Aku tak pernah tahu bagaimana caranya membahagiakan seseorang. Apakah harus dengan ungkapan kasih sayang dan penuh mesra atau dengan kado yang seseorang inginkan? Aku bukanlah tipe orang yang romantis. Malah cenderung apatis terhadap sesuatu yang ada. Maka adalah hal yang wajar ketika aku terpaksa berputar otak berkali-kali menjelang hari ini.
Sampai kemarin pun aku tak tahu apa yang hendak kuberikan.
Di usianya yang memasuki kepala lima beberapa tahun lagi, aku -sebagai anaknya- merasa tidak pernah bisa membahagiakannya. Acap kali aku kecewa dengan diriku sendiri, mengapa hal yang begitu mudah kubuat sulit? Apa yang membuatku harus melakukan itu? Kemudian pertanyaan-pertanyaan lainnya berebut tempat di dalam benakku, sementara waktu terus berjalan. Dia tidak menungguku untuk membahagiakannya.
Apa yang membuatnya belum bahagia? Suami yang begitu mencintainya telah dicecapnya sampai saat ini. Kurasa ayahku sudah memberikan semua yang mampu diberikannya kepada ibuku. Hanya aku yang sebagai anak belum mampu memberikan kebahagiaan sepenuhnya. Aku hanya mengejar target hidupku sementara dia selalu menunggu kabar baik dariku, entah apa yang kuraih dalam masa-masa kehidupan ini.
Genaplah sudah, 2 Februari. Entah apalah keputusanku untuk orang yang kukasihi tanpa dia sadari. Dia yang selalu menelponku ketika aku sedang berada di dalam perkemahan atau tak pulang. (Maafkan anakmu ini kalau jarang pulang, Ma...) Selalu sibuk dengan telepon, komputer, dan pekerjaan-pekerjaannya sendiri. Acap kali lupa dengan ibunya yang panik dan was-was ketika tak pernah ada kabar di mana anaknya berada kini. Apa kabarnya dan bagaimana nasibnya kini. Atau terkadang emosinya harus dilampiaskan kepadanya.
Terkadang harus terjaga ketika aku terbaring sakit. 24 jam menjadi dokter siaga ketika penyakitku kumat kapan saja tanpa kukehendaki. Seorang pekerja keras dan tiada henti. Tahu cara mencari sela-sela yang membuat orang terenyuh. Peduli dengan sesama. Jauh dari anaknya yang satu ini. Anak yang mewarisi gen ayahnya, berjiwa keras dan cenderung emosional. Kadang tak pernah serius kalau diajak bicara, tetapi bisa menjadi 180 derajat ketika emosinya membuncah.
Apakah dia bahagia saat ini? Apakah aku pernah membahagiakannya? Entahlah! Aku sendiri tak dapat menjawabnya langsung. Hanya dia yang tahu apa yang ada di dalam lubuk hatinya itu.
Subuh tadi, kue yang terpatri namanya kuberikan. Kunyalakan lilin dan membiarkan dia meniupkannya. Mungkin dengan cara sederhana inilah, dia tahu aku sungguh mencintainya. Aku menyayanginya lebih dari apapun. Entah bahagia atau tidak, inilah yang kumampukan untuk membahagiakannya. Hanya ini, kue kecil tanpa nilai namun ada kasih dariku tiada batas. Semoga dia tahu ada yang mencintainya, sungguh mencintainya.
Ma, dari lubuk hati yang paling dalam, kulepaskan kalimat sederhana: selamat ulang tahun. Mungkin dengan cara ini, kudapati kau bahagia walau tak sebahagia yang kau pinta.
Jakarta, 2 Februari 2010 | 21.10
Sampai kemarin pun aku tak tahu apa yang hendak kuberikan.
Di usianya yang memasuki kepala lima beberapa tahun lagi, aku -sebagai anaknya- merasa tidak pernah bisa membahagiakannya. Acap kali aku kecewa dengan diriku sendiri, mengapa hal yang begitu mudah kubuat sulit? Apa yang membuatku harus melakukan itu? Kemudian pertanyaan-pertanyaan lainnya berebut tempat di dalam benakku, sementara waktu terus berjalan. Dia tidak menungguku untuk membahagiakannya.
Apa yang membuatnya belum bahagia? Suami yang begitu mencintainya telah dicecapnya sampai saat ini. Kurasa ayahku sudah memberikan semua yang mampu diberikannya kepada ibuku. Hanya aku yang sebagai anak belum mampu memberikan kebahagiaan sepenuhnya. Aku hanya mengejar target hidupku sementara dia selalu menunggu kabar baik dariku, entah apa yang kuraih dalam masa-masa kehidupan ini.
Genaplah sudah, 2 Februari. Entah apalah keputusanku untuk orang yang kukasihi tanpa dia sadari. Dia yang selalu menelponku ketika aku sedang berada di dalam perkemahan atau tak pulang. (Maafkan anakmu ini kalau jarang pulang, Ma...) Selalu sibuk dengan telepon, komputer, dan pekerjaan-pekerjaannya sendiri. Acap kali lupa dengan ibunya yang panik dan was-was ketika tak pernah ada kabar di mana anaknya berada kini. Apa kabarnya dan bagaimana nasibnya kini. Atau terkadang emosinya harus dilampiaskan kepadanya.
Terkadang harus terjaga ketika aku terbaring sakit. 24 jam menjadi dokter siaga ketika penyakitku kumat kapan saja tanpa kukehendaki. Seorang pekerja keras dan tiada henti. Tahu cara mencari sela-sela yang membuat orang terenyuh. Peduli dengan sesama. Jauh dari anaknya yang satu ini. Anak yang mewarisi gen ayahnya, berjiwa keras dan cenderung emosional. Kadang tak pernah serius kalau diajak bicara, tetapi bisa menjadi 180 derajat ketika emosinya membuncah.
Apakah dia bahagia saat ini? Apakah aku pernah membahagiakannya? Entahlah! Aku sendiri tak dapat menjawabnya langsung. Hanya dia yang tahu apa yang ada di dalam lubuk hatinya itu.
Subuh tadi, kue yang terpatri namanya kuberikan. Kunyalakan lilin dan membiarkan dia meniupkannya. Mungkin dengan cara sederhana inilah, dia tahu aku sungguh mencintainya. Aku menyayanginya lebih dari apapun. Entah bahagia atau tidak, inilah yang kumampukan untuk membahagiakannya. Hanya ini, kue kecil tanpa nilai namun ada kasih dariku tiada batas. Semoga dia tahu ada yang mencintainya, sungguh mencintainya.
Ma, dari lubuk hati yang paling dalam, kulepaskan kalimat sederhana: selamat ulang tahun. Mungkin dengan cara ini, kudapati kau bahagia walau tak sebahagia yang kau pinta.
Jakarta, 2 Februari 2010 | 21.10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar