"Kehidupan menjadi sangat sulit dan rumit kalau kita membiarkan diri kita berlari terus ke tempat tujuan. Lupa bahwa hari ini, di tempat ini, dengan badan yang ini, plus jumlah rejeki hari ini, juga menghadirkan 'tujuan-tujuan' besar yang tidak kalah menariknya." - Gede Prama
Orang bilang kalau hidup itu harus punya arah, punya tujuan yang baik. Lantas, apa semuanya harus diraih dengan mudah? Saya selalu bertanya pada hidup tentang apa yang hendak saya gapai pada waktu berikutnya. Entah satu menit lagi, satu hari lagi, atau satu tahun lagi.
Saya tak pernah lupa dengan apa yang dikatakan oleh teman saya,"cita-citamu adalah tujuan hidupmu, maka gapailah!" Sejak kecil, saya sudah memiliki beberapa cita-cita, namun beranjak tua, saya semakin sadar bahwa saya adalah orang yang egois. Egois untuk memperebutkan cita-cita itu semua. Saya berjuang mati-matian.
Benar! Saya berjuang mati-matian. Sewaktu SMP, di sekolah saya ada kelas unggulan. Nah, orang lain mungkin tak pernah tertuju untuk masuk ke dalamnya. Tetapi dari ratusan siswa di sana, ada seseorang yang berjuang untuk masuk ke sana. Berjuang agar tak tersingkir dari mereka yang tak sepenuhnya berjuang.
Akhir cerita, sayalah orang itu. Dan saya yang menembus sebuah tiket untuk saya sendiri. Tiket kursi di kelas itu. Kelas eksklusif. Masuk di sana juga saya berjuang mati-matian. Saya mempertahankan semua yang telah saya miliki.
Namun kelamaan, saya disadari oleh lingkungan hidup saya. Saya memang orang egois! Saya ingin merebut semua yang di mata saya dianggap baik. Saya orang yang tak pernah puas. Saya orang otoriter. Saya orang... Saya orang... Saya orang... Masih banyak lain yang membuat saya diam bahwa semua yang ada di mata saya yang baik itu tak perlu direngkuh semua.
Sebagai manusia yang normal dan ingin baik di masa depan, saya pun punya cita-cita. Puluhan cita-cita di otak. Sampai ketika seseorang bertanya pada saya, "Apa cita-citamu kelak di masa depan?" Saya sampai berpikir yang mana yang akan saya utamakan. Semua cita-cita itu adalah tujuan hidup saya. Dan semua saya utamakan.
Semakin bertambah hari, cita-cita itupun semakin berkurang. Saya ingin menjadi seorang ini. Saya ingin menjadi seorang itu. Lalu diikuti kelak saya akan membuat ini. Saya akan membuat itu. Semua adalah tujuan hidup saya nantinya.
Apakah ketika tujuan itu yang saya ambil tergapai, akankah saya menjadi seorang yang bahagia dan puas dengan semua yang telah saya peroleh? Kembali lagi ke cerita saya. Ternyata sampai di kereta, saya malah berjuang mati-matian mempertahankan kursi saya.
"Av, bagaimana tahunmu saat ini?" tanya seorang sahabat.
"Masih merealisasikan proyek-proyek."
"Hah? Masih?"
"Iya. Proyek saya terlalu banyak. Terpaksa saya kayuh satu-satu."
"Apa tujuan hidupmu, Av?"
"Hmmm... apa ya?"
"Lho kok malah balik nanya?"
"Tujuan hidup saya masih terlalu banyak."
"Banyak pijimana toh?"
"Saya ingin ini... Saya ingin itu..."
Sejak saat itu, saya mulai menekan tombol delete untuk tujuan hidup saya yang sama sekali saya tak dapat tempuh atau saya merasa menjadi beban untuk hidup saya. Perlahan, saya mulai menyadari bahwa tujuan hidup saya hanya tersisa lima. Bukan lagi puluhan. Apalagi sampai ratusan. Dan semua yang di mata saya bukan seluruhnya untuk saya ambil menjadi tujuan dan cita-cita di masa depan, melainkan hanya sepercik godaan yang baik bak seekor kutu menari di atas badan kerbau.
"Apa tujuan hidupmu, Av?"
"Sekedar menjadi seorang yang baik. Tetap menjadi seorang yang anti rokok, narkoba, dan global warming. Masih menjadikan kata-kata sebuah perlawanan untuk mereka. Membahagiakan keluarga. Dan karir yang baik."
"Bukan lagi seratus?"
"Hahaha... seratus, Mas? Itu dulu!"
"Yang sembilan puluh lima ke mana?"
"Dihapus dari daftar hidup."
Dengan demikian, tujuan hidup saya bukan menjadikan beban untuk saya melainkan sebuah motivasi pribadi bahwa itulah yang hendak saya gapai ke depannya bukan dengan mati-matian namun dengan benar. Setidaknya di perjalanan ini, ada kebahagiaan yang bisa diambil sebelum semua tujuan tercapai.
Nah, apa yang kalian tujukan pada hidup ini?
Jakarta dalam paginya, 2 Maret 2009
A A - dalam sebuah inisial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar