Minggu, 03 Oktober 2010

Membahagiakan dari Eulogi

Kemarin lusa, saya mendapatkan kabar bahwa ayah teman kecil saya sudah pergi. Saya cukup dekat dengan anak-anaknya. Tiap kali bermain dengan anaknya ketika kecil, saya sering menyapa beliau. Ada saja hal-hal kecil yang kami obrolkan secara singkat. Tentang diri saya dan tentang anak-anaknya.

Ketika saya berpindah rumah, frekuensi saya bermain dengan anak-anaknya juga berkurang. Saya yang dalam proses bertumbuh dewasa lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan saya yang baru, beradaptasi dengan keadaan sekitar. Tetapi saya tidak langsung meninggalkan teman-teman kecil saya. Saya masih sering mampir ke rumahnya.

Ibu teman sepermainan saya itu seorang penjual makanan. Saya sering membelinya. Kadang saya memesan nasi kuning buatannya. Sejak kanak-kanak saya sering menikmati nasi kuningnya pada saat istirahat di jam sekolah. Ya, saya membawanya pergi ke sekolah. Saya memang sering membuat iri teman-teman saya. Mereka yang sering membeli makanan di sekolah yang itu-itu saja, saya bisa membawa makanan yang saya suka. Pernah suatu ketika, saya memesan nasi goreng buatannya, habis diminta teman-teman saya.

Saya yang bertumbuh dewasa menemukan tubuh yang semakin menua itu beranjak sakit. Saya tahu paman itu sudah sakit sejak lama. Saya berdiri di muka halamannya untuk membayar pesanan makanan yang saya makan siang tadi.

"Om..." sapa saya.
"Eh, kamu! Masuk!" balasnya.

Saya masuk ke dalam rumahnya. Tersenyum kecil. Beliau membalasnya juga dengan senyum kecil. Saya tahu perjuangannya melawan rasa sakitnya itu. Tetapi saya tak pernah ingin mengatakan kabarnya, saya tak mau beliau merasakan sesuatu dari pertanyaan saya.

Lagi dan lagi, saya terlibat diskusi kecil dengannya. Seperti pada masa sebelum saya berpindah. Yang membuat saya tersenyuh adalah: "om cuma ingin melihat anak-anak menikah sebelum om meninggal." Saya mendesahkan nafas. Tak sanggup berkata apapun dari perkataan itu.

Lama tak bertemu dengannya, tak berbincang dengan anak-anaknya pula, kemarin saya mendapatkan kabar bahwa beliau sudah berpulang. Terlalu cepat, ya, terlalu cepat. Impiannya untuk melihat anak-anaknya bahagia tidaklah tercapai. Lagi, saya mendesahkan nafas.

Kabar itu membuat saya berpikir: pernahkah saya membahagiakan orangtua saya?

Orang tua saya tak pernah membicarakan apa yang membuat mereka bahagia, apa yang harus saya berikan kepada mereka agar mereka dapat berbahagia. Mungkin saya harus menebak-nebaknya sendiri. Saya berada di dalam sebuah permainan yang saya tak tahu pasti jawaban sebenarnya apa.

Ketika saya lulus sekolah, saya dinyatakan naik kelas, saya mendapatkan kemenangan, saya terpilih menjadi orang-orang pilihan, atau apapun, saya tidak tahu apakah mereka bahagia dengan pemberian saya itu. Saya tak yakin mereka cukup bahagia dengan hal itu.

Sebenarnya ada sesuatu yang ingin saya katakan kepada mereka bahwa saya ingin membahagiakan mereka, itulah cita-cita saya. Saya rela mengorbankan apapun demi sebuah kebahagiaan yang lahir untuk mereka. Saya menyayangi mereka, simpel dan mudah bukan?

Namun membuat kebahagiaan bukanlah turun dari langit, ia harus diperjuangkan. Begitu kata Pram. Saya selalu berusaha membuat kebahagiaan itu lahir, meski kecil. Saya memperjuangkan kebahagiaan.

"Apakah kalian bahagia?"

Itu pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada mereka.

"Apakah kalian bahagia memiliki saya?"

Itu pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada mereka.

"I love you more than you know, more than you feel..."

Itu pernyataan yang ingin saya katakan kepada mereka.

Tapi saya tak pernah sanggup, tak pernah ada nyali untuk mengatakan kepada mereka semua hal tentang cinta, semua hal tentang bahagia. Sebelum kematian yang menjadi lubang besar pemisah, ingin saya ungkapkan semua itu. Tapi...

"Apakah saya pernah membahagiakan mereka?"

Itu pertanyaannya kini.



Jakarta, 3 Oktober 2010 | 12.12
A.A. - Pejuang Kebahagiaan

Tidak ada komentar: