Minggu, 07 Februari 2010

Cakra*

Pro Meta Larasati

"Terasa pendeknya hidup memandang sejarah. Tapi terasa panjangnya karena derita. Maut, tempat perhentian terakhir. Nikmat datangnya dan selalu diberi salam." - Soe Hok Gie

Mungkin ini sudah menjadi yang ketiga aku menghapus tulisan ini dan keempat kalinya aku kembali menuliskannya. Aku tak tahu mengapa aku harus menuliskannya. Ketika tak menuliskannya, aku merasakan sesuatu yang sangat hambar. Begitu hambarnya ketika aku mengingat namamu. Aku tak tahu harus mengawali tulisan ini dari mana. Aku bagai orang sakau, ingin narkoba tetapi tak tahu harus mencarinya di mana.

Aku sengaja mengawali tulisanku ini dengan "sebuah pesan" dari Soe Hok Gie. Terlintas kubaca memang sederhana sekali puisi yang diberinya judul "Hidup" ini. Ketika kubaca pertama kali, tak tersirat makna sama sekali. Ketika kali kedua kubaca, kutemui arti dari apa yang Gie maksudkan di dalam puisi tersebut. Aku tergagap. Bergetar tanganku memegang buku yang kubaca kala itu.

Jujur, aku memang manusia yang setidaknya sedikit terinspirasi oleh kehidupan Gie dan Pram. Aku menyukai kata-kata yang mereka bentuk baik dalam esai, prosa, maupun sampai catatan hariannya. Aku menyetujui beberapa poin yang Gie utarakan dan aku mengamini beberapa quotes yang Pram tulis di dalam bukunya. Aku tak bisa lari dari kedua hal itu. Mungkin karena hobiku yang sama dengan Gie dan Pram, candu menulis tengah malam.

Aku selalu percaya di dalam setiap kehidupan manusia, Tuhan sudah menciptakan relnya masing-masing untuk manusia yang akan datang melaluinya dan melintasinya. Hanyalah manusia bandel yang terpaksa menyerong dari lintasan relnya. Ibarat kereta, datang dan pergi. Silih berganti kehidupan ini. Melintasi waktu dan setiap dinamikanya sepanjang jalan. Siapa nyana, ketika kita larut di dalam suka dan tawa, kita akan tiba di stasiun berikutnya kemudian pergi lagi. Kala duka dan nestapa merundung hari, semua itu terlepas dari kita.

Kadang jua manusia butuh satu hal untuk bermetamorfosa di dalam kehidupannya. Dia butuh perenungan lebih untuk mengenal seutuhnya siapa dirinya itu. Apa tujuan Tuhan mendatangkannya ke muka bumi ini tanpa kehendaknya dan apa yang harus dicari dari dunia yang sangatlah fana ini? Pernahkah terpikir demikian?

Buddha butuh perenungan, dia bertapa untuk mengenal jauh siapa dirinya. Nabi Isa, sebelum wafat, mencari tempat yang paling hening untuk tahu apakah dunia mengenalnya selama ini. Mungkin aku butuh hal itu, dan kurasa setiap manusia yang akan melanjutkan sisa kehidupannya pasti butuh perenungan. Metamorfosa untuk kedewasaan dan persiapan yang matang. Seutuhnya.

Kuhanturkan terima kasih yang sangatlah tak terhingga untuk perhatianmu. Sungguh, kutepati janjiku kembali dan nyatanya adalah aku menuliskan ini untukmu. Mulai dari SMS sampai merepotkanmu untuk posting yang membuatku geli sendiri kala membacanya. Segitunyakah aku? - tanyaku suatu ketika. Akan kukabulkan suatu ketika Jakarta mempertemukan kita entah di mana tempat dan waktunya yang masih dirahasiakan angin. Mungkin juga akan kubawa merpati putih itu.

Adalah seperti yang pernah kukatakan kepadamu secara tak langsung, aku menghargai semua yang kalian tuliskan di manapun. Aku sangat mengapresiasi semua karya imajinatif. Hanyalah manusia yang bodoh yang tak ingin berkarya. Apapun karyanya, itulah hasilnya. Suka dan tidak suka adalah hal yang sangatlah primitif menurutku. Sangat subyektif. Jadi, jangan pernah katakan bahwa semua hal yang kau anggap itu sangatlah benar. Aku tak mengamininya seluruh.

Kadang aku merasa bahagia, tetapi aku juga merasa sedih. Kadang aku merasa sedih, sisi lain aku dapat tertawa. Hidup sangatlah berkelindan dan seperti sudah tertata rapi jadwalnya. Aku juga manusia biasa yang berhak dan berkewajiban merasa marah, sedih, kesal, bahagia, dan aku juga berhak memilih karakter apa yang akan kukembangkan di dalam hidupku. Tawaku adalah hidupku dan dukaku adalah matiku. Ketika itu kuputuskan untuk berkarya agar aku tak tetap mati melainkan hidup baik secara rohani maupun jasmani.

Baik dua zaman atau apapun, bukanlah halangan untuk berkawan. Menjamu tamu dalam anjangsana. Senantiasa kubukakan pintu selebar-lebarnya bagi semua yang ingin berkawan dan aku juga berharap dibukakan pintu ketika kuketuk untuk menjadi teman. Jangan pernah menjadikan zaman sebagai alasan, kita semua pasti akan menjadi tua entah kapan.

Mungkin masih banyak lagi yang harus kuutarakan tetapi tak dapat lagi kutuliskan dengan kata per kata. Pada waktunya, kau akan tahu siapa aku. Demikianlah juga kita akan berkata setelah kita selesai pada waktu pengendapan: ces't la vie**.


Jakarta, 7 Februari 2010 | 22.17
AA - dalam sebuah inisial





*) Cakra:
dari bahasa Sansekerta yang berarti roda kehidupan.
**)Ces't la vie: pepatah Perancis yang berarti begitulah hidup.

Tidak ada komentar: