Minggu, 21 Maret 2010

Cinta, Merah Darah

Aku benci dengan cinta.

Entah mengapa sejak peristiwa menyakitkan itu, aku tidak lagi dapat menerima cinta sebagai bagian dari hidup. Aku benci dilahirkan sebagai seorang wanita. Menjadi seorang wanita adalah kesalahan terbesar. Ini bisa saja membuatku menjadi gila tiada tara.

Aku benci dengan darah. Aku benci jika jemariku harus terluka ketika sampai kini aku belum bisa memotong bawang. Darah dan merah mengingatkanku pada sesuatu. Membuatku menjadi benci kepada cinta.

Walaupun pada hakikinya, cinta memang tercipta untuk manusia dapat hidup secara damai, cinta bisa saja menjadi begitu naif dan munafik. Menjadi sosok yang dapat mengkhianati hati insani lainnya. Ketika itu, barulah kita tersadar. Memang cinta menjadi sangat menyakitkan untuk dikecap.

Aku benci dengan tablet. Menurutku, dia bukanlah menyembuhkan melainkan membuatku menjadi nyaris mati. Ya, baru nyaris. Belum mati, bukan? Ketika dia masuk ke dalam tubuhku, dia menghancurkan sel-sel tubuh yang berfungsi dan tidak. Akh, itu belumlah seberapa. Aku pernah nyaris mati untuk peristiwa yang paling menyakitkan itu.

"Dua juta."
"Semahal itu?"
"Lha, kalian sudah terlambat. Sudah terlalu besar."
"Satu juta, bagaimana?"
"Resikonya terlalu besar. Tambah lima ratus lagi."

Satu juta rupiah. Kami sudah mendapatkanya. Hasil dari penjualanan seluler kami dan penghematan kami. Sisanya, dia mengatakan dia akan meminjam dari sana sini. Aku cukuplah menjalankannya saja.

Beberapa tablet harus kuteguk dengan air. Andai, andai, andai sperma itu tidaklah keluar dari tubuh lelaki itu dan masuk ke dalam jendela vaginaku. Andai saja sperma itu tidak membuahi sel telur yang ada di dalam rahimku, aku tidak perlu berhadapan dengan seorang yang asing bagiku.

"Santai saja, jangan tegang. Semua akan baik-baik saja."

Baik-baik saja? Semudah itukah? Tak pernah terpikirkan bagaimana rasanya lima bulan aku menutup mulutku. Menyembunyikan rahasia di antara kita sampai kita cukup memiliki uang untuk menamatkan janin di dalam rahimku ini. Untukmu, semua itu mudah. Coba sedari dulu kalau kau tahu semua akan seperti ini, akankah kita perbuat malam itu?

Persetan kalau kau meminta maafku saat ini. Toh, semua sudah terjadi. Spermamu telah membuahkan zigot di dalam rahimku dan akan lahir. Entah apapun wujudnya, dia tetap anakmu. Anakku.

Aku menurut saja sesuai dengan apa yang diperintahkan bidan yang dicari olehnya untuk membereskan semua perkara di antara kita. Selama ada uang, semua bisa terlaksana dengan baik, katanya. Aku benci dengan perkataannya itu. Iblis, geramku dalam hati. Aku mengumpat dalam hati di depannya. Ingin kuludahi saja air wajahnya yang tak menampakkan wajah bersalah dan menurutnya semua hal bisa dinilai dengan uang.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Sang bidan memasukkan sesuatu alat ke dalam untuk menyentuh janin itu. Sambil menekan perutku, dia menyibukkan diri dengan alat-alat yang ada di tangannya. Air mata meleleh dari mataku. Antara rasa sakit, dendam, kesal, benci, dan dosa melebur dan menguap dalam air mata itu.

"Tunggu kontraksi."
"Berapa lama?"
"Satu atau dua jam lagi."

Gila, kami sudah gila. Membentuk satu sosok manusia dan membunuhnya sebelum dia menjadi utuh.

Satu setengah jam sudah, aku mulai merasakan sesuatu. Rasa sakit semakin bergemuruh di dalam perutku. Bidan semakin kencang menekan perutku. Ya, perlahan dari rahimku keluarlah kepala dan tubuh dari hasil hubungan itu.

Rasanya? Aku tak tahu lagi bagaimana menceritakannya.

Sisa pembayaran sudah dilunasi dan semua perkara dianggap beres. Aku, dia, dan sang bidan tak lagi ada hubungan apapun. Tak perlu ada kontak lagi.

Namun, malam harinya aku merasakan sakit teramat sangat. Nyeri tak lagi tertahankan oleh tubuhku ini. Perlahan aku mulai merasakan sesuatu keluar, membasahi kakiku. Mengalir perlahan.

Merah. Baunya khas. Darah.

Di atas ranjang, darah itu bermuara semakin besar. Membuat lingkaran merah besar di atas seprai. Aku terperanggah menatapi semua itu. Ah, bukan mimpi. Rasa sakit dan darah yang semakin deras mengalir serempak membuatku tak berdaya lagi.

"Ibuuuu..."

Adik perempuanku berteriak. Entah, di mana lagi saat itu aku berada. Yang jelas, ketika aku terbangun, tangan kiriku sudah tertancap jarum infus dan tak lagi ada lingkaran merah di atas ranjang.

"Apa yang kau perbuat, nak? Kenapa tak jujur kepada orang tuamu?"

Tak ada sambutan hangat ketika aku terbangun. Puluhan pertanyaan yang menyerangku hanya sanggup kujawab dengan isak tangis. Tak ada lelaki itu, lelaki yang memaksaku untuk mengakhiri peristiwa itu dengan demikian. Ya, semua akan baik-baik saja. Baik-baik saja untukmu dan tidak untukku.

Aku benci kepada cinta.

Karena cintalah yang membuat keadaan menjadi tidak lagi indah. Seperti cerita kebanyakan orang, cinta adalah sesuatu yang indah untuk dirasakan dan dinikmati. Aku tidaklah lagi merasakan itu. Menurutku cinta adalah pembunuh waktuku dan menjadi nestapa sepanjang masa. Karena cinta, aku telah menjadi seorang pembunuh.

Aku benci kepada cinta.

Karena dia yang membuatku benci melihat darah dan merah. Benci terhadap diriku sendiri.

Dan cinta itu tidaklah senikmat apa yang terungkap di lidah.






Jakarta, 21 Maret 2010 | 22.17
AA - dalam sebuah fiksi berinisial

Tidak ada komentar: