Aku selalu percaya dengan hal-hal yang Paulo Coelho katakan di dalam bukunya The Alchemist: "Saat kamu menginginkan sesuatu, alam semesta bersatu membantumu untuk meraihnya." Ya, beberapa waktu aku ragu kepada diriku apakah target jangka dekat yang sudah kurencanakan matang-matang dan jauh hari akan selesai pada waktunya. Aku sudah memberikan tenggat waktu kepada diriku: tugas itu haruslah selesai pada waktunya. Yap, harga mati!
Namun seiring berjalannya waktu, tantangan itu semakin membuatku menggebu-gebu untuk mengejar targetnya. Seperti supir Metro Mini yang terobos sana sini untuk mengejar setoran pada hari itu. Aku sudah memberikan jeda kepada diriku sampai mana aku harus menyelesaikannya dan sampai mana pula aku harus melakukan eksekusi pada akhirnya. Semua ada polanya dan aku harus bersandar di balik pola tersebut.
Kadang aku sebagai tuan atas diriku sendiri harus bertanggungjawab pula kepada apa yang kuperbuat terhadap budakku tersebut. Sepanjang akhir tahun 2009, tiada henti aku mengejar semua itu. Siangku kuhabiskan di depan layar komputer. Malamku kuhabiskan mencari referensi dan lagi-lagi di depan komputer sampai nyaris pagi ke pagi. Desemberku adalah titik darah penghabisanku untuk mengejar semua yang harus kulakukan.
Ternyata tubuh ini menuntut untuk istirahat, sejenak saja. Tapi kuabaikan. Kugubris semua itu dan kukatakan pada diriku agar jangan lengah dan jangan bermalas-malasan. 2010 sudah hampir datang dan sampai di detik akhir 2009, aku masih mengerjakannya walau target akhirnya sudah tercapai sebelum pada waktunya. Agak sedikit lega namun aku masih belum puas dengan hasil itu. Alhasil, akupun ambruk.
Itu adalah puncaknya. Aku tidak lagi duduk di depan layar komputer. Jemari tidak lagi mengetik. Mata hanya kuat untuk menutup dan tubuh tak lagi kuat untuk melakukan aktivitasnya. Semuanya seperti terasa hampa. Akupun seperti tak punya makna. Aku benar-benar jengah pada diri sendiri. Hal-hal kecil macam itu akhirnya berdampak begitu kacau untukku.
Kuinsafi pada akhirnya aku hanya seorang manusia biasa. Aku bisa sakit hati, aku bisa marah, tertawa, menangis, tersenyum, atau tersipu malu. Manusia harus bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Lingkungan hanyalah wahana untuk sebuah permainan yang menghibur kita untuk mewarnai kanvas kehidupan. Hanya itu saja? Tidak!
Selama pendiaman itu, aku berdialog dengan diriku sendiri. Hendak apa aku? Akhirnya kurencanakan ulang semua itu. Kususun semuanya serapi mungkin dan konflik dengan diriku sendiri mulai menurun kepada babak-babak akhir. Aku mulai mengenal siapa aku dan bagaimana harusnya aku berproses untuk mencapaikan sebuah prestasi yang hendak kugapai. Aku berdialog dengan diriku sendiri seperti seorang kawan yang berdiskusi dengan sahabat-sahabatnya.
Nah, sobat, akupun kembali seperti janjiku. Ini sudah menurun kepada antiklimaks. Titik di mana konflik mulai mengerucut pada babak akhir. Aku berdamai dengan diriku sendiri dan berjanji semua akan berjalan baik dengan tanpa paksaan. Hidup ini begitu singkat, kuaminkan dan tak dapat kunafikan begitu saja. Tak bisa kulintasi hidup tanpa sesuatu yang tersirat.
Jakarta, 29 Januari 2010 | 20.29
AA - Penemu Antiklimaks Pribadinya