Rabu, 14 Januari 2009

Hujan yang Menghantar Bayangmu - Surat Kepada Sahabat

Jakarta yang aku tahu masih dalam heningnya. Mungkin kamu akan bertanya sejak kapan Jakarta mendapatkan keheningannya. Kamu hanya tahu Jakarta adalah kota sibuk, kota yang penuh polusi, dan kota yang penuh dengan kekejaman. Tapi kamu tak tahu Jakarta juga menyimpan hening tersendiri untukku. Untukku menuliskan surat ini kepadamu.

Ketika kumenuliskan surat ini kepadamu, Jakarta masih berteteskan hujan. Setidaknya berapa tahun kamu telah tidak menginjakkan kakimu lagi di Jakarta. Tempat pertama kali kita berjumpa. Tempat pertama kali kita berpisah. Dan hujan juga pada akhirnya menghantarkan sebuah pertemuan menjadi sebuah perpisahan.

Berapa lama kita tak berjumpa? Hari ini tepat 14 Januari. Tepat tujuh tahun kita tidak berjumpa. Dan tujuh tahun itu juga kita menggetarkan rasa rindu kita hanya lewat suara. Lalu lenyap pada tahun - tahun kemudian.

Tujuh tahun lalu, kita berjumpa untuk yang terakhir kalinya di landas udara sebelum kamu berangkat. Kita berjanji kita akan berjumpa lagi. Dan kamu selalu mengucapkan "aku akan pulang." Kita berpeluk dalam sedu itu. Sadarkah kamu pada saat itu Jakarta sedang hujan? Hujan yang menghantarmu ke tempat tujuanmu.

"Kuharap kamu berhasil di sana." Aku hanya memberikan harapan untukmu sebelum kamu berangkat. Aku yakin kamu memang anak yang lebih pandai dariku. Maka tak pernah salah jika aku berkeyakinan bahwa kamu akan selalu berhasil entah di manapun kamu akan melanjutkan studimu.

Sisanya adalah kisah. Kisah aku bertemu denganmu. Kisah aku bermain bersamamu. Kisah aku berlarian bersamamu.

"Aku rindu bermain hujan," ucapmu dalam lirih. Aku hanya mampu menjawab perkataanmu dengan anggukan kepala sejenak. Di balik gagang telepon, kamu bercerita tentang hari-harimu di sana. Menyenangkan, bukan? Bukannya awalnya kamu menolak untuk berpisah dengan Jakarta, denganku? Pada akhirnya kamu pun bisa beradaptasi di belahan dunia sana. Cerita tentang hari-harimu. Tentang keluargamu. Tentang studimu. Dan tentang dunia yang lain sekarang kamu pijaki itu.

"Kapan kamu ke sini?" tanyamu padaku. Aku langsung melepas gelak tawa. Seolah kamu mengejekku. Kamu merasakan kebahagiaan di duniamu yang baru.

Hari ini Jakarta hujan, kawan. Ingin kuberitakan kabar ini kepadamu. Memang benar tahun - tahun kemarin Jakarta juga hujan. Tetapi hujan di hari ini agak sedikit berbeda. Rintiknya seolah melukiskan wajahmu. Wajahmu yang menetaskan rindu. Rindu padamu. Rindu padaku.

Kini tak lagi seperti dulu. Hujan hanya membasahi satu kepala saja. Hujan juga hanya melihat hanya satu orang yang berlari untuk bermain di bawahnya. Hujanpun seolah tahu bahwa setelah sekian lama kita tak lagi bermain di bawahnya. Dia kehilangan kamu. Dia ingin menghantarkan pesan kerinduannya padamu. Padaku.

Pada akhirnya aku menuliskan surat ini untukmu. Setelah hujan menghantar bayangmu melalui tetes-tetes airnya yang kulihat dari balik jendela. Yang membasahi tanah yang pernah kita pijak. Memercikkan jalan yang pernah kita lalui. Tetesnya membawa alunan yang amat meresah. Meresah karena dia kehilangan seorang yang lainnya yang biasa bermain bersamanya.

Mungkin surat ini juga akan dihantar oleh dia yang menghantar bayangmu. Aku akan mengirimkannya untuk menyatukan rindu di atas jarak yang begitu jauhnya.


Jakarta dalam malamnya
14 Januari 2009



Aveline Agrippina T.
Untuk seorang sahabat di belahan dunia lain...

Tidak ada komentar: