Senin, 23 Mei 2011

Pengejawantahan Bahagia



Sudahkah Anda berbahagia?

Sejak kecil, saya memang selalu bertanya-tanya apakah saya sudah bahagia. Namun, dari sejak kecil pula saya tak percaya bahwa saya sudah bahagia. Mengapa? Karena saya sendiri belum bisa merasakan apa itu bahagia menurut saya.

Kalau begitu, pernahkah saya bahagia? Saya sendiri tak yakin bahwa saya tidak pernah tidak bahagia. Mungkin saya sering menciptakan bahagia saya sendiri tanpa saya insafi. Dari sana saya bisa merasakan bahagia yang saya ciptakan tanpa orang-orang tahu. Tanpa berbagi bahagia dengan mereka.

Aveline kecil pernah berpikir kalau bermain sepeda dengan teman sepermainannya adalah bahagia. Lambat laun, pemikiran itu berubah. Ia tanggalkan sepeda tersebut dan berganti dengan bermain bola. Lagi-lagi ia berpikir kalau dengan bermain bola, ia bisa berbahagia. Ternyata pemikiran itu berubah lagi setelah ia menemukan bahagia di antara lapisan kertas yang dijilid. Dengan membaca, ia bahagia?

Ternyata lagi-lagi, ia berubah pikiran. Aveline yang bertumbuh semakin dewasa ternyata tidak berpikir tentang bermain lagi. Ia berpikir dengan mengejar ranking di sekolah, ia akan menjadi orang yang berbahagia. Setelah ranking itu ia dapatkan, nyatanya ia semakin tidak puas. Aveline kecil mengejar target untuk masuk ke kelas unggulan. Wah, pikirnya saat itu, ia akan menjadi bahagia.

Setelah masuk, ia malah mengejar bahagia yang lain. Ia menciptakan mimpi-mimpi lain yang menurutnya akan membuatnya menjadi orang yang berbahagia. Ia berpikir lagi dan berpikir lagi dengan cara dan menjadi apa ia dapatkan bahagia.

Ternyata bahagia itu diciptakan setelah bahagia lain tercipta. Itulah kata Aveline saat ini. Ya, akhirnya saya sadari kalau memang saya memiliki kecenderungan memiliki bahagia yang berbeda dengan orang lain. Atau malah sama tapi saya tak menyadarinya? Bahagia tak akan tercipta bila tak ada bahagia lain yang sudah diciptakan dahulu.

Ini seperti ilmu ekonomi: mengejar segala kehendak yang begitu banyak di dalam lingkup yang terbatas. Semakin banyak bahagia yang ingin saya ciptakan, semakin terbatas dunia yang saya miliki. Bukankah di dunia ini, semua orang menginginkan bahagia? Begitu juga dengan saya. Saya pun ingin bahagia dengan cara yang saya miliki. Meski itu dalam keterbatasan.



Apa wujud bahagia itu?


Ini yang tak pernah bisa saya jawab. Menurut saya, bahagia bukanlah benda mati, tetapi juga bukan kata sifat. Tafsiran bahagia benar-benar subyektif dan sangatlah tak absolut. Tak semua orang bisa berbahagia dengan cara orang lain yang ia miliki.

Ada orang yang mewujudkan bahagia dengan memiliki banyak uang. Ia percaya uang memberikannya bahagia yang tiada tara. Ada juga orang yang percaya dengan bekerja, ia bisa menjadi orang yang sangat bahagia. Maka, ia memutuskan untuk bekerja siang dan malam. Atau ada juga orang yang mengatakan ia bahagia dengan menghabiskan waktunya di atas ranjang dan tidur. Tapi apakah semua orang sama?

Aveline yang sudah bertumbuh dewasa tak lagi percaya kalau ranking memberikannya bahagia utuh. Ia mencari bahagia lain. Dengan membaca, menulis, travelling, bahkan duduk ngobrol dengan teman-temannya berjam-jam di kedai kopi itulah yang membuatnya menjadi bahagia. Tak kadang pula, ia tak menemukan bahagianya lewat cara itu.

Saya tak tahu bagaimana wujud bahagia yang sesungguhnya. Apa ia bersembunyi di bawah kasur, duduk manis di meja makan, diam di antara rak buku, atau sudah berada di dalam aliran darah saya. Bahagia itu berwujud maya atau nyata juga tak saya ketahui. Tapi yang saya tahu, bahagia selalu berputar.

Saya pun menyadari kalau bahagia selalu ada bukan karena ia dicari, tetapi karena tercipta yang bukan sesuai kehendaknya. Tapi dengan perwujudan bahagia yang lain.

Bagaimana wujud bahagia itu? Ada yang bisa menjawabnya?



Jakarta, 23 Mei 2011 | 07.16
A.A. - dalam sebuah inisial

Tidak ada komentar: