Rabu, 02 Desember 2009

Desember Awal

Aku belum juga mati. Kini satu tahun sudah datang lagi, Desember awal sudah membuka lembaran barunya. Ya, aku belum juga mati. Prediksi mereka sepertinya meleset sebegitu jauh. Nyatanya, aku bisa bertahan sampai saat ini, hanya saja tekanan sosial lebih menekanku daripada rasa sakit semacam flu saja yang dapat membunuhku sekejap mata.

Kalender menunjukkan 1 Desember.

Praktisnya, ini tahun keempatku berada di tempat ini. Begitu memilukan hidupnya, kata kawan-kawanku yang masih peduli denganku kalau mereka mengingat tanggal ulang tahunku pada hari pertama bulan kedua-belas. Tetapi aku lebih kerasan untuk tetap hidup di sini dengan wilayah sosialisasi yang begitu sederhana. Begitu kecil lingkup pertemanan yang kumiliki namun rasa keterikatan batin lebih kuat di antara sesama kami.

Kalender menunjukkan 1 Desember.

Penyakit ini memang akan membunuhku, aku tahu itu. Aku juga tidak pernah memintanya. Apalagi sampai memohon-mohon untuk mati dengan penyakit yang dikatakan penyakit kutukan ini. Ini bukan hanya sakit secara fisik, tetapi juga rohani benar-benar diremukkan oleh penyakit ini.

Seseorang berkunjung ke rumahku sebelum aku berkemah di dalam rumah yang kutempati ini. Keluargaku sudah tahu dan aku memang membukanya tanpa merahasiakan apapun dengan mereka. Jujur saja lebih baik dan kurasa aku mendapatkan penyakit ini karena uji sampel darah di mana pekerjaanku sebagai tim medis begitu dominan untuk mendapatkan penyakit ini.

Kujabat tangan seorang yang datang itu. Dia menyambutnya dengan ramah dan hangat.

"Hei... Lekas ke toilet, cuci tanganmu bersih-bersih. Dia HIV positif." Seseorang temannya lagi membisikkan pelan. Aku membaca dari gerak bibirnya. Aku begitu miris dengan hidupku sendiri. Aku merasa kasihan dengan diriku.

"Maaf, toilet di mana ya?"

Dengan pedih dan tercabik-cabik rasanya, aku menunjukkan jalan menuju toilet. Benar saja, dia langsung mencuci tangannya berulang kali di hadapanku.

"Ah, pasti kalian belum makan siang..." tebak ibu.

"Hahaha... Ibu tahu darimana?"

"Saya tahu raut wajah kalian."

Ibu langsung menyajikan kue-kue kecil ke hadapan mereka. Mereka berbinar-binar menatap kue itu, hendak mencaploknya segera. Ah, nikmatnya - pikir mereka. Aku tersenyum saja, itu hasil karyaku.

"Ini buatan anak saya."

"Hmmmh... Maaf Bu, kami sudah kenyang."

"Lho?! Katanya kalian belum makan siang?"

"Iya... Maksudnya tadi, kami masih kenyang, Bu..."

***

Hari ini kalender pada 1 Desember.

Ulang tahunku ke-28. Tak ada perayaan seperti dulu. Tak ada pesta meriah. Tak ada acara yang menarik. Semua kulewati dengan mereka yang sependeritaan.

Seorang dokter gigi menolakku mentah-mentah ketika karies pada gigiku membuat nyeri.

"Saya HIV positif, Dok..."

Dokter itu langsung meletakkan penanya dan mengatakan kepadaku: "Kami tidak menerima pasien yang terinfeksi HIV positif. Silahkan Anda meninggalkan ruangan ini dan mencari dokter lain."

Koyakan itu seperti ribuan godam, mengalahkan nyeri yang ada di gerahamku. Lantas, kalau aku seorang HIV harus dikucilkan seperti ini?

Hari ini 1 Desember, tahun keempat keberadaanku di sini, 28 tahun bertahan hidup, dan hari AIDS sedunia.

Mereka mengatakan jangan kucilkan kami, tetapi sampai sekarang kami tetap sebagai orang yang terkucilkan. Bahkan kami sakit bukan karena fisik kami yang lemah, tetapi goyah jiwa kami akibat mereka yang enggan berbagi cerita dengan kami. Kami dibunuh bukan karena virus yang ada dalam tubuh kami, tetapi mereka enggan menerima kami sebagai sesamanya. Antiretroviral memang menolong kami, tapi tidak menyelamatkan kami. Kami tetap dilakukan seperti itu di tengah kehidupan sosial kami.

Aku lebih memilih mati daripada sistem kasta yang tak tercantum dalam masyarakat bahwa kami harus disingkirkan...



2 Desember 2009 | Untuk Hari AIDS Sedunia
Stop AIDS: Akses untuk Semua !
Lawan virusnya, bukan orangnya...

Tidak ada komentar: