Rabu, 31 Desember 2008

Ada yang Berubah Pada Tahun Baru

Bagaimana kalian merayakan tahun baru? Dengan bermain petasan dan kembang api? Dengan berkumpul bersama keluarga karena kalian semakin sadar usia kalian bertambah lagi satu hari? Dengan membuat bara api dan membakar jagung atau camilan tengah malam sambil menunggu jarum pendek pada arloji kalian menunjuk pada arah yang berlawanan dengan gravitasi? Atau nongkrong bersama pacar di suatu tempat sambil mengucapkan "selamat tahun baru, sayang..." (Untuk yang terakhir, di luar ranahku).

Aku sendiri merayakan tahun baru masih tetap seperti tahun lalu. Menuntaskan janji akhir tahun untuk seorang teman sambil chatting dengan temanku di Amerika yang masih 12 jam lagi merayakan tahun barunya. Menyisakan waktu sesekali untuk melihat kembang api yang meledak-ledak di awan. (Dan tanpa mereka sadari mereka telah menghabiskan uang untuk menambah pemanasan bumi).

Aku tak tahu darimanakah tradisi tahun baru itu harus dirayakan dengan penuh keramaian. Aku sendiri lebih memilih merayakan tahun baru dengan sederhana saja. Toh, di pemikiranku semua itu seperti biasa saja. Tak ada yang perlu dikhususkan. Pergantian tahun juga akan terus bergulir. Mungkin kalian telah berencana akan mengurangi dosa kalian di tahun berikutnya. -Mungkin- Atau berencana menambah sesuatu di dalam kehidupan kalian. Who knows?

Satu tahun sudah saya tidak membuat resolusi dan ini akan berlanjut kepada tahun-tahun berikutnya. Apakah tujuan membuat resolusi? Apakah hidup kalian akan lebih berarti dengan resolusi? Atau hanya seperti hiasan pada dinding kamar kalian untuk sebagai pengingat janji? Aku sendiri lebih nyaman hidup tanpa resolusi dan lebih membebaskan diri tanpa adanya ikatan semacam resolusi itu?

Oh ya, mengingat tahun baru. Sudah ada persiapan apakah? Baju baru? Makanan lezat? Sofa baru? Mobil baru? Atau rumah baru? Bahkan pacar baru? (Hehehe... lagi-lagi ini di luar ranahku). Sudah persiapkan kembang api sebanyak-banyaknya? Atau hanya menatap dari balik jendela saja kembang api yang memecah itu?

Banyak yang berubah dalam hidupku. Ketika kecil, aku memaksa orang tuaku untuk membelikan kembang api sebatang-sebatang itu. Kunyalakan depan rumah karena pesan mereka:" bermainlah di luar rumah, di dalam nanti terbakar". Kemudian begadang sampai larut malam dan bangun di siang bolong ketika waktunya untuk makan siang. Sekarang? Masihkah itu kujalani? Tidak! Aku menghindar dari keramaian. Aku menikmati kesendirian sambil berpikir hendak apa aku di tahun ini. Sesekali melongo ke depan, melihat kembang api yang meledak (dan tanpa mereka sadari mereka sudah mengganggu orang banyak). Aku tak lagi harus menunggu tahun baru untuk begadang. Nyaris setiap malam di akhir pekan atau libur, waktu tidurku hanyalah 3-4 jam.

Seperti dulu juga aku berebut untuk minta dibelikan terompet. Ketika kemarin melewati penjual terompet aku ditawari untuk dibelikan. Aku malah menolak mentah-mentah. Ada yang berubah setiap tahunnya. Entah tahun depan apalagi yang akan berubah? Mungkin menyalakan kembang api dengan telepon genggam?! Siapa tahu?

Lalu, apa makna tahun baru untukku? Sebuah taraf pendewasaan. Untuk itulah aku selalu menjauh dari hiruk - pikuk keramaian di perubahan tahun. Tak lagi meniup terompet atau bermain kembang api. Kuinsafi hidup semata bukan hanya penuh keramaian tetapi juga penuh kesendirian, kesepian, sesekali kebahagiaan.

Nah, sobat, selamat tahun baru untuk kalian yang menikmatinya...



Jakarta, 1 Januari 2010 | 00.01
A.A - dalam sebuah inisial


Pesan Sponsor: Catatan ini semata untuk penyadaran dari diriku pada tahun baru apa yang harus kulakukan *wink!*

[Tak] Ada Resolusi Untuk Tahun Ini

Resolusi. Sebuah kegiatan akhir tahun yang biasa dilakukan oleh orang-orang untuk membuat perencanaan di akhir tahunnya. Pada tahun - tahun sebelumnya, dimulai pada tahun 2005, saya pun juga tergoda untuk membuat resolusi. Sampai tahun kemarin, saya membuat resolusi untuk tahun 2008. Nyatanya adalah sebuah kesia-siaan. Semua yang saya rencanakan banyak meleset dari tujuan.

Masih saya lihat, banyak orang membuat resolusi untuk tahun - tahun berikutnya. Para motivator kelas atas menganjurkan seseorang untuk membuat resolusi. Katanya resolusi membantu apa yang akan kita capai.

Melihat hasil resolusi 2008. Saya sudah berencana rasanya tak perlu resolusi untuk tahun ini. Mengapa? Karena hasilnya sama saja seperti tak membuat resolusi. Dan resolusi seperti investasi jangka panjang, tetapi ketika jatuh tempo, seseorang harus mengejarnya sampai tujuan akhir. Pada pasalnya, tak ada dalam sejarah hidup saya untuk menjadi seorang yang dikejar-kejar deadline. Karena dikejar itu amatlah melelahkan juga rasanya hasil kerja menjadi kurang maksimal.

Beberapa resolusi saya di tahun ini seperti mengurangi jatah keluar rumah ternyata gagal. Ternyata memang saya orang hutan asli (orang hutan bukan orang utan). Rencananya hanya dua kali, ternyata tahun ini saya keluar rumah sebanyak enam kali. Pantaslah sebuah resolusi tak perlu dicanangkan orang seperti saya.

Lalu apa pengganti resolusi? Saya mulai berencana mengganti resolusi dengan target bulanan. Mungkin dengan target bulanan itu, saya banyak memulai hari-hari saya dengan target itu.

Maka, untuk tahun ini dan tahun - tahun berikutnya, saya rasa orang seperti saya ini tak butuh resolusi. Jadi bagi yang menimpuk sebuah lembaran posting resolusi untuk saya, di Friendster, maaf... Saya tak akan menulis resolusi untuk tahun ini.

Jumat, 26 Desember 2008

Catatan Perjalanan

Pertemuan. Itulah awal dari semua catatan ini. Pertemuan yang tak pernah diduga sebelumnya dan lewat-lewat kata-kata dari luncurkan huruf-huruf, sebuah jalinan yang dinamakan persahabatan dimulai. Sebuah perjalanan yang tak nyata selalu menjadi bayang permainan yang indah yang akhirnya mempertemukan semuanya pada kenyataan.

Persahabatan itu dimulai dengan sebuah penjawatan yang baik. Tak pernah mengenal status, usia, gender, atau apapun yang biasanya menjadi batasan dalam penjalinan yang indah. Yang menjadi batasan adalah ruang lingkup pertemuan dan waktu yang rasanya tak cukup hanya 24 jam dalam sehari untuk saling bertegur sapa dan bercanda.

Dan kitapun dipertemukan dalam sebuah ruangan. Ruang yang akhirnya membuat kita menjadi memiliki dan berkaitan. Ruang yang akhirnya menjadikan sebuah kenyataan. Dan ruang itu dinamakan "Ruang Maya".

Siapa yang tak kenal ruang itu? Pada saat ini, anda sedang terjerumus dalam ruang itu.

***

Jakarta. 26 Desember 2008. Masih terjebak dalam kesibukannya. Seharusnya Jakarta tak perlu sesibuk ini pada hari menjelang tutup tahun. Seharusnya masyarakatnya berduduk santai dan jalanan di Jakarta seharusnya kosong pada hari itu.

Tetapi, seharusnya sadar, bahwa Jakarta telah mengandung status ibukota. Mana ada seorang ibu yang tak pernah sibuk dalam segala hal? Ibu adalah sosok yang paling sibuk dalam segala hal dan yang tak pernah berhenti dalam mengurus segalanya. Maka adalah hal yang wajar jika menjelang ganti tahun, Jakarta masih saja sibuk mengurus semua ini.

Dan di Jakarta itu pula, sebuah persahabatan maya menjadi nyata.

***

Sebuah ekspetasi saya mengenai pengenalan seorang teman rasanya dibutuhkan. Nasihat dari sudut manapun mengatakan "Bersahabatlah dengan baik..." atau "Jadilah teman yang baik." telah saya camkan jauh sebelum membentuk sebuah komunitas.

Dan lagi - lagi saya terjebak. Dalam sebuah ruang di dalam ruang maya.

Dan ruang itu bernama Multiply.

Dua orang terjebak di sini, entahlah dengan yang satu lagi. Apa merasa terjebak?

Setelah saya terjebak di sini, lagi - lagi saya terjebak dalam keindahan persahabatan yang berbatas ruang, jarak, dan waktu. Entah bagaimana caranya bisa bergelut dalam persahabatan ini, saya pun masih tercengang dengan penjebakan ini.

Dan... dari banyaknya sahabat yang saya jumpai di ruang dalam ruang itu, pada akhirnya membentuk sebuah persahabatan yang erat. Dalam beberapa bulan saja, saya yang menjadi korban penjebakan tanpa tersangka ini menjalin hubungan erat. Dua orang yang akhirnya menarik saya untuk masuk ke dunianya.

Dikenal dengan nama Henny Poerwanti. Saya mengenalnya dari seorang kontak saya yang akhirnya membuat saya berhubungan teman dengannya. Sama-sama penggemar ngalor ngadul. Sama-sama tukang iseng. Sama-sama tukang bercanda. Hal - hal itulah yang membuat kita terjebak di sana.

Dan yang satu lagi dikenal dengan nama Rike Jokanan. Saya mengenalnya dari perkenalan dirinya sendiri. Betapa anehnya dunia maya ini, bukan? Mempertemukan semua orang dari segala macam bentuk dan cara. Menurut pengakuannya, wanita ini mengenal saya dan tertarik pada saya setelah membaca komentar yang saya berikan kepada seseorang yang juga kontak saya. Sama-sama hobi membaca. Sama-sama hobi serius. (Hobikah ini?) Dan sama-sama hobi menulis puisi.

Tapi apa kesamaan hobi dua orang di atas? Saya tak tahu...

***
Jakarta masih menampakkan siangnya. Dan Jakarta pula mempertemukan ketiga seorang yang berbeda batas waktu dan jarak itu.

Aveline Agrippina, Henny Poerwanti, dan Rike Jokanan dipertemukan di Ibukota Indonesia. 26 Desember 2008. 5 hari menjelang akhir tahun 2008. Dan pertemuan itu berakhir manis. Dengan hobi - hobi kita yang berbeda dan berbagai karakter yang ada, tetap saja semuanya serasa manis.

Pembicaraan awal, tentu saja penjebakan di ruang maya itu tersendiri. Sejak kapan mulai mengeksiskan diri di dunia maya, apa saja hal-hal yang buruk yang pernah terjadi, membicarakan tentang hobi kita, dan tentunya masih ada selingan ledek-meledek.

Pesahabatan maya itupun menjadi nyata...

Pertemuan yang telah direncanakan amat jauh. Dan yang paling tak tahan akan hari pertemuan itu adalah yang paling tua. (Siapakah yang paling tua itu? -Rasanya tak perlu jawaban untuk hal itu.-) Setiap kali bertemu dengan saya melalui telepon, SMS, di Facebook, ataupun di Yahoo! Messenger, tetaplah yang jadi bahan pembicaraannya adalah pertemuan.

Kadang bahan bibir itu membuat saya tertawa sendiri, mengapa masih ada orang yang ingin bertemu manusia semisterius seperti saya? Tak takutkah dia kalau ketika melihat saya akan saya terkam?

Sebuah tempat menjadi pertemuannya. Dan sebuah tempat juga yang menyatukan kami bertiga. Sebuah tempat yang menyatukan persahabatan maya menjadi nyata.

Dan Jakarta masih menampakkan siangnya untuk menuju pada sorenya. Sayang, saya harus menarik diri dari kebahagiaan sekaligus kado akhir tahun yang manis ini untuk saya.


Untuk sebuah pertemanan tiada akhir...
Terlontar dua kata...
Terima kasih...




Aveline Agrippina T
Makhluk yang sering dibilang misterius itu...



PS: Untuk yang merasa namanya tercantum di atas, manusia misterius ini mengucapkan terima kasih yang besar untuk kenang-kenangannya. Friendship never be die, but still alive and forever

SEBUAH KISAH KLASIK - SHEILA ON 7


Sampai jumpa kawanku
S'moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Sampai jumpa kawanku
S'moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan

Bersenang-senanglah
Kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan
Di hari nanti...

Selasa, 23 Desember 2008

Pesan Pagi Ini

Sulit melupakan teman yang pergi
Apalagi seperti kamu



Berlianevie Harjan dalam SMSnya pagi ini

Saya sempat terdiam sejenak mengenai SMS itu. SMS apa pula itu? Bukannya kita sudah berpisah sejak 6 bulan lalu tetapi masih sering kontak? Saya nyengir sendiri dengan SMS itu. Rupanya teman saya yang satu ini sedang sok bijak. Jarang sekali dia berbicara dengan bahasa yang berkonotasi (atau denotasi) demikian.

Memang, kalau masalah pergi itu, sayalah yang paling jauh pergi. Teman - teman saya pergi menghadap ke timur, saya malah ke barat. Atau teman saya mengajak pergi ke utara, malah saya nyasar ke selatan. Jadi kita tak pernah bertemu.

Mengenal seorang Berlianevie Harjan. 3 tahun lalu mengenalnya ketika masih sama-sama duduk dengan putih-biru. Mungkin dulu kita hanya mengenal lewat "seorang calo" berinisial CET. Lalu tahun - tahun berikutnya kita mulai akrab termasuk ketika harus menjadi backsound gara-gara kita sering berduet pada waktu jam pelajaran. Masih ingat dengan lagu yang sering saya plesetkan setiap syairnya, Nev? (Sampai sekarang kegiatan memelesetkan lagu menjadi kegiatan iseng).

Sampai berpisah pada Juni 2008, sampai sekarang kita masih kontak. Namun SMS pagi itu, sempat membuat saya tersenyum simpul. Ternyata saya yang jauh melawan arus. Saya berkelana ke mana-mana.

Ketika aku terlalu jauh melangkah
Kehilangan jejak kakiku sendiri
Sejatinya kamu hadir
Di setiap langkahku yang kehilangan jejak itu


SMSmu pagi ini memberikan pagi yang lain dari biasanya. Terima kasih untuk sebuah persahabatan yang indah. Yang jelas persahabatan kita bukan kempompong, karena kita manusia.

Untuk sebuah persahabatan yang indah...

Jumat, 19 Desember 2008

Belajar Memaafkan

Kadang belajar memaafkan itu adalah hal yang bijak dan wajib dilaksanakan. Walau berat, tak ada salahnya mencoba. Dibandingkan dengan memendam dan mendendam hanya membuat seseorang menjadi emosi dan tak stabil.

Toh, mencari teman itu amat sulit... Mencari musuh hanya butuh 1 menit.

Atau mungkin kita perlu berkaca pada diri kita sendiri? Apa kita membuanya kecewa sehingga dia tega membalas kecewa dengan kecewa?

Nikmati hidup ini, walau tak ada yang dapat dinikmati...



Dalam kebimbangan dan masih belajar memaafkan...

Aveline Agrippina Tando

Sabtu, 13 Desember 2008

Tentang Uang

Pagi ini saya bertanya kepada teman mengenai personal message-nya di YM. Menulis tentang uang.

Saya selalu bertanya pada semuanya termasuk diri saya: "Mengapa manusia hanya mencari uang dan uang? Kadang mereka sampai lupa diri bahwa mereka bisa saja mendewakan uang dibanding dengan Tuhan."

Pagi ini... hanya itu saja yang ingin saya pertanyakan. Ada yang bisa bantu jawab?

(Sudah ada beberapa dugaan mengenai jawabannya. Hehehe...)

Kamis, 04 Desember 2008

Masih?

Masihkah engkau bertanya tentang kematian ketika engkau telah memutuskan untuk hidup selamanya?

Atau masihkah engkau akan menjerat lehermu dengan seutas tali tapi mempertontonkan tingkahmu di depan orang banyak?

Atau ketika engkau telah memilih untuk hidup abadi tetapi engkau masih berpikir untuk berhenti bernafas?

Adalah hal yang bijak ketika engkau memilih apa yang akan kau pilih, namun lebih bijaknya adalah ketika engkau mengatakan hal itu padaku, aku mengerti bahwa itu yang terbaik untukmu.




Selamat berjuang sobat... Junjung tinggi dirimu ketika kau merasa jatuh...
Doa dari sahabatmu yang akan kehilanganmu...

PS: Sudah kuterima emailmu... Akan kukirim ke Jogja esok lusa...

Jumat, 28 November 2008

Di Dalam Sebuah Angkot

Adalah hal - hal yang unik yang sebenarnya sering kita lewatkan ketika kita berada di suatu tempat tanpa mengamati sekitar kita. Adalah banyak hal - hal yang lebih bijak dibandingkan dengan hal - hal yang berbau keegoisan dan keotoriteran.

Sejujurnya, ketika saya menuliskan hal ini, saya diinspirasi dalam kebijaksanaan dibanding dengan keegoisan yang sering saya lakukan. Serta merta memilih apa yang sebaiknya lebih dibaikkan daripada memilih apa yang salah.

Inspirasi ini saya dapatkan ketika saya berada di dalam angkot. Ya... hari ini saya memutuskan menjadi satu. Berbaur satu dengan mereka. Saya lepaskan kunci motor dari tangan saya dan saya lebih memilih untuk menduduki kursi angkot dibandingkan saya harus menarik tuas motor. (Sekali lagi, serta merta untuk mengurangi rasa keegoisan untuk ambil bagian dalam memacetkan Jakarta dan mengurangi dampak pemanasan global -huh! Terlalu mengada-ada untuk hal ini, Iblis sepertinya berbisik demikian ketika saya memutuskan untuk masuk ke dalam angkot.-)

Ada beberapa hal yang saya amati amatlah menarik ketika kita tersadar sesuatu mengenai hal ini...

Pagi ini, ketika saya menunggu angkot melewati dan berhenti di depan saya, ada beberapa orang anak kecil berlari - lari melewati saya. Lalu sampai di persimpangan, mereka berhenti berlari dan memutuskan untuk berjalan kaki. Aneh! Kok berhenti? Saya bertanya di dalam hati. Tak sampai berapa lama, saya melihat mereka kembali berlari -seolah mereka mengerti apa yang saya pikirkan pagi ini-.

Tak menyesal saya memutuskan untuk menjadi salah penumpang angkot pada hari ini. Saya mengamati beberapa hal yang sebenarnya unik yang tak pernah saya sadari sebelumnya.

Ketika saya memutuskan naik angkot, saya berpikir memang hal yang bijak untuk itu. Saya hanya perlu mengeluarkan ongkos. Dibandingkan dengan memilih naik motor, saya menjadi beralih ke angkot. Saya tak perlu cemas apakah motor saya akan dibredel orang atau ketika saya kembali ke tempat motor saya menunggui saya hanya tinggal kaca spionnya saja atau hanya tinggal kuncinya saja.

Ada dua hal unik lainnya yang amatlah sayang ketika saya lupa mencatat hal - hal ini dalam catatan saya hari ini.

Yang pertama, angkot menyamakan derajat semua orang yang berada di dalamnya. Saya merasakan hal itu. Mereka tidak mengenal kaya, miskin, tua, muda, janda, duda, atau masih jomblo -bisa jadi saya masuk dalam kalangan ini-, cantik, tampan, atau jelek sekalipun, angkot menerima keberadaannya. Angkot menyamakan derajat semua orang dan menerima kebaikan dan kekurangan orang lain. (Kecuali untuk kurang ongkos, anda akan dipanggil oleh supir angkot untuk menambahkannya). Di dalam angkot, status kita sama. Tidak bisa memperbedakan suku, ras, dan agama. Mungkin di mata angkot, manusia adalah semuanya sama.

Yang kedua adalah saya membuktikan sendiri penumpang angkot adalah orang yang sombong. Ketika derajat mereka telah sama baik satu dan yang lain, mereka tetap sombong. Mereka hanya bertegur sapa dengan yang mereka kenal saja. Selebihnya dengan yang tidak mereka kenal, apakah mereka bertegur sapa? Saya rasa tidak. Buktinya, ketika saya menduduki kursi itu, secara iseng saya menghitung jumlah orang yang ada. 13 orang di dalamnya termasuk saya. Namun tak ada dari mereka yang menegur sapa atau sekedar kenalan. (Bukannya berharap...)

Padahal derajat mereka telah disamakan ketika mereka berada di dalam angkot itu. Yang miskin sama dengan kaya. Yang (merasa) jelek bisa jadi menjadi seorang yang cantik atau tampan. Dan ketika mereka turun, derajat mereka tetaplah sama seperti ketika mereka menunggui angkot.

Kalau saya pikir - pikir, jika saya yang menjadi orang yang paling ramah di dalam angkot itu. Saya akan dicurigai sebagai orang gila ataupun menjadi pencopet. Maka ada kalanya saya pikir lebih baik saya menjadi seorang yang sombong dibanding saya menjadi orang yang ramah namun dicurigai. (Seandainya saya menyapa dan sok akrab dengan mereka yang menumpang satu angkot dengan saya).

Hari ini adalah hal yang menarik ketika saya berada di dalam angkot. Dan hari ini saya telah membuktikan kebenaran atas ekspetasi pikiran saya yang mengatakan demikian adanya.



Aveline Agrippina Tando


Catatan: Ini adalah cerpen ke - 50 yang telah saya ciptakan secara ajaib. (Adalah catatan yang sangat tidak penting sebenarnya untuk menutup cerpen ini). Dan gambar itu secara iseng saya temukan di Google, tampak ada iklan yang cocok untuk tulisan saya kemarin.

Rabu, 26 November 2008

Komunikasi (Tanpa) Batas

Komunikasi (Tanpa) Batas
Untuk sebuah pribadi yang merasa jauh


-Aveline Agrippina-


"Lalu apa rasanya tanpa teman?"
"Kosong yang pasti."
"Hanya itu?"
"Masih banyak kok!"
"Kalo sahabat itu pergi menjauh?"
"Aku yang merasa kesepian."
"Seberapa jauh sepi itu?"
"Amat jauh..."
"Oh ya?"
"Ya..."

***

"Lalu... bagaimana memaknai sebuah pertemanan?"
"Menghargai dan memberi kebebasan. Itu kuncinya."
"Lalu, kenapa harus takut ketika sahabatmu itu berbicara dengan yang lain?"
"Karena aku merasa sepi."
"Yakinkah demikian?"
"Amat yakin..."
"Kalo kamu takut, artinya kamu tidak memberikan kebebasan dong?"
"Masak sih... perasaan aku selalu memberikan kebebasan untuknya."
"Coba jelaskan!"
"Kalo sahabatku berbicara dengan yang lain, aku ikut mendengar dan aku ikut tertawa. Namun tak lama aku pergi dari mereka. Biarlah mereka berduaan saja."
"Itu yang namanya kebebasan?"
"Iya..."
"Kurasa kamu salah mengatakan itu sebuah kebebasan. Kebebasan itu bukan kamu berlari lalu merasa takut sendiri."
"Jadi bagaimana?"
"Bagaimana kamu memposisikan dirimu yang tepat di antara sahabatmu juga bisa menerima keberadaan teman yang dekat dengan sahabatmu itu. Bukan karena terpaksa lalu kamu merasa takut. Tetapi memang tulus. Barulah kamu bisa mengatakan kebebasan."
"Caranya?"
"Seperti demikianlah... Memahami pribadi masing - masing."

***

"Menilai bukanlah sebuah perbuatan yang terlarang."
"Lalu?"
"Menilai adalah perbuatan untuk meningkatkan karakter masing - masing insan."

***

"Tiba-tiba hujan turun sore ini, aku teringat pada engkau..."
"Aku?"
"Ya... engkau.... sahabat yang kukenal 6 tahun lalu."
"Ada apa dengan aku dan hujan?"
"Ya... ketika hujan turun, engkau bertanya tentang hal - hal pertemanan."
"Dan kau selalu menyebut itu dalam catatanmu itu adalah komunikasi tanpa batas."
"Tetapi kata 'batas' kuapitkan dengan tanda kurung. Bisa jadi komunikasi kita berbatas."
"Sejak 6 tahun lalu aku mengenalmu, kamu jiwa yang tetap."
"Untuk apa aku berubah? Walau aku semakin dewasa, tetapi aku adalah aku. Tak akan menjadi yang lain."
"Komunikasi tanpa batas ya?"
"Yap... itulah yang kusebut dengan sebuah pertemanan."




Ketika hujan turun sore ini
Dan aku sedang menatap jemariku
10 jemari menari dengan indahnya di atas abjad tak tersusun
Telepon itu berdering dan membawaku pada masa lalu
Sebuah masa kebahagiaan (ketika hujan turun)
Dan kuharap hujan sore ini tak lekas mereda
Karena aku takut ketika hujan mereda
Kebahagiaan yang tercipta secara alamiah ini sirna
Tetapi biarlah hujan terus turun membawa kebahagiaan selalu
Untuk mendamaikan hatiku, tempat tersembunyi dalam jiwa ini



Tulisan Komunikasi Berbatas ini dipersembahkan khusus untuk diri saya secara pribadi (mungkin juga untuk seorang sahabat yang baru chat via YM).

26 November 2008

Minggu, 09 November 2008

Menjadi "Tuhan" Atas Manusia Lain

Yang perlu diketahui adalah tulisan ini hanyalah sekedar tulisan refleksi, bukan untuk mendukung ataupun menolak hukuman mati.

Pagi ini, ketika menjalani rutinitas saya ketika hari libur -menyalakan komputer dan mulai berjalan - jalan di dunia maya-, saya tertarik dengan satu tulisan singkat yang ada di inbox Multiply saya. Cukup singkat. Tentang kematian Amrozi dan kawan - kawan. Begitulah kurang lebih isinya yang saya tangkap. Kemudian secara iseng, saya mulai mencari kebenaran atas berita itu. Saya gali lebih informatif, ternyata hasilnya sama saja, saya mendapatkan isinya sama saja, Amrozi dkk telah dihukum mati.

Pertentangan hukuman mati di Indonesia sebenarnya telah ada sejak hukuman mati dan penjadwalan hukuman mati untuk Fabianus Tibo (Kasus Poso) -yang menurut penilaian saya- ditentukan secara tergesa-gesa. Ada mereka yang menyatakan boleh hukuman mati diberlakukan, tetapi menurut agama ataupun hal - hal lainnya, tidak dibenarkan hukuman mati diberlakukan.

Saya tidak membahas tentang pertentangan hukuman mati atau hal apapun. Seperti judul di atas, itulah yang akan saya bahas hari ini. Sebuah metafora pagi yang saya terima. Entah itu adalah sebuah kebenaran ataupun hanyalah sebuah tipuan belaka untuk mengelabui rakyat. Lebih tepatnya untuk membuat rakyat senang ataupun bangga ataupun hal - hal lainnya yang sebenarnya ingin dirasakan.

Hukuman mati. Mengapa bisa hukuman mati diterapkan? Pada awalnya hukuman mati diciptakan untuk membuat efek jera bagi pembunuhan. Benarkah? Saya rasa salah. Toh, kalo seseorang telah dihukum mati, siapa lagi yang akan jera? Ada juga keluarganya yang meraung - raung sedih. Maka hukuman mati adalah bukanlah menjadi sebuah hukuman melainkan menimbulkan tindak pidana lainnya.

Ada beberapa macam hukuman mati (hukuman mati? Kata - kata yang salah, mengapa tidak menggunakan mencabut nyawa tersangka saja?) yang diberlakukan di seluruh dunia. Menurut Wikipedia, ada 6 macam hukuman mati. Pancung kepala, sengatan listrik, gantung, suntik mati, tembak, dan rajam. Dan katanya, hukuman suntik matilah yang pantas untuk menggantikan semuanya karena hukuman lainnya adalah hukuman yang tidak berkeprimanusiaan. Sejenak saya berpikir, berkeprimanusiaan? Benarkah? Apakah membunuh orang dengan menyuntik mati itu dianggap berkeprimanusiaan? Saya pikir sama saja. Membunuh orang dengan cara apapun tetaplah sesuatu yang tidak berkeprimanusiaan.

Saya ingin tahu, menurut anda, membunuh seseorang itu tindakan menghukum mati untuk seseorang bukan? Misalnya saja, si A dendam pada si B karena si B telah menipu si A. Lalu si A membunuh si B. Termasuk hukuman mati bukan?

Judul tulisan saya hari ini, menjadi TUHAN atas manusia lain apa sangkut pautnya dengan hukuman mati? Menurut orang banyak (dan teori yang ditetapkan oleh orang yang lebih dewasa ketika saya kecil), yang berhak menentukan mati adalah TUHAN. Tuhan yang berhak memberikan nyawa dan mencabut nyawa seseorang.

Namun bagaimana dengan hukuman mati? Dalam pikiran saya, hal itu adalah seseorang manusia telah menjadi TUHAN atas manusia lainnya. Mereka yang menentukan jadwal kematian seseorang. Apapun alasan mereka untuk menetapkan seseorang harus dihukum mati. Mulai dari hukum atau seseorang itu memang harus mati karena kalo dia tetap hidup, teruslah dunia akan dihancurkannya sampai memang takdirnya harus mati demikian adanya.

Menjadi TUHAN atas manusia lain. Acap kali kita tak pernah berpikir, dengan mengeksekusi nyawa seseorang, kitapun telah menyamakan diri kita dengan TUHAN secara tidak langsung. Dan Indonesia telah menjadi TUHAN atas rakyat mereka yang ditetapkan hukuman mati.

Di Indonesia, sebenarnya sudah ditetapkan tidak boleh diberlakukannya hukuman mati untuk seseorang. Tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 28A

Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Artinya mereka yang menentukan hukuman mati telah melanggar UUD 1945 pasal 28A dan telah menjadi TUHAN atas manusia lainnya.

Jadi, bagaimana dengan ketetapan hukuman mati? Terus dijalanikah? Atau hari ini untuk yang terakhir? Itu semua tergantung kebijakan hukum atau biarkan TUHAN yang SEBENARNYA yang menentukan kematian.


>>>> Catatan pagi ini...
>>>>> 9 November 2008 -08.49
>>>>>>Aveline Agrippina Tando

***

Tulisan ini tercantum di sini

Selasa, 04 November 2008

Answer, Reason, Life

Give me the answer, if I cannot find that.
Just it I need now...

Give me the reason, if I cannot see all of the world
Just it... Yes, just it...

Give me long life, if I cannot find the answer and I cannot see all of the world

So... I hope them...



>>> Very long night...
Aveline Agrippina Tando

Sabtu, 18 Oktober 2008

Berpisah

Pepatah sering mengatakan "ada waktunya bertemu, juga ada waktunya berpisah." Saya pikir itu adalah sesuatu yang netral dalam hidup. Seperti ada kelahiran, tentu juga ada kematian. Seperti hukum sebab akibat. Dan berbagai hukum timbal balik lainnya.

Kelahiran tentu saat - saat membahagiakan. Itu merupakan pertemua perdana ketika seseorang manusia dalam ujud kecilnya dilahirkan dengan manusia - manusia yang telah lahir sebelumnya dan dengan dunia. Pertemuan yang membahagiakan bukan? Atau ketika anda bertemu dengan seseorang yang anda cintai. Menjadi sebuah pertemuan yang mengharukan.

Jadi, pertemuan adalah sesuatu yang membahagiakan untuk anda yang sedang rindu ataupun merasa sendiri dalam hidup anda. (Kecuali, anda bertemu dengan musuh anda, tentunya bukan kebahagiaan yang anda dapatkan melainkan amarah dan dendam).


Namun bagaimana dengan berpisah?

Berpisah dengan seseorang yang anda kasihi?

Berpisah dengan seseorang yang anda sayangi?

Berpisah dengan seseorang yang mengasihi anda?


Berpisah berasal dari kata "pisah" yang artinya akan berubah menjadi jauh.  Sebuah perpisahan akan menjadi saat - saat yang mengharukan, menyedihkan, menyakitkan, dan suasana - suasana lainnya yang menjadikan sesuatu tak lengkap. Tak sempurna lagi.

(Kecuali anda berpisah dengan musuh anda, itu lain soal.)

Banyak hal yang dapat menyebabkan seseorang harus berpisah. Kematian. Jarak. Ruang lingkup. Dan banyak lainnya.

Berpisah. Saat yang menakutkan kah? Terus terang dalam hidup saya, berpisah adalah saat yang harus saya lalui dalam deru air mata. Dan yang pasti dalam pikiran saya, berpisah adalah sesuatu yang bisa membuat saya terjatuh, namun belum tentu menakutkan diri saya.

Kadang sayapun juga ragu terhadap diri saya. Apakah saya berani menghadapi perpisahan? Berpisah dengan orang yang saya kasihi, keluarga, sahabat - sahabat, dan semua orang yang pernah saya jumpai.

Bagaimana memaknai rasa perpisahan? Saya tak pernah bisa merasakan makna perpisahan. Ketika saya bertemu dengan seseorang yang membuat saya nyaman bersamanya, saya tak pernah berpikir dengan perpisahan. Yang saya lakukan adalah apa yang saya harus lakukan ketika berjumpa dengan orang itu.

Namun, ketika saya merasakan kehilangan orang itu, saya baru sadar, saya telah berpisah dengannya. Ketika saya merindukannya, saya baru sadar, dia tak ada di samping saya. Tidak menemani saya. Nah, di saat - saat itulah saya harus berani melawan ketakutan saya terhadap perpisahan.

Perpisahan itu ada dua. Berpisah untuk sementara atau berpisah untuk selamanya. Yang saya tuliskan ini adalah berpisah untuk selamanya. Bagaimana rasanya berpisah, dan bagaimana rasanya memaknai perpisahan itu. (walau menyakitkan)

Kenikmatan yang saya ambil? Rasanya ada... walau sedikit sekali. Yaitu bagaimana perpisahan mendewasakan saya dan menjadikan sebuah ketegaran yang harus saya jalani. Menemukan mozaik yang hilang dari bagian kehidupan saya.



>>> Pagi ini
Jakarta 18 Oktober 2008

-Aveline Agrippina Tando


*) Catatan ini bukan catatan perpisahan ataupun menjadi tulisan terakhir...

Senin, 13 Oktober 2008

Setiap Orang dengan Kehidupannya

Setiap orang yang pernah melangkah di jalan hidupnya, dia pasti juga pernah terjatuh...

Setiap orang yang pernah berkata bohong, pasti dia pernah juga berkata jujur...

Setiap orang yang tertawa dalam hidupnya, pasti dia juga pernah menangis...


Karena semua itu adalah mozaik - mozaik hidup
Ketika anda pernah merasakannya semua itu, berbahagialah anda...

Karena mereka yang berbahagia adalah mereka yang bisa mensyukuri dan menikmati hidupnya dalam rupa apapun...



>>>Sebuah catatan kecil untuk sahabat - sahabatku terkasih, Berlianevie, Mr. YDP, Michelle, dan tentunya ANDA yang merasakan hidup anda penuh arti...

>>>Sebuah catatan spesial untuk persaudaraan kita, Adryan Adisaputra Tando dan Margareth...

Kamis, 02 Oktober 2008

Kisah Induk Burung dan Anaknya

Cerita kecil yang masih nyangkut di otak yang meminta pertaggungjawaban untuk ditulis...

***

Alkisah, seorang induk burung yang bergelut dengan penyakitnya hanya bisa terbaring lemah di sarangnya bersama tiga ekor anak. Sang anak selalu saja cemas dan khawatir apakah ibunya dapat sembuh karena ibunyalah yang menjadi tumpuan hidupnya dalam mencari makan.

Sejak ibunya sakit, mereka tak dapat makan. Ibunya dan anak - anak burung itu sudah snagat lemas dan nyaris mati.

Anak burung yang paling besar berinisiatif untuk mencarikan makan untuk ibunya dan adik - adiknya. Akhirnya dia memutuskan untuk terbang walau ibunya telah mencoba menasihatinya agar tidak terbang karena sayapnya yang belum utuh.

Setelah beradu debat dengan sang ibu, anak burung itu pun pergi mencari makanan untuk adik - adiknya yang telah kelaparan dan tentunya juga untuk sang ibu.

Setelah beberapa jam, anak burung itupun kembali membawa banyak makanan. Sayapnya patah dan ia mencoba menutupinya dari ibunya. Walau sakit yang ia rasakan, ia terus mencoba menutupinya. Ia meyakinkan semuanya dalam keadaan baik - baik saja.

Keesokan harinya, ibunya sudah dalam keadaan yang lebih baik dan kedua anaknya tak lagi kelaparan. Namun, anak burung yang paling besar tak bangun dari tidurnya. Kedua adiknya mencoba membangunkannya, dan mereka menemukan kakaknya telah mati.





Aveline Agrippina Tando


Hutangku lunas sudah...

Rabu, 01 Oktober 2008

Bermimpilah, Karena TUHAN Akan Memeluk Mimpi - Mimpimu

Tulisan ini ditujukan untuk anda yang takut untuk bermimpi, terlebih untuk seorang sahabat di Kutoarjo, Tn. Yulius Denny Prabowo.

***

Tanpa sengaja, ketika membereskan meja saya yang masih berserakan kertas dan buku, saya menemukan tulisan anda (tulisan Tn. Yulius Denny Prabowo) terselip di antara serakan kertas - kertas itu. Tulisan yang telah lama saya cetak dan sudah saya baca dua tiga kali sekedar untuk mengisi waktu saya. Bukanlah saat yang tepat, waktu itu saya membaca kembali tulisan anda. Seharusnya saya merapikan kerjaan saya terlebih dahulu barulah saya membaca. Gejolak apa yang sanggup mengantarkan saya untuk lebih membaca tulisan anda yang keempat kalinya sebelum pekerjaan saya tuntas?

Dan ketika saya kembali membacanya, mungkin inilah puncaknya saya menemukan makna – makna dari tulisan anda. Anda masih takut untuk bermimpi dan anda masih ragu untuk menatap hidup anda.

Setiap aksara yang tampak seperti kehilangan arah, harapan, dan tujuan…

Dan benarkah kata – kata yang anda tuliskan kepada saya?

Kenyataan ialah titik di mana kita berada saat ini, masa depan ialah mimpi, dan orang sepertiku tak punya apa-apa selain mimpi, untuk mimpi-mimpi itu pula aku akan terus berjuang menjalani hidup

Dusta saya katakan kepada anda untuk mengatakan demikian jika anda sendiripun belum berani untuk bermimpi, bagaimana bisa untuk bermimpi jika anda sendiri masih takut untuk bermimpi?

Bukankah anda yang memeperkenalkan saya kepada Andrea Hirata, si keriting itu? Bukankah anda yang membawa saya masuk kepada dunianya? Tentang Edensor, tanah impian itu? Mengapa anda masih takut untuk bermimpi? Pernahkah baca bagian ini? Bagaimana Arai memotivasi Ikal untuk berangkat ke benua hitam adalah caranya untuk bermimpi.

Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu

Andrea HirataEdensor

Ya, harus saya sadari mungkin kita adalah insan yang sama. Sama pernah terjatuh dan merasakan manis, pahit, dan asamnya hidup. Namun ketika saya terbangun dari angan – angan saya selama ini, apakah saya pernah tersadar untuk bangkit? Awalnya tidak, namun saya berjuang tanpa saya sadari untuk bangkit. Banyak yang saya tinggalkan dan lewati, dan tentunya saya akan semakin banyak kehilangan orang – orang yang pernah saya cintai dan mencintai saya.

Begitupun anda, bagaimana mereka bisa menyatakan kehilangan anda ketika anda belum berani untuk menatap diri anda sendiri? Karena kita hanya tersadar dengan apa yang dunia nyatakan kepada kita saat ini tanpa pernah kita ketahui bagaimana merasakan hilang itu.

Beranikah engkau bermimpi? Itulah pertanyaan saya kepada anda. Mengapa anda tidak bisa menikmati pekerjaan anda, hidup anda, dan semua yang diberikan TUHAN kepada anda? Karena anda masih takut untuk semua hal itu.

Bekerjalah bagaikan tak butuh uang. Mencintailah bagaikan tak pernah disakiti. Menarilah bagaikan tak seorang pun sedang menontonMark Twain

Kita kadang tak bisa mencintai apa yang seharusnya kita cintai, tetapi kita sering mencintai apa yang seharusnya kita cintai. Reality is so hard, begitu kata dunia kepada saya ketika saya harus tersungkur dalam ketidakberdayaan. Dan sampai detik saya menuliskan aksara untuk anda ini, saya belajar banyak bagaimana caranya untuk mencintai realita yang ada walau banyak perbedaan. Rentan yang amat jauh dari yang saya harapkan.

Seperti luka, ketika ia pernah mampir di tubuh kita, pasti akan meninggalkan bekasnya sedikit banyak. Itulah saya, ketika saya merasakan pengkhianatan yang paling besar saya rasakan, masih ada yang terekam di batin saya. Namun saya tak seperti ketika luka itu hadir pada kulit saya pertama kali, saya dapat merasakan darah yang menetes atau melihat kulit saya yang terkelupas.

Siapapun pemenangnya, aku tak akan sama

Yulius Denny Prabowo – Angel and Devil Walk With Me

Ya, kita yang pernah terluka tak akan pernah menjadi seperti dulu lagi. Sisa – sisa dari luka itu pasti akan tersisa, namun tak seperih dulu lagi. Setiap – setiap kita adalah manusia yang akan merasakan sakit. Karena menurut saya, ketika seseorang bisa merasakan tawa dan tangis, dia telah bisa memaknai rasa kehidupan. Rasa yang seharusnya ada.

Ketika anda bahagia, tentu anda pasti pernah menangis. Ketika anda dalam sedu sedan, anda pernah bergelak tawa. Karena itulah kenyataan hidup yang seharusnya kita camkan dan kita nikmati.

I Have A Dream (Saya bermimpi)Martin Luther King Jr.

Bagaimana Martin Luther King bisa membebaskan orang berkulit hitam di Amerika? Karena dia memiliki mimpi untuk membebaskan mereka semua. Dan dia membebaskan mimpinya menjadi sebuah kenyataan. Di mana mimpinya terjawab untuk kemenangan orang banyak.

Ketika hidup tak ada tangis dan tawa, saya akan berseru, “itu bukan hidup.” Saya tak pernah merasakan hidup tanpa kedua hal itu. Dan ketika anda takut untuk menangis, maka anda akan takut untuk bermimpi. Begitu pula sebaliknya, ketika anda takut untuk tertawa, anda telah takut untuk bermimpi.

Semua realita yang kejam anggap saja sebagai bagian dari fatamorgana kehidupan anda. Begitu saya memaknai sisa waktu kehidupan saya di dunia.

So, keep dreaming, because GOD will hug your dreams…

Bermimpilah saudaraku, karena TUHAN akan memeluk mimpi – mimpimu…

Aveline Agrippina Tando


Tulisan ini bisa didapatkan di sini dan sini

Anda dapat membaca Edensor pada attachement file yang terlampir.

Selasa, 02 September 2008

3 Kesempatan

Minggu, 2 April

Hari ini mengingatkanku akan sebuah kejadian yang terjadi satu tahun yang lalu yang terkadang membuat orang tidak percaya akan hal ini. Tapi ini benar. Sungguh. Aku mengalaminya sendiri. Awalnya, akupun tidak percaya menjadi bahkan harus percaya kalau dia masih hidup di alam sana.

Berawal dari kisah ini. Aku mengenalnya saat aku terpilih mengisi acara pensi di sekolahku. Sewaktu itu, pengisi acara pensi diikuti oleh seluruh kakak kelasku kecuali diriku dan seseorang yang belum kukenal karena aku adalah siswi baru di sekolah ini. Aku tidak mengenal seluruh kakak kelasku.

Aku duduk di sudut ruangan itu. Tiba – tiba aku didatangi oleh seorang lelaki yang memisahkan diri dari perkumpulan kakak kelasku tadi. “Hai! Kok nggak ikut gabung sama kita?” tanya Aryo, namanya yang kudengar tadi dari pembicaraan mereka. Dia cukup tampan, baik, ramah, dan terlihat pandai. Hal tersebut membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. “Eh… enggak”, jawabku. “Kenapa?” tanyanya lagi. “Nggak ah, maksudnya aku nggak kenal sama teman – teman kakak jadinya aku malu.”

Lalu aku diajaknya berkenalan dengan teman-temannya. Dan melalui kegiatan pensi itu, aku bisa bersahabat dengannya. Tapi dalam lubuk hati, aku memendam rasa cinta yang belum sanggup kukatakan padanya.

Setelah empat bulan aku bersahabat dengannya, akhirnya hubungan kita harus terhenti karena dia diisukan menjadi pengguna narkoba. Aku tak ingin memiliki sahabat apalagi kekasih seorang user. Aku malu! Tapi rasa cintaku padanya tak bisa lari darinya.

Ternyata isu ini bukan hanya beredar di telinga siswa-siswi. Isu itu juga terdengar sampai ke telinga guru – guru, bahkan sampai ke kepala sekolah. Sampai akhirnya ia harus dikeluarkan dari sekolah.

Sebelum ia dikeluarkan, aku sempat bertemu dengannya. Ia membisikkan telingaku,”Percayalah! Aku bukan seorang user!” Aku menangis saat melihatnya melintasi gerbang sekolah yang terakhir kalinya. Ia melambaikan tangannya dan memberikan senyumnya padaku. Itu saat terakhir kalinya aku bertemu dengannya.

Dua bulan kemudian terungkaplah segala kebenaran. Ternyata ia bukan seorang user. Sahabatnya hanya iri padanya karena ia terpilih menjadi ketua OSIS. Aku tak menyangka sahabatnya sekejam itu padanya karena hanya sebuah jabatan. Itu namanya sahabat? Setega itukah sahabatnya?

Aku benci pada diriku sendiri mengapa aku tak percaya padanya, langsung percaya akan yang mereka katakan, memecahkan persahabatan, betapa kejamnya aku pada Aryo, sahabatku yang malang karena terfitnah. Dan mengapa begitu jahatnya aku pada Aryo, orang yang selama ini kucintai.

Beberapa bulan setelah isu tersebut terpecahkan, aku mengalami kejadian yang tak pernah ada di pikiran manusia. Padahal aku sudah mulai melupakannya seirirng berjalannya waktu. Dalam satu hari aku melihat Aryo secara langsung dengan mata kepalaku sendiri.

Paginya, aku lupa membawa buku tugas untuk hari ini. Pagi itu aku kalang kabut mencari buku itu dengan dibantu Dian. Tiba-tiba seorang lelaki masuk ke kelasku dan menaruh buku tugasku di atas meja. Ia langsung berjalan keluar dari kelasku. Itu Aryo!!! Aku mengarah keluar kelas dan mencarinya. Namun ia tak terlihat lagi.

“Elo ngapain sih keluar?” tanya Dian, sahabatku yang melihatku keluar kelas.

“Barusan gue ngeliat Aryo.” Kugenggam buku itu.

“Aryo?”

“Iya, barusan aja dia ke sini nganterin buku gue.”

“Ah… mungkin elo salah liat kali,” kata Dian tidak yakin.

“Iya kali!” Tapi aku tetap yakin kalo Aryolah yang mengantarkan buku itu.

Siangnya, kembali aku mengalami hal serupa. Sekolah baru saja usai. Aku tak bisa melupakan kejadian tadi pagi. Apakah benar Aryo yang meletakkan buku itu? Atau orang lain? Apa itu hanya halusinasiku saja?

Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku. Sampai aku sadar, aku telah menabrak seseorang. “Eh… kalo jalan pake mata dong!” bentak seorang pria bertubuh tegap. “Maaf! Maaf mas! Saya nggak sengaja! Maaf!” kataku. Buku yang ku pegang jatuh berserakan di jalan. Seorang lelaki membantuku mengambilkan bukuku yang jatuh dan memberikannya padaku. “Terima kasih!” kataku. Dia bangkit berdiri dan hanya membalas kata-kataku tadi dengan senyuman. Ya Tuhan…, itu Aryo. “Aryo!!!” teriakku. Tetapi dia sudah menghilang. Teriakan itu mengundang perhatian orang – orang di pinggir jalan.

Malam hari, setelah aku pulang dari rumah temanku untuk mengerjakan tugas kelompok, aku pulang ke rumah dengan angkot. Lalu aku berhenti di halte di mana aku harus berhenti. Biasanya aku pulang dijemput Aryo dengan motornya atau naik angkot bersamanya. Rumahku tidak begitu berjauhan dengan rumahnya.

Tapi, sejak ia dikeuarkan dari sekolah, aku tidak pernah lagi berjalan pulang bersamanya. Tidak ada lagi orang yang menemaniku. Tak ada lagi orang yang mengantariku dan menjemputku. Tak ada lagi orang yang dapat diajak ngobrol kala senja menyingsing. Tak ada lagi orang yang biasa duduk di kursi bambu rumahku sambil mendengarkan cerita suka dan dukaku untuk meringankan hatiku. Selama ini aku berpikir aku akan selamanya bersama dia. Namun kini aku sadar, kita tak bisa selamanya menghuni dunia bersama seseorang yang kita kasihi.

Malam itu, hujan turun deras sekali. Aku turun dari angkot dan berdiri di halte. Ku telpon Indra, adikku, untuk menjemputku tapi tak diangkat. Aku ingin berlari, tapi aku takut sakit karena besok aku harus mengikuti ujian. Akhirnya, aku sendiri duduk di kursi halte sambil menunggu hujan berhenti.

Aku merasakan seseorang duduk dan memegang tanganku. Ia mengajakku berdiri. Dia ARYO. “Aryo, kamu dari mana?” tanyaku. Dia hanya tersenyum membalas kata-kataku tadi. “Yo, maafin aku ya!” kataku sambil menangis. Dia tersenyum kembali dan membuka payung yang ia pegang. Ia memengang erat tanganku dan memayungiku sampai ke rumah. Terasa sekali tangannya dingin. “Makasih ya!” kataku. Lalu ia pergi dan lama-lama tubuhnya menghilang.

Aku masuk ke rumah. “Indra, gimana sih kamu? Kakak telpon nggak diangkat!” marahku. “Untung ada Aryo yang nganterin kakak pulang, kalo nggak ada dia, kakak bisa sampai besok nungguin hujan,”lanjutku.

“Siapa kak? Kak Aryo?”tanyanya kaget.

“Iya, Aryo yang dulu sering main ke sini itu lho.”

“Lho! Bukannya dia sudah… meninggal?”

“Kamu nggak usah bercanda deh!”

“Aku serius, kak! Tadi sore dia ada di berita.”

Ya Tuhan, siapa yang mengantari bukuku tadi pagi? Siapa yang membantuku mengambil bukuku? Siapa yang mengantari aku pulang? Bulu kudukku berdiri. Tanganku menjadi dingin. Tubuhku terasa lemas. Aku melepaskan tasku dari pundakku. Indra masuk ke kamarnya. Ku duduk di kursi sambil mengganti channel tivi. Dan membuatku berhenti menggerakkan jemariku di atas remote control itu adalah acara berita itu.

“TELAH DITEMUKAN KORBAN TABRAK LARI DALAM KEADAAN TEWAS DI KAWASAN KAMPUNG RAMBUTAN. PRIA YANG DIKENAL BERNAMA ARYO SAPUTRA INI DITEMUKAN WARGA SEMALAM.” Tersiarlah video seorang lelaki bersimbah darah di pinggir jalan. Remote control itu jatuh ke lantai. Tiba – tiba air mataku jatuh ke pipiku. Semakin lama semakin deras. Keringat dingin keluar dari tubuhku.

“ARYO…!!!” Teriakku histeris. Dia sudah pergi sebelum aku mengatakan terima kasih. Dia sudah pergi sebelum aku mengatakan padanya kalau aku cinta padanya. Indra keluar dari kamarnya. Mataku terasa sulit untuk dibuka. Aku masuk ke kamarku.

Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Air mata semakin deras membanjiri pipiku. Aku terdiam di dalam kamar. Aku tersadar saat mataku yang sayup – sayup ini tertuju pada setangkai bunga mawar di atas mejaku. Aku berusaha untuk tidak tertidur karena aku harus belajar untuk ujian esok. Tapi mengapa mata ini sangat berat? Mataku tak dapat melihat dengan jelas.

Ku angkat bunga itu dan kubaca selembar kertas yang diselipkan di dekat bunga itu. Mungkin itu surprise dari Dio, pacarku.

Ira, aku tak tahu apa yang harus ku katakan. Apa yang harus aku lakukan kepadamu? Apa yang harus aku ucapkan terhadapmu? Segalanya aku berikan demi dirimu. Mungkin waktu kita tak banyak untuk bersenda gurau. Ternyata hidup itu tidak cukup hanya diisi dengan tawa dan air mata.

Aku hanya ingin kamu mengingatku selalu dan selamanya karena aku mencintaimu seperti kamu menjadi sahabatku. Aku mencintaimu dengan segenap hatiku.

“Bruk…!” Pintu kamarku terbuka. “Kak, itu bunga dari kak Aryo. Kemarin sore, kak Aryo ke sini. Kakak belum pulang, terus dia nitip bunga itu. Tapi aku lupa kasih tahu kakak.” Indra hanya terdiam melihatku. Air mataku terus jatuh tiada habisnya. Aryo… terima kasih telah mengisi hari – hariku. Dan tiba – tiba saja mataku menjadi gelap.

***

Ra, gebetan elo sudah nggak ada.”

“Dian, gue udah tahu.” Aku hanya bisa berkata apa adanya saja.

“Yang tegar ya!”

“Dian, kemarin yang nganter buku gue itu benar – benar Aryo!”

“Ra, jangan gila gitu deh. Itu halusinasi elo kali?”

“Kemarin itu memang Aryo!”

“Ah, elo udah gila!”

Dian meninggalkanku dengan rasa yang tidak percaya. Namun aku tetap percaya, peristiwa kemarin itu adalah tiga kesempatanku untuk bertemu dengan cinta pertamaku dan ia mengungkapkan cintanya padaku. Tiga kesempatan yang tak akan pernah terlupa seumur hidupku. Tiga kesempatan yang tidak akan pernah lagi diberikan Tuhan. Tiga kesempatan yang akan selalu ada walau sulit untuk dipercaya.

15 – 18 Desember 2006

©Aveline Agrippina Tando