Wisnu
Kampung pada Esensinya [2]
Catatan perjalanan dari Live In Cikembar - 2009
Kadang saya selalu tak dapat mensyukuri semua yang telah saya terima. Baik pangan, sandang, papan, dan banyak lainnya. Saya adalah orang yang tidak beruntung, begitulah kata saya kepada diri ini. Saya orang yang berkecukupan. Mau makan sehari tiga kali masih bisa. Mau mandi dengan menghabiskan air sebanyak apapun masih juga bisa. Tak pernah tercatat tunggakan listrik, air, atau telepon. Semua lunas. Lantas apa lagi yang saya minta? Apa? Semua rasanya sudah banyak yang saya peroleh.
Memasuki kawasan yang jauh dari perkotaan rasanya tak begitu asing. Beberapa kali saya memasuki. Melihat orang mandi di sungai sambil mencuci pakaiannya. Lalu di ujung yang lain, orang mengambil air untuk dididihkan menjadi pelepas dahaga. Dan di ujung yang lain, air itu terus mengalir sampai ke selatan Pulau Jawa.
"Ini rumahnya..." kata seorang pemuda yang menunjukkan kami di mana rumah yang akan kami tinggali.
"Bu, ini yang akan tinggal..." lanjut pemuda itu kepada seorang ibu yang sudah renta.
Kami dipeluk hangat oleh ibu renta tersebut. Saya terpaksa membungkuk sedikit karena ibu itu hanya sebatas bahu saya. Beliau memeluk kami.
"Selamat siang, Ibu Juminta..." kata teman seperjalanan saya.
"Siang. Haduh... pasti capek! Masuk atuh..."
Kami melepaskan sepatu di depan rumah. Masih berpunggungkan ransel di belakang bahu. Setelah beliau mempersilahkan kami untuk duduk, mulailah ransel saya yang besar itu terlepas dari punggung saya. Saya duduk sambil memperhatikan suasana dalam rumah yang akan saya tempati.
"Ini rumah ibu sendiri?" tanya saya perlahan.
"Iya."
"Sudah lama di sini?"
"Lama banget atuh. Sejak kecil."
Saya mengangguk-anggukkan kepala perlahan.
"Bapak Juminta ke mana, Bu?" tanya saya lagi.
"Bapak mah jam segini masih di kebun. Sore nanti juga pulang."
Astrid, teman seperjalanan saya, bergantian bertanya mengenai Ibu Juminta. Kami seperti orang yang hendak menginterogasi saja. Sebenarnya bukan itu. Kami ingin tahu saja. Apa kegiatan keluarga ini dan bagaimana kehidupannya di kampung ini.
Rumahnya sangatlah jauh dari jangkauan kemewahan. Sangat sederhana. Tiga kamar. Langit-langit beranyaman rotan dengan cat yang masih terlihat baru. Gorden dengan kain seadanya dan ditarik dengan tali rafia. Pintu yang sudah reot termakan rayap. Hanyalah dinding yang berbeton. Selebihnya, anyaman dari rotan dan penegak dari bambu. Jangan harap ada bath tub ataupun kamar mandi penuh kemewahan. Dapur dengan kompor empat api dan penanak nasi dengan listrik. Ataupun pompa air yang tak pernah berhenti menyala.
Kalau hendak mandi, di belakang rumah ada kamar mandi beranyaman rotan. Airnya mau tak mau harus ditimba dari sumur sedalam sepuluh meter dari permukaan air dan pangkal sumur. Mau tak mau harus mengeret ember dan menceburkannya ke dalam sumur. Dibantu katrol, air di dalam ember akan naik. Jika enggan menimba dan air di dalam kamar mandi habis, ada kalanya mandi di sungai. Berjalan turun dari rumah Ibu Juminta sekitar enam meter. Jika setelah hujan turun, jangan pernah berharap bisa mandi di sungai. Jalannya akan longsor dan licin.
Seorang cucu dari Ibu Juminta datang menghampiri kami. Usianya masih tiga tahun. Berseragam Pramuka. Berlari-lari kepada kami. Tubuh mungil itu lalu bergolek di lantai ketika kami akan memasuki kamar yang akan kami tempati selama tiga hari.
"Nu... Nakal banget sih, kakaknya mau ke kamar..."
Kami berdua hanya tersenyum. Toh, kami tak merasa terganggu dengannya. Raut wajah gembira dihanturkannya. Ketika kami akan berjalan-jalan di sekitar, dia mengikuti kami. Saya menggandengnya.
"Namanya siapa, dik?"
"Inu..." jawabnya perlahan sambil menampakkan wajah yang malu.
"Wisnu!" seru seorang ibu yang menemani kami berjalan.
"Kelas berapa?"
"Belum sekolah. Masih tiga tahun."
"TK?"
"Ga ada biaya. Mahal kalau masuk TK."
Di tengah kenakalannya, saya sempat tertegun dengannya. Dia mau membantu Ibu Juminta mencari kayu bakar. Mencoba menyapu walau tubuhnya tak setinggi sapu dan hampir tahu semua jalan di kampung yang besarnya sekitar delapan hektar. Kami turun ke sungai dengannya dan dialah yang menunjukkan kami jalan menuju pelosok desa lainnya melalui hamparan sawah luas dan rawa-rawa. Pematang sawah yang kami lewati sesekali meninggalkan jejak sepatu kami. Ketika ada ranting di sekitar pematang tersebut, diambilnya untuk dibawa ke rumah.
Dua hari kami habiskan waktu bersamanya. Berkelana di seluruh pelosok desa. Kami memang nakal sekali. Sudah diperingatkan oleh Ibu Juminta agar jangan berjalan jauh-jauh, malah kami berputar-putar nyaris satu kilometer. Bermain di kebun Pak Juminta yang adalah milik seorang juragan peternakan lele, Pak Yamin.
Dia mengambil bantal dari dalam kamarnya dan dibawanya ke luar, tepat di hadapan kami. Bantal bertuliskan Segitiga Biru. Kami tercengang. Mulut kami sempat ternganga ketika membacanya. Saya langsung masuk ke kamar dan mengeceknya, benar! Bantal kami juga bertuliskan sama dan hanya bedanya bantal kami berlapiskan kain seprai.
Ah, Wisnu...
Kampung pada Esensinya [2]
Catatan perjalanan dari Live In Cikembar - 2009
"If you can't feed a hundred people, then feed just one." - Mother Teresa
Kadang saya selalu tak dapat mensyukuri semua yang telah saya terima. Baik pangan, sandang, papan, dan banyak lainnya. Saya adalah orang yang tidak beruntung, begitulah kata saya kepada diri ini. Saya orang yang berkecukupan. Mau makan sehari tiga kali masih bisa. Mau mandi dengan menghabiskan air sebanyak apapun masih juga bisa. Tak pernah tercatat tunggakan listrik, air, atau telepon. Semua lunas. Lantas apa lagi yang saya minta? Apa? Semua rasanya sudah banyak yang saya peroleh.
Memasuki kawasan yang jauh dari perkotaan rasanya tak begitu asing. Beberapa kali saya memasuki. Melihat orang mandi di sungai sambil mencuci pakaiannya. Lalu di ujung yang lain, orang mengambil air untuk dididihkan menjadi pelepas dahaga. Dan di ujung yang lain, air itu terus mengalir sampai ke selatan Pulau Jawa.
"Ini rumahnya..." kata seorang pemuda yang menunjukkan kami di mana rumah yang akan kami tinggali.
"Bu, ini yang akan tinggal..." lanjut pemuda itu kepada seorang ibu yang sudah renta.
Kami dipeluk hangat oleh ibu renta tersebut. Saya terpaksa membungkuk sedikit karena ibu itu hanya sebatas bahu saya. Beliau memeluk kami.
"Selamat siang, Ibu Juminta..." kata teman seperjalanan saya.
"Siang. Haduh... pasti capek! Masuk atuh..."
Kami melepaskan sepatu di depan rumah. Masih berpunggungkan ransel di belakang bahu. Setelah beliau mempersilahkan kami untuk duduk, mulailah ransel saya yang besar itu terlepas dari punggung saya. Saya duduk sambil memperhatikan suasana dalam rumah yang akan saya tempati.
"Ini rumah ibu sendiri?" tanya saya perlahan.
"Iya."
"Sudah lama di sini?"
"Lama banget atuh. Sejak kecil."
Saya mengangguk-anggukkan kepala perlahan.
"Bapak Juminta ke mana, Bu?" tanya saya lagi.
"Bapak mah jam segini masih di kebun. Sore nanti juga pulang."
Astrid, teman seperjalanan saya, bergantian bertanya mengenai Ibu Juminta. Kami seperti orang yang hendak menginterogasi saja. Sebenarnya bukan itu. Kami ingin tahu saja. Apa kegiatan keluarga ini dan bagaimana kehidupannya di kampung ini.
Rumahnya sangatlah jauh dari jangkauan kemewahan. Sangat sederhana. Tiga kamar. Langit-langit beranyaman rotan dengan cat yang masih terlihat baru. Gorden dengan kain seadanya dan ditarik dengan tali rafia. Pintu yang sudah reot termakan rayap. Hanyalah dinding yang berbeton. Selebihnya, anyaman dari rotan dan penegak dari bambu. Jangan harap ada bath tub ataupun kamar mandi penuh kemewahan. Dapur dengan kompor empat api dan penanak nasi dengan listrik. Ataupun pompa air yang tak pernah berhenti menyala.
Kalau hendak mandi, di belakang rumah ada kamar mandi beranyaman rotan. Airnya mau tak mau harus ditimba dari sumur sedalam sepuluh meter dari permukaan air dan pangkal sumur. Mau tak mau harus mengeret ember dan menceburkannya ke dalam sumur. Dibantu katrol, air di dalam ember akan naik. Jika enggan menimba dan air di dalam kamar mandi habis, ada kalanya mandi di sungai. Berjalan turun dari rumah Ibu Juminta sekitar enam meter. Jika setelah hujan turun, jangan pernah berharap bisa mandi di sungai. Jalannya akan longsor dan licin.
Seorang cucu dari Ibu Juminta datang menghampiri kami. Usianya masih tiga tahun. Berseragam Pramuka. Berlari-lari kepada kami. Tubuh mungil itu lalu bergolek di lantai ketika kami akan memasuki kamar yang akan kami tempati selama tiga hari.
"Nu... Nakal banget sih, kakaknya mau ke kamar..."
Kami berdua hanya tersenyum. Toh, kami tak merasa terganggu dengannya. Raut wajah gembira dihanturkannya. Ketika kami akan berjalan-jalan di sekitar, dia mengikuti kami. Saya menggandengnya.
"Namanya siapa, dik?"
"Inu..." jawabnya perlahan sambil menampakkan wajah yang malu.
"Wisnu!" seru seorang ibu yang menemani kami berjalan.
"Kelas berapa?"
"Belum sekolah. Masih tiga tahun."
"TK?"
"Ga ada biaya. Mahal kalau masuk TK."
Di tengah kenakalannya, saya sempat tertegun dengannya. Dia mau membantu Ibu Juminta mencari kayu bakar. Mencoba menyapu walau tubuhnya tak setinggi sapu dan hampir tahu semua jalan di kampung yang besarnya sekitar delapan hektar. Kami turun ke sungai dengannya dan dialah yang menunjukkan kami jalan menuju pelosok desa lainnya melalui hamparan sawah luas dan rawa-rawa. Pematang sawah yang kami lewati sesekali meninggalkan jejak sepatu kami. Ketika ada ranting di sekitar pematang tersebut, diambilnya untuk dibawa ke rumah.
Dua hari kami habiskan waktu bersamanya. Berkelana di seluruh pelosok desa. Kami memang nakal sekali. Sudah diperingatkan oleh Ibu Juminta agar jangan berjalan jauh-jauh, malah kami berputar-putar nyaris satu kilometer. Bermain di kebun Pak Juminta yang adalah milik seorang juragan peternakan lele, Pak Yamin.
Dia mengambil bantal dari dalam kamarnya dan dibawanya ke luar, tepat di hadapan kami. Bantal bertuliskan Segitiga Biru. Kami tercengang. Mulut kami sempat ternganga ketika membacanya. Saya langsung masuk ke kamar dan mengeceknya, benar! Bantal kami juga bertuliskan sama dan hanya bedanya bantal kami berlapiskan kain seprai.
Ah, Wisnu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar