rahimku, aku tidak perlu berhadapan dengan seorang yang asing bagiku.

"Santai saja, jangan tegang. Semua akan baik-baik saja."

Baik-baik saja? Semudah itukah? Tak pernah terpikirkan bagaimana rasanya lima bulan aku menutup mulutku. Menyembunyikan rahasia di antara kita sampai kita cukup memiliki uang untuk menamatkan janin di dalam rahimku ini. Untukmu, semua itu mudah. Coba sedari dulu kalau kau tahu semua akan seperti ini, akankah kita perbuat malam itu?

Persetan kalau kau meminta maafku saat ini. Toh, semua sudah terjadi. Spermamu telah membuahkan zigot di dalam rahimku dan akan lahir. Entah apapun wujudnya, dia tetap anakmu. Anakku.

Aku menurut saja sesuai dengan apa yang diperintahkan bidan yang dicari olehnya untuk membereskan semua perkara di antara kita. Selama ada uang, semua bisa terlaksana dengan baik, katanya. Aku benci dengan perkataannya itu. Iblis, geramku dalam hati. Aku mengumpat dalam hati di depannya. Ingin kuludahi saja air wajahnya yang tak menampakkan wajah bersalah dan menurutnya semua hal bisa dinilai dengan uang.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Sang bidan memasukkan sesuatu alat ke dalam untuk menyentuh janin itu. Sambil menekan perutku, dia menyibukkan diri dengan alat-alat yang ada di tangannya. Air mata meleleh dari mataku. Antara rasa sakit, dendam, kesal, benci, dan dosa melebur dan menguap dalam air mata itu.

"Tunggu kontraksi."
"Berapa lama?"
"Satu atau dua jam lagi."

Gila, kami sudah gila. Membentuk satu sosok manusia dan membunuhnya sebelum dia menjadi utuh.

Satu setengah jam sudah, aku mulai merasakan sesuatu. Rasa sakit semakin bergemuruh di dalam perutku. Bidan semakin kencang menekan perutku. Ya, perlahan dari rahimku keluarlah kepala dan tubuh dari hasil hubungan itu.

Rasanya? Aku tak tahu lagi bagaimana menceritakannya.

Sisa pembayaran sudah dilunasi dan semua perkara dianggap beres. Aku, dia, dan sang bidan tak lagi ada hubungan apapun. Tak perlu ada kontak lagi.

Namun, malam harinya aku merasakan sakit teramat sangat. Nyeri tak lagi tertahankan oleh tubuhku ini. Perlahan aku mulai merasakan sesuatu keluar, membasahi kakiku. Mengalir perlahan.

Merah. Baunya khas. Darah.

Di atas ranjang, darah itu bermuara semakin besar. Membuat lingkaran merah besar di atas seprai. Aku terperanggah menatapi semua itu. Ah, bukan mimpi. Rasa sakit dan darah yang semakin deras mengalir serempak membuatku tak berdaya lagi.

"Ibuuuu..."

Adik perempuanku berteriak. Entah, di mana lagi saat itu aku berada. Yang jelas, ketika aku terbangun, tangan kiriku sudah tertancap jarum infus dan tak lagi ada lingkaran merah di atas ranjang.

"Apa yang kau perbuat, nak? Kenapa tak jujur kepada orang tuamu?"

Tak ada sambutan hangat ketika aku terbangun. Puluhan pertanyaan yang menyerangku hanya sanggup kujawab dengan isak tangis. Tak ada lelaki itu, lelaki yang memaksaku untuk mengakhiri peristiwa itu dengan demikian. Ya, semua akan baik-baik saja. Baik-baik saja untukmu dan tidak untukku.

Aku benci kepada cinta.

Karena cintalah yang membuat keadaan menjadi tidak lagi indah. Seperti cerita kebanyakan orang, cinta adalah sesuatu yang indah untuk dirasakan dan dinikmati. Aku tidaklah lagi merasakan itu. Menurutku cinta adalah pembunuh waktuku dan menjadi nestapa sepanjang masa. Karena cinta, aku telah menjadi seorang pembunuh.

Aku benci kepada cinta.

Karena dia yang membuatku benci melihat darah dan merah. Benci terhadap diriku sendiri.

Dan cinta itu tidaklah senikmat apa yang terungkap di lidah.






Jakarta, 21 Maret 2010 | 22.17
AA - dalam sebuah fiksi berinisial

Minggu, 14 Maret 2010

Cintamani

Cintamani
Catatan Kaki-kaki [4]



"Bagaimana perasaanmu mengenai cinta yang kau pendam begitu lama?"
"Rasa merisaukan cinta itu sendirii dan tiada yang hendak kubagikan dalam kehidupan."
"Baiknya kau penuh harap kepada Sang Cintamani, manatahu ia akan berbaik hati untuk membuat kau dan dia merengkuh suatu harap dari ketiadaan yang begitu semu."
"Aku sudah terlalu banyak berharap. Kepada siapa lagi aku harus bersandar? Rasanya memang tiada asa yang dapat kutorehkan dan dapat kubagi."
"Ada kalanya belum menjadi saatnya, sesuatu harus dikatakan. Tapi dengan menegakkan hati sampai pada pancang tertinggi, di sanalah sudah kau tanamkan harapan penuh dengan air mata dan gelak tawa dari dirimu sendiri."






Catatan Kaki-kaki adalah serial 99 catatan dengan gaya bahasa komunikasi antar dua orang. Tulisan ini pernah dilabuhkan di blog lama saya dan pada akhirnya berlabuh juga pada blog ini. Tulisan yang ada di dalam serial ini tidak akan pernah dapat disamakan dengan cerpen karena karakter tulisannya yang terlalu sedikit. Di sini -dalam serial ini-, tidak akan pernah ditemukan narasi yang tidak dalam bentuk dialog.

Sabtu, 13 Maret 2010

Adalah Ibu, Adalah Ayah

Sepanjang perjalanan hari ini, aku melihat banyak sekali kejadian yang rupa-rupanya acap kali luput dari mataku. Adalah tentang kasih. Di mana terpatri antara anak dan orang tuanya. Aku tak tahu kalau itu menjadi suatu kewajiban atau tidak, tetapi aku merasa di sanalah tertera cinta yang sesungguhnya dari orang tua kepada anaknya.

Pagi tadi, sebelum ke markas di Jagakarsa, aku memperhatikan seorang ayah yang terus menggendong anaknya agar tidak lari ke mana-mana. Ya, kalau kau tahu ayah itu adalah seorang pengamen. Entahlah, kehadiran anak itu apakah menjadi sebuah visi dan misi atau tidak. Sang ayah menyanyi sambil menggandeng anaknya di dalam sebuah bus kota.

Kemudian, ketika menuju ke markas, lagi-lagi kulihat seorang ayah menjemput anaknya pulang sekolah dengan menggunakan angkutan umum. Dia membawa anaknya menyebrangi jalan dan membantunya naik ke dalam mobil.

Aku terengah. Ada kasih pada ayah, tiada henti...

Kemudian, ketika aku menuju pulang, aku melihat seorang ibu sedang sibuk menggendong anaknya walaupun di tangannya penuh dengan dokumen yang dia bawa. Anak itu tertidur di dalam gendongannya. Mereka melintasi jalan raya yang padat.

Lagi, seorang ibu hampir terjatuh ketika anak yang di dalam pelukannya bergerak membrutal setelah bangun dari tidurnya. Ibu itu menenangkan anaknya kembali dan sang anak lagi-lagi tertidur.

Aku terengah. Ada kasih pada ibu, tiada henti...

Hari ini aku belajar, ada kasih pada ayah dan ibu. Ah, aku rindu untuk bersenda gurau pada mereka.



Jakarta, 13 Maret 2010 | 21.53
AA. - dalam sebuah inisial

Kamis, 04 Maret 2010

Kepada Hujan

Kepada hujan,
sang mentari menjadi malu
kalau kau terpeleset dari awan

Kepada hujan,
ada doa dari anak pembawa payung
kalau kau terjatuh dari atas

Kepada hujan,
komposisi dalam kesamaan
tetaplah sebagai sosok yang tenang

Kepada hujan,
selalukah kau membawa yang kuiringkan
sementara jarak jauh yang terbentang

Kepada hujan,
ada kenangan dari jutaan mimpi
aku masih mengingatmu sebagai pertanda

Kepada hujan,
masihkah dapat kukenang wajah seseorang




Jakarta, 4 Maret 2010 | 20.51
AA - dalam sebuah inisial