Dua insan terduduk di bawah kibaran kain yang menari-nari di awan-awan. Mereka menegakkan kepala menuju ke arah kibaran kain terbelah dua dengan arah hendak menantang terik matahari. Begitu menyengat, panas, sambil menyekah peluh yang mengalir sendirinya di pori-pori kulit mereka. Dua insan berbeda kulit.
Kulit putih:
Kau bangga jadi orang di tanah ini?
Kulit hitam:
Bangga! Aku sangat bangga sekali dengan diriku yang bisa lahir di tanah ini.
Kulit putih:
Aku malah merasa malu. Sumpah, betapa malunya aku menjadi orang di tanah ini!
Kulit hitam:
Lho?! Kenapa?
Kulit putih:
Aku malu dengan keadaannya. Pemerintah berteriak jangan korupsi, tetapi mereka yang menjadi pelakunya. Kesuburan tanah mulai tak ada. Ini bukan tanah agraris karena berasnya pun bukan asli dari negeri ini. Negeri maritim? Juga bukan lagi. Ikan-ikan dan isi lautnya ditelan oleh bangsa lain.
Kulit hitam:
Lalu? Kenapa harus malu? Aku yang sebagai orang yang lahir dan keturunan bangsa ini sejak nenek moyang juga tak mengenal malu. Aku tetaplah berjalan dan bangga karena bukan aku yang bertindak.
Kulit putih:
Mungkin itu kamu, aku sebagai bagian dari negara ini, walau bukanlah penuh berdarah dari tanah ini, aku merasa malu. Kita yang dulu dikenal sebagai negara kaya raya akan semuanya sekarang menjadi jatuh melarat karena ketamakan dan keegoisan semata.
Kulit hitam:
Ah, kamu...
Kedua insan kembali menatap kibaran bendera. Merah menginjak kepala putih membentuk dan terbentang di atas tiang. Angin menampar pipi mereka, melayangkan bendera. Kedua insan itu masih memukaukan diri di bawah kibaran.
Jakarta, 20 - 21 Agustus 2009 | 7.47
A.A. - dalam sebuah inisial
Kulit putih:
Kau bangga jadi orang di tanah ini?
Kulit hitam:
Bangga! Aku sangat bangga sekali dengan diriku yang bisa lahir di tanah ini.
Kulit putih:
Aku malah merasa malu. Sumpah, betapa malunya aku menjadi orang di tanah ini!
Kulit hitam:
Lho?! Kenapa?
Kulit putih:
Aku malu dengan keadaannya. Pemerintah berteriak jangan korupsi, tetapi mereka yang menjadi pelakunya. Kesuburan tanah mulai tak ada. Ini bukan tanah agraris karena berasnya pun bukan asli dari negeri ini. Negeri maritim? Juga bukan lagi. Ikan-ikan dan isi lautnya ditelan oleh bangsa lain.
Kulit hitam:
Lalu? Kenapa harus malu? Aku yang sebagai orang yang lahir dan keturunan bangsa ini sejak nenek moyang juga tak mengenal malu. Aku tetaplah berjalan dan bangga karena bukan aku yang bertindak.
Kulit putih:
Mungkin itu kamu, aku sebagai bagian dari negara ini, walau bukanlah penuh berdarah dari tanah ini, aku merasa malu. Kita yang dulu dikenal sebagai negara kaya raya akan semuanya sekarang menjadi jatuh melarat karena ketamakan dan keegoisan semata.
Kulit hitam:
Ah, kamu...
Kedua insan kembali menatap kibaran bendera. Merah menginjak kepala putih membentuk dan terbentang di atas tiang. Angin menampar pipi mereka, melayangkan bendera. Kedua insan itu masih memukaukan diri di bawah kibaran.
Jakarta, 20 - 21 Agustus 2009 | 7.47
A.A. - dalam sebuah inisial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar