Katamu sewaktu di bukit:
cakrawala sederhana mengitari waktu
lalu ia menciptakan kehidupan yang fana
dan dari segala kefanaan itulah
esensi nyata sebagai manusia terlihat
Katamu sewaktu di pantai:
cantiknya dunia bukan karena terpoles
bukan karena kau bedakkan wajahnya
atau kau kenakan lipstik pada bibirnya yang kering basah
seperti air mukamu yang memelas pelita
meski lesu berlari bagai ombak di tubuhmu
Katamu sewaktu di jalan:
meski kutahu awal dunia adalah kegelapan
pelita tetap ada walau hanya terang petromak
poster yang ada di kerak bumi menjadi jelas
atau kursi lapuk yang hampir kududuki
atau kupilih jatuh di depan warung gentana itu
rikuhku dimakan angin, berlalu dia ke utara
Katamu sewaktu di kereta:
Tuhan narsis! Dia hadir dalam wujud kilat
aku tertawa saja kala itu, hujan memecah kaca
tidak meretakkan jendela, tidak menembuskan angin
bergeminglah suara mereka menuju pulang
aku di mana? tanyaku. jawabmu: suatu ziarah
Tuhan di mana? tanyaku -lagi. Jawabmu: terselip di jejak sepatumu
Katamu sewaktu di rumah:
siluet aku dan kamu berbekas di lantai
bercermin seperti malaikat yang melayang
kita mabuk, tanpa anggur ataupun segelas bir
tak juga kita teguk berbutir-butir ala pecandu
tetapi di dalam pelarian nyata
aku, kamu, kita
kamu, aku, kita
kita, aku, kamu
kita, kamu, aku
kita tetap insan yang sama
meski hari telah berbeda, musim sudah pergi berganti-ganti
Jakarta, 28 September 2010 | 19.14
A.A. - dalam sebuah inisial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar