Kamis, 08 Januari 2009

Firasat dan Kehilangan

Tentang Firasat

Berbicara tentang firasat, yang tercetus di pikiraan setiap orang adalah bayang-bayang yang buruk akan terjadi. Atau firasat yang nyata secara fisik, dialek berbicara, dan tingkah laku. Bisa juga dengan mimpi.

Firasat. Apa itu sebenarnya?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), firasat adalah:
1 keadaan yg dirasakan (diketahui) akan terjadi sesudah melihat gelagat: rupanya dia sudah mendapat -- bahwa tidak lama lagi polisi akan membekuknya; 2 kecakapan mengetahui (meramalkan) sesuatu dng melihat keadaan (muka dsb): menurut -- ku, ia adalah orang yg bijaksana; 3 pengetahuan tt tanda-tanda pd badan (tangan dsb) untuk mengetahui tabiat (untung malang dsb) orang: setengah orang percaya benar kpd ilmu --; 4 keadaan muka (mata, bibir, dsb) yg dihubung-hubungkan dng tabiat orangnya (untuk mengetahui tabiat orang): menilik -- nya orang itu keras hati sebab rambutnya tebal dan kaku

Firasat bisa disalurkan dengan berbagai cara, salah satunya mimpi dan tingkah laku.

Mungkin saya adalah orang yang tidak bisa membaca pertanda sesuatu alias firasat. Atau saya adalah orang yang cuek terhadap pertanda-pertanda yang mendekat pada hidup saya. Atau satu kemungkinan lagi adalah saya tidak percaya dengan firasat. Atau saya tidak mengerti apa itu firasat.

Ketika anggota keluarga saya ada yang meninggal, sebelumnya ada beberapa pertanda yang ditunjukkan secara nyata. Misalnya, ketika paman saya yang biasanya tidak pernah menegur saya, beberapa hari sebelum 'kepergiannya', justru paman saya memanggil saya. Saya hanya tanggapi dengan kewajaran dan biasa saja. Tak ada rasa curiga tentang 'kepergiannya'. Lalu beberapa hari kemudian, paman saya tersebut berpulang.

Atau yang baru saya alami hari ini. Kemarin saya masih menjumpainya dalam keadaan sehat. Ya... sehat. Beliau adalah supir antar jemput saya. Saya memanggilnya "Oom". Sebenarnya saya bisa berangkat tanpa dia, orang tua saya memberikan kelegawaan untuk hal-hal tersebut. Saya boleh menggunakan supir pribadi, saya boleh naik kendaraan umum, atau sebagainya.

Entah apa yang bisa membuat saya menjadi ikut antar jemputnya. Mungkin agar saya bisa berbicara dengan teman-teman saya selama di perjalanan. Mungkin itu sudah menjadi kebiasaan sejak saya masuk ke bangku sekolah. Atau supaya saya bisa mengerjakan tugas dengan menyalin dari teman yang sekendaraan.

Harus saya akui, beliau memang orang yang amat baik. Sabar. Dan beliau menganggap kami -saya dan teman-teman saya sekendaraan- sebagai anaknya sendiri. (Adakah seorang supir yang menganggap demikian selain dirinya?) Mungkin kalau saya dan teman-teman saya mendengar hal itu, mungkin akan mengucapkan sesuatu yang bisa jadi tak berkenan di hatinya. Tapi secara tidak langsung, saya merasakannya.

Saya tak mengerti dengan apa yang diperbuatnya akhir-akhir ini. Saya memang merasa ada sesuatu yang aneh. Saya tidak menanggapi bahwa itu adalah suatu pertanda. Suatu firasat.

Sampai pada subuh tadi, saya menerima telepon dari teman saya. Orang yang saya panggil "Oom.." itu telah tiada.

Tentang Kehilangan

Mengapa saya menjadikan firasat dan kehilangan menjadi satu? Karena ini adalah sebuah hal yang amat identik.

Beberapa bulan sebelumnya, salah seorang teman saya mengajak saya agar tak perlu memakai jasa pengantaran Oom itu lagi. Untungnya, saya menolak.

Sampai hari ini, sebuah rasa... tercipta dengan ajaibnya.

Biasanya, ketika pagi menjelang, sebuah mobil diesel sudah berada di depan rumah saya. Hari ini tak ada. Ketika saya duduk di dalam kendaraan, saya tak lagi duduk di sebelah orang yang saya panggil Oom itu. Ketika saya pulang, kini saya dan teman-teman duduk di kendaraan umum.

Rasa kehilangan. Itulah yang saya dan teman-teman alami.

Terutama teman saya, dia bahkan sampai berujar pada saya. "Baru terasa kini tidak ada yang seperti kemarin." atau "Rasanya ada yang aneh dan mengganjal."

Memang dengan firasat akan mengalir rasa kehilangan. Dan rasa kehilangan itu baru tercipta ketika kita mulai merasa ada sesuatu yang hilang dan tak akan kembali. Serta, barulah kita merasa kehilangan ketika kita mengerti dan memahami sesuatu telah berakhir.



Catatan ini ditulis untuk saya sendiri
Jakarta, dalam senja yang menjelang
Hari kedelapan di tahun 2008


Aveline Agrippina T.

Tidak ada komentar: