Selasa, 29 Maret 2011

Andai Aku Tak Dapat Membaca

Bagaimana rasanya kalau kau tak mampu membaca?

aku pun tak tahu,
mungkin rasanya seperti seorang buta tanpa tongkat
mungkin rasanya seperti seorang nelayan tak tahu di mana laut
mungkin rasanya seperti seorang penjual tak tahu harga produknya
mungkin rasanya seperti seorang penulis yang kehilangan tangannya

Apa yang akan kau perbuat untuk membaca?

aku pun tak tahu,
mungkin aku akan seperti seorang pengembara yang akan menuju timur
mungkin aku akan seperti seorang murid yang harus banyak belajar
mungkin aku akan seperti seorang pengemis yang mengais-ngais akasara
mungkin aku akan seperti seorang pecinta yang harus lebih mengenalnya

Kalau kau benar-benar tak bisa membaca?

aku pun tak tahu,
mungkin seperti dokter yang gagal menyembuhkan pasien
mungkin seperti guru yang gagal mendidik murid
mungkin seperti presiden yang tak bisa mengayomi murid
mungkin seperti orangtua yang tak bisa menafkahi anaknya

Dan, kalau kau tak bisa membaca?

sekali lagi,
aku pun tak tahu,
mungkin aku akan mati




Jakarta, 29 Maret 2011 | 15.53
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 24 Maret 2011

Jadilah Lautan, Jadilah Kobaran Api

melawan NICA
bukanlah sebuah cita-cita
tapi kewajiban
kau harus lakukan itu

bakar gudang itu
lekas ledakan mesiu itu

bakar
ledak

bumi hanguskan semua!
biar NICA pun ikut hangus
meski Toha dan Ramdan harus mati
tetapi ia pahlawan sejati


:::: 24 maret '46-'11, Bandoeng Djadi Laoetan Api


Jayakarta, 24 Maret 2011 | 7.42
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 19 Maret 2011

Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin Terancam Gulung Tikar

Keberadaan Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin di Taman Ismail Marzuki terancam tutup setelah pemerintah memutuskan untuk mengurangi subsidi. Dana yang dialokasikan selama ini Rp 300 juta pertahun dikurangi sejak tahun yang lalu menjadi Rp 164 juta pertahun. Januari ini keluar SK baru Pemda DKI hanya memberi Rp 50 juta per tahun.


Berikut saya kutip tulisan Sitok Srengenge lewat Twitternya mengenai keberadaan PDS H. B. Jassin.


1. Sejak kemarin saya menerima kabar sedih ini: Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin terancam ditutup karena kekurangan dana. #PDS

2. Patut diketahui bahwa #PSD adalah aset nasional yang berharga karena merupakan pengarsipan sastra Indonesia paling lengkap.

3. Dirintis oleh HB Jassin, dengan dana pribadi yang terbatas, sejak tahun 1930-an, #PDS dibuka sebagai sarana publik.

4. Atas bantuan Gubernur DKI Ali Sadikin #PDS bisa menempati sebagian gedung di kompleks Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.

5. Pada 1976 dibentuk Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin sebagai penanggung jawab pengelolaan "harta karun" itu. #PDS

6. Selain tergantung pada subsidi Pemda DKI, #PDS berharap mendapat sumbangan dana dari pihak lain.

7. Pada 2006 #PDS telah mengoleksi 48.876 dokumen sastra berupa fiksi, nonfiksi, drama, biografi, foto pengarang, kliping, makalah, dll.

8. Sebagai sarana publik #PDS melayani siapa saja yang membutuhkan informasi seputar dunia sastra.

9. Tersedia ruang baca bagi pengunjung yang ingin membaca di tempat dan mesin foto untuk penggandaan naskah.

10. Para pengelola #PDS yang saya kenal adalah pribadi-pribadi yang ramah, loyal, penuh dedikasi, meski gaji mereka sangat sedikit.

11. Sering kali gaji yang kecil itu telat dibayar dan tumpukan kliping telat dikerjakan karena dana bantuan yang tak lancar. #PDS

12. Yang memprihatinkan: begitu banyak naskah berharga terpaksa dirawat secara sederhana dan manual. #PDS

13. Dokumen penting itu tentu akan lebih aman jika misalnya disimpan dalam mikrofilm, tapi jelas itu butuh biaya besar. #PDS

14. Mei 2006 Kompas pernah menulis: #PDS dibutuhkan dana sekitar Rp 3 miliar. Tidak banyak jika kita menyadari betapa penting kekayaannya.

15. Pusat data dan arsip seperti #PDS jelas tidak mungkin hidup mandiri karena sifatnya yang tak komersial. Ia mutlak perlu subsidi.

16. Mempertahankan #PDS berarti mempertahankan sebagian sejarah dan kebudayaan bangsa. Kandungannya tak terbatas pada sastra & bahasa.

17. Kabar terakhir: subsidi dari pemerintah makin dikurangi. Pemerintah agaknya tak menyadari pentingnya memelihara aset #PDS ini.

18. Akibat kurangnya subsidi itu, yang bahkan tak cukup untuk bayar listrik dan pemeliharaan fasilitas, #PDS hampir tak mungkin bertahan.

19. Jika #PDS tutup, bukan hanya peneliti dan mahasiswa sastra yang kehilangan. Generasi mendatang tak bisa baca sejarah sastra bangsanya.

20. Para pejabat mungkin tak peduli jika aset bangsa #PDS itu lenyap. Tapi, ayolah, cari jalan keluar. Ayo, jangan diam.

21. Relakah kita jika aset intelektual bangsa #PDS ini mati karena pemerintah kurang peduli? Relakah kita jika aset itu dibeli bangsa asing?

22. Beberapa teman menggagas #koinsastra untuk penyelamatan #PDS. Ayo dukung, tunjukkan bahwa kita peduli.

22. Sejumlah teman berniat membantu cari dana. Jika digabung dengan hasil penggalangan #koinsastra yakinlah #PDS bisa kita selamatkan.



Sila baca di http://twitter.com/#!/1Srengenge

Selamatkan PDS H. B. Jassin!

Jumat, 18 Maret 2011

Titip Tanya Kepada Tuhan

kepada pak pos yang sering kujumpa ketika aku hendak mengirim surat
tolong sampaikan kepada Tuhan, kalau bapak ketemu denganNya di jalan:
apa Tuhan pernah meminta dibela untuk menjadi menang?

kepada pak supir bus kota yang sering kujumpa kala aku berangkat ke luar kota
sampaikan tanyaku kepada Tuhan, kalau bapak berjumpa denganNya di suatu kota:
dengan cara apa aku harus membela Tuhan jika Tuhan meminta dibela?

kepada pak masinis yang sering kujumpa saat aku hendak menghabiskan waktu di kereta
tolong sampaikan tanyaku kepada Tuhan, kalau bapak ketemu denganNya di lorong kereta:
mengapa Tuhan harus dibela dengan cara yang seperti itu?

kepada pak dokter yang sering kujumpa saat aku butuh obat anti rasa sakit
sampaikan tanyaku kepada Tuhan, kalau Tuhan menjadi pasienmu:
apakah Tuhan pernah mengajarkan umatNya untuk membela dengan amunisi?

kepada pak guru yang sering kujumpa kala aku butuh bantuan ilmu
sampaikan tanyaku kepada Tuhan, kalau bapak pergi berguru lagi kepada Tuhan:
kalau Tuhan tak perlu dibela, mengapa mereka membelaMu, Tuhan?

kepada pak loper yang selalu kutemui setiap pagi menyambut koranmu
titip tanyaku kepada Tuhan, kalau pagi ini kamu mengantar koran ke muka rumah Tuhan:
mengapa mereka membelaMu dengan mengorbankan nyawa sesama ciptaanMu?

kepada pak penjual bubur yang kunantikan dengan semangkuk bubur panas mengepul
sampaikan tanyaku kepada Tuhan, kalau pagi ini Tuhan membeli semangkuk buburmu:
lalu mengapa Tuhan cuma bisa menonton saja, apa Tuhan menghargai keragaman seperti itu juga?

kepada pak pelayan kafe yang sering kutemui ketika aku hendak memesan minum
sampaikan tanyaku kepada Tuhan, kalau Tuhan sedang ngopi di sini:
apa Tuhan sudah baca koran pagi kalau lagi-lagi ada bom, pembakaran rumah ibadah, pelarangan untuk berdoa kepadaMu, dan lagi-lagi nama Tuhan digunakan?

ah, untuk yang satu ini, biar aku yang menyampaikan kepada Tuhan sendiri
kalau aku menemuinya di sebuah tempat yang teduh dan ingin bermanja denganNya:

apa Tuhan tahu ada banyak cara untuk menyembah Sang Pencipta dan apa Tuhan pernah menolak doa-doa mereka dari segala macam keragaman tersebut?





Jakarta, 18 Maret 2011 | 04.26
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 15 Maret 2011

Surat Kepada G


Pro G,



Aku tahu,
Di dalam sebuah pertemuan akan menjumpai sebuah perpisahan. Entah kapan, pasti akan ada saatnya. Seperti bus yang selalu melaju dari kota ke kota, ia akan mencari tempat persinggahannya untuk berhenti dan juga kembali. Hari ini kita kembali seperti setahun lalu lagi 'kan?

Esok,
adalah masa di mana aku tidak lagi menjumpai engkau. Bukan tidak lagi mengenal engkau. Ada satu fase di mana kita memang dipertemukan dengan bahagia, harusnya diceraikan juga dengan bahagia. Tak ada perpisahan yang membahagiakan, katamu. Meski kuinsafi saja bahwa memang aku tidak bisa menjadi orang yang bahagia dengan kehadiran perpisahan.

Berpisah denganmu.

Kehilangan adalah satu cabikan yang begitu perih. Namun tanpa kehadirannya, toh, hidup juga tidak akan berwarna. Ia menjadi salah satu warna pelangi yang berkelindan di kehidupan kita. Apa kau akan merasakan hal yang sama seperti yang kurasa?

Terima kasih untuk kesetiaan yang pernah kau berikan. Terima kasih untuk kesempatan yang tak bisa dan tak sama yang diberikan kepadaku dengan orang lain darimu. Terima kasih karena aku boleh mengenal dan menjadi bagian darimu. Untuk sebuah persahabatan dan totalitas, ribuan terima kasih tak terbayar untukmu.

Esok akan datang, tapi akankah ia sama? Aku yakin sangatlah berbeda. Tak ada aktivitas lagi di antara kita yang benar-benar membuat kita menjadi hidup dengan rasa percaya.

Hari ini kita berpisah.

Itu saja yang aku ketahui. Setahun mengenalmu, menjadi bagian darimu. Semoga kamu tidak pernah menyesal dengan sebuah pertemuan denganku. Aku pun percaya, akan ada orang yang lebih baik daripadaku esok.

Aku tidak memintamu untuk tetap ada, tetap menjadi teman seperjalanan. Hidup adalah improvisasi yang berujung dengan mati. Aku akan mengenal orang lain di dalam hidup ini, tentu juga dengan kamu. Meski semua memerlukan lagi adaptasi, memerlukan waktu untuk bisa saling memahami dan saling belajar. Di dalam perjalanan, kita akan menemukan banyak perbedaan yang pernah kita kenal dari seorang sebelumnya. Untuk itu, perpisahan tentu akan ada. Kehilangan akan datang. Dan aku tidak berharap kamu tetap ada di sini. Kita perlu belajar dari orang lain jua.

Kini, aku dan kamu akan berpisah,
hari ini kita berpisah tanpa syarat apa pun, tak perlu pertanda dan firasat apa pun.

Dan untuk semua yang pernah diberi,
terima kasih untuk semua totalitas dan inilah apologiku bila aku pernah mengoyakkan hatimu.







Jakarta, 15 Maret 2022 | 8.03
A.A. - dalam sebuah inisial



Rabu, 02 Maret 2011

Hujan Desember

1 Desember

terkadang desember ingin bercerita
tentang seorang insan yang berjalan
dalam kesendiriannya
diacuhkan, seperti ditiadakan

11 Desember

ia berjalan seorang diri
katanya: saya ingin jatuh cinta
tapi kepada siapa
saya cuma seorang yang asing


21 Desember

rasa letih memuncak
ia insafi menjadi sendiri
adalah hal yang menyakitkan
meski ia sudah belajar untuk jatuh cinta

31 Desember

langit tidak muak padanya
simpul berjangkar di angkasa menunggunya
teh tak lagi diseruputnya
ia tidak pernah tahu

: hujan desember yang pernah memeluknya





Jakarta, 2 Maret 2011 | 15.40
A.A. - dalam sebuah inisial