Selasa, 14 April 2009

Ada Hal yang Harus Dipahami

Ada Hal yang Harus Dipahami

Yang Datang Tanpa Rasa Sayang - Episode 2



Pada akhirnya, setelah surat itu berstatus draft dalam surat elektronikku, kuputuskan surat itu memang harus tiba padanya sebelum semua berlanjut tanpa hal yang pasti seperti demikian ini. Kalau memang harus kita akhiri semua ceritera kita, mengapa kamu masih harus canggung terhadap semua ini? Itu pasti juga akan menyiksa dirimu dan perasaanmu sendiri.

Kadang dengan hal yang kuperbuat padamu itu sungguh kubuat dari ketulusan hati? Tidak! Aku bukanlah seperti itu. Jika kamu menilaiku aku pantas menjadi istrimu demi masa depanmu, itu adalah benar semata di matamu. Belum tentu di mataku.

Seperti yang kau katakan sendiri kepadaku bahwa merelakan harus menjadi sebuah jalan ketika tidak ada lagi pintas yang dapat kita lalui. Selalu kucamkan katamu itu, dan katamu itu benar padaku. Rupanya itu hanya katamu untukku, tidak untukmu secara pribadi. Itu hanya seperti kata penghiburan untuk jiwamu yang seharusnya bisa merelakanku.

Ketika dengan terpaksa kutekan "send" untuk mengirimkan rangkaian kataku padamu, aku mulai sesunggukkan. Aku tak tahu pastinya bagaimana perasaanmu ketika kau membacanya. Kalau sampai kau memang harus merelakan semua ceritera ini berakhir demikian, aku sudah siap. Karena memang itulah yang telah kurencanakan sejak awal pergulatan hati bermain dalam relung ini.

Butuh waktu untuk takut kesendirian. Sungguh! Demi Tuhan, aku takut dengan kesendirian yang akan mengecamku ketika kau benar- benar memisahkan diri dariku. Namun, itu adalah sebuah jalan yang telah kita tempuh setapak demi setapak. Entah bagaimana caranya atau waktunya, kita pasti berpisah. Aku tahu hal itu dan kata - katamu mungkin memang menjadi tolak ukur kepedulianku padamu.

"Karena aku sayang padamu bukan atas nama cinta, melainkan karena kasihan."

"Karena itu kamu ingin kita berpisah?"

"Ada alasan lain selain daripada itu. Bukannya kamu sudah tahu?"

"Ya, aku tahu. Aku memang harus sadar diri tentang hal itu."

Aku mulai sesunggukkan. Bibir ini perlahan bergetar. Sungguh aku takut, takut akan kesendirian dan takut kehilangan dirimu. Aku selalu mencemaskanmu dan mengkhawatirkan keadaanmu di manapun beradanya dirimu. Aku selalu mencarimu bahkan aku terpaksa sekalipun bereinkarnasi menjadi seekor semut untuk masuk ke celah yang paling kecil. Semua itu karena perelaan yang besar yang memang harus aku berikan kepadamu.

Karena kasihan itu alasan pertama yang tak benar untuk dijadikan alasan.

Hal - hal yang telah kau sadari seharusnya menjadi pengetahuanmu dan bekalmu bahwa aku memang tidak bisa untuk diperkenankan lagi bersama. Adalah hal yang egois ketika kau tidak memperbolehkan aku memisahkan dirimu. Aku berani bersumpah, tidak ada laki-laki lain selama ini yang menyebabkan perpisahan yang kelak akan kita jalani.

Pesan singkatmu tak hadir lagi beberapa hari setelah kukirimkan surat itu padamu. Rentang jarak Jakarta dan Kulonprogo begitu jauh sehingga tanganpun tak mampu untuk menggapai satu sama lain. Sehingga jalan untuk berkomunikasi hanyalah telepon. Dan telepon itu juga aku berkesempatan untuk tidak memberikan harapan yang lebih daripada kecukupan untukmu semua ini.

"Kalau memang aku harus rela, baiklah... Aku tak akan menghancurkan masa depanmu."

"Terima kasih. Aku sungguh berterima kasih sekali."

Seperti pencuri, air mata jatuh setetes demi setetes. Menghujani semuanya ini.

"Aku ingin memelukmu dan anak-anak kita."

"Aku ingin mengelus perutmu yang akan mengandung anak kita."

"Aku ingin bersatu dalam keluarga yang bahagia denganmu."

Benar-benar, sungguh... Aku takut hal ini. Hal yang harus dapat kau pahami sebelum semua ini terlambat dan tidak ada jalan keluarnya. Apalagi mengingat kata-katamu yang sungguh membahagiakan hatiku dan menjadi pelipur ketika aku berlara.

Aku menjadi merasa berdosa terhadapmu.
Terhadap peristiwa munafik ini.


A.A. - dalam sebuah inisial
14 April 2009 | 14.52

Tidak ada komentar: