Sabtu, 04 April 2009

Di Atas Rel Mati

Di atas besi tua yang berkarat, yang diam pada jalan berkerikil. Hidup di tengah kesepian yang merajalela pada setiap ikatan sambung rel. Tak dapat berkutik ketika sepur melewati di atasnya. Hanya kepasrahan yang menggesek roda sepur dengan belahan besi tua yang menjadi jalan roda tersebut.

Dia adalah gabungan besi yang bernasib harus demikian adanya. Dia harus tergesek dengan kecepatan sepur. Dicongkel orang. Dijual atau diinjak oleh orang. Dia tak akan pernah menjadi tuan. Selamanya akan menjadi budak. Budak agar orang - orang yang berkejaran dengan waktu dapat dengan cepat menembus harinya.

Mungkin di atas rel itu kosong. Tak ada yang berbicara.

Sekalipun semut yang melintas di atasnya selain sepur.

Semua makhluk boleh melalu-lalang di atasnya. Tak ada yang berhak untuk membatasi keadaan sesungguhnya.

Tak ada yang mengawasi. Seorang tua yang tertatih - tatih berjalan di atasnya. Tanpa membawa apapun. Dia melewati setiap jalan di atas rel itu. Berjalan seperti orang yang hendak datang pada juragannya. Dia membungkukkan punggungnya.

Di ujung sana, sepur telah berjalan dengan cepatnya. Tak ada waktu untuk berhenti.

"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet......................."

Dia tak berjalan ke pinggir. Entahlah, dia memang ingin mati atau tak mendengar.

"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet......................"

Dia bahkan diam di tengah.

"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeet........................"

Sapaan itu. Ah, bukan! Itu bukan sapaan!

Tubuh yang renta itu tak lagi berbentuk. Tak dapat lagi dibedakan mana kepala, badan, tangan, dan kakinya. Pakaiannya telah berlumur darah. Tak ada yang tahu bahwa tubuh renta itu telah dihajar oleh sepur. Tak ada yang tahu siapa dia. Tak ada yang menghampirinya, hanya sekedar mencari atau mengumpulkan bagian - bagian tubuhnya yang memang ingin mati di atas rel. Semutpun juga tidak. Dia hanya lewat dan melihat tubuh yang akan membangkai itu.

Sekalipun dia salah. Sekalipun dia benar. Atau hal apapun.


Tak ada orang yang berbondong - bondong melihat tubuh itu. Tak ada orang yang histeris. Tak ada orang yang mengumpulkan serpih - serpih tubuhnya. Semua diam. Tak ada orang di sekeliling rel itu. Sekedar untuk tahu bahwa ada yang mati. Semua tak tahu bahwa ada yang mati di atas rel.

Sepur itupun tak berhenti. Sekalipun dia telah membunuh seorang yang renta. Sekalipun dia telah salah atau benar. Penumpang yang menjerit histeris hanya menjadi abaian sejenak.

Dia telah mati dalam kesunyian. Pada sunyi yang paling sunyi.

Di atas rel yang juga mati.






Jakarta, setelah klakson sepur terdengar...
4 April 2009 | 10.20
A.A. - Dalam sebuah inisial


Foto: Rel kereta Bogor - Serpong, Banten

Tidak ada komentar: